Sebagaimana
hari ini Baitul Maqdis masih terjajah oleh zionis selama lebih dari satu abad
lamanya, seperti itulah yang terjadi di masa Ishmatuddin Hatun, dimana Baitul
Maqdis diduduki oleh pasukan salib selama lebih dari 100 tahun. Sebagaimana
hari ini, kaum muslimin terus berusaha memantaskan diri dan berjuang untuk
mendapatkan pertolongan-Nya, maka seperti itulah yang terjadi di masanya. Sebagaimana
hari ini ketika umat Islam sulit tuk mengalahkan tantara zionis la’natullah
lantaran persatuan umat yang telah tiada, maka di masa itu pula persatuan umat
yang telah melemah membuat pendudukan semakin kokoh dan lama.
Di
masa Kekhilafahan Abasiyah kondisi kaum muslimin tidaklah sekuat pada masa
sebelumnya, lantaran persatuan tidak lagi kokoh. Oleh karena itu ketika pasukan
salib menduduki wilayah- wilayah kaum muslimin termasuk Palestina, maka untuk
merebutnya kembali membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari satu
abad. Meskipun persatuannya melemah, namun seluruh penguasa di negeri kaum
muslimin tetap mengakui dan tunduk di bawah kekhilafahan yang satu yang
berpusat di Baghdad, Iraq. Dengan begitu, merebut kembali Baitul Maqdis
membutuhkan lebih dari satu abad, yaitu sejak tahun 1099 M- 1187 M di masa
Shalahuddin Al-Ayyubi. Artinya untuk bisa meraih cita- cita besar itu terdapat
3- 4 generasi yang terlewati, yang terus berjuang tuk mewujudkan pembebasannya.
Imaddudin Zanky merupakan penguasa Halb (Aleppo),
yang pada saat itu termasuk penguasa pertama yang memiliki kesadaran untuk
merebut kembali Baitul Maqdis. Kesadaran tersebut juga disadari oleh para ulama
di masanya, yang dimulai dengan adanya kesadaran ruhani, diantaranya adalah
Imam Ghazali yang kemudian menuliskan kitab Ihya ‘Ulumuddin. Kemudian kesadaran
tersebut berlanjut dengan adanya kesadaran tsaqofi, diantaranya pula Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani yang kemudian mendirikan madrasah- madrasah yang dikenal
dengan madrasah Jailaniyah, yang dari sanalah disiapkan generasi- generasi
penakluk yang siap untuk menjadi penakluk.
Kemudian kesadaran tersebut menjadi
kesadaran siyasi (politik), dimana diinisiasi oleh kesultanan Zankiyah yang
dipimpin oleh Imaduddin Zanky. Kesadaran siyasi ini menjadikannya bergerak
untuk mempersatukan wilayah- wilayah kaum muslimin, mulai dari Tripoli, Homs,
Allepo, Damaskus juga lainnya. Baginya penaklukkan Baitul Maqdis tak mungkin
tercapai tanpa adanya persatuan umat Islam. Selain terus melawan pasukan salib yang juga
berusaha mengambil wilayah kaum muslimin lainnya, ia pun juga berusaha
menyatukan Damaskus agar menjadi wilayah kesatuan yang kala itu dipimpin oleh
Mu’inuddin Unur. Setelah berhasil menyatukannya, maka Imaduddin Zanky
menikahkan putranya yaitu Nuruddin Mahmud dengan putri dari Muinuddin Unur
yaitu ‘Ishmatuddin Hatun, sehingga Nuruddin pun menjadi penguasa di Damaskus
menggantikan mertuanya.
Dari sinilah perjuangan ‘Ishmatuddin Hatun dimulai.
Ia seorang perempuan yang shalihah, faqihah, ‘alimah dan cerdas. Di Damaskus,
Ishmatuddin mendirikan madrasah- madrasah yang dikenal dengan madrasah
Hatuniyah, dalam rangka menyiapkan generasi penakluk dimana ia dan Nuruddin
mengangkat Imam Ibnu ‘Asakir sebagai pemimpin madrasah tersebut. Beliau sosok ulama
besar di masa itu yang sangat dikagumi oleh Ishmatuddin dan Nuruddin Mahmud.
Seorang ulama yang mengarang kitab Maghazi yang menjelaskan bagaimana peperangan
Rasul, cara menuntun hewan tunggangan, memperlalakukan pasukan, menggunakan
pedang, kepahlawanan Rasul dan lain- lain. Dan dari salah satu kitab inilah
Nuruddin juga para murid- muridnya belajar bagaimana penakukkan yang diajarkan
oleh Rasulullah.
Selama Nuruddin menjadi pemimpin kaum
muslimin dalam melawan pasukan salib, maka ‘Ishmatuddin senantiasa
mendampinginya, menyemangatinya, bahkan sering memberi perhatian kepada para
panglima dan pasukan yang berprestasi dengan memberi mereka hadiah. Ia juga membakar
semangat suaminya agar terus memberikan kepercayaan kepada orang- orang hebat
yang ada di sisinya,
Suatu ketika Kesultanan Fathimiyah di Mesir
meminta bantuan kepada Nuruddin karena wilayahnya diancam oleh pasukan Raja
Amalik dari Jerusalem yang ingin menguasainya. Karena, bagi raja tersebut, untuk
menguasai Levan (Lebanon, Suriah, Pelastina, dan Yordaniah), maka Mesir harus
digenggam, karena ia merupakan wilayah yang menjadi lumbung pangan dan
logistic, juga tempat strategis yang jika dikuasai maka akan mudah
mengendalikan perdagangan dunia. Sehingga Nuruddin pun mengutus Shalahuddin Al
Ayyubi dan pamannya Asaduddin Syirkuh dengan memimpin 30 ribu pasukan. Dikarenakan
banyak juga pasukan yang dikirim ke wilayah lain untuk mempertahankan wilayah
dari pasukan salib, maka di Damaskus tersisa hanya 3 ribu pasukan saja,
Peperanagan antara kaum muslimin dengan
pasukan salib pun pecah di Mesir tepatnya di kota Dimyat. Pada waktu yang sama,
pasukan salib dari Jerusalem juga melihat kesempatan di Damaskus, dimana jumlah
pasukan yang tersisa disana hanya sedikit. Maka Nuruddin Mahmud pun bertekad untuk
menghadapi musuh dan memimpin pasukkannya langsung, namun para ulama
menasehatinya agar menyerah saja, karena ia adalah sandaran kaum muslimin saat
itu sedangkan pasukan kaum muslimin yang tersisa tidaklah banyak. Namun dengan
keyakinan Nuruddin menjawab: “Sungguh sebelum ada diriku, kaum muslimin
telah dalam penjagaan Allah, dan ketika aku tidak ada mereka pun tetap dalam
penjagaan-Nya. Maka aku tetap akan maju karena aku mencari syahid yang aku
cintai”.
Ketika
pasukannya telah siap, Nuruddin naik ke sebuah bukit dan disana ia sholat dua
rakat, tanpa sepengetahuan siapapun. Disana ia berdoa: “Allahumma unshur
dinaka wa lanshur mahmuda man mahmuda illa kalb, ya Rab ya Rabb ya Rabb (Ya
Allah tolonglah agama-Mu, dan janganlah kau tolong Mahmud (yakni dirinya)
karena tidaklah Mahmud melainkan seekor anjing..”. Peperangan pun pecah
dengan begitu sengit, dan akhirnya kemenangan berada di pihak pasukan kaum
muslimin, bahkan Nuruddin berhasil menawan tiga raja dari Kerajaan latin Jerussalem,
yang kemudian diletakkan di benteng Damaskus.
Walau
telah menang, ia masih khawatir akan pasukannya di Mesir, lantaran ia belum
mendapatkan berita, karena terjadi merpati yang membawa berita sedang
bermasalah. Maka datanglah seorang ulama yang memiliki bashirah, ia
mengabarkan kepada Nuruddin bahwa pasukannya di Mesir telah Allah swt
menangkan, karena di dalam mimpi ia bertemu dengan Rasulullah yang memintanya
untuk mengabarkan hal tersebut kepada Nuruddin, agar hatinya tenang.
Dari kemangan ini, maka kekuasaan Nuruddin
juga telah mencakup Mesir, meskipun nama Fathimiyah masih ada. Kemudian
Shalahuddin dijadikan sebagai pemimpin disana.
Tak
lama dari itu Nuruddin ingin bersegera menghapuskan kesultanan Fathimiyah
secara resmi, akan tetapi Shalahuddin tidak ingin mengambil keputusan tersebut
karena ia telah melihat kondisi Mesir yang sebenarnya, dimana sekalipun
kesultanan tersebut bermadzhab syiah, akan tetapi pada saat itu para qadhi,
mufti, dan guru- guru di madrasah telah didominasi oleh ulama- ulama yang
bermadzhab sunni. Setelah wafatnya sulthan Fathimiyah, maka kesultanan tersebut
dihapuskan dan Mesir benar- benar masuk kesultanan Zankiyah, dengan Shalahuddin
sebagai pemimpin disana.
Nuruddin
pun terus menyiapkan usaha pembebasan Baitu Maqdis, bahkan atas usulan
Ishmatuddin dibuatlah mimbar yang kelak akan diletakkan di Baitul Maqdis jika
telah berhasil ditaklukkan. Namun tak lama dari itu Nuruddin wafat, sehingga
terjadi keguncangan di tengah kaum muslimin bahkan banyak wilayah yang lepas
kembali dari kesultanan Zankiyah, lantaran putra Nuruddin ketika itu yang
bernama As-Shalih Ismail masih berusia 8 tahun.
Maka Shalahuddin mengambil keputusan untuk
kembali ke Suriah dan berusaha bernegoisasi dengan pemimpin di berbagai wilayah
agar tetap mau bersatu, namun penolakan terjadi di mana- mana. Ia pun ke
Damaskus dan didukung oleh Ishmatuddin Hatun yang kemudian dinikahi oleh
Shalahuddin untuk melanjutkkan perjuangan suaminya, karena ia termasuk kader
terbaik yang dibentuk oleh Nuruddin. Karena negoisasi yang dilakukan
Shalahuddin ditolak, maka terpaksa ia pun memerangi wilayah- wilayah tersebut,
hingga akhrinya Shalahuddin berhasil menyatukan lima wilayah, yaitu Suriah,
Yordania, Lebanon, Mesir dan Hijaz.
Dengan terwujudnya persatuan ini maka jalan
menuju pembebasan Baitul Maqdis akan semakin mudah. Disanalah peran Ishmatuddin
Hatun sebagai penyambung mata rantai pembebasan, dimana para ulama mengatakan
jika bukan karena peran dan dukungannya yang besar maka mungkin Shalahuddin
tidak mampu tuk menyatukan wilayah- wilayah tersebut dalam rangka penaklukkan
Baitul Maqdis.
Hubungan mereka begitu sangat erat dan selalu
saling menguatkan. Bahkan selama Shalahuddin terus bergerak memimpin pasukan
untuk melawan pasukan salib, sedangkan Ishmatuddin berada di Damaskus, setiap
hari mereka saling mengirim surat satu sama lain hingga kemudian dibukukan.
Bahkan ketika Ishmatuddin menjelang wafat,
ia telah menyiapkan surat-surat yang cukup banyak, sehingga ketika wafat ia
berpesan kepada para pembesar di istana agar merahasiakan wafatnya selama tiga
bulan, dan tetap mengirimkan surat yang sudah dituliskannya kepada Shalahuddin
setiap beberapa hari. Hal itu ia maksudkan karena ia khawatir semangat
Shalahuddin melemah ketika menghadapi musuh ketika mengetahui kabar wafatnya. Terlebih
lagi, saat itu Shalahuddin sedang menghadapi pasukan Richard the Lionheart, Raja
Inggris juga Philip August dari Prancis, dan pasukan salib yang ketika itu
dinamakan perang salib ketiga.
Maka selama tiga bulan peperangann, Shalahuddin
tidak menyadari bahwa istrinya telah wafat, karena surat- surat darinya tetap
ia terima. Sehingga ketika pasukan salib tersebut menyatakan mundur dan
Shalahuddin kembali ke Damaskus, maka ia baru mengetahui bahwa istrinya telah
wafat.
Begitulah sosok Ishmatuddin, sang
pendamping dua lelaki hebat yang menjadi jalan menuju pembebasan bumi suci kaum
muslimin yang telah direbut oleh salibis selama seratus tahun lebih.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar