Pages

Selasa, 31 Oktober 2017

Yauman Tsaqila

"Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka niscaya kamu akan sedikit bicara dan banyak menangis." (Mutafaqun 'alaih)

Menjalani kehidupan dunia dengan segala tipu dayanya, terkadang menjadikan kita lalai akan misi utama yang harus diemban. Manusia seakan lupa bahwa hidup di dunia tidaklah lama, sementara tahap pertanggungjawaban amal telah menanti dengan pasti. Allah telah mengingatkan kita:

إِنَّ هَؤُلاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلا

Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mempedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). (Qs Al-Insan: 27)

Ya, peringatan Allah akan kepastian datangnya Yauman Tsaqila (hari yang berat), telah menjadikan para sahabat Rasul senantiasa menangis, bukan karena takut dosa mereka besar, namun karena khawatir amal-amalnya tidak diterima di sisi Allah SWT.

Jika mereka para sahabat saja memiliki kekhawatiran seperti itu, bagaimanakah dengan kita?

Dua syarat diterimanya amal (ikhlas dan shawab/benar) sudah semestinya untuk menjadi fokus utama dalam setiap perbuatan kita, karena kita tidak ingin perbuatan menjadi sia-sia tanpa keduanya.

Ketakutan akan dihadapkan pada Yauman Tsaqila, juga telah membuat para sahabat bekerja keras dan memberikan pengorbanan yang luar biasa dalam mengarungi kancah kehidupan. Peperangan demi peperangan mereka jalani dengan penuh kesungguhan, meski dalam kondisi panas terik, bekal yang sangat minim karena musim paceklik dan kemarau. Begitu panggilan Allah datang, mereka tinggalkan apa saja yang  sedang mereka lakukan. Berusaha menyempurnakan amal dengan tidak menambah dosa selalu diupayakan. Mereka selalu ingat sabda Rasulullah:

لَوْتَعْلَمُوْنَ مَااَعْلَمُ  لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا

"Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka niscaya kamu akan sedikit bicara dan banyak menangis." Kemudian para sahabat Rasulullah saw menutup wajah mereka dan menangis tersedu-sedu. (Mutafaq 'alaih).

Bagaimana dengan kita? Saat ini mungkin kita masih bisa berteduh dari terik panas matahari di dunia, namun nanti, dapatkah kita menghindar dari teriknya yauman tsaqila. Jika para sahabat yang pengorbanannya sungguh luar biasa, dan mereka selalu mendapat pujian dari Rasulullah saja takut menghadapinya, bukankah kita lebih patut untuk merasakan ketakutan itu? Oleh karenanya, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam menghadapinya.

Pertama, bertafakur untuk muhasabah atas setiap amal yang telah dan sedang kita lakukan.

Kedua, berusaha memperbaiki/ menyempurnakan amal agar senantiasa mnjadi amal terbaik, yakni dengan terpenuhinya dua syarat ( ikhlas dan benar).

Ketiga, bekerja keras untuk bersegera/tidak menunda-nunda memenuhi seruan-seruan Allah dan RasulNya. FirmanNya dalam QS. Ali Imran:133, senantiasa mengingatkan kita akan hal tersebut

وَسارِعُوا إِلى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّماواتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.

Semoga Allah SWT senantiasa menguatkan kita untuk menyiapkan amal terbaik demi menghadapinya kepastian datangnya yauman tsaqila.

Wallaahu A'lam Bish Showab

Kafaa Bil Mauti

"Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)." (Yunus : 49)

Terkadang saat lelah melanda dan hati mulai goyah. Melihat banyak kawan yang tertawa bahagia, bersenda gurau, tiada resah dan gelisah. Namun tidak dengan kita. Roda dakwah terus berputar. Tak akan terputus dengan segala kesibukan apalagi kesenangan dunia pemuda.

Kaki tetap berpijak kokoh pada jalan ini. Walau terkadang berat, sulit, atau sempat terpikirkan kapan diri ini beristirahat. Memikirkan diri yang tak hentinya dikejar-kejar berbagai target dan agenda padat. Air mata pun menetas. Seberat apapun kaki melangkah, mustahil rasanya untuk berhenti, apalagi berjalan ke belakang. Mementingkan ego pribadi diatas kewajiban yang telah tertancap dalam hati.

Mengapa? 

Berharap hati ini segera memberikan jawaban. Sungguh kematian. Itulah alarm yang selalu berdering paling kencang. Betapa banyak ayat Allah yang telah terbaca. Membahas kematian yang tak menunggu kita  siap bertemu sang Rab. Tak kan peduli dengan usia. Apalagi amalan yang telah membuat kita lelah berpeluh. Ia akan datang sekalipun berada di benteng yang tinggi nan kokoh. Ia akan tetap menjemput walau kewajiban dan misi yang harus diemban justru kutunda atau ditinggalkan.

Cinta. Itulah yang dikatakan hati ini. Hanya karena cinta, seseorang masih terus mau melakukan bukan? Dan cinta menuntut pembuktian. Tak hanya di hati, atau cukup terlisankan. Tapi perbuatan harus membuktikan. Cinta kepada Dzat yang paling mencintai. Cinta kepada Dia yang menciptakan rasa cinta itu. Allah. Dan tentu cinta pula kepada Baginda Rasulullah. Berharap mendapat syafaat dari nya saat tak ada lagi pembela disisi-Nya kelak. Bukankah seseorang kelak akan bersama yang dicintai? "Anas bin Malik berkata : ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw dia berkata : "Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mencintai orang lain tapi dia tidak mampu beramal seperti amalnya". Maka Rasulullah bersabda : Seseorang akan bersama orang yang dicintainya". 

Terkahir, ini adalah misi bukan sekedar karena kebutuhan. Ini adalah kewajiban yang membawa kemuliaan di sisi-Nya. Layaknya ibadah yang lain, dakwah adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan oleh seseorang yang sudah mengikrarkan kalimat syahadat di dalam dadanya. : “Adalah kamu sebaik-baik umat yang diutus untuk manusia menyuruh berbuat baik (ma’ruf) dan mencegah dari perbuatan munkar dan beriman kokoh kepada Allah…”

Tentang mengingat kematian, Nabi saw memberi kita nasehat : "Wa kafaa bil mauti wa'idzan" .Jelaslah sudah, hanya karena kematian yang akan menemui kapan pun, sehingga kaki ini masih bertahan. Hanya karena cinta, lisan ini terus menyampaikan kebenaran. Dan karena sebuah kewajiban yang menciptakan harapan di sisi-Nya. Rindu itu tak dapat dibendung, dan pantaskah diri ini berada di sana?

Wallahu a'lam bis Showab

Terjajah Dalam Kenyamanan

"(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih" (Qs. Asy-Syu'ara : 88-89)

Musibah terbesar bagi para pemuda saat ini bukan ketika nilai raport atau IPK nya rendah. Itu hanya masalah dunia yg tak akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Hanya bersifat sementara.

Namun, musibah paling menyengsarakan adalah saat mayoritas daya fikirnya habis untuk perkara yg sama sekali tak membawa kebaikan di kehidupan yg sebenarnya.

Bukannya kita akan di tanya 4 perkara, salah satu nya : "untuk apa usia kita?" Tidak kah kita takut? Sudah siap dengan jawaban yang akan kita utarakan?

Maka, perlu kehati -hatian dalam melangkah.
Karena saat ini posisi kita sedang terjebak dalam sistem yang memposisikan kita sebagai objek penjajahan. Objek yg dijadikan konsumen utama produk-produk para penjajah. Seperti : fashion, music, food, hiburan dunia maya, dan lain sebagainya.

Maka, berhati hatilah dan segera beranjak lah jika kita termasuk dalam salah satu atau bahkan semua dari ciru-ciri pemuda seperti ini : 1. Sosok yang terlalu sibuk dengan fashion dan tak pernah merasa puas utk memperbaiki penampilan luar. Baik yang belum berpakaian syar'i, atau bahkan yang sudah. Karena kita menutup aurat (berhijab) itu bukan karena fashion dan trendy, tapi karena perintah Allah.

2. Sosok yang sangat disibukkan dengan dunia maya dan sosial media, yg mengalihkan fungsinya dari alat komunikasi menjadi alat pencitraan diri.

3. Selalu update dengan lagu-lagu dan film sekuler, berikut para artis- nya. Menganggap hal tersebut sebagai pelarian dari kepenatan hidup. Sedangkan di dalamnya tak banyak memberi pengaruh kebaikan kepadanya atau pelajaran yang berarti. Justru lebih menjauhkan diri dari Sang Khaliq.

Sungguh merugi pemuda yg menghabiskan tenaga, kecerdasan, dan waktunya hanya untuk  3 perkara itu. Maka, beranjaklah. Ubah lah kebiasaan : (1) Memperbaiki akhlak, ibadah, dan penampilan di hadapan Sang Khaliq bukan di hadapan makhluq. Tidak kah kita ingin menjadi sebaik-baik hamba?

(2) Jadikan kesempatan penggunaan media sosial untuk berdakwah dan memperkaya ilmu. Dan berilah perhatian kepada orang-orang di sekitar kita, karena handphone bukan untuk menjauhkan yg dekat.

(3) Jadikan Allah menjadi satu satunya tempat peraduan, tempat mengeluh dan menangis. Tidak kah kita malu kepada -Nya? Ketika mendiamkan Nya? Dan lebih senang mengadu pada makhluk-Nya yang sama- sama lemah seperti kita. Jadikan Al quran  sebagai penasehat kita, dan satu satunya lantunan yang dapat menghibur, yang membuat kita tenang saat membaca, mendengarkan, dan menghafalkannya.

Jangan merasa nyaman dengan penjajahan yang tak nampak ini. Penjajahan ini memang sengaja dirancang agar kita lupa bahwa kita punya misi dan tanggung jawab besar di Bumi Allah. Bahwa kita sedang ditunggu oleh saudara-saudara kita di belahan dunia lain. Dan yang pasti dinantikan oleh generasi setelah kita, karena kualitas mereka sangatlah ditentukan oleh kesungguhan dan kualitas generasi saat ini.

Wallahu a'lam bish Showab

Kamis, 26 Oktober 2017

Sahabat Sampai Akhirat

"Teman-teman karib pada saat itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertaqwa" (Qs. Az-Zukhruf : 67)

Sahabat itu bukan yang mau berjuang bersamamu hanya untuk kesuksesan dunia. Tapi ia yang senantiasa menggandengmu utk meraih ridho dan jannah Nya. Karena itulah kesuksesan yang sebenarnya.

Sahabat tak selalu yang mampu membuatmu tertawa, namun ia yang dapat membuatmu menangis karena mengingat Nya.

Sahabat bukan yang membangunkanmu hanya untuk melanjutkan urusan serta kesenangan sesaat. Tapi ia yang mengajakmu kembali mencari bekal untuk akhirat dan memikirkan ummat.

Sahabat bukan yang selalu dapat mengajakmu jalan dan makan makan. Tapi ia yang menyebutkan namamu dalam sujud panjangnya.

Sahabat tak hanya yang mau mendengarkan isi hatimu, tapi ia yang dapat memenuhi hatimu dengan ketaqwaan.

Sahabat bukan yang menjadikanmu iri dan cinta terhadap dunia dan lari mengejarnya. Tapi ia yg senantiasa mengajakmu utk semakin takut dan khusyuk di hadapan Nya. 

Sahabat dalam taqwa itu mendekatimu bukan untuk mengingat masa lalumu bersamanya, bukan pula ingin mencuil kebahagianmu untuknya, tak pula karena iri dan berharap sepertimu jika apa yang kau kejar hanya dunia.

Tapi ia ingin menggandengmu, ingin lagi bersamamu hanya untuk menggapai kemuliaan di sisi Nya. Walau kau sudah menemukan kawan yang mungkin lebih banyak disana. Yang lebih menjanjikan. Dan membawa kebahagian.

”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari klamat.” (Imam Hasan Al Bashri)

Menggapai Cahaya

"Bagi orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (balasan) yang baik. Dan sesungguhnya negeri akhirat pasti lebih baik. Dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertaqwa" (Qs. An nahl : 30)

Bukan pujian manusia yang kita cari. Bukan persepsi orang lain yg kita kejar. Bukan harapan dunia yang kita jadikan tujuan.

Hidup ini bagaikan lorong yang panjang. Yang semakin jauh kita tapaki semakin lelah, gerah, gelap, pengap, panas, menakutkan, banyak bahaya, banyak rintangan. Dalam menyusuri kegelapan itu terkadang kita bertemu kawan yang senantiasa menunjukkan jalan atau meringankan beban, tak sedikit pula bertemu lawan yang sering menghasut, menyurutkan semangat, atau bahkan menyusahkan.

Tapi kita tak mungkin berhenti, tak mungkin berbalik arah. Yang harus kita lakukan terus berjalan, walau kadang dapat berlari, walau lebih sering merangkak karena semakin lelah dan gelapnya.

Lalu kapan terowongan itu berakhir? Semua tak ada yang tau, sekalipun ia sahabat yang di sebelah kita. Lalu apa yang membuat kita berhenti? Tak ada. Karena kita ingin segera meraih jalan keluar, mendapatkan secercah cahaya, dapat bernafas dengan lega, tak ada persaingan apa lagi permusuhan, tak ada lagi nafas yang terhempas karena begitu sulit menghirup udara segar. Tak ada yang tau, dimana ujung lorong panjang nan gelap itu.

Tapi yakinlah saat telah berhasil melewati jarak ratusan meter atau berkilo-kilo yang lelah itu, ada perasaan lega. Dan bangga terhadap diri ini. "Ternyata aku mampu, ternyata semua itu tidak sesulit yang aku bayangkan". Namun ketika memasuki lorong yang kian gelap dan mengerikan itu, rasa takut dan khawatir kembali lagi menghantui. Ada kebahagian yang diaduk dengan ketakutan penuh harapan. 

Tidak. Lorong itu tidak ada sedikitpun sisi yang membahagiakan. Semuanya gelap, dan pengap, bagaikan penjara. Berada disana bukanlah suatu harapan, selamanya berjalan di dalamnya bukanlah suatu keinginan.

Tapi ia hanyalah jalan, ia hanya wasilah, ia hanya cara kita agar dapat menggenggam cahaya. Menghirup udara yang abadi, istirahat tanpa ada beban fikiran. 

Itu yang kita ingin gapai, yang seharusnya kita rindukan, yang selalu kita sebut dalam setiap sujud nan panjang. 

Jangan. Jangan terlena dengan sedikit cahaya yang masuk terselip dari atap lorong itu. Jangan terlena hanya karena kau memiliki bekal yang banyak. Jangan merasa bahagia ketika kawanmu lebih banyak daripada lawan, jika mereka membuatmu lupa dengan tujuan. Jangan terlalu lama beristirahat dan bersenang senang, karena kita tak tak tahu kapan kita bisa meraih cahaya yang sebenarnya.

Cukup. Cukup fokus pada apa yang telah ditetapkan. Apa yang telah diperintahkan. Apa yang sudah menjadi kewajiban. Jangan jadikan kebahagiaan semu itu yang membuat kita merasa itu kebahagian yang sesungguhnya.

Bimbinglah diri ini wahai Pemilik Kehidupan, karena hamba tak pernah tau kapan lorong itu Kau hentikan.

Wallahu a'lam bish Showab

Rabu, 25 Oktober 2017

Perumpamaan Seorang Mukmin

"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia, agar mereka selalu ingat"
(QS. Ibrahim : 24-25)

Allah memberi perumpamaan perkataan yang baik, thayyib, itu seperti pohon yang baik. Seperti apa pohon yang baik itu? Akarnya kuat, kokoh, terhujam dalam ke dalam tanah, tidak mudah roboh, tertiup angin tak akan rusak, diterpa hujan akan semakin kokoh. Kemudian cabang nya menjulang tinggi. Mulai dari batang, cabang, ranting dan daun nya selalu tumbuh dan tumbuh ke atas, menggapai langit. Kemudian dari cabang pohon itu akan muncul buah buahan yang bermanfaat bagi berbagai makhluq hidup, sesuatu yang diandalkan banyak hewan, salah satu penghasilan yang dinantikan manusia, sumber makanan yang mampu memberi kesehatan. 

Seperti itulah Allah memberi perumpamaan untuk manusia, agar mau berfikir. Kebaikan itu hanya milik orang yang beriman. Layaknya pohon tersebut, seorang mukmin itu harus memiliki landasan yang kokoh, yaitu aqidah. Yang tak goyah, tak mudah dihasut,  dan dibelokkan. Hanya takut kepada Allah, yakin atas semua janji Allah, tak mengejar apapun kecuali ridho Allah, tak takut berkorban demi agama Allah.

Tak hanya aqidah yang kuat yang tertancap dalam hati. Namun ia juga seorang yang berilmu tinggi, berpengetahuan luas, memiliki tekad besar, kesungguhan yang tiada tanding, yang senantiasa haus dengan ilmu, tak pernah puas dengan apa yang didapat, rakus dengan buku-buku. Tak lelah mendatangi majelis ilmu, yang merupakan taman surga.

Dan terakhir, dengan dorongan iman yang kuat, aqidah yang kokoh dan bekal ilmu yang dimilikinya, ia akan menghasilkan berbagai karya yang bermanfaat bagi orang lain, bagi generasi setelah nya, bagi umat islam yang membutuhkannya. Dengan ilmu, ia tak mau memendam segala kelebihan dan manfaat yang ada pada dirinya. Semakin tumbuh semakin berguna untuk sesama. Menimbun amal, mengumpulkan amal jariyah.

Pantas, jika ada pepatah yang mengatakan ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak berbuah. Karena buah itu akan membawa banyak faedah bagi banyak orang, yang akan membawa kebaikan bagi dirinya yaitu pahala.

Maka, jangan sampai kita pisahkan ketiga hal tersebut. Karena ilmu tanpa iman, maka ilmu akan disalahkan gunakan. Iman tanpa ilmu tak akan membawa banyak kebaikan dan bisa menjerumuskan. Ilmu dan iman tanpa amal tak akan bertahan lama.

Wallahu A'lam bish Showab

Sikap Manusia Terhadap Wahyu

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar" (Qs Fathir : 32)

Saat Allah menurunkan wahyu berupa Al quran yang disampaikan oleh Rasulullah, seseorang akan memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi dan meresponnya.

Tak hanya di masa awal dakwah Rasul, namun saat ini pun begitu nampak berbagai respon dan tingkah laku umat islam yang pada ikrarnya telah mengimani Allah, Rasulullah juga Al Quran yang dibawa beliau. 

Dan itu semua kita kembalikan pada diri kita, termasuk golongan manakah kita dalam menerima wahyu Allah ini?

Dalam sebuah ayat Allah telah menggambarkan tiga golongan yang memiliki berbagai macam sikap : "Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.". 

Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan golongan pertama yaitu, orang yang mendzalimi atau menganiaya diri meraka sendiri dikarenakan mereka tidak mau taat dan menerima apa yang Allah turunkan. Sama sekali tak menghiraukan apa yang Rasulullah bawa sebagai peringatan bagi mereka. Sehingga kelak mereka mendapat menyiksa diri mereka sendiri.

Sebagaimana firman Allah :

Berkatalah Rasul, "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan.”  (Qs. Al Furqan : 30)

Golongan kedua adalah orang pertengahan. Mereka mau mengimani apa yang telah diturunkan. Mereka meyakini apa yang Rasulullah bawa. Namun, ketika beberapa hukum-hukum Allah tak sesuai dengan keinginan mereka, maka ayat itu diabaikan. Ia hanya mau mengambil dan mengamalkan sesuai kebutuhan saja. Dan golongan ini banyak sekali diantara umat islam. Atau bahkan kita sendiri? Golongan ini Allah per jelas dalam firman -Nya :  "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya. dengan mengatakan, "Kami beriman kepada sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)," serta bermaksud (dengan perkataan itu), mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman dan kafir) (An-Nisa: 150)

Dan terakhir adalah golongan ketiga, yaitu mereka yang benar-benar tunduk dan patuh atas apapun yang telah diperintahkan dan ditetapkan. Tiada keraguan dan keberatan hati walau perintah itu tidak ringan. Mereka adakah orang-orang yang bersegera menuju kebaikan, menyambut panggilan, dan senantiasa siap dengan perintah dan seruan. Tidak pernah meragukan, dan mengambil sesuai keinginan atau kebutuhan.

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh.” (An-Nur: 51)

Wallahu a'lam bis Showab.

Bulan Pembawa Perubahan

"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (Qs. Al Baqoroh : 183)

Bulan Ramadhan. Bukan yang penuh rahmat, berkah, dan maghfirah. Dunia serasa terkena sulap. Orang-orang berubah drastis. Masjid pun ramai oleh pemuda. Kajian pun sesak tak karuan. Aurat tak lagi nampak. Lantunan Al quran menggantikan semua lagu-lagu pengumbar nafsu. Malam-malam hidup dengan tilawah dan i'tikaf. Kafe sepi. Hiburan-hiburan tak laku. Semua berlomba memperbanyak sedekah. Makanan berbuka tumpah ruah.

Benar-benar ajaib bulan ini. Bulan yang Allah wajib kan puasa di dalamnya ini, tentu bukanlah bulan biasa. Ini bulan penempaan diri. Penggemblengan ibadah dan segala amalan sunah. Pembekalan sebelum memasuki masa ujian selama sebelas bulan ke depan.

"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (Qs. Al Baqoroh : 183)

Puasa adalah bulan yang membimbing kita untuk menjadi hamba yang bertaqwa. Agar segala perbuatan sholih tak hanya berhenti pada bulan ini saja.

Pada bulan suci, dimana segala amal dilipatgandakan pahalanya maka orang benar-benar tak akan ingin terlewatkan dengan sia-sia. Saat yang wajib berlipat hingga tujuh puluh kali, yang sunnah menjadi seperti wajib.

Bulan ini bulan pembentukkan kebiasaan. Merubah segala hal yang berat menjadi ringan, menjadi habits yang kelak bisa dilakukan tanpa berat rasa. Bisa otomatis. Tidak perlu teguran atau peringatan. Tidak usah susah payah dan terasa lelah. 

Namun, banyak yang akhirnya gagal. Saat di bulan ini Al quran selalu disentuh setiap usai sholat, saat sedekah dikeluarkan hampir setiap hari, saat larut malam tak pernah terlewatkan dari sujud yang panjang. Saat sholat wajib tak luput diiringi nafilah nya. Sayang sekali, di bulan berikutnya pakaian ketaqwaan itu dilepas kembali. Kembali pada hiru pikuk dunia dan aktivitas yang membuat lupa kembali bekal yang telah disiapkan. Lalai akan pesan indah yang diselipkan tiap malam, kita bacakan hingga kering kerongkongan. Nafsu itu kembali menguasai. Memakan semua yang telah kita usahakan mati-matian dalam satu bulan penuh.

Inilah yang perlu kita koreksi lagi dalam diri kita. Termasuk manakah kita?

Pertama, apakah orang yang menghabiskan ramadhan hanya sebagai formalitas untuk menunggu lebaran tiba? Yang antar tahun-tahun kemarin dengan tahun ini sama saja. Tidak ada peningkatan. Hanya lapar, haus, dan lemas menantikan waktu berbuka yang didapatkan.

Atau, kedua. Apakah kita tergolong orang yang segera meraih ampunan Allah, mengejar segala amalan, meningkatkan ibadah, dan gemar mendatangi majelis ilmu, juga mengenakan pakaian ketaqwaan di bulan ini?

Namun semua itu tak berbekas, saat bulan telah berganti. Semua kembali seperti sedia kala. Ternyata habits itu belum mengkristal pada diri kita. Kesibukan yang menjadi alasan, yang akhirnya mampu memenangkan.

Atau yang ketiga. Menjadi hamba Allah yang benar- benar maksimalis. Membuang jauh- jauh segala maksiat, mengganti segala keburukan menjadi kebajikan. Mengubur segala kemalasan, dan menumbuhkan seribu bibit kemuliaan. Meskipun hinaan, ejekan atau sindirian berkeliaran mengiringi, tak perlu dihiraukan. Walaupun bulan telah berganti, dan kesibukan kembali menghampiri, tapi bekal di bulan ini tak kan dilupakan. Pembiasaan yang telah dirancang sedemikian rupa tak kan ditinggalkan pergi kembali begitu saja. Terus istiqomah hingga kembali ke kampung halaman.

Wallahu a'lam bish Showab.

Kesenangan Yang Membuat Bungkam

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" (Al an'am : 44)

Banyak hal yang sering membuat kita lalai sehingga lupa akan tujuan kita diciptakan Allah di muka bumi ini. Banyak kesenangan yang sering mengalihkan pandangan kita dari arah yang ingin dicapai. Banyak tempat-tempat yang membuat kita tertarik mengunjungi nya yang membuat kita lama mencapai tempat yang sedang kita tuju. 

Hiburan dunia semakin hari semakin banyak di hadapan kita. Menggiurkan. Sungguh indah di depan mata. Sungguh manis dirasa. Lara pun menjadi tawa. Duka pun menjadi bahagia. Sejuta teguran melewati kita, dan tak berpengaruh sedikitpun dalam dada. Beribu nasehat kian menghujam hari-hari, namun hanya menjadi masuk dan keluar dari telinga. Kematian orang orang di sekeliling kita yang tak pernah disangka, hanya membuat air mata mengucur, namun hati tetap seperti sedia kala. Tak peka dengan teguran Allah, dan hiburan itu tetap mengalihakan segala pilu.

Dia. Yang lebih kecil dari Al Quran, lebih kita cintai untk dibawa kemana-kemana. Senyum dibibir kan terus menghiasi selama ia berada di genggaman. Hati kan nyaman selama ia menemani semua aktivitas padat kita. Hingga berkomunikasi dengan orang melaluinya lebih banyak dari dzikir yang kita ucapkan, lebih sering dari istighfar sebagai pengguggur dosa- dosa. Pesan-pesan di dalamnya lebih sering dibaca dibandingkan pesan-pesan dari pemilik hati ini. Menangis hanya karenanya ketika ada sedikit masalah atau perselisihan, ketimbang menangis saat membaca ayat ancaman bagi siapa yang lalai. Menggeggamnya lebih terasa aman daripada kitab pedoman. Sibuk dengannya lebih nyaman daripada berlelah lelah untuk mempelajari dan mengajarkan kalam suci.

Sungguh penyesalan memang tak akan tiba di awal. Penyesalan kehidupan ini tak akan membuat kita menangis melainkan jika telah datang hari penghisapan. Ketika hanya tangan yang mampu berbicara, ketika kaki yang menjadi saksi. Ketika mulut telah bungkam. 

Saat handphone sudah jauh lebih kita cintai dari-Nya. Saat membawanya lebih percaya diri daripada menenteng al Quran. Saat chating dan obrolan kita lakukan berjam-jam. Saat tawa menghapus segala peringatan dan teguran. Kegembiraan itu kian menghantui. Kegembiraan yang membuat kita lupa akan-Nya, akan menjadi alasan Allah memberikan sebuah siksaan. Hingga tak ada lagi yang mampu kita katakan. Semua hanya diam. Menyerah dan putus asa.

Na'udzubillah.

Dimana lah posisi kita saat ini? Mana yang lebih kita cintai dan utamakan? Mana yang membuat kita bangga dan malu saat membawanya? Mana yang memebuat kita merasa lebih percaya diri di hadapan manusia ketika membawa nya?

Wallahu a'lam bish Showab

Gunung pun Luruh

Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. (Al-Hasyr: 21)

Al Quran yang merupakan perkataan Allah yang mulia. Yang tiada satu pun makhluq yang dapat membuat semisalnya. Sekalipun ia nabi dan rasul. Walaupun ia mengaku dirinya sebagai tuhan. Atau sekalipun dia seorang penyair, sastrawan, penulis yang kemampuan berbahasa arab dan menyusun kata-kata tak kan pernah diragukan lagi. 

Ia adalah mukjizat yang Allah turunkan sebagai peta serta pedoman kehidupan bagi seluruh manusia. Menjadi penyembuh bagi segala penyakit. Menjadi penyejuk segala kegundahan. Sebagai penenang segala ketakutan. 

Betapa banyak ayat Allah yang menjelaskan ancaman bagi siapa yang durhaka kepada-Nya. Neraka bagi yang berpaling dari peringatan-Nya. Juga betapa banyak firman Allah yang menggambarkan betapa indahnya surga. Tempat tinggal bagi Ashabul Yamin. Golongan kanan. Allah pun menjelaskan bagaimana ciri-ciri mukmin yang dapat mewarisi surga firdaus. Perintah perintah yang masih banyak kita lalaikan. Larangan- larangan yang masih berani kita lakukan. Diam-diam ataupun terang-terangan. 

Maka, pantaslah orang-orang yang memahami isi firman-Nya dan telah mendapat hidayah Al Quran ini pasti akan menangis saat mendengarkan ayat-ayat itu. Akan semakin takut saat gambaran siksa neraka dibacakan. Mengucurkan air mata saat bidadari, permadani, dan sungai susu dan madu yang berada di surga tak mampu terbayangkan. Berharap untuk mendapatkannya. 

Lalu bagaimana dengan hati ini?

Bahkan Allah menggambarkan dahsyatnya al Quran jika diturunkan kepada gunung maka dia akan luruh, hancur, terpecah belah. Gunung yang begitu besar, tinggi, keras karena terdiri dari bebatuan dan akar pohon yang kuat. Ia yang merupakan pasaknya bumi yang sangat kokoh dan kuat. Namun semua itu bisa luluh karena Al Quran.

Lalu, bagaimana dengan hati kita? Apakah ia lebih keras dari batu yang ada di gunung? Apakah ia lebih berat dari besarnya gunung? Apakah ia lebih keras dan kuat dari fisik gunung?

Jika hati ini tak pernah tersinggung saat ayat Allah menyampaikan tentang ciri-ciri manusia yang rugi karena merasa diri baik-baik saja. Saat hati ini tak tersentuh ketika Allah menjanjikan dua surga karena merasa dunia lebih mengiurkan. Saat hati ini tak merintih lantas takut dan menangis saat adzab Allah digambarkan dengan sangat mengerikan, karena merasa kematian masih jauh mendatangi kita.

Maka, menangislah saat mendengar ayat-ayat Nya. Jika tak mampu, maka tangisi hati ini yang begitu keras dan sombong. Karena air mata akan membersihkan hati dari kotoran dan melunakkan jiwa yang keras.

Wallahu a'lam bish Showab

Minggu, 22 Oktober 2017

Hiduplah Seperti Burung

"Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati." (Qs. Luqman : 34)

Sering kita dihantui dengan gambaran masa depan yang masih belum jelas. Masih diawang-awang. Segala impian tak tau mana yang dapat terwujudkan. Dari mana kita harus memulai dan menggapai. Khawatir dan tak tenang. Mengangankan sebuah kesuksesan justru menjadi beban dan fikiran. Membuat mata sulit terpejam, melamun berlebihan, menangis tanpa alasan.

Itulah ciri orang yang kurang menggantungkan hidupnya kepada Dzat Pemilik Kehidupan. Yang tidak yakin dengan rencana dan ketetapan-Nya, yang pasti lebih indah dari apa yang kita bayangkan, dan lebih baik dari apa yang kita inginkan.

Alangkah nikmatnya jika hari kita layaknya seperti burung. Yang selalu menggantungkan perut nya yang lapar di pagi hari kepada Allah. Ketika mereka pergi di saat masih fajar, dalam keadaan perut yang kosong, dan kembali di sore hari dengan keadaan perut kenyang. Bahkan mampu membawa makanan untuk anak-anak mereka yang berada di sarang. Itu semua bukan karena kepandaian atau kepiawaiannya dalan mencari makanan yang banyak. Namun semua karena kepasrahan dan keyakinan kepada Dzat pemberi rezeki yang pasti tak akan menyia-nyiakkan makhluk-Nya.

Lalu bagaimana manusia, bagimana kita? Padahal kita pun tidak tak akan pernah tahu apa yang terjadi di esok hari. Dan tak ada pula satupun makhluk yang dapat menjamin kita masih di muka bumi ini hingga esok. Lalu mengapa kita terlalu risau bahkan frustasi memikirkan masa depan yang semua sudah berasa di tangan Allah?

"Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati." 

Maka, yang perlu kita lakukan sebelum melakuan semua amalan adalah tawakkal yaitu berserah diri kepada Allah. Kemudian kita harus senantiasa meniatkan hanya untuk mencari ridhonya, dan yang terpenting adalah selalu terikat dengan syariat nya, agar sekecil apapun amalan semua bisa bernilai ibadah.

Dan makna tawakkal ini banyak diantara kita yang salah mengartikan. Suatu kesalahan yang besar jika kita meletakkan tawakkal diakhir amalan dan usaha serta doa kita. Semisal saat kita mau menghadapi ujian, kemudian kita sudah berusaha dan berdoa secara maksimal, maka setelah ujian telah dilaksanakan, hasil nya pun kita serahkan pada Allah. Kita tawakkal kepada Allah dengan hasilnya.

Padahal Allah telah mengatakan dalam sebuah ayat : "Apabila kalian berazam (bertekad), maka bertakwallah kepada Allah". Dalam surah lain, Allah  pun menjamin kepada siapapun yang bertawakkal kepadanya, maka Allah akan memudahkan urusan nya : "Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". (Ath-Thalaq: 

Rasulullah bersabda : "Barang siapa yang mempunyai suatu keperluan, lalu ia menyerahkannya kepada manusia, maka dapat dipastikan bahwa keperluannya itu tidak dimudahkan baginya. Dan barang siapa yang menyerahkan keperluannya kepada Allah Swt., maka Allah akan mendatangkan kepadanya rezeki yang segera atau memberinya kematian yang ditangguhkan (usia yang diperpanjang)"

Wallahu a'lam bish Showab

Sabtu, 21 Oktober 2017

Bersama Hingga Surga

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Qs. At Tahrim)

Rasulullah sebagai uswatun hasanah bagi kita, tentu harus kita ikuti segala yang beliau ajarkan. Baik perkataan, atau pun perbuatan. Menjalankan sunah-sunah Rasul, tanpa melupakan kewajiban yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Sebagai hamba tentu kita sangat merindukan Jannah-Nya. Bisa berkumpul disana bersama keluarga adalah sebuah harapan semua orang yang takut akan ancaman dan adzab-Nya. Bisa menggandeng kedua orangtua, bisa mengajak adik dan kakak, bisa melangkah di tangga yang sama menuju surga adalah sebuah impian yang seharusnya mampu membuat airmata kita menetes di setiap sujud dan doa.

Betapa tidak, ketika hari yang dimana tak akan bermanfaat lagi harta kekayaan dan anak yang banyak. Hari dimana ayah tak mampu menolong anaknya. Ketika seorang ibu menyusui meninggalkan anak yang disusuinya. Maka tak ada yang bisa menjadi penolong kita kecuali amalan-amalan kita. Amalan sholih yang terus kita lakukan dan ajarkan kepada saudara kita, atau keluarga kita. Dan itulah yang mampu menyelamatkan dan menyatukan hari dimana semua orang sibuk dengan perhitungannya sendiri-sendiri.

Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa menjaga diri kita dari segala perbuatan yang menjerumuskan pada maksiat, yang mengantarkan pada panasnya api neraka. Menyelamatkan diri kita masing-masing juga harus dibarengi dengan amar ma'ruf dan nahi munkar kepada keluarga kita. Allah telah menegaskan kepada kita bahwa tugas kita dalam posisi kita sebagai anggota keluarga, baik anak atau orangtua, kakak ataupun adik adalah menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Yang di dalamnya ada malaikat-malaikat penjaga yang taat dalam menjalankan perintah Allah, tak membantah dan durhaka sedikitpun. Para malaikat yang sangat keras dan kasar. 

Tentu kita akan bersedih jika di tempat peristirahatan dari kelelahan berjuang dalam ketaatan di dunia ini, tak bisa kita rasakan bersama dengan orang-orang tercinta. Yang telah membimbing kita hingga dewasa, dan menjadi hamba yang patuh pada-Nya.

Sebagaimana Muhammad saat diutus menjadi Rasulullah yang menyampaikan risalah islam, maka yang pertama kali Rasulullah dakwahi adalah orang terdekatnya, yaitu istri beliau. Ummul Mukiminin, Khadijah Radhiyallahu 'anha. Tanpa ragu, Khadijah pun bersaksi dan membenarkan apa yang Rasulullah katakan. Justru beliau lah yang menguatkan, mengokohkan, serta menambah keyakinan bahwa apa yang terjadi memanglah benar dari Rabb manusia. 

Inilah perkara yang patut dan wajib kita ikuti. Bahwa disaat kita sudah mendapatkan hidayah, atau kebenaran Islam yang sesungguhnya, maka keluarga adalah prioritas utama yang harus kita jadikan objek dakwah. Saat rasa cinta kepada Allah dan diin-Nya sudah bersemi di dalam hati, maka rasa itu harus ditularkan kepada orang-orang yang kita cintai pula. Agar kaki ini layak melangkah bersama menuju kampung peristirahatan.

Maka, kita pantas menjadi golongan orang yang mendapatkan doa dari para malaikat : "Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam Surga 'Adn yang telah engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang Shalih di antara bapak-bapak mereka, istri mereka dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkau Yang Mahaperkasa, lagi Mahabijaksana"

(Qs. Ghafir : 8)

Wallahu a'lam bish Showab

Jumat, 20 Oktober 2017

Fokus itu Kunci Kemenangan

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat" (Qs. Al Hujurat : 10)

Salah satu kunci keberhasilan adalah fokus pada apa yang ingin kita raih. Seseorang akan banyak mengalami kegagalan karena karena tujuan yang ingin ia raih selalu beralih, goyah, atau tergeser oleh hujatan dari pihak yang tak kita inginkan.

Dalam menggapai kesuksesan dalam dakwah pun kita harus fokus dan fokus dengan tujuan. Segala halangan tak boleh menjadikan alasan untuk berbelok arah, terjerembab, kemudian lupa akan tempat yang ingin dicapai.

Dalam dakwah, yang notabene pasti membawa kebaikan, menebarkan rahmat, dan mengajak pada ridho Illahi pasti tekanan dari orang yang menghujam dengan hinaan akan terus ada. Dan tak jarang bahwa yang melakukan hal ini adalah saudara kita sendiri. Saudara seakidah dan seiman. Namun, karena ketidakpahaman mereka dengan tujuan yang kita inginkan dalam perjuangan ini, maka banyak yang tak hanya tidak mau mendukung tapi justru menghalangi dan membuat kerusuhan terjadi.

Inilah saatnya keteguhan hati kita diuji. Kita harus ingat kembali siapa sebenarnya yang patut kita jadikan musuh. Apa yang seharusnya kita serang dan lawan. Bagaimana strategi yang harusnya kita maksimalkan dalam meraih tujuan.

Duri penghadang itu sering kali membuat kita lupa. Kita terlalu fokus membersihkannya di sepanjang jalan yang sedang kita lalui. Kita memunguti semua yang di kanan dan kiri. Berharap jalan itu akan selalu bersih dan rapi. Padahal angin tak berhenti untuk meniupkan duri-duri yang lain, sehingga akan terus berjatuhan dari tanaman dan memenuhi jalan yang kita lewati. Kesibukan menghilangkan hal-hal yang selalu ada ini membuat kita lupa bahwa kita punya tempat yang ingin dituju. Kita harus berlari kesana.

Menggapai kemenangan dengan menempatkan musuh Islam sebagai lawan. Bukan saudara kita yang justru menjadi bahan pembicaraan. Perdebatan. Tak hentinya menebarkan kebencian. Yang kita fikirkan adalah bagaiman agar musuh Allah ini tidak lagi menyebarluaskan pemikiran jahiliyah mereka. Menguak konspirasi mereka yang ingin menjatuhkan kaum muslim dalam kenistaan. Jangan sampai mereka bertepuk tangan kegirangan melihat agenda mereka berjalan lancar. Mengadu domba antar umat islam, sehingga kebangkitan itu akan semakin lama digenggam.

Ingatlah, siapapun mereka jika dua kalimat syahadat susah terlisankan. Telah terhujam dalam hati mereka, maka tidak bisa tidak bahwa mereka adalah saudara kita dalam agama. Allah berfirman : "Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)adalah saudara-saudara kalian seagama".

Kita tidak boleh sedikitpun menjadikan mereka lawan dalam perjuangan. Tugas kita menjelaskan dan mendoakan. Bahkan Allah juga telah memperingatkan bahwa kita harus berlemah lembut kepada mukmin dan keras kepada kepada musuh Allah.

Perbedaan pergerakan itu hal yang pasti terjadi. Tak mungkin dihalangi. Dan mustahil kita hindari. Namun kita tak boleh berhenti untuk terus menjelaskan tujuan murni ini. Kita luruskan apa yang kita ingin gapai bersama.

Wallahu a'lam bish Showab

Kawan atau Lawan?

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”(QS. az-Zukhruf : 67)

Sebagai manusia pada umumnya, kita tentu tak kan lepas dari yang namanya kawan atau sahabat. Bisa kita lihat dari masa kecil kita. Kawan yang kita cintai adalah sahabat yang selalu memiliki satu keinginan dengan kita. Selalu membela kita. Berada di pihak kita dikala sedang terjadi perselisihan di kelas. Dia yang mau menemani kita saat sekedar ingin ke kamar mandi. Saking dekatnya, ia bagai saudara kandung kita. Tak mau makan sebelum berbagi, tak mau memilih tempat duduk kecuali di sampingnya. Bahkan tidak mau pakai baju muslim kecuali warnanya sama dengan dia. Tak jarang pula, menginap di rumahnya. Saat dia tidak mau diajak berenang, kita pun juga tak mau. Ketika kita menangis, dia juga ikut nangis. Itulah pertemanan masa kecil. Yang didasari rasa cinta dan saling percaya.

Saat sudah beranjak dewasa. Kita pun semakin pandai memilih kawan. Pun semakin tau siapa itu lawan. Dia yang nampak lebih indah rupanya, lebih tinggi ilmunya, lebih terhormat kedudukannya, atau lebih dipercaya omongannya. Itulah orang yang sedikit-sedikit kita dekati. Kita kenali. Sehingga menjadi sahabat karib. 

Saat perpisahan menghentikan semua persahabatan. Tiada lagi waktu dan canda bersama. Tak ada lagi masa saat menghabiskan malam di bawah bintang dan rembulan. Dan ketika semua masuk pada dunia yang berbeda-beda. Pada kesibukan yang semakin membuat lupa. Pada aktivitas yang tak lagi mampu menyapanya. 

Hingga pada suatu hari ia datang untuk yang terakhir kalinya. Pertemuan untuk mengucapkan selamat jalan. Tetesan kesedihan dibalut penyesalan pun berjalan beriringan dengan tubuh kita yang sudah tak lagi bernyawa. 

Itulah persahabatan karena dunia. Ia akan dipertemukan hanya karena kepentingan dunia. Ia dipisahkan karena masing-masing sedang sibuk mengejar dunia. Dan ia tak akan lagi dipertemukan di dalam kehidupan yang sebenarnya. Liang lahat menjadi saksi bisu atas pertemanan dua insan. Pun saat dia kembali kepada kesibukannya, nama kita tak kan lagi terucap dalam do'anya. Sedih dan penyesalan itu telah hilang ditelan kesenangan yang satu per satu datang.

Namun akan jauh berbeda jika persahabatan karena dilandasi keimanan. Rasa cinta kepada Rabb. Perasaan takut kepada Dzat pemilik adzab. Yang dipertemukan dan dipisahkan karena Allah. Ia sosok yang mengingatkan pada kebaikan. Menasehati akan dekatnya kematian. Memberi teladan dengan segala amalan sholih. Mengajarkan kesederhanaan dalam urusan dunia. Dan tak pernah perhitungan untuk menumpuk ganjaran. Tak ragu untuk memberi. Menangis bersama saat suatu ayat diperdengarkan. Tertunduk dalam saat teguran menyapa. Senantiasa mengajak berlomba untuk menuju ampunan atas segala dosa.

"Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-geriknya teringat mati. Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap temannya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap tetangganya.” (HR. Hakim)

Cukuplah ayat dan hadits diatas yang sepatutnya mengingatkan kita akan pentingnya berkawan dengan sosok yang baik.

Imam Syafii pernah berkata :

“Jika engkau punya teman – yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan

kepada Allah- maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskannya. Karena mencari teman -‘baik’ itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali”

Wallahu a'lam bish Showab

Cinta Yang Utuh

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)

Al Quran adalah satu-satunya pedoman bagi kita. Ia yang kelak bisa membela kita di hari ketika tak ada penolong kecuali amal Shalih. Ia menjadi hujjah untuk kita saat lisan tak lagi dapat berkata. Ia menjadi penerang bagi siapa yang selalu bersamanya di dunia lantaran cinta. Ia menjadi saksi di saat tubuh sudah tak sadarkan diri.

Namun, tidaklah mudah untuk menjadikan kitab ini sebagi penolong kita, sebagai hujjah untuk kita di hadapan Rabb ilahi, menjadi saksi atas kepayahan selama membersamai. Ia punya hak yang besar atas kita. Kita punya kewajiban yang tak hanya satu atasnya.

Mengamalkan dan mengajarkan. Tentu itulah kewajiban yang utama yang harus kita lakukan atas kitab suci ini. Mengapa harus mengamalkan? Karena Allah telah menciptakan makhluq-Nya pasti dengan seperangkat aturan yang sempurna. Yang itu sudah tetap dan kekal berada di dalam Al quran. Tak akan berubah hingga akhir zaman. Maka, tugas kira yang tak lain hanya beribadah kepadanya tentu harus berdasarkan Al Quran, harus sesuai peta petunjuk agar tak salah arah dan agar tak sia- sia segala usaha.

Dan tentu kita tak akan dapat mengamalkan kecuali telah mempelajari dan memahami. Dan dalam memahami pun butuh proses yang tak mudah. Kita harus membaca, mentadabburi, juga tak salah jika kita lengkapi dengan menghafalkan ayat-ayat Nya yang begitu indah.

Tentu, setelah kita memahami isinya, maka mengamalkan adalah kewajiban yang tak bisa ditinggalkan. Pelaksanan segala yang ada di dalamnya adalah bukti cinta kita. Cinta kepada Allah dan apa yang Ia turunkan. Dan inilah jalan agar kita pun memperoleh cinta-Nya.

Jika kita petakan, tentu banyak diantara kita yang belum membuktikan cinta itu seutuhnya. Cinta kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban kita terhadap Kalam-Nya yang mulia.

Pertama, membaca dengan baik dan benar. Baik dan benar ini yaitu dengan membaca sesuai dengan kaidah sebagaimana yang Rasulullah ajarkan. Dalam hal ini kita bisa belajar kepada banyak ustadz, ulama, atau kyai yang sudah mendapatkan pengajaran terkait bagaimana membaca Al Quran sesuai tajwid, dan makhkrijul huruf.

"Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya  , mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi".(Qs Al Baqoroh :121)

Kedua, mentadabburi ayat-ayat Nya. Kabar bahagia, ancaman terhadap siapapun yang durhaka, dan kisah-kisah yang penuh pelajaran dan hikmah tak akan mungkin kita peroleh tanpa mentadabburinya. Membaca ayat-ayat Nya satu per satu, tak lupa dengan memahami artinya, membaca penjelasan dari para mufasiirin. Sebagaimana firman Allah di dalam nya :“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang berakal mendapat pelajaran.” (QS Shaad  : 29)

Ketiga, Mempelajari dan mengajarkan ilmunya. Perintah ini jelas tak dapat terpisahkan antara mempelajari dan mengajarkannya. Tentu tak bisa pula dengan alasan masih dalam proses mempelajari, lalu kita lalai dan meninggalkan perintah dalan mengajarkan kepada orang lain, teman, atau saudara kita. Rasulullah pun memerintahkan kita unutk menyampaikan walau pun saru ayat. Dalam firman-Nya pun Allah menggabungkan dua perintah yang sungguh agung kemuliaannya.

Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian telah mempelajarinya." (Ali Imran: 79)

Keempat, mengamalkan dan berakhlak dengan nya. Setelah mengetahui isi kandungannya, maka memiliki lisan, sikap dan perilaku seperti al quran adalah kewajiban kita yang berikutnya. Sebagaimana Rasulullah yang dikatakan oleh Ummul Mukiminin Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah al quran. Artinya kita harus berhati-hati dan mengerti. Mana perkataan yang boleh dan berfaedah menurut al quran. Mana perbuatan yang halal dan haram, begitu pula yang makruf atau sunnah, atau mubah. Sehingga kita tak terjerumus pada amalan yang salah, yang sudah jelas tak diajarkan atau dilarang di dalam kalam illahi ini.

Sesungguhnya al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (al-Isra: 9)

Kelima, mendakwahkannya. Berdakwah dalam rangka mengajak pada kebaikan, menyeru pada kebenaran dan mencegah dari kemunkaran semua adalah tugas yang wajib kita emban. Dakwah dalam bentuk fardiyyah atau individu, juga dakwah dalam bentuk jamaah. Tentu yang kita dikenakan adalah apa yang telah kita pahami dalam al quran ini. Walau belum banyak, walau baru mampu menyampaikan perintah yang ada di salah satu ayat Al Quran. Namun, jika itu dilakukan karena Allah, maka tiada amalan Shalih yang disia-siakan Nya. Bahkan Allah mengatakan bahwa tak ada perkataan yang lebih baik, dari pada orang yang menyeru kepada Allah. 

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat:33].

Keenam, menghafalkannya. Hafal al quran memanglah bukan fardhu 'ain bagi setiap muslim. Namun, alangkah indahnya lisan kita jika senantiasa dibasahi ayat-ayat Allah setiap harinya. Jauh dari lagu-lagu yang melenakan dan menjauhkan diri dari rasa takut kepada-Nya. Dengan pemahaman yang sudah terbentuk, perbuatan yang sesuai isinya, juga lisan yang terus menyampaikan dan mengajarkan, maka lantunan firman firman Allah inilah yang kelak dapat menjadi penolong kita juga kedua orangtua kita.

Rasulullah Saw. bersabda “Siapa yang membaca Alquran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini? Dijawab “Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Alquran”. (HR. Al Hakim).

Itulah bukti cinta yang utuh. Dengan menjalankan semua kewajiban kita atas Al Quran. Tak hanya membaca dan menghafal. Tak hanya pula mempelajari tanpa mendakwahkan. Juga tak enggan untuk memperbaiki bacaan serta hafalan. Terus berusaha untuk menjadi salah satu keluarga allah yaitu yang menjaga kemurnian Al Quran, yaitu dengan menghafalkannya, sehingga kelak mendapat kedudukan di sisi Nya bersama kedua orangtua yang kita cinta.

Wallahu a'lam bish Showab

Sang Penyambut dan Pejuang Kebenaran

"Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk" (Al kahfi : 18)

Pemuda adalah tombak peradaban dan agen perubahan, yang di tangan merekalah tersemat sejuta harapan. Dalam sebuah surat Allah telah menjelaskan sebuah kisah tentang pemuda beriman yang senantiasa mempertahankan keimanannya, yang mengasingkan diri di dalam gua untuk menjauh dari segala kekufuran.

Dan ayat tentang ashabul kahfi, itu adalah salah satu kisah yang dapat kita ambil pelajaran. Allah telah memberi keistimewaan bagi pemuda. Bagi siapa yang taat kepada-Nya, maka Allah akan senantiasa membimbing dan menunjukkan ke jalan yang benar.

Itulah seharusnya seorang pemuda. Ia yang selalu berdiri di barisan terdepan dalam menerima dan menegakkan kebenaran. Sebagaimana di saat awal dakwah Rasulullah, bahwa yang menyambut beliau adalah banyak dari kalangan pemuda bukan orang tua. Seperti Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib. Bukan kalangan para pembesar Quraisy, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab yang lebih memilih bertahan pada agama nenek moyang mereka. Maka dari sini, sudah semestinya pula bagi para pemuda tidak boleh ragu dalam menerima dan menyambut kebenaran Islam yang sejak lama telah datang. Ia menjadi pemimpin dan teladan dalam menebar kebaikan. 

Bahkan dalam beberapa hadits, Rasulullah pun menyebut kata pemuda tak hanya sekali saja. Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda, bahwa pada hari kiamat kelak ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah di saat tidak ada naungan selain naungan-Nya. Dan dari ketujuh golongan tersebut, dua diantaranya adalah "Pemuda yang hatinya terpaut dengan masjid", dan "Pemuda yang tumbuh diatas ibadah kepada Allah". Sungguh beruntunglah kaum pemuda yang bisa tergolong pada salah satunya, atau bahkan keduanya. Maka sudahkah kita termasuk pemuda yang senantiasa rindu dengan rumah-rumah Allah? Saat adzan berkumandang semua pekerjaan ditinggalkan? Menghabiskan banyak waktu kita di masjid, untuk membaca, memahami, dan menghafalkan ayat-ayat-Nya. Atau mengadakan majelis ilmu yang senantiasa dikelilingi oleh para Malaikat. 

Ada pula sebuah hadits yang seharusnya mampu menampar dan mengingatkan kita, ketika masa muda ini hanya dihabiskan dengan amalan sia-sia. Rasulullah bersabda : "Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya". 

 Jadi cukuplah jelas, bahwa masa muda ini adalah masa penentu. Tak hanya penentu masa depan dunia, tapi juga masa depan akhirat kita. Maka, dakwah inilah yang sebenarnya akan menjadikan masa muda ini berarti dan berharga. 

Maka, jangan sampai kita merasa bangga dengan waktu luang yang hanya kita habiskan untuk bersenang-senang. Tak mau berkarya untuk mengumpulkan investasi pahala. Tak mau berlelah-lelah dalam berjuang dan dakwah. Menjadi pemuda pemegang bara api, walau panas dan mustahil tetaplah berpengang teguh pada syariat-nya.

Allah memang telah memilihnu di jalan ini, karena Ia tau kau mampu. Maka, kalau bukan untuk ibadah dan dakwah untuk apa kita hidup?

Wallahu alam bish Showab

Kamis, 19 Oktober 2017

Hanya Jalan Bukan Tujuan

"Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik." (Qs. Al Isra' : 19)

Setiap manusia telah Allah berikan jatah waktu yang sama dalam satu hari, yaitu 24 jam. Namun, dengan waktu itu manusia akan menjadi tiga golongan yang sangatlah berbeda. Mereka yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Mereka yang rugi adalah yang hari ini amalnya sama dengan kemarin. Dan mereka yang celaka adalah orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin.

Lalu amalan apa yang dapat membuat kita masuk dalam golongan orang yang beruntung? 

Dua puluh empat jam akan terasa sangat panjang bagi ia yang banyak berangan-angan namun tidak melakukan tindakan. Tidak berani mengambil keputusan. Tidak siap dengan segala rintangan. Namun 24 jam itu akan tak terasa berlalu begitu cepat jika kita sibuk beramal dan melakukan kebaikan serta perbaikan. 

24 jam itu sangatlah berarti bagi orang yang sedang berjuang keras dalam mengejar dunianya. Ia bahkan rela tak memejamkan mata di saat orang istirahat. Di siang harinya ia bagai singa yang terus bergerak mengerjakan segala urusan yang tak berujung. Mengejar mangsa yang dinamakan uang. 

Time is money. Itulah arti waktu bagi pengejar dunia. Dan tanpa kita sadari, banyak diantara kita yang terlena dengan tugas kita yang sesungguhnya. Allah berfirman : "Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak mem­peroleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" (Qs. Hud : 15-16)

Siapapun yang berharap dunia dan menggunakan seluruh kehidupan ini untuk dunia nya, maka sejatinya ia sedang berlari meninggalkannya. Karena dunia ini tak lain hanya sesaat. Saat kita sibuk berlari mendapatkannya, sesungguhnya ia semakin jauh di belakang. Ia akan kita lupakan. Karena ketika ajal tiba ia pasti jatuh ke tangan orang. 

Namun tidak dengan amalan sholih. Ketika jasad kita telah dikuburkan, harta dan keluarga tetap di sini, namun hanya amalan itu yang akan menemani hingga hari pembalasan nanti. Karena memang jika akhirat itu semakin di kejar ia akan semakin mendekat pada kita. Semakin keras usaha kita, kenikmatan itu akan semakin mudah tergenggam.

Jika para pengejar dunia menghidupkan siang malam hanya untuk urusan makanan, kekayaan, kemewahan dan uang, maka usaha kita harus beriringan dengan sujud yang panjang dan memohon ampunan.

Jika kita benar benar bersungguh sungguh dalam meraih negeri akhirat, maka kesungguhan itu akan berbalas. Seperti Rasulullah saw yang ketika siang bagaikan singa Allah dalam menjalankan amanah dalam menyebarkan risalah islam. Dan di malam hari bagaikan rahib yang tak pernah terhenti air matanya karena takut kepada Rabb Semesta. 

Dunia adalah tempat berjalan menuju kampung halaman. Allah pun mengatakan dalan surah al Ahzab agar kita tidak melupakan bagian atau hak kita di dunia. Tapi bukan itu tujuan utama.

Tetaplah dalam rangka menggapai ridho-Nya, dalam bertindak kita harus selalu merujuk pada segala hukum dan ketetapan-Nya. Mengejar dunia secukupnya. Karena ia menjadi jalan untuk menggapai keridhoan, bukan menjadi tujuan dari kehidupan.

Imam Syafii berkata: "Barangsiapa ingin selamat dari dunia, maka hendaknya melakukan empat hal : mengurangi bicara, mengurangi makan, mengurangi tidur dan merasa cukup dengan rezeki yanga ada"

Wallahua'lam Bish Showab

Menggenggam Bara Api

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

Rasulullah bersabda : “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi)

Menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya di zaman seperti ini memang tidak segampang ketika islam masih memimpin, mengatur, dan senantiasa mengontrol seperti di zaman Rasulullah dan para sahabat.

Merasa takut kepada Allah adalah perkara sangat penting yang harus dimiliki setiap individu muslim. Dengan rasa takut inilah kita akan senantiasa merasa diawasi, dan akan terus berusaha memperbaiki diri. Menyempurnakan segala kewajiban sesulit apa pun. Walau dianggap aneh oleh banyak orang. Bahkan sering dianggap berlebihan. Atau juga dibilang terlalu ekstrim. Begitu juga saat meninggalkan apapun yang telah Allah dan Rasul-Nya larang, dan itu masih menjadi adat atau kebiasaan banyak orang. Saat kita berusaha meninggalkannya pasti dianggap tidak wajar, tidak mungkin, sok suci, dan lain sebagainya.

Itulah orang-orang yang selalu berpegang teguh pada islam. Seperti yang Rasulullah katakan dalam haditsnya. Bagai memegang bara api. Ajaran islam bagaikan bara api yang panas. Membuat sakit dan terluka bagi siapa saja yag berani memegang. Tak hanya luka atau perih, namun pasti dianggap orang lain seperti orang tak waras. Tak wajar. Nekad. Aneh-aneh saja.

Saat banyak pelajar yang memiliki jalan curang dengan menyontek jawaban saat ujian, ia akan berusaha dan hanya pasrah kepada Allah. Dengan segenap usaha dan kemampuan yang dimiliki, ia tak akan mau melakukan cara salah demi mendapat hasil yang memuaskan. Dia tau jika Allah pasti melihat. Bahkan lebih dekat dari urat lehernya.

Ketika semua orang menggunakan jasa bank saat melakukan berbagi transaksi yang membutuhkan pinjam meminjam uang, ia harus menahan dan berjuang mencari jalan keluar. Demi menjauhi riba. Beli motor, rumah, mobil, biaya pendidikan, dan sebagainya. Tidak mungkin. Mungkin itu yang ada di fikiran kebanyakan orang sekarang. Mana mungkin bisa dapat uang pinjaman berjuta atau berpuluh-puluh juta jika tidak dari bank. Impossible. Sedangkan dosa riba yang paling kecil saja seperti menzinahi ibu sendiri.

Saat para wanita semakin berlomba-lomba memamerkan aurat mereka. Demi kedudukan. Demi karir. Demi jodoh, yang katanya sulit didapat jika terlalu menutup diri. Tapi kita sebaliknya. Menutup diri serapat- rapatnya. Selalu menundukkan pandangan kepada siapapun yang bukan mahram. Tidak mudah diajak untuk bergaul dan berkumpul yang disana campur baur. Apalagi diajak berdua-duaan. Tak akan pernah tertarik sedikitpun. Kuno. Tak laku. Ketinggalan zaman. Semua gelar yang nampak buruk itu terus disematkan. Padahal larangan mendekati zina pun sudah jelas Allah katakan dalam Al Quran.

Ketika banyak orang memilih jalan cepat dalam mendapatkan kartu resmi identitas negara atau surat izin mengemudi. Di samping sistem dan peraturannya memang sulit dan rumit, namun jika bukan karena takut dan taqwa kepada-Nya, maka banyak yang katanya Muslim tapi masih berani menyuap pihak aparat. Demi bisa mendapat apa yang dibutuhkan dengan cepat. Padahal Rasulullah sudah memperingatkan dalam sebuah haditsnya : "Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan)" (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi). Jadi tak hanya yang menerima uang suap. Tapi yang menyuap dan juga yang menjadi perantara pun juga Allah laknat. Tidak mungkin lolos. Ribet. Buang-buang waktu. Pasti kebanyakan beranggapan seperti itu. 

Itulah bara api. Yang panas dan sakit jika dipegang. Sakit di tangan karena luka dan terbakar. Juga sakit hati karena selalu dianggap aneh dan terlalu memaksakan diri. Namun bukanlah Rasulullah telah bersabda?  "Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”

Pun saat orang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Namun kita berusaha keras untuk memikirkan masa depan umat islam. Terus melakukan perbaikan di tengah kerusakan.
Menyampaikan kebenaran walau harus dikucilkan. Menyampaikan walau hanya mampu saat ayat. Memberi peringatan walau sangat pahit dan sulit. Terkait hal ini dalam sebuah riwayat, Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya “wahai rasulullah siapa yang asing itu (al-Ghuraba)?” Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Yaitu orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Tak hanya keberuntungan sebagaimana yang telah dijanjikan Rasulullah. Allah pun juga sudah menjamin dalam berbagi firman-Nya. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar. Dan Allah akan memberi rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada-Nya, maka Allah akan mencukupkan segala urusan kita.

Jadi tetaplah bertahan dalam perjuangan menggenggam bara api yang kecil ini. Karena api neraka tak akan pernah terbayang. Dan tak sedikitpun berbanding dengan apa yang ada di dunia ini.

Wallahu a'lam bis Showab

Rabu, 18 Oktober 2017

Sucikan Jalan Menuju Surga

"Kapakahatakanlah sama orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui?" (Az Zumar :6)

Menjadi hal yang wajar jika dalam langkah mulia menuntut ilmu agama kita merasa putus asa. Ingin segera mengakhiri, merasa tertekan, dan enggan untuk bekerja keras. Menahan kantuk di tengah malam, berpeluh lelah di siang hari.

Banyak orang yang memilih untuk mensudahi keletihan itu. Tugas yang menggunung tidak ada habis dan ujungnya.

Biasanya kita berfikir untuk menyerah karena takut menghadapi ujian, tak tahan dengan berbagai tugas, mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran, merasa tidak bisa seperti kawan yang lainnya, atau bahkan khawatir dan trauma dengan nilai yang buruk.

Muncullah berbagai bisikkan setan yang membuat kita merasa lemah dan lupa akan hakikat menuntut ilmu. Tidakkah kita ingat bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim?

Rasulullah saw bersabda : "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim". Jadi tak ada alasan lain yang melandasi kita untuk terus menggali ilmu selain untuk menjalankan kewajiban. Jika manusia Allah ciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, maka menggali ilmu adalah salah satu bentuk ibadah kita kepada-Nya. Tak lain untuk menggapai ridha-Nya. Namun, bagaimana jika niat kita menuntut ilmu hanya sekedar mencari kedudukan di antara manusia? Atau sekedar hebat-hebatan untuk mengejar nilai tertinggi?

Bukankah amal itu tergantung pada niatnya. Jika niat kita saja sudah salah, maka yang seharusnya mengejar ilmu itu bisa bernilai pahala di sisi-Nya, tapi jika landasan kita karena hanya hal lain, maka tak ada yang didapat selain kepuasan intelektualitas. 

Imam Ghazali pernah memberi nasehat : "Jika seseorang menuntut ilmu dengan maksud hanya untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri dan telah menjual akhirat dengan dunia"

Wallahu a'lam bish Showab.

Mengapa Futur?

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).

Sebagai seorang pemburu ilmu, seringkali kita mengalami futur. Tiba-tiba bosan dengan rutinitas yang kita lakukan. Semangat untuk menjalankan semua aktivitas sudah tak ada lagi.

Ketika berbagai harapan yang baru saja diinginkan sudah tak teringat lagi. Berbagai impian yang sudah tertulis rapi dalam buku agenda pun tak lagi berbekas dalam diri.

Nikmat Allah yang tak kan terhitung jumlahnya itu seakan tak pernah ada. Ketika kita merasa orang yang disekitar kita lebih bahagia hidupnya.

Itulah manusia. Allah telah menyebutkan dalam salah satu firman-Nya : "Innal Insana khuliqa halu'a, Idzā massahu syaru jazu'a, wa Idzā massahul khairu manu'a". (Qs. Al Ma'arij : 19-21)

Maka tak ada cara lain untuk mengembalikan semangat itu selain satu kata bersyukur. Dengannya kita kan mengganggap diri kita adalah orang yang paling beruntung. Dan dengan bersyukur pula Allah akan menambah nikmat kepada hamba-Nya.

Pertama, coba kita berhenti sejenak dari semua berbagai aktivitas yang tak lelah mengejar kita. Coba kita luangkan waktu untuk merenung. Kita putar kembali ingatan kita. Kehidupan kita sebelum berada di tempat ini. Teman-teman yang berbeda dari kawan saat ini. Atau jalan yang sangat terjal pun telah berhasil kita lalui. Pun saat kita coba pikirkan doa dan berbagai harapan yang dulu kita bisikkan dalam setiap sujud dan tangisan. Saat ini semua itu telah berada di depan mata, bersama hembusan nafas kita.

Bahkan dikatakan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

Berfikir sesaat lebih baik dari pada qiyamullail.

Kedua, berkawanlah dengan orang yang kurang beruntung dari kita. Teman yang lebih sulit kondisi hidupnya, lebih suram keadaan keluarganya, atau bahkan mereka yang sangat sibuk dengan berbagi amanah mulia hingga ia tak ada lagi waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Atau mereka yang tak memiliki kondisi tubuh yang sempurna, atau hidupnya tak bisa merasakan manisnya menuntut ilmu. Kita bandingkan apapun yang sudah kita miliki dengan mereka yang tak bisa merasakan.

Ketiga, memohon kepada Allah agar Dia membimbing kita untuk kembali mengingat berbagai karunia-Nya. Seperti doa nabi sulaiman dalam surah An Naml : "Ya Allah anugerahkanlah kepadaku untuk mensyukuri nikmat yang telah engkau berikan kepada-Ku dan kepada kedua orangtuaku, dan dgn rahmat-Mu masukkanlah aku ke dalam golongan orang Shalih".

Saat kita tak tau lagi bagaimana cara untuk mensyukuri nikmat-Nya, maka hanya dengan pertolongan Allah kita bisa segera tersadarkan. Sungguh Dia adalah Dzat yang Maha Lembut dan Dekat.

Wallahu a'lam bish Showab

Yang Hilang dan Yang Abadi

"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (Qs. Muhammad : 7)

Di dalam melakukan semua kewajiban pasti ada yang namanya lelah dan letih. Istirahat yang berkurang. Kondisi fisik yang kian tak terawat. Makanan yang masuk pun sekedarnya. Seadanya. Tak berfikir ingin beli ini dan itu. Pakaian pun tak lagi ingin ditambah. Itu salah satu bukti saat waktu kita telah habis untuk memikirkan dan melakukan banyak hal.

Pada suatu titik, pasti kita mengalami waktu kejenuhan. Ingin mengakhiri lelah ini. Jika sudah tak ada harapan lagi di dunia, mungkin banyak yang berharap dapat segera bertemu Rabbnya. Ingin segera mengistirahatkan tubuh di pangkuan-Nya.

Lantas, sudah merasa pantaskah diri kita? Seberapa banyak amal yang yakin telah diterima-Nya?

Jadikan lelah itu lillah. Jika kehidupan ini memang lebih baik untuk kita, maka jangan sampai kita terlena. Teruslah berlelah-lelah dalam menggapai kemuliaan dengan ilmu. Mengejar pemahaman dan pengetahuan islam demi menyempurnakan apa yang belum sempurna. Terus berlari dalam menggapai ridho illahi. Jangan pernah kita merasa takut untuk melewati dan menjalani hari esok. Karena kita tidak pernah akan mampu mengira bahwa nafas masih ada saat mata kembali terbuka.

Tak apa lelah. Jika semua itu dijadikan lillah. Benar-benar tulus dalam hati dan mengalir bersama darah, insya Allah akan menjadi berkah. Lelah dalam kebaikan itu pasti akan hilang. Tak lama. Namun pahala yang dihasilkan insya Allah akan abadi disisi Nya. Tapi, jika lelah itu karena melakukan amal yang sia-sia, atau bahkan durhaka kepada-Nya demi mendapat nikmat sementara. Mengejar keberuntungan di dunia. Maka ingatlah bahwa nikmat itu cuma sesaat, namun dosa yang tercatat akan terus ada.

Ketika kebutuhan pribadi banyak yang tertunda. Saat urusan pribadi banyak yang terbengkalai. Ketika keinginan-keinginan pun selalu tertumpuk rapat oleh kesibukan. Menjadi terlupakan. Saat tugas-tugas pribadi menjadi harus begadangan. Semua itu karena waktu kita yang selalu diutamakan untuk mereka. Untuk melanjutkan perjuangan Rasulullah. Tetap tenanglah. Tawakkal itu kekuatan yang tiada tanding.

Serahkan semua kepada Dia. Daya dan kekuatan serta keterbatasan kita memang tak kan mampu untuk melakukan. Tapi keyakinan akan kekuatan yang tak nampak itu yang bisa menjadi penolong. Yang tak pernah ingkar. Tak pernah meleset dari segala kebaikan. Jika kita menolong agama-Nya, maka pasti Dia akan menolong kita dan mengokohkan serta meneguhkan kaki kita di atas bumi Allah ini.

Beramallah untuk dunia seakan kita hidup selamanya. Namun, teruslah beramal untuk akhirat seakan hari ini adalah hari terakhir kehidupan kita. Begitu pesan Baginda Rasulullah Shalallahu 'alai wa sallam..

Wallahu a'lam bish Showab

Selasa, 17 Oktober 2017

Bukan Untuk Tenar atau Didengar

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik" (Qs. An Nahl : 125)

Ketika dakwah begitu hampa, dan tantangan tak ada ujungnya. Atau tiba-tiba terasa membosankan, pernahkah kita berfikir untuk apa aku berdakwah? Menyampaikan ini dan itu? Dan untuk apa peduli dengan orang lain di sekitarku?

Inilah saatnya kita kembali merenung. Memuhasabahi diri dengan segala hal yang sudah terjadi dan dialami. Perlu diingat kembali, bahwa langkah kita ini adalah salah satu bentuk ketaatan dalam menjalankan salah satu kewajiban. Dalam banyak ayat telah dijelaskan bahwa umat islam adalah umat yang terbaik, yang Allah ciptakan untuk menyeru manusia. Mengajak dalam kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.

Selain menjalankan kewajiban, jalan dakwah adalah jalan sebuah pembuktian cinta. Karena cinta itu perlu aksi nyata. Tak hanya dalam hati atau terucap di lisan saja. Ia menuntut sebuah amalan serta perbuatan yang bisa mengartikan. Bukankah di akhirat kita kan bersama orang yang kita cinta?

Allah berfirman dalam surah Al- Ahzab ayat 21, bahwa "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah".

Maka tak ada cara lain untuk membuktikan cinta kita kepada Allah, serta Rasul-Nya, serta mengharap ridho selain menjadikan rasul sebagai teladan bagi setiap sendi kehidupan kita.

Dan menyampaikan kebenaran walau pahit, walau sulit dan terkadang rumit, namun itulah jejak yang dahulu Rasulullah ukir bersama para sahabat. Tak hanya cacian, pengucilan, dan  kebencian saja yang bermunculan. Darah pun mengiringi dan terus bercucuran. Harta pun habis tak bersisa. Nyawa pun akan menjadi taruhan. Ketakutan dan kekhawatiran selalu menjadi pelengkap.

Namun itulah cinta. Karena dakwah itu bukan sekedar untuk kebahagiaan jika dikerjakan, bukan pula masalah diterima atau tidak, juga tidak dilihat dari seberapa banyak atau sedikit yang menerima, apalagi berharap ketenaran karena kepawaian dalam berbicara.

Nabi Nuh pun berdakwah selama beratus-ratus tanpa henti. Siang malam tanpa bosan. Namun berapa pengikutnya? Hanya puluhan saja. Jalan ini sangatlah mulia. Bukan untuk sekedar mencari jumlah dan banyak-banyakan. Karena pahala yang mengalir itu karena keikhlasan dan kesungguhan kita untuk terus mengatakan yang haq.

Keterpaksaan dalam menjalankan pasti sering terasa sangat berat. Namun saat kita yakin jika Allah pasti memberi kemudahan, maka keterpaksaan itu menjadi kebutuhan. Yang tak bisa ditinggalkan. Merasa janggal jika belum dilaksanakan.

Inilah pilihan berat, namun imbalannya jauh lebih indah. Inilah jalan mulia. Kita ambil jalan ini karena ketaatan kita kepada Allah, bukti cinta kepada Sang Rasul yang sangat dirindukan. Agar kita tahu bagaimana kelelahan Rasul dalam menyampaikan kebenaran ini. Hingga Dia yang menghentikan, maka jangan pernah berusaha untuk berhenti.

Wallahua'lam bish Showab

Rancangan Terindah

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu Tidak mengetahui.”
(QS. Al Baqarah 216)

Kita sebagai manusia pasti memilki berbagai cita-cita dan rencana untuk meraihnya. Dalam meniti kebahagiaan di masa depan, kita pasti akan berjuang keras sejak masa muda, bahkan dari usia belia. Orangtua kita pun tak akan rela jika kelak hidup kita lebih sulit dari masa hidup keduanya. Mereka senantiasa ingin memberikan jalan yang lebih indah untuk kita, para buah hatinya.

Berbagi usaha telah dilakukan tanpa henti. Lantunan doa dalam setiap sujud pun senantiasa mengiringi. Deraian air mata pun juga menambah bukti kekhusyukkan dalam menggapai harapan dari Sang Maha Kuasa.

Namun, seiring bertambahnya usia. Seiring berjalannya berbagi peristiwa. Dan seiring berputarnya waktu, tentu banyak kejadian baru yang kita alami. Kejadian yang tak pernah dibayangkan apalagi diharapkan. Peristiwa yang tak sesuai dengan rancangan hidup.

Seperti saat memilih sekolah atau lembaga yang disana kita bisa menggali ilmu demi bekal masa depan. Terkadang semua persiapan kita untuk meraih impian sudah tertata begitu rapi.

Keinginan kita untuk berlari di jalan yang sudah diinginkan menjadi tabu. Semua hanya kenangan. Dan harapan menjadi pupus. Terkubur bersama air mata.

Tapi ingatlah, bahwa kita ini adalah hamba. Hati dan nyawa ini ada yang memiliki. Rancangan kehidupan yang kita tulis rapi pun hanya goresan hati. Tapi disana, disisi-Nya sudah ada jalan hidup yang telah tertulis dengan lebih terperinci. Dan ia tak akan dapat diganti oleh tangan-tangan hamba yang dimiliki.

Ingatlah bahwa apa yang Allah putuskan itu yang terbaik, walau nampak buruk bagi kita. Tiada kejadian dan ketentuan yang kebetulan. Semua sudah terancang di kitab penggenggam kehidupan. Yang perlu kita lakukan adalah terus bertawakkal diawal, ditengah dan diakhir dari setiap harapan dan impian yang akan atau sedang dikejar. Kedua, usaha yang keras dan sungguh-sungguh. Tak pernah putus harapan, karena Allah pun telah melarang. Terakhir, doa pun harus selalu terpanjatkan. Ia adalah kekuatan dahsyat yang hanya dimiliki orang-orang yang beriman dan yakin. Allah sudah berjanji apabila seorang hamba meminta, sesungguhnya Allah itu dekat. Ia akan mengabulkan apa yang tak henti diutarakan dalam hati dan lisan. Bahwa doa itu seperti mengayuh sepeda. Semakin kencang dan tak pernah berhenti, maka suatu saat pasti akan sampai.

Wallahualam bis Showab