Pages

Selasa, 23 April 2024

‘Ishmatuddin Hatun, Pendamping Pembebasan Baitul Maqdis

 

            Sebagaimana hari ini Baitul Maqdis masih terjajah oleh zionis selama lebih dari satu abad lamanya, seperti itulah yang terjadi di masa Ishmatuddin Hatun, dimana Baitul Maqdis diduduki oleh pasukan salib selama lebih dari 100 tahun. Sebagaimana hari ini, kaum muslimin terus berusaha memantaskan diri dan berjuang untuk mendapatkan pertolongan-Nya, maka seperti itulah yang terjadi di masanya. Sebagaimana hari ini ketika umat Islam sulit tuk mengalahkan tantara zionis la’natullah lantaran persatuan umat yang telah tiada, maka di masa itu pula persatuan umat yang telah melemah membuat pendudukan semakin kokoh dan lama.

            Di masa Kekhilafahan Abasiyah kondisi kaum muslimin tidaklah sekuat pada masa sebelumnya, lantaran persatuan tidak lagi kokoh. Oleh karena itu ketika pasukan salib menduduki wilayah- wilayah kaum muslimin termasuk Palestina, maka untuk merebutnya kembali membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari satu abad. Meskipun persatuannya melemah, namun seluruh penguasa di negeri kaum muslimin tetap mengakui dan tunduk di bawah kekhilafahan yang satu yang berpusat di Baghdad, Iraq. Dengan begitu, merebut kembali Baitul Maqdis membutuhkan lebih dari satu abad, yaitu sejak tahun 1099 M- 1187 M di masa Shalahuddin Al-Ayyubi. Artinya untuk bisa meraih cita- cita besar itu terdapat 3- 4 generasi yang terlewati, yang terus berjuang tuk mewujudkan pembebasannya.

Imaddudin Zanky merupakan penguasa Halb (Aleppo), yang pada saat itu termasuk penguasa pertama yang memiliki kesadaran untuk merebut kembali Baitul Maqdis. Kesadaran tersebut juga disadari oleh para ulama di masanya, yang dimulai dengan adanya kesadaran ruhani, diantaranya adalah Imam Ghazali yang kemudian menuliskan kitab Ihya ‘Ulumuddin. Kemudian kesadaran tersebut berlanjut dengan adanya kesadaran tsaqofi, diantaranya pula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang kemudian mendirikan madrasah- madrasah yang dikenal dengan madrasah Jailaniyah, yang dari sanalah disiapkan generasi- generasi penakluk yang siap untuk menjadi penakluk.

Kemudian kesadaran tersebut menjadi kesadaran siyasi (politik), dimana diinisiasi oleh kesultanan Zankiyah yang dipimpin oleh Imaduddin Zanky. Kesadaran siyasi ini menjadikannya bergerak untuk mempersatukan wilayah- wilayah kaum muslimin, mulai dari Tripoli, Homs, Allepo, Damaskus juga lainnya. Baginya penaklukkan Baitul Maqdis tak mungkin tercapai tanpa adanya persatuan umat Islam.  Selain terus melawan pasukan salib yang juga berusaha mengambil wilayah kaum muslimin lainnya, ia pun juga berusaha menyatukan Damaskus agar menjadi wilayah kesatuan yang kala itu dipimpin oleh Mu’inuddin Unur. Setelah berhasil menyatukannya, maka Imaduddin Zanky menikahkan putranya yaitu Nuruddin Mahmud dengan putri dari Muinuddin Unur yaitu ‘Ishmatuddin Hatun, sehingga Nuruddin pun menjadi penguasa di Damaskus menggantikan mertuanya.

Dari sinilah perjuangan ‘Ishmatuddin Hatun dimulai. Ia seorang perempuan yang shalihah, faqihah, ‘alimah dan cerdas. Di Damaskus, Ishmatuddin mendirikan madrasah- madrasah yang dikenal dengan madrasah Hatuniyah, dalam rangka menyiapkan generasi penakluk dimana ia dan Nuruddin mengangkat Imam Ibnu ‘Asakir sebagai pemimpin madrasah tersebut. Beliau sosok ulama besar di masa itu yang sangat dikagumi oleh Ishmatuddin dan Nuruddin Mahmud. Seorang ulama yang mengarang kitab Maghazi yang menjelaskan bagaimana peperangan Rasul, cara menuntun hewan tunggangan, memperlalakukan pasukan, menggunakan pedang, kepahlawanan Rasul dan lain- lain. Dan dari salah satu kitab inilah Nuruddin juga para murid- muridnya belajar bagaimana penakukkan yang diajarkan oleh Rasulullah.

Selama Nuruddin menjadi pemimpin kaum muslimin dalam melawan pasukan salib, maka ‘Ishmatuddin senantiasa mendampinginya, menyemangatinya, bahkan sering memberi perhatian kepada para panglima dan pasukan yang berprestasi dengan memberi mereka hadiah. Ia juga membakar semangat suaminya agar terus memberikan kepercayaan kepada orang- orang hebat yang ada di sisinya,

Suatu ketika Kesultanan Fathimiyah di Mesir meminta bantuan kepada Nuruddin karena wilayahnya diancam oleh pasukan Raja Amalik dari Jerusalem yang ingin menguasainya. Karena, bagi raja tersebut, untuk menguasai Levan (Lebanon, Suriah, Pelastina, dan Yordaniah), maka Mesir harus digenggam, karena ia merupakan wilayah yang menjadi lumbung pangan dan logistic, juga tempat strategis yang jika dikuasai maka akan mudah mengendalikan perdagangan dunia. Sehingga Nuruddin pun mengutus Shalahuddin Al Ayyubi dan pamannya Asaduddin Syirkuh dengan memimpin 30 ribu pasukan. Dikarenakan banyak juga pasukan yang dikirim ke wilayah lain untuk mempertahankan wilayah dari pasukan salib, maka di Damaskus tersisa hanya 3 ribu pasukan saja,

Peperanagan antara kaum muslimin dengan pasukan salib pun pecah di Mesir tepatnya di kota Dimyat. Pada waktu yang sama, pasukan salib dari Jerusalem juga melihat kesempatan di Damaskus, dimana jumlah pasukan yang tersisa disana hanya sedikit. Maka Nuruddin Mahmud pun bertekad untuk menghadapi musuh dan memimpin pasukkannya langsung, namun para ulama menasehatinya agar menyerah saja, karena ia adalah sandaran kaum muslimin saat itu sedangkan pasukan kaum muslimin yang tersisa tidaklah banyak. Namun dengan keyakinan Nuruddin menjawab: “Sungguh sebelum ada diriku, kaum muslimin telah dalam penjagaan Allah, dan ketika aku tidak ada mereka pun tetap dalam penjagaan-Nya. Maka aku tetap akan maju karena aku mencari syahid yang aku cintai”.

            Ketika pasukannya telah siap, Nuruddin naik ke sebuah bukit dan disana ia sholat dua rakat, tanpa sepengetahuan siapapun. Disana ia berdoa: “Allahumma unshur dinaka wa lanshur mahmuda man mahmuda illa kalb, ya Rab ya Rabb ya Rabb (Ya Allah tolonglah agama-Mu, dan janganlah kau tolong Mahmud (yakni dirinya) karena tidaklah Mahmud melainkan seekor anjing..”. Peperangan pun pecah dengan begitu sengit, dan akhirnya kemenangan berada di pihak pasukan kaum muslimin, bahkan Nuruddin berhasil menawan tiga raja dari Kerajaan latin Jerussalem, yang kemudian diletakkan di benteng Damaskus.

            Walau telah menang, ia masih khawatir akan pasukannya di Mesir, lantaran ia belum mendapatkan berita, karena terjadi merpati yang membawa berita sedang bermasalah. Maka datanglah seorang ulama yang memiliki bashirah, ia mengabarkan kepada Nuruddin bahwa pasukannya di Mesir telah Allah swt menangkan, karena di dalam mimpi ia bertemu dengan Rasulullah yang memintanya untuk mengabarkan hal tersebut kepada Nuruddin, agar hatinya tenang.

Dari kemangan ini, maka kekuasaan Nuruddin juga telah mencakup Mesir, meskipun nama Fathimiyah masih ada. Kemudian Shalahuddin dijadikan sebagai pemimpin disana. 

            Tak lama dari itu Nuruddin ingin bersegera menghapuskan kesultanan Fathimiyah secara resmi, akan tetapi Shalahuddin tidak ingin mengambil keputusan tersebut karena ia telah melihat kondisi Mesir yang sebenarnya, dimana sekalipun kesultanan tersebut bermadzhab syiah, akan tetapi pada saat itu para qadhi, mufti, dan guru- guru di madrasah telah didominasi oleh ulama- ulama yang bermadzhab sunni. Setelah wafatnya sulthan Fathimiyah, maka kesultanan tersebut dihapuskan dan Mesir benar- benar masuk kesultanan Zankiyah, dengan Shalahuddin sebagai pemimpin disana.

            Nuruddin pun terus menyiapkan usaha pembebasan Baitu Maqdis, bahkan atas usulan Ishmatuddin dibuatlah mimbar yang kelak akan diletakkan di Baitul Maqdis jika telah berhasil ditaklukkan. Namun tak lama dari itu Nuruddin wafat, sehingga terjadi keguncangan di tengah kaum muslimin bahkan banyak wilayah yang lepas kembali dari kesultanan Zankiyah, lantaran putra Nuruddin ketika itu yang bernama As-Shalih Ismail masih berusia 8 tahun.

Maka Shalahuddin mengambil keputusan untuk kembali ke Suriah dan berusaha bernegoisasi dengan pemimpin di berbagai wilayah agar tetap mau bersatu, namun penolakan terjadi di mana- mana. Ia pun ke Damaskus dan didukung oleh Ishmatuddin Hatun yang kemudian dinikahi oleh Shalahuddin untuk melanjutkkan perjuangan suaminya, karena ia termasuk kader terbaik yang dibentuk oleh Nuruddin. Karena negoisasi yang dilakukan Shalahuddin ditolak, maka terpaksa ia pun memerangi wilayah- wilayah tersebut, hingga akhrinya Shalahuddin berhasil menyatukan lima wilayah, yaitu Suriah, Yordania, Lebanon, Mesir dan Hijaz.

Dengan terwujudnya persatuan ini maka jalan menuju pembebasan Baitul Maqdis akan semakin mudah. Disanalah peran Ishmatuddin Hatun sebagai penyambung mata rantai pembebasan, dimana para ulama mengatakan jika bukan karena peran dan dukungannya yang besar maka mungkin Shalahuddin tidak mampu tuk menyatukan wilayah- wilayah tersebut dalam rangka penaklukkan Baitul Maqdis.

Hubungan mereka begitu sangat erat dan selalu saling menguatkan. Bahkan selama Shalahuddin terus bergerak memimpin pasukan untuk melawan pasukan salib, sedangkan Ishmatuddin berada di Damaskus, setiap hari mereka saling mengirim surat satu sama lain hingga kemudian dibukukan.

Bahkan ketika Ishmatuddin menjelang wafat, ia telah menyiapkan surat-surat yang cukup banyak, sehingga ketika wafat ia berpesan kepada para pembesar di istana agar merahasiakan wafatnya selama tiga bulan, dan tetap mengirimkan surat yang sudah dituliskannya kepada Shalahuddin setiap beberapa hari. Hal itu ia maksudkan karena ia khawatir semangat Shalahuddin melemah ketika menghadapi musuh ketika mengetahui kabar wafatnya. Terlebih lagi, saat itu Shalahuddin sedang menghadapi pasukan Richard the Lionheart, Raja Inggris juga Philip August dari Prancis, dan pasukan salib yang ketika itu dinamakan perang salib ketiga.

Maka selama tiga bulan peperangann, Shalahuddin tidak menyadari bahwa istrinya telah wafat, karena surat- surat darinya tetap ia terima. Sehingga ketika pasukan salib tersebut menyatakan mundur dan Shalahuddin kembali ke Damaskus, maka ia baru mengetahui bahwa istrinya telah wafat.

Begitulah sosok Ishmatuddin, sang pendamping dua lelaki hebat yang menjadi jalan menuju pembebasan bumi suci kaum muslimin yang telah direbut oleh salibis selama seratus tahun lebih. 

Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar