Pages

Tampilkan postingan dengan label Cerpen Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Islami. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Januari 2016

Mereka Berhasil Memanusiakan-ku


    Tak ada yang patut ku kisahkan di dalam goresan kecil ini. Tak ada yang mampu ku lukiskan di atas kertas putih ini. Tak ada yang patut di ketahui banyak orang atas peristiwa nyata ini. Semua itu tak mungkin ku lakukan, melainkan dorongan kuat yang menggerakkan jemariku untuk mengetik dengan tulus, fikiranku untuk merangkai kata-kata dengan fokus, dan waktu tengah malamku hingga tulisan ini tuntas.
    Apakah dorongan itu? Karena mereka telah memanusiakan-ku. Mereka adalah para guru hebat yang telah merubah sosok manusia yang hanya secara biologis ini menjadi manusia yang benar-benar manusia. Berprinsip, berideologi, berkepribadian, berprestasi, berbakat, dan tentunya berpendidikan.
    Apakah mereka adalah orang-orang hebat yang bergelar panjang? Apakah mereka yang memakai seragam rapi nan gagah? Apakah mereka yang sangat dihargai sehingga memperoleh gaji besar? Atau, apakah mereka yang sangat cepat dalam mengejar materi di kelas?
    Aku rasa, jika pertanyaannya semacam itu, maka jawabannya hanya satu. Bukan. Bukan itu orang yang kusebut telah ‘memanusiakan-ku’.
Tentu, kalian sudah faham bahwa yang dinamakan ‘guru’ adalah orang yang mengajarkan kebaikan dan ilmu baru kepada kita. Maka, dapat dipastikan semua yang pernah lahir dari rahim seorang wanita, maka wanita itu lah yang menjadi guru pertama dan utama bagi yang dilahirkan. Itu hukum alam. Itu takdir yang pasti dirasakan oleh siapapun yang hidup di muka bumi ini. Apakah ibu yang kumaksud telah ‘memanusiakan-ku’? Bukan.

    Tanpa maksud merendahkan peran wanita hebat bagai malaikat itu. Namun, kali ini aku hanya ingin bercerita makhluq hebat lain yang pernah kutemui. Dan mereka tetaplah guru. Mereka pun mengajariku di kelas. Dan mereka pun yang kutemui setiap harinya.
    Kisah ini mulai ku alami sejak aku lulus dari Sekolah Dasar. Kemudian aku memasuki lembaga lain yang memiliki konsep belajar yang tak pernah kutemui di tempat lain, apalagi kurasakan sebelumnya. Sejak usia SMP sebenarnya aku sudah berada pada lingkaran itu. Lingkaran yang membuatku saat ini mampu bercerita. Di usia SMA ku ini, aku baru saja menyadari dan dapat membahasakannya dalam rangkaian kata ini.
    Aku bersekolah di sebuah Home Schooling berbasis Pendidikan Islam. Dan karena namanya Home Schooling, di sekolah ini kami sama sekali tidak menggunakan sistem pendidikan yang ada pada sekolah-sekolah pada umumnya. Kami tidak hanya belajar di dalam kelas. Materi pembelajaran kami pun tidak secepat materi pembelajaran di sekolah lain, yang pada umumnya kerja target kurikulum. Sekolah kami juga tak sedikitpun terkesan mewah, walaupun namanya Home Schooling. Disana, kami justru menemukan banyak ilmu baru, pemahaman baru, pola berfikir Islam yang benar, juga ratusan pengalaman yang tak pernah terlupakan.
    Maka, dari sanalah aku dapat mengerti hakikat kehidupan, dan tentunya hakikat kehidupan dalam Islam. Dan dari sana pula, aku merasakan adanya guru hebat memang sangat mempengaruhi banyak hal pada diriku saat ini.
    Dan merekalah. Di tangan mereka, saat ini aku dapat membanggakan kedua orang tuaku dalam berbagai bidang. Membanggakan bukan dalam artian aku menjadi bintang kelas atau nilai raporku selalu di atas 90. Bukan juga karena aku dikenal banyak orang karena kerap mengikuti olimpiade fisika ataupun matematika.
    Namun, kebanggaan itu karena dengan dorongan tangan-tangan merekalah aku mau menghafal Al-Qur’an dengan ikhlas dan semangat. Karena teladan mereka pula, aku bisa bersikap dewasa dan patuh kepada orang tua dan segala kondisi mereka. Karena jasa mereka, aku pun lebih mencintai berpetualang di alam, daripada berselancar di dunia maya. Karena didikkan mereka pula, aku tak pernah takut untuk memulai membuka obrolan dengan orang lain yang belum ku kenal, walaupun kebiasaan yang satu ini sudah mulai ditinggalkan para generasi zaman sekarang. Dan terakhir, mereka pun juga berhasil memberi umpan baik kepadaku. Umpan yang memancingku untuk banyak menyukai berbagai disiplin ilmu dan giat mempelajarinya dan terus menggalinya. Semangat yang mereka munculkan benar-benar sudah tertancap di dalam hatiku.
      Dan itulah yang kusebut-sebut, mereka berhasil ‘memanusiakan-ku’. Karena mereka yang menjadikan diriku yang sebenarnya. Mereka yang berhasil menemukan bakat dan jati diriku, tanpa harus terpengaruh dan tak percaya diri. Dan semua itu juga terjadi pada seluruh kawan di sekolahku. Aku yakin, mereka pun juga telah menemukan diri mereka yang sebenarnya. 
 
    Kawan, apa arti menuntut ilmu menurut kalian? Menurutku menuntut ilmu bukanlah suatu proses yang ditujukan agar kita dapat menhafal berbagai disiplin ilmu. Bukan pula agar kita lanyah dan akrab dengan berbagai bentuk dan jenis soal-soal. Bukan juga untuk mengejar nilai, dan mendapatkan surat pernyataan lulus berupa selembar kertas yang sering kita kenal sebagai ‘ijazah’.
    Bagiku, menuntut ilmu lebih dari itu semua. Ia merupakan perkara yang sangat penting dan tak mungkin dihindari dalam hidup kita. Banyak hal yang tak dapat kita selesaikan sebelum menuntut ilmu. Banyak permasalahan yang tak kita ketahui solusinya tanpa melakukan kegiatan yang sangat penting itu. Karena, memang hakikat menunt ilmu adalah untuk ‘menyelesaikan permasalahan’.
    Mengapa aku bisa berpikir seperti itu? Itulah peran guru hebat. Ia yang membuat pola berfikirku berjalan dengan benar. Mereka yang memberiku pengetahuan baru, hingga pengetahuan  itu benar-benar dapat kurasakan dalam setiap langkahku menggali ilmu. Setiap kali aku belajar, aku tak pernah berharap mendapat nilai tinggi yang akan membuatku dipuji atau dikenal, karena memang tak ada yang memotivasiku menuntut ilmu karena satu alasan itu.
Dengan begitu, proses belajarku terasa lebih tenang, nyaman, maksimal, dan nampak hasilnya. Dan rasa banggaku muncul ketika aku dapat menemukan passion atau bakatku. Dengan itulah aku dan seluruh kawan di sekolah dapat diakui dan dihargai oleh guru dan adik-adik kelas kami. Karena tak satu pun dari kami yang tidak memiliki dan menguasai suatu bidang. Sekali lagi, bukan karena nilai yang tinggi di kelas. Dan benar saja, menuntut ilmu hanya demi ‘selembar ijazah’ memang tidak ada artinya. Di tahap pertama, inilah yang kukatakan : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’.

    Kawan, dimanakah kalian biasa belajar?  Menurutku, belajar tidak harus di dalam kelas atau di sekolah. Banyak hal yang dapat kita temukan, kita simpulkan, dan kita ambil manfaat di dunia luar sana. Tidak hanya di dalam kelas dan di dalam tumpukan buku-buku pelajaran. Belajar dapat kita lakukan dengan masyarakat atau bersama alam.
     Mengapa aku dapat menyimpulkan perkara semacam itu? Itulah peran guru yang bermutu. Mereka mengajari kami untuk belajar di alam. Belajar bersama tumbuhan tumbuhan-tumbuhan liar, dan hewan-hewan unik yang kami temukan di berbagai tempat. Kami mengidentifikasi anatomi luarnya dengan melihatnya secara langsung. Kami ukir pula pengalaman-pengalaman menjelajah. Memasuki hutan yang penuh nyamuk, mendaki bukit yang dingin, menyusuri pantai yang terjal dan berkarang.
    Banyak pula praktikum yang diajarkan kepada kami agar kami dapat mengindra secara langsung kejadian-kejadian sains termasuk praktek perhitungannya menggunakan rumus-rumus. Memahami konsep fotosintesis pada tumbuhan dengan memanfaatkan mika berwarna-warni sebagai gambaran daun yang memiliki banyak variasi warna, tumbuhan air, ruangan gelap dan halaman yang terkena sinar matahari secara langsung, dalam praktikum pelajaran Biology-Tumbuhan (Botany). Dari sana kami dapat menyimpulkan bahwa warna daun dan adanya sinar matahari dapat mempengaruhi oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis.
      Kami pun juga dapat memahami bahaya merokok terhadap paru-paru secara langsung dari mereka. Dengan membuat simulasi pada alat dan bahan sederhana. Botol plastik sebagai tubuh manusia, air yang dimasukkan ke dalam botol sebagai penghisap rokok yang ditancapkan ditutup botol. Kemudian tisu bersih sebagai paru-paru yang nanti akan berubah menjadi kuning, coklat, hitam, bahkan tampak seperti terbakar setelah praktikum menunjukkan bahwa proses penghisapan rokok itu berhasil. Itu diajarkan kepada kami dalam praktikum Biologi-Manusia (Human-Body).
      Mereka mengajari kami belajar dimanapun kami berada. Mereka melatih kami untuk berani membuka relasi dengan orang lain. Baik orang yang bergelar tinggi maupun masyarakat biasa. Baik di daerah perkotaan, pedesaan, maupun pegunungan. Mulai dari yang sudah memiliki banyak ilmu karena usia mereka, maupun yang masih berusia seperti kami. Dengan begitu kami bisa menggali pengetahuan dan informasi baru yang tidak akan kami temukan di buku-buku pelajaran. Dari sana pula, kami dapat mengetahui permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dan dari sana pula, mereka melatih kami untuk memberikan solusi terhadap permasalahan masyarakat itu. Tentu, dengan harapan besar. Ketika kami besar nanti, kami akan terbiasa terjun, peduli, dan dapat menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Impian hebat bukan? Di tahap kedua ini, inilah yang kukatakan kembali : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’.

    Kawan, bagaimana perasaan kalian ketika libur sekolah tiba? Kebanyakan pasti akan mengatakan itu adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Liburan sekolah seolah waktu kita dapat bersenang-senang. Waktu dimana semua beban serasa terbang tak tersisa. Waktu dimana kita tak pernah lagi dikejar tugas dan soal setiap hari dan setiap malam. Dan kata ‘belajar’ seolah terlupakan.
Tidak. Sekarang aku sudah membuang teori liburan seperti itu. Namun, bukan berarti aku tidak suka dengan liburan sekolah. Bukan berarti aku lebih mencintai bersama teman-teman dan guru, daripada berkumpul bersama keluargaku. Liburan sekolah tetaplah menjadi hari-hari yang sangat kunantikan, apalagi sejak aku merantau sekolah di luar Kota, bahkan luar Provinsi yang cukup jauh dari tempat keluargaku berada. Bagiku, libur sekolah adalah waktu dimana aku tetap belajar. Belajar di tempat dan suasana yang berbeda. Belajar bersama orang-orang yang berbeda, dan mereka juga tak kalah ku kagumi.
    Mengapa aku bisa berteori seperti itu? Lagi-lagi, karena insan yang kita sebut guru itu adalah sosok yang mencerdaskan. Mereka mendidik kami agar menjadikan hari-hari libur itu tetap bermakna. Libur yang mereka ajarkan kepada kami adalah waktu belajar bersama orang tua dan keluarga. Bukan waktu untuk melampiaskan segala kepenatan saat berada di sekolah, karena kami pun tak pernah merasa hari-hari kami di sekolah terasa penat.
    Mereka memberi pemahaman kepada kami, bahwa belajar tidak harus ketika waktu aktif sekolah. Dan mereka pun menanamkan kepada kami, bahwa belajar pun juga tidak harus bersama mereka. Orang-orang di sekitar kami, termasuk saudara juga orang tua juga dapat kita jadikan guru, walau mungkin profesi mereka hanya seorang pedagang atau bahkan tukang becak sekalipun. Mereka tetaplah sosok teladan yang dapat kita contoh kehebatan dan sifat positifnya. Di tahap ketiga ini, inilah yang kutulis kembali untuk mereka : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’.

    Kawan, bagaimana pendapatmu tentang guru hebat? Bagi banyak orang, guru yang hebat adalah mereka yang bergelar tinggi, berseragam dinas, bergaji besar, dan sangat ditakuti banyak orang karena ilmunya yang seolah tidak ada yang patut menandinginya.
    Tidak. Sekarang, aku sudah mampu merubah cara pandangku. Menurutku, guru hebat adalah mereka yang tetap menunjukkan kesederhanannya dalam setiap kali bertemu kami. Mereka yang tidak terlalu membanggakan gelar panjangnya dan ilmu tingginya. Mereka yang tetap merendahkan hati, walaupun jelas-jelas kami tak dapat dibandingkan dengan mereka di sisi manapun. Demi mendidik generasi calon pemimpin bangsa di masa depan, mereka juga tidak mengharapkan gaji besar. Tak lebih hanya untuk dapat makan dan hidup sederhana. Dari keihklasannya itu pula, tak sekalipun mereka mengharapkan kehormatan di mata sosial. Baik, dari para orang tua kami, masyarakat, keluarga dan saudara mereka, juga dari kami.
    Di tahap terakhir ini, aku sebut kembali : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’. Mereka tak pernah mengajarkan hal itu kepada kami dengan perkataan. Namun, teladan spesial itu mereka salurkan melalui perilaku mereka di hadapan kami.
    Kawan, itulah mereka. Guru yang tak hanya sekedar pengajar, namun juga pendidik. Semoga cita-cita mereka segera berubah menjadi kenyataan. Menjadikan kami sebagai kader pemimpin, ilmuwan, ulama, politisi serta negarawan yang senantiasa peduli dengan urusan Ummat manusia dan memegang erat Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Minggu, 08 November 2015

Aku Mencintaimu Karena-Nya


            “Ya, biasa. Setiap dua hari sekali kan dia memang latihan menari di sanggar Seni Budaya Tari”, kata Alven pada Niswah
“Oh, iya? pantas aja dia bilang nggak bisa kalau aku ajak ketemuan hari ini”, Niswah menimpali. “Memang dia mau ikut kompetisi ?”
“Nggak tau sih. Tapi kalau nggak salah dia ditunjuk untuk mewakili Kabupaten untuk menari di acara perayaan HUT ke 70 di Jakarta”, jelas Alven.
“Oh gitu. Dia sendirian?”
“Enggak lah, sama pacarnya. Namanya Dika”
Kata ‘pacar’ di telinga Niswah masih sangatlah asing. Bukan karena tidak pernah mendengar kata-kata itu. Namun, lebih tepatnya karena dia tak pernah memiliki, membahas, atau pun membicarakan laki-laki atau pacar itu. “Masya Allah.. Terus pacarnya ikutan nari sama Salma?”
“Ya nggak. Dika yang main orgent, si Salma yang nari”
“Oh, gitu”, Niswah masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya mendengar kata-kata yang Alven katakan. Dia berusaha untuk menyesuaikan kondisi.
            Sore itu, Niswah dan Alven sengaja bertemu di sebuah Rumah Makan Tradisional yang cukup terkenal di Kota Yogykarta. Mereka menunggu waktu berbuka puasa sambil bercerita banyak hal. Melepas rasa rindu setelah lebih dari satu Semester mereka tak bertemu. Menikmati detik-detik akhir bulan suci Ramadhan.
            Niswah bersekolah di sebuah Kota di barat pulau Jawa. Kota yang dikenal dengan sebutan ‘Kota Hujan’. Bogor. Disana ia bersekolah di Lembaga Pendidikan Islam plus tahfidzul Qur’an yang berasrama. Mendapat ilmu-ilmu Agama Islam yang benar-benar membuatnya faham terkait banyak hal. Dan ia pun tahu jika berpacaran adalah perkara yang tidak diporbolehkan dalam Agama Islam. Obrolan mereka seperti tiada ujung. Saling bertukar pengalaman, pelajaran, bahkan Alven menceritakan segala hal yang sedang ia rasakan. Perasaan si merah jambu yang sedang menyerangnya hampir setiap hari di sekolah. Karena Alven bersekolah di sebuah SMA Negeri di Yogyakarta. Dan yang jelas antara pelajar laki-laki dan perempuan tidak terpisah sama sekali.
            “Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan, Nis. Dan aku juga nggak tahu mana yang harus kupilih?”, kata Alven ketika mereka sudah berganti topik obrolan lagi. Walau dengan irama yang cukup menghayati itu, ia tetap saja asyik memainkan gadgetnya.
“Astaghfirullah..”, Niswah mendesis lirih di dalam hati. Sebenarnya ia juga tak kuat mendengar curhatan sahabat sejak kecilnya itu. “Hhmm.. kenapa kamu bingung? Apakah orang tuamu membolehkanmu melakukan hubungan seperti itu?”
“Ya, aku bingung. Mereka berdua menembakku. Orang tuaku? Mereka nggak akan memarahiku, apalagi menasehatiku. Mereka kan tidak pernah tahu”
“Oh ya sudah, aku mau tanya ya Ven.. Apakah tanpa kau pilih salah satu dari keduanya, hidupmu akan rugi?”, jawab Niswah dengan kembali melontarkan pertanyaan.
“Hmm.. rugi? Ya nggak juga sih.. Tapi coba kamu fikirin, Nis!, masa temen-temen ku udah gonta-ganti pacar dan pacaran berkali-kali, sedangkan aku sampai sekarang masih bingung memutuskan salah satu diantara mereka. Jadi, ya mereka sering banget ngejekin aku.. ya,walaupun mungkin seringnya hanya bergurau”
“Oh, jadi alasanmu ingin memilih salah satu dari mereka karena kamu merasa malu belum pacaran?”, lagi-lagi kata’pacaran’ masih kelu dilidah Niswah. Ia jarang atau bahkan tidak pernah mengucapkan kata itu. Aneh.
“Hmm, bisa jadiseperti itu. Kalau kamu jadi posisi ku, apa yang kamu lakukan?”, tanya Alven dengan raut muka yang sepertinya benar-benar ingin mencari jalan keluar.

           
“Allahu Akbar..Allahu Akbar..”, suara adzan tba-tiba terdengar. Semua orang di Rumah Makan itu bersorak gembira. Setelah berdo’a, mereka punsegera membatalkan puasa. Meminum segelas es buah, kemudian dilanjutkan menikmati hidangan yang sudah mereka pesan sekitar 30 menit yang lalu. Usai makan dan sholat di Mushulo Rumah Makan itu, mereka tak ingin segera beranjak. Kembali lagi ke tempat mereka makan, dan melanjutkan perbincangan yang nampaknya jauh dari kata selesai.
            “Alven..?”, kata Niswah mencoba memancing obrolan.
“Hmm..”, jawab Alven singkat, jarinya tak berhenti bergerak membuat serangkai kata demi kata di gadgetnya yang berlayar lebar itu. “Oh ya, gimana? Kalau kamu ada di posisi aku gimana?”, akhirnya ingat dengan pertanyaannya tadi.
“Sepertinya, jika aku ada di posisimu aku nggak akan milih dua-duanya. Aku akan berusaha menghilangkan perasaan suka itu, dan mengalihkannya dengan yang lebih baik.”
“Niswah?, kamu yakin bakal bisa kayak gitu?”, tanya Alven dengan mimik muka tak yakin.
“Jika aku benar, kenapa tidak?”, balas Niswah enteng.
 


            Obrolan itu usai tanpa jawaban yang memuaskan bagi Alven. Mereka memutuskan untuk pulang, ketika panggilan waktu sholat Isya’ telah tiba. Setelah itu, dan selama 1 tahun lamanya mereka mungkin tak akan bertemu lagi.
            Pertemuan sekaligus buka bersama itu, adalah waktu yang membuat mereka sangat bahagia. Waktu yang mengawalisebuah langkah baru bagi Alven. Waktu yang mengawali Niswah dengan senyuman indah yang hakiki. Senyuman yang membawanya menuju Syurga-Nya. Membuatnya tak pernah lagi timbul rasa kecewa karena tingkah temannya itu.
            Niswah lagi-lagi meninggalkan Jogja. Keesokan harinya, bersama Ayah, Bunda dan ketiga adiknya ia melaukan perjalanan jauh. Membelah selat sunda, melewati puluhan Kota di sepanjang pulau Sumatra. Menuju Aceh. Kota yang melahirkan Ayah tercintanya. Merayakan hari besar Ummat Islam bersama sanak keluarga di kampug halaman. Kesempatan yang hanya bisa mereka temui sekali setahun.
           
            ”Assalamu’alaikum, Alven. Aku ingin minta maaf sama kamu. Belum bisa menjawab pertanyaanmu dengan memuskan. Apakah kamu sudah meutuskan pilihanmu?”, Niswah mengirim pesan melalui inbox di facebook. Perjalanan masih panjang. Baru saja melewati perbatasan antara Jawa Tengan dan Jawa Barat.
            Belum ada satu menit. Hand phone Niswah berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk. “Belum, Nisa.. kamu masih mau mendengarkan curhatanku yang sepertinya tidak pentig itu.? Kamu masih ingin membantuku mencari jawaban untuk memutuskannya?”
“Tentu, Alven. Karena aku akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu”
“Baiklah... katakan saja apa yang menurutmu baik untukku.”
“Alven.. kamu tentu sudah tahu kan? Alasan apa yang membuatku untuk tidak akan pacaran? Seperti yang ku katakan kemarin, sewaktu kita buka bersama..”
“Hmm.. karena Agama kita melarangnya?”, respon Alven begitu cepat setelah Niswah mengirimkan kata-katanya itu.
“Ya. Hanya itu satu-satunya alasanku untuk tidak melakukannya. Aku tidak ingin menodai langkahku menuntut ilmu untuk sibuk memikirkan dan berkomunikasi dengan laki-laki yang aku tahu belum tentu menjadi jodohku kelak”
“Jadi, hanya satu alasan itu yang membuatmu begitu kuat untuk tidak melakukannya?”, tanya Alven belum yakin.
“Iya kawan, tiada yang lain”
“Lalu, bagaimana dengan aku? Langkahku memang tidak sekuat langkahmu. Pedomanmu terhadap perintah dan larangan Agama jauh lebih kuat daripada aku yang tak mengerti apa-apa ini”, kata Alven dengan menyertai emoticon menangis.
“Kenapa kamu bisa berfikir seperti itu? Bukankah kita sudah sama-sama belajar Islam di SD kita dulu?”
“Tapi, memang begitu nyatanya, Nis..”, kata Alven yang lagi-lagi menyertakan emoticon. Kali ini emoticon sedih.
“Baiklah.. pertama, kamu harus faham, bahwa yang berhak menilai keimanan kita hanya Allah. Tak patut, baik kamu atau aku menilai keimanan orang lain. Kita hanyalah hamba-Nya. Bagaimana?”, nasehat Niswah itu diakhiri dengan pertanyaan untuk meminta persetujuan dari kawannya.
“Hmmm.. ok lah, lalu?”
“Kedua, aku yakin kamu bisa melihat sendiri kan bagaimana kondisi teman-temanmu di sekolah? Pasti suadah banyak yang melakukan kemaksiatan yang sudah sangat kebablasan. Bener kan?”, potong Niswah untuk memastikan informasinya tidak salah.
“Hmm.. iya. Di kelasku udah ada dua temen perempuanku yang dikeluarkan sekolah karena sudah dihamili pacaranya”, jawab Alven dengan benar-benar terbuka.
“Nah.. itu Ven yang ku maksud”, Niswah meyakinkan.
“Tapi, aku nggak akan kayak gitu lah.. kalau sampai kayak gitu orang tuaku juga pasti akan marah..”. balas Alven cepat.
“Hmm..ya aku tahu Ven. Kamu memang mungkin bisa memperkirakan. Tapi, kamu harus tahu, bahwa memang tidak semua pacara itu berakhir dengan kehamilan seperti itu. Tapi, kamu pasti tahu, yang berakhir dengan kehamilan itu pasti bermula dari pacaran”
“Hmm.. iya juga sih. Tapi..”
“Tapi apa?”
“Aku masih bingung apa yang harus ku katakan jika teman-teman dekatku menanyaiku”
“Jika kamu sudah yakin akan kebenaranmu, apa salahnya kamu mengeluarkan alasan seperti itu saat kamu diejek?”, lagi-lagi Niswah meyakinkan.
            Niswah menunggu jawaban sekaligus keputusan Alven. Cukup lama. Lima menit. Lima belas menit. Setengah jam. Tak ada bunyi yang menandakan pesan masuk.
“Alven...?”, Niswah mencoba memancing. Tetap tidak ada respon. Tidak ada tanda-tanda bahwa Alven sedang mengetik jawaban. Padahal, di hand phone Niswah nampak jika facebook Alven masih online.
“Alven.. jawab please!, apapun keputusanmu aku menunggu jawabanmu”
            Tiba-tiba setelah hampir satu jam berlalu, hand phone Niswah berbunyi. Ketika ia sudah hampir tak sadarkan diri, karena begitu mengantuk. Ketiga adiknya dan Bundanya sudah terlelap  sejak dua jam yang lalu. Hanya Ayahnya dan sang sopir yang sejak tadi masih asyik mengobrol.
“Alveen..”, pekik Niswah sangat senang. Untung saja tidak mengganggu keluarganya sedang istirahat di dalam mobil itu.
“Iya Nis..tadi aku masih mencoba merenungkannya. Barusan aku udah nge-chat Farid sama Anas. Aku katakan seperti apa yang kamu katakan padaku”, Niswah membaca pesan itu dengan serius.
“Ya Allah, Alven.. Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya”, balas Niswah secepat ketika ia berbicara.
“Aku sangat berterimakasih sama kamu. Ya sudahlah, aku ingin melupakan mereka semua. Walau berat, aku akan mencobanya perlahan. Sudah Nis, nikmatilah perjalanan mudikmu. Semoga sampai tujuan dengan selamat. Dan kita bisa bertemu kembali”, Alven membalas dengan kata-kata yang sepertinya menginginkan obrolan mereka segera dihentikan. Mungin ia masih perlu banyak merenung.
“Ok, aku juga berterimakasih. Karena kamu sudah mau mendengarkan nasehatku”
 


            Obrolan mereka sudah usai, namun perjalanan masih sangat panjang. Akhirnya mobil yang dinaiki Niswah dan keluarganya sudah memasuki lokasi pelabuhan di Banten. Bersiap untuk dinaikkan ke dalam kapal yang sangat besar. Menyeberangi selat sunda.
            Obrolan itu adalah bukti rasa cinta Niswah pada Alven. Cinta yang dilandasi karena Islam. Ia tak ingin melihat sahabatnya disiksa oleh panasnya api neraka, karena telah berbuat sebuah kemaksiatan. Walaupun nampak sepele, Niswah berusaha membagikan ilmu yang ia pahami untuk mencegah temannya dari perkara buruk itu.
 


            Tiga minggu kemudian, ketika liburan telah usai, Alven mengirimkan sebuah pesan kepada Niswah.
“Niswah, aku semakin yakin dengan perkataanmu. Sekarang Farid juga udah melakukan perbuatan yang keji itu kepada adik kelasku. Dan Anas pun juga sering kulihat bersama seorang perempuan cantik yang tidak salah dia anak dari SMA Swasta sebelah sekolahku”, Alven mengirim pesan itu sepulang sekolah. Hatinya masih benar-benar tidak percaya dengan apa yang terjadi pada Farid. Laki-laki yang hampir saja menjadi pacarnya itu, sudah kebablasan. Untung saja Niswah menyadarkannya.
            Tapi tidak ada balasan sama sekali dari Niswah.
“Aku tahu sekarang, Nis. Pacaran itu memang hanya memuaskan nafsu lelaki yang ia belum siap menikahi wanita. Dan akhirnya hanya bisa mengajak hubungan yang tak halal itu. Terimakasih untuk semua nasehatmu, Nis..”, tambah Alven melalui pesan inbox itu.
Dia tahu jika Niswah memang tidak sedang online. Ia juga tahu jika Niswah tidak mudah mengakses internet di Boarding Schoolnya di Bogor. Jadi sebenarnya ia tahu, bahwa percuma ia berharap Niswah segera membalasnya. Tapi tidak. Niswah tidak membalas bukan karena alasan itu.
Ketika ia pulang dari Aceh, mobil keluarganya tertabrak truk besar dari lawan arah ketika mobilnya akan menyalib kendaraan di depannya. Kecelakaan ituterjadi di daerah Riau. Kecelakaan tragis itu membuat Niswah dan Rara, adiknya tak bisa terselamatkan nyawanya. Sangat mengenaskan, tapi memang itu kenyataannya.
Satu minggu setelah pesan itu Alven kirimkan ke Niswah, akhirnya ada balasan masuk di hand phone Alven.
“Iya, Alhamdulillah. Disana, Niswah senang mendengarnya. Niswah mencintaimu karena Allah, Nak..”, balasan itu dikirim oleh Bunda Niswah, ketika sudah membaca obrolan terakhir mereka ketika perjalanan menuju Aceh kala itu. Alven masih berfikir keras untuk mencerna pesan itu. Apa maksudnya?. Tidak pernah Alven mendengar Niswah menyebut dirinya dengan sebutan namanya. Ia hanya mengatakan ‘aku’ untuk menyebut dirinya sendiri. Dan anehnya lagi, mengapa ada kata-kata ‘Nak’ dalam pesan itu?
Tamat

Jumat, 05 Juni 2015

Tangis Karena Kepanikan


            Ini adalah pertama kalinya aku merasakan apa yang namanya mudik. Ke sebuah Kota di ujung Timur pulau Jawa. Kota yang berseberangan langsung dengan sebuah pulau kecil yang sangat dikenal oleh wisatawan mancanegara. Banyuwangi. Sebuah Kota dimana ayahku dilahirkan dan dibsarkan dalam keluarga yang sangat sederhana. Disana sangat dikenal dengan hasil perkebunannya, seperti jeruk dan naga.
“Sekarang mbak sama ibu dulu yang wudhu, ayah, mas dan adik jaga tas!”, kata ayah mengatur sebuah strategi agar tas kami terjaga aman di mushola terminal Surabaya. Di terminal itu, pencurian dan penjambretan menjadi hal yang biasa. Dan ayah ibuku pun pernah mengalaminya sendiri, sehingga mereka pasti tak mau mengalami kejadian yang kedua kalinya.
“Ya”, kata ibuku.
“Disini kan bu?”, kataku sambil menunjuk ke tempat wudhu yang tertutup
“Iya. Tapi ibu mau ke kamar mandi dulu”


            Akhirnya, setelah 16 jam perjalanan kami pun sampai di Banyuwangi. Jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari. Jalanan masih sangat sunyi. Hanya ada beberapa bus anatr kota yang berukuran sangat besar yang sesekali melewati jalan itu.
            Udara masih sangat segar, dan belum ada polusi asap kendaraan yang akan membuat padat jalanan. Saat itu, aku benar- benar merasakan bgaimana kondisi Banyuwangi yang belum begitu padat oleh pemukiman. Umurku yang sudah 15 tahun , artinya sudah lebih dari 12 tahun aku tidak menginjakkan kaki di Kota itu. Dan kalaupun sudah ketika di usiaku yang mungkin baru 2 tahun itu, aku benar- benar sudah tak mengingatnya sedikitpun.
            Selama 5 hari disana, kami benar- benar memanfaatkan moment itu untuk mengelilingi Banyuwangi, dan mendatangi satu per satu keluarga ayahku yang rasanya sangat banyak sekali. Memang, kedua orangtua ayahku sudah tiada semua, tapi silaturahmi memang tidak boleh terputus dan bahkan diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW. Walaupun, tak ada keluarga yang kukenal satu pun, kecuali keluarga kakak ayahku, namun aku benar- benar menikmati waktu- waktu itu. Berkumpul bersama dengan keluarga yang terpisahkan karena jarak yang sangat jauh.
            Selain bersilaturahmi, ayah juga berziarah ke kedua makan orang tuanya. Dan aku pun juga sempat diajaknya jalan- jalan menyusuri sungai kanal, yang kata ayahku buatan tangan orang Indonesia ketika Belanda masih menjajah puluhan atau ratusan tahun silam. Sungai itu benar- benar membuatku kagum, karena panjangnya hingga mencapai 40 kilometer, dan masih berkilo-kilo meter lagi cabang dari sungai itu yang dialirkan ke sawah- sawah warga di Banyuwangi.
            Lima hari itu berjalan cukup cepat. Ketika kami berpamitan pulang, kami diberi 1 kardus penuh berisi jeruk Banyuwangi yang diapanen sendiri dari kebun pakdhe. Juga bibit poho Naga yang kata ayahku akan ditanam di rumah nanti.   
 


            “Ayah, yang ke terminal dulu siapa?”, tanya ibuku memastikan.
“Pakdhe nganter mbak dulu, ayah nganter mas. Terus terakhir nganter ibu sama adik. Nanti habis balik kesini, ayah dianter pakdhe ke terminal, biar motornya dibawa balik”, kata ayahku.
            Dua motor pun melaju, setelah aku dan adikku bersalaman kepada budheku. Pakdhe memboncengku, dan ayah membonceng adik laki-lakiku. Masing- masing kami ada yang membawa koper, tas dan kardus. Setelah kami berdua sudah berada di terminal, bus- bus antar Kota satu per satu masuk, lalu menghilang setelah penumpang memenuhi sebagian besar kursi di dalamnya. Kemudian bergantian dengan bus lain yang berbeda tujuan. Dan kala itu, kami akan menaiki bus jurusan Banyuwangi- Malang. Tak lama kami berdiri dambil menjaga semua barang, bus jurusan Malang itu datang. Seorang kondektur bus itu berteriak- teriak menawarkan pada para calon penumpang yang berdiri berjajar di sepanjang terminal yang tidak begitu besar itu.
“Mau ke Malang dik?, ayo naik!”, kondektur itu menanyai kami dengan nada tinggi sehingga membuat kami takut dan bingung. Kami tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
“I..i, iya pak”, kataku terbata- bata.
“Ayo naik!, ini bis Malang terakhir lho!”, kata kondektur itu memaksa kami. Tanpa izin kami, kondektur itu tiba- tiba mengambil koper dan kardus kami dan memasukkannnya ke dalam bagasi bus itu. Kami benar- benar bingung ‘apa yang harus kami lakukan?’
“Tapi kita belum bersama orangtua kami pak. Mereka masih dijalan menuju kesini”, kata adikku mencoba mengeluarkan argumen. Dengan berfikir cepat, ia segera merogoh hpnya dari saku kemudian menelepon ibuku. Dia menangis karena takut dan benar- benar bingung. Begitu juga aku. Aku pun juga berfikir, jika kami duluan, kami tak membawa uang cukup untuk mebayar ongkos hingga Malang. Tapi jika tidak naik bis itu, artinya kami harus pulang besok pagi, karena bus itu adalah bus jurusan Malang yang terakhir di hari itu, fikirku.
            Namun, karena barang- barang kami sudah benar-benar tersimpan di dalam bagasi bus itu, tak ada pilihan kecuali kami masuk ke dalam bus itu, kemudian berusaha untuk meminta kepada sopir untuk tidak menjalankan bus itu terlebih dahulu. Ketakutan dan keteganagan semakin menjadi- jadi, ketika kami tahu bahwa bus itu sama sekali tidak mematikan mesinnya. Hanya beberapa menit setelah memastikan bus itu sudah penuh dengan penumpang, maka ia akan melaju. Di sisi lain, orang- orang di sekitar kami seakan menyaksikan kepanikan kami. Entah apa yang dipikirkan dalam benak mereka. Merasa geram kepada kami, yang memperlama keberangkatan bus itu, atau merasa kasihan karena kami benr- benar dipaksa oleh kondektur.
            Waktu kurang lebih 15 menit itu terasa lebih dari 1 jam, karens begitu menegangkan. Akhirnya ayahku datang. Ia menyuruh kami turun dari bus itu, kemudian ia meminta kondektur untuk menurunkan semua barang kami dari bagasi. Ayahku pun berkata tegas dan sedikit marah kepada kondektur itu.
“Kondektur kayak gitu tu biasa nduk! Jangan mau dibohongi. Jam segini pasti masih ada 2 atau 3 bus lagi yang ke Malang”, kata pakdheku memberi penjelasan usai kami turun dari bus itu.
“Iya. Namanya juga cari penumpang. Sekarang cara seperti itu udah biasa dilakukan, walau membohongi calon penumpang”, tambah ibuku.
“oh, gitu ya”, kataku, yang kemudian aku dan adikku menimpali dengan anggukan keras.
            Dari sana aku tahu. Dalam menghadapi situasi apapun, janganlah kita panik. Jika panik, biasanya akal kita justru tidak bisa berfikir secara rasional. Dan jangan mudah pula tertipu kata orang lain yang belum kita kenal, apalagi daerah tersebut masih sangat asing bagi kita. I hope can usefull for all of you.

Keajaiban-Nya Kepada Seorang Ibu


                Di suatu malam yang gelap. Seorang ibu sedang berusaha menidurkan buah hatinya yang baru saja berumur sekitar 3 bulan itu. Malam itu, listrik sedang padam dan seorang penjaga terhebat keluarga sederhana itu, yaitu seorang ayah sedang bertugas di luar kota. Suasana serasa mencekam, ketika seorang anak perempuan yang merupakan kakak dari 2 adik itu ingin segera memejamkan mata untuk beristirahat. Rasa dingin yang mengusik tulang, ditambah kegelapan malam yang menyelimuti Desa yang masih ditaburi sawah dan kebun yang hijaunya senantiasa menyegarkan mata.
                Bunyi kodok terdengar begitu kompak, mengingat disebelah kanan dan belakang rumah itu, sawah membentang luas. Lilin batangan menyala dengan sinar redupnya diatas rak lemari kayu untuk menyimpan pakaian si bayi. Ditempelkan pada sebuah cangkir keramik mungil yang dibalik agar mendapat bagian yang datar. Entah karena apa, akhirnya anak perempuan yang baru berumur 10 tahun itu terlelap disebelah adik bayinya yang dia nanti-nantikan cukup lama. Menyelimuti dirinya sendiri dengan sehelai kain yang tak lepas dari tubuhnya setiap malam.
                “Bu, temani aku tidur disini!”, pinta seorang anak keduanya yang masih berumur 7 tahun. Ia memberanikan diri tidur di kamar belakang, yang akhirnya tetap ingin didampingi.
“Iya nak. Nanti kalau adikmu sudah tertidur ibu akan kesana menemanimu”, kata ibunya sedikit berteriak dari kamar sebelah. Setelah sang bayi itu terlelap, sang ibu kemudian beranjak untuk memenuhi janjinya. Di kamar yang berada disebelah kamar sang bayi, ia mendekati anak keduanya, kemudian memeluknya hangat. Dan mungkin karena kelelahan dengan aktivitas sehariannya, tak lama sang ibu pun tertidur nyenyak di sisi anak laki-lakinya itu.
                Malam terus bergulir, bintang-bintang masih memenuhi langit-langit bumi. Bulan masih bersinar dengan cerahnya. Tiba-tiba suara teriakan yang samar-samar muncul dari kamar sebelah. Kamar dimana sang bayi dan kakak perempuannya berada. Mengagetkan.
                “Panas...panas..panas!“, teriakan itu berulang kali. Teriakan yang muncul dari mulut anak perempuannya. Rupanya, dia tidak sepenuhnya terbangun dari tidur. Mungkin setengah tubuh dan fikirannya melayang jauh entah kemana. Teriakkan seakan minta tolong itu keluar dari mulutnya dikarenakan hawa panas yang merambat disekujur badannya. Dia berdiri menjauh. Memojokkan dirinya di sudut kamar yang masih berada diatas kasur. Mencari perlindungan, dan berusaha menyelamatkan diri dari ketidaknyamanan itu. Matanya pun masih belum terbuka sempurna.
                “Aaaa..panas..panas. Ibu..panas!”, teriaknya untuk kesekian kalinya.
                Entah bisikan apa dan siapa. Sang ibu terbangun, dan denagn sigap ia sudah berada di dalam ruangan kamar dimana bayi masih dalam keadaan yang nyenyak.
“Innalillahi.. Ya Allah anakku!” Seribu keterkejutan membuatnya tak berfikir panjang. Setelah ia menyelamatkan bayinya dengan memindahkannya di kamar sebelah, ia berlari sekuat tenaganya menuju jamban dalam kegelapan tanpa nyalanya lampu sedikitpun. Meraih sebuah ember berukuran besar, yang berisi air penuh.
Siapapun akan yakin, bahwa tidak mungkin seseorang mengangkat air sebanyak itu dengan tangannya sendiri. Itu sebuah kemustahilan. Tapi, dsisi lain, semua orang pasti sudah mengerti pula, kekuatan seorang ibu demi menyelamatkan malaikat kecilnya takkan terkalahkan dengan hewan sebuas apapun. Apapun yang terlihat mustahil, bisa terjadi olehnya. Demi anaknya, segala jerih payah mau ia lakukan. Deminya, harta benda mau ia korbankan. Deminya pula, nyawa pun dengan mudah ia relakan.
Sehingga dengan kekuatan diluar dugaan itu, sang ibu berlari kembali ke kamar. Dengan cekatannya, ia mengguyur semua air itu ke lemari kayu. Tak bersisa. Hingga benda merah yang berkobar itu musnah tak nampak lagi. Seketika itu pula, anak perempuannya tersadarkan dari mimpi bercampur kenyataan buruk yang masih terngiang dibenaknya.
Ketika ia terbangun, ia melihat lilin diatas cangkir yang terbalik itu rupanya sudah tak nampak lagi. Hanya menyisakan abu, dinding diatas lemari yang ternodai warna hitam memanjang keatas, dan gosong yang hampir menyelimuti rak pertama dan kedua lemari yang menyimpan segala macam pakaian adik tercintanya itu. Ia memeluk ibunya dengan genggaman yang erat. Tak ingin terlepas, demi harapan tak ingin terulang kembali peristiwa mengagetkan itu.
Dan di peristiwa itu, sebuah keajaiban yang lain tanpa disadari juga telah terjadi. Bayi yang tidur sangat dekat dengan kobaran api di lemari kayu itu tak sedikitpun terusik. Matanya masih terpejam sempurna, dan tubuhnya pun tak bergerak-gerak sedikitpun dengan maksud mencari perlindungan. Mungkin Yang Maha Kuasa memang memiliki rencana lain. Menyelamtkan si bayi tercinta yang sudah dianantikan oleh keluarganya sekian lama itu. 

# Kisah ini dikutip dari sebuah kenyataan. Cerita ini bukanlah khayalan, atapun fiktif belaka yang mengandung kebohongan.                                                                    
# Semoga Allah mendengar dan mengabulkan segala yang diharapkan sang ibu untuk anak-anak tercintanya. Semoga pula segala do’a diijabah oleh-Nya, dan segala pengorbanannya dibalas dengan Jannah yang ia dambakan.  Amin.

Sebaik- Baik Manusia


Hari itu tantangan datang kembali. Adventure ini tidak semua orang mampu menaklukannya. Tidak semua pelajar SMAIT Alam itu yang sudah terlatih baik fisik maupun mental itu mampu melewatinya. Adventure ini tak hanya membutuhkan kerja otot, atau kerja fisik yang kuat. Adventure yang akan menghabiskan waktu sekitar 2 hari ini benar-benar akan menguji mental, kepedulian dan kesabaran setiap murid disana.
                Jumlah mereka hanya sekitar 12 orang. Kali ini agar lebih menantang, mereka dibagi menjadi 4 kelompok yang masing- masing berjumlah 3 murid. 
 


                “Anak- anak, sepuluh menit lagi kita breafing!”, pekik salah satu guru mereka di teras salah satu kelas. Guru yang sangat tegas itu biasa mereka panggil Pak Agus.
“Eh, kamu udah bawa jas hujan belum?”, kata Fahmi kepada Zaid yang sejak tadi nampak santai.
“Jas hujan? Emang disuruh bawa ya?”
“Kapan sih kita adventure nggak disuruh bawa barang yang penting itu?”
“Tapi kan ini lagi musim panas.. berat-beratin tas aja!”
“Ahk, terserah kamu lah!”, kata Fahmi sambil meninggalkan kamar mereka yang berada di lantai dua gedung sekolah sekaligus asrama yang terdiri dari tiga lantai itu.
                Suasana di gedung itu tak jauh berbeda seperti biasanya. Suara guru mengajar di kelas- kelas sore. Bunyi pesawat- pesawat TNI AU yang tak henti-hentinya menembus awan diatas gedung yang tak sampai 2 kilometer dari pangkalan para TNI AU.  Pesawat tempur mungkin.
Setelah mengucapkan salam, Pak Agus memulai menjelaskan. “Saya akan membacakan pembagian kelompok selama kalian melakukan longmarch ini. Kemudian saya akan memberikan selembar kertas yang menjelaskan jalan yang harus kalian tempuh hingga sampai di pantai Wedi Ombo, serta peraturan selama perjalannya”, kata Pak Agus memulai breafing di sore yang matahari sudah hampir terbenam itu.
“Kelompok 1: Dika, Azzam, & Irfan. Kelompok 2: Haidar, Anas, & Fatih. Kelompok 3: Zidny, Rizal, & Farhan. Kelompok terakhir: Fahmi, Zaki , & Zaid”
Oh my God,aku sama Zaid?”, bisik Fahmi pada Haidar yang duduk di sebelahnya. Kemudian ia melirik ke arah Zaid yang duduk di barisan paling depan.
“Ha.ha. nggak apa-apa. Kamu mesti bisa”, kata Haidar mencoba menenangkan Fahmi yang sudah trauma dengan sifat Zaid yang cukup sulit diatur dan diajak kerja sama.
“Baik. Kalian kan sudah paham. Semua teman itu sama. Kalian bukan anak- anak lagi. Teman bukanlah persoalan yang menjadi perselisihan lagi. Dan calon pemimpin yang hebat tak pernah menjadikan permasalahan apapun menjadi penghalang untuk meraih kemenangan dan kesuksesan ”, kata Pak Agus memberi pemahaman kepada ke 12 muridnya itu.
“Tuh..kan? Denger?”, kata Haidar balik berbisik kepada Fahmi
“Hhh,iya”, timpal Fahmi sambil melengoskan pandangan ke depan. Mengalihkan pembicaraan menghadap ke guru yang masih terus menjelaskan di depan kelas.
“Baik. Ini saya bagikan kertas penunjuk perjalanan. Nanti kalian akan didampingi oleh Pak Ahmad dan Pak Ihsan. Kalian tidak boleh mengeluh kepada mereka atau meminta tolong kecuali teman di kelompok kalian tiba- tiba pingsan”, lanjut Pak Agus sambil menyerahkan 4 lembar kertas yang tertera peta menuju pantai Wedi Ombo. Pantai yang menjadi tujuan akhir longmarch ini.
“Longmarch ini akan kalian tempuh dengan jarak sekitar 100 km”, kata Pak Agus dengan muka tanpa beban sedikitpun.
“Waw!”, serempak mereka seketika merespon
“Masya Allah”, kata yang lain.
“Nanti kalian akan memulai perjalanan dari sini. Kelompok kedua berangkat 15 menit setelah kelompok pertama sudah berjalan. Dan seterusnya. Jadi nanti di akhir, jarak kebarangkatan kelompok satu dengan kelompok empat sekitar 1 jam”
“Wah,kelompok ku terakhir lagi!”, kata Fahmi mengeluh rendah, yang kemudian di dengar Haidar.
“Nggak apa- apa. Pasti ada rencana lain yang sudah dirancang Pak Agus. Mana mungkin kelompok terakhir disetting paling belakang agar kalah?”
“Hmmm, iya sih..”
“Nanti saya, Pak Ahmad dan Pak Ihsan juga berjalan di sela-sela kalian. Tapi bukan berarti mendampingi kalian. Kami hanya memastikan seluruh kelompok mengitu rute yang sudah diperintahkan. Dan yang paling penting kalian pahami adalah ‘Longmarch ini bukan perlombaan untuk meraih juara satu. Akan tetapi, ilmu  yang terpenting yang harus kalian dapatkan nanti adalah mental yang kuat pasti akan dapat mengalahkan otot yang tampak jauh lebih bertenaga’. Maka, kalian tidak perlu saling ashobiyah hanya dengan pembagian kelompok ini. Kalian juga tidak boleh mementingkan diri kalian sendiri. Pemenang bukanlah yang sampai titik finish paling pertama, yaitu di pantai Wedi Ombo. Namun, ia yang mampu membawa seluruh anggota kelompoknya hingga titik finish longmarch ini dengan semangat dan keceriaan. Tidak ada anggota yang sakit maupun tersakiti karena keterpaksaan. Ia lah yang mampu memberi support kepada temannya, sehingga dapat meraih garis finish bersama- sama. Faham?”, penjelasan Pak Agus benar- benar mengobarkan semangat mereka.
“Faham pak”, balas mereka dengan wajah yang sumringah.
“Dan terakhir. Perlu kalian tancapkan dalam hati dan fikiran kalian ‘Sebaik- baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain’.  Bukan ia yang menang dengan perjuangannya sendiri, tanpa mau tau bagaimana kondisi teman disebelahnya. Ok?”
“Baik pak”  

                Adzan isya’ berkumandang, dan mereka pun menunaikan sholat berjamaah sebelum perjalanan panjang itu dimulai. Setelah berdoa’a, kelompok pertama memulai langkahnya.
“Dika, kamu paling belakang, aku depan, dan Azzam tengah!”, perintah Irfan yang ditunjuk jadi ketua di kelompok satu
“Ya”, jawab Dika dan Azzam.
 “Nanti kalau diantara kita ada yang lelah, sampaikan aja! Tidak perlu takut, malu atau sungkan. Justru jika nanti diantara kita tidak tahu kondisi antara satu dengan yang lain, kelompok kita malah tidak kompak. Ok!”
“Hm, ya kak”, kata Azzam dan Dika yang mereka satu tahun dibawah usia Irfan.
“Oh ya, inget ya. Jangan terlalu banyak minum! Nanti kita malah mudah lelah!”
 “Hati- hati ya. Semoga kalian selalu dalam lindungan Allah!”, suara teman- teman dari kelompok lain mengantarkan keberangkatan mereka.
“Ya, doakan kami!”
                Malam itu telah dilahap dengan kegelapan, walau jalanan masih menggerutukan mesin- mesin dan klakson- klakson kendaraan, yang kian hari kian padat. 15 menit, 30 menit, dan 45 menit berlalu, akhirnya kelompok terakhir pun melangkahkan kaki mengikuti jejaj kelompok- kelompok berikutnya.
                Suara- suara kendaraan itu semakin menghilang ketika mereka sudah memasuki dataran tinggi di daerah Gunungkidul. Suara kodok, jangkrik, dan angin malam yang berhembus menemani nafas mereka yang semakin tersengal-sengal karena medan yang terus menanjak tanpa tahu diri.
“Ih, kamu lama itu! Dikit- dikit istirahat. Hh..Udah tau kita kelompok terakhir. Jangankan bisa menyalip kelompok pertama, hh..hh..kita sampai pantainya saja kalau kamu kayak gini terus kapan sampainya?”, kata Fahmi dengan sedikit emosi ketika mereka istirahat di pinggir jalan. Nafasnya tersengal-sengal
“Ini kan nanjak terus! Cape tau!”, kata Zaid mendesah
“Sudah, jangan bertengkar. Perjalanan ita masih sangat jauh. Ini belum ada apa- apa. Mungkin baru 6 km kita berjalan. Masih ada 94 km lagi yang harus kita lewati. Kalau kalian bertengkar terus, kapan sampainya? ”
“Tapi kak, kita sudah ketinggalan jauh banget sama kelompok 3. Apalagi kelompok 1? Kita baru jalan 6 kilometer, tapi karena dia kita udah berapa kali berhenti  buat istirahat?”, kata Fahmi menimpali dan masih terus menyalahkan Zaid. Zaid hanya terdiam sambil menunduk. Bukan karena takut atau merasa bersalah. Dia memang orang yang memiliki tipe sangat cuek. Dikatakan apapun dia tak kan merasa bersalah.
“Sudah lah! yuk kita lanjutkan!”, ajak Zaki sambil menarik tangan Zaid “Ayo Zaid, kamu pasti kuat!”. Mereka kembali melangkahkan kaki, setelah sekian kali beristirahat. Zaki tidak henti- hentinya memberi semangat pada kedua temannya itu.



                “Kamu kambuh ya asmanya?”, tanya Haidar yang melihat Fatih terjongkok beberapa menit setelah ia berhasil menyusulnya dari belakang.
“Iya. Nih, kita kasih oksigen aja!”, kata Anas yang sudah mendudukkan Fatih dipinggir jalan. Di atas rerumputan yang tumbuh cukup subur.
“Kak, gimana kalau kita cari tempat yang bisa untuk istirahat Fatih? Misal gubuk, atau Mushola kalau kita melihatnya di pinggir jalan?”, kata Haidar memberi usulan kepada Anas.
“Hm, ide bagus. Ya tunggu biar Fatih udak agak kuat. Biar bisa jalan”



                “Ya sudahlah! jika kalian ingin istirahat terus. Aku cape nunggu kalian. Aku jalan duluan. Perjalanan kita kurang 10 kilometer lagi!”, bentak Irfan kepada Dika dan Azzam.
“Kita cape kak! Kakiku pegel-pegel. Lagipula belum ada kelompok yang bisa menyalip kita!”
“Ok. Aku akan jalan dulu, & kalian nanti nyusul”, kata Irfan sambil menggendong tasnya dan melangkahkan kaki dengan bersungut-sungut. Emosinya sudah semakin memuncak. Perjalanan jauh itu memang menguji kesabaran dan kekuatan mental mereka.
                Tiba-tiba kelompok kedua yang terdiri dari Haidar, Anas, & Fatih berpapasan dengan Dika dan Azzam yang baru saja beranjak, dan akan melanjutkan perjalanan menyusul Irfan yang entah sudah sejauh mana.
“Kok kalian cuma berdua? Kak Irfan kemana?”, kata Haidar
“Udah duluan, katanya cape nungguin kita. Ya sudah, kita biarkan saja”, kata Azzam menjelaskan.
“Lho, kok gitu sih?”
                Setelah kejadian itu, akhirnya kelompok dua pun berhasil menyusul kelompok pertama. Perjalanan aspal yang di kanan kiri penuh dengan hutan dan perkebunan itu masih menyisakan sekitar 8 kilometer lagi yang harus mereka tempuh. Artinya sekitar 2 jam lagi, mereka bisa mendengar desiran ombak pantai yang akan memberi kelegaan kepada mereka. Fatih yang sesekali asmanya kambuh itu tak menghalangi mereka untuk terus maju melangkah, walau sesekali mereka harus melayani satu temannya itu untuk beristirahat dan menghirup oksigen dari tabung yang mereka bawa.



                Zaid. Seorang murid yang sejak dulu dikenal sangat sulit diatur dan sangat cuek. Banyak sekali teman-teman yang tidak menyukainya. Dan di adventure kali ini pun, ia kembali lagi membuat ulah dengan teman-temannya. Zaki, murid kelas 11 yang sekelompok dengan Zaid berusaha membujuk dan terus menyemangatinya agar langkah mereka tak berhenti hanya karena dia. Sedangkan Fahmi yang punya ego cukup tinggi, membuat Zaki benar-benar mengeluarkan tenaga untuk mengahadapi kedua adik kelasnya tersebut.
“Udah ah, aku duluan aja kak! Kalau kita menunggu Zaid terus gini, aku yakin kita nggak akan nyampe dengan waktu yang sudah disediakan. Terserah kak Zaki mau bareng aku, atau tungguin kita”, kata Fahmi kembali menggerutu.
“Ok. Zaid dengerin aku! Kamu tau kan? kalau kamu itu sebenarnya kuat. Udah berapa kali kita jalan seperti ini walau belum sejauh jarak ini. Sudah berapa kali juga kita mendaki bukit & gunung? Tantangan ini nggak boleh buat kamu terhenti! Lakukan yang terbaik! Perjalanan yang belum kita tempuh tidak sejauh dari sekolah hingga kamu duduk disini. Artinya kita semua bisa! Dan aku juga yakin, kamu pasti juga tahu, semakin banyak kita istirahat, semakin mudah pula badan kita kelelahan”, Zaid hanya menundukkan kepalanya, walau sebenarnya ia mendengar nasehat Zaki. “Kamu dengar kan?”
“Iya”, kata Zaid dengan lemas.
                Nasehat itu berkali-kali Zaki bisikkan ke telinga Zaid. Dia tak lelah-lelahnya memberikan semangat kepadanya. Dan semua itu membuahkan hasil yang nyata. Sekitar 1 jam mereka berjalan, mereka berhasil menyusul kelompok 3 yang mereka temui sedang beristirahat di sebuah gubug. Jam menunjukkan puku 02.30, dan ketika itu suara ombak sudah mulai terdengar oleh keompok 4. Mereka terus berjalan berbaris dengan langkah yang semakin gontai, tapi tak ingin untuk berhenti.
“Ya Allah, Alhamdulillah, ombaknya udah terdengar”, kata Zaki sengaja berteriak untuk menyemangati kedua temannya. Tak ada sautan sedikitpun. Sekitar dua jam mereka berjalan lagi, mereka menemukan kelompok 1 sedang duduk berjajar di rerumputan. Mereka sedang memejamkan mata sejenak, sambil bersandar pada tas yang mereka gendong dengan posisi sedikit berbaring. Dan mereka pun seketika terbanugun ketika cahaya senter dari kelompok 4 itu mengibas muka Irfan.
“Wah, udah sampai. Kalian kelompok 4 kan?”, tanya Irfan memastikan
“Iya. Duluan ya!”, kata Zaki menjawab karena kedua teman yang berjalan di depannya sama sekali tidak memberi tanda apapun untuk mau berbicara sejak tadi.
“Hm..iya”
                Suara ombak semakin terdengar keras. Dan kelompok 2 sudah berhasil menginjakkan kaki mereka di pasir putih yang terhampar nan luas itu. Mereka bersujud seketika. Tak ada yang dapat mereka katakan selain rasa syukur karena Allah membantu mereka, walaupun Fatih berkali-kali membuat kedua temannya harus menunggunya untuk menghirup tabung berisi oksigen. Setengah jam kemudian, kelompok 4 sudah berada di puncak jalan aspal. Satu turunan terakhir, mereka akan menyusul kelompok 2. Menginjak pasir putih dan berbaring diatasnya menikmati bintang-bintang disepertiga malam terakhir.
“Ya Allah, itu pantainya!”, Zaid berteriak. Akhirnya dia mau mebuka mulutnya. Wajahnya benar-benar seperti anak kecil yang bertemu orang tuanya setelah berpisah beberapa jam di dalam mall. “Itu pantainya kak Zaki! Kita sudah sampai!” Dia kembali berteriak sambil menunjukkan telunjuknya dan menghadap ke Zaki yang berjalan tepat dibelakangnya.
“Iya Zaid. Alhamdulillah, kita sudah sampai!”, kata Zaki dengan tenang. Mereka bertiga benar-benar berlari sekencang-kencangnya. Menggunkan sis-sisa tenaga mereka yang sudah benar- benar terkuras habis. “Pantai Wedi Ombo”. Tulisan di atas kayu yang berdiri besar diatas tiang besi didekat tempat parkir. Setelah mereka benar-benar berada diatas pasir pantai itu, Zaid melemparkan tasnya, dan bersujud. Dia benar- benar seperti mendapat medali emas kala itu.
                Ternyata, selama mereka berjalan. Secara diam-diam, ketiga guru mereka mengawasi setiap beberapa kilometer. Menyaksikan bagaiamana mereka bekerja sama dalam kelompok, dan apa yang mereka lakukan selama di perjalanan.
               
                Usai mereka menikmati sarapan bersama di pantai itu, mereka diberi kejutan oleh para guru mereka. Diberi sebuah syal yang yang bertulisakan “Longmarch to Wedi Ombo Beach, 5 Januari 2014”. Selain itu juga diumumkan siapakah pemenangnya. Dan hasilnya, kelompok yang menang adalah kelompok 2, sedangkan murid yang mendapat penghargaan secara individu adalah Zaki.
                Subhanallah.. inilah sebuah kisah nyata yang menyampaikan pesan kepada kita bahwa pemenang adalah bukan mereka yang hanya memiliki fisik kuat. Akan tetapi mereka yang memiliki mental pantang menyerah dan senantiasa membagikan mental hebat itu kepada orang lain.

  

Menolong Karena-Nya


                “ Has, mau nggak temenin aku?”, tanya Vela suatu hari di salah satu kamar di Rumah Tahfidz SMA putri. Hasna tidak mendengar suara itu. Ia sibuk membuka- buka lembaran Al- Qur’an Juz 29.
“Has?”, kata Vela memanggilnya lagi.
“Ha.. eh Vela, ada apa Vel?”, akhirnya ia tersadar ketika sebuah lambaian tangan mengayun di depan mukanya. Tangan Vela.
“Mau nggak temenin aku ambil sesuatu?”
“Hm..ambil apa?”
“Ambil motor di stasiun lempuyangan”
“Oh, kamu dipaketin motor dari rumah? Alhamdulillah, nambah 1 motor lagi donk asrama ini nanti”
“Mau nggak? Kamu mau ujian Tahfidz ya besok?”
“Hmm..ya, yuk gak apa-apa!”, jawab Hasna mengiyakan ajakan itu.
                Setelah mereka berhasil meminjam motor salah satu Ustadzah, mereka pun pergi ke stasiun Lempuyangan. Sesampai disana, Vela bingung dimana tempat mengambil motor itu berada. Berkali-kali mereka menelepon bapak yang bertugas mengurusi pengiriman paket motor itu dengan menggunakan HP Hasna, karena HP Vela sedang tidak ada pulsa. ‘Nomor yang anda tuju tidak menjawab’. Berkali- kali suara itu yang muncul dari Hpnya. Mereka pun semakin bingung. Hingga pada panggilan yang ketujuh atau kedelapan, bapak itu pun mengangkat walau suara diujung sana tidak terdengar begitu jelas. Ditambah suasana stasiun Lempuyangan yang sangat ramai.
                Tapi untungnya pesan penting dari bapak itu tersampaikan pada kami. Intinya, bapak itu meminta kami untuk ke stasiun Tugu, karena tempat pengambilan barang paket, termasuk motor ada disana, bukan di Lempuyangan. Akhirnya setelah membayar parkir, mereka pun memutuskan untuk langsung menuju stasiun Tugu.
“Kamu tahu kan Has jalannya?”
“Nggak tahu. Aku belum pernah kesana. Hmm..gimana ya? Oh, aku tanyakan saja ke bapak itu”, kata Hasna memberi solusi, kemudian ia menunjuk kepada seorang satpam yang berdiri di dekat pintu keluar stasiun Lempuyangan. Dia mendekatinya, dan memberanikan diri untuk bertanya. Walau tidak sepenuhnya terbayang, setidaknya ia berhasil memahami rute yang harus mereka tempuh hingga sampai di stasiun Tugu.
                Akhirnya melajulah motor itu, dan Vela masih membonceng Hasna. Dengan pengetahuan geografinya, ia gunakanlah hal itu untuk memberi pengarahan kepada Vela. Keduanya memang bukan asli orang Yogyakarta, sehingga mereka belum tahu banyak jalan di Kota itu. Sekitar 20 menit, akhirnya mereka sampai di stasiun Tugu, kemudian mempakirkan motor. Walaupun sebelumnya mereka sudah dibuat beberapa kali salah jalan dan salah sasaran. Jalanan yang sangat padat dan masih asing itu menambah kebingungan mereka. Tapi, ternyata mereka salah.
“Vel, ternyata ini pintu Utara, bukan Selatan. Tadi bapaknya bilang, kalau tempat pengambilan paket itu ada di pintu stasiun sebelah Selatan”, jelas Hasna kepada Vela karena ia sudah mendapat penjelasan dari bapak tadi.
“Terus gimana? Kita tanya siapa ini?”
“Hmm, itu ada penjaga di tempat pembayaran parkir”, ia menunjuk seorang perempuan berkerudung di dalam loket pembayaran parkir. Hasna pun kembali bertanya. Ia diberi penjelasan rute menuju pintu Selatan.
                Perjalanan dimulai kembali. Mereka  keluar dari tempat parkir itu setelah membayar parkir kedua kalinya dengan sia- sia. Dan, untungnya tidak begitu jauh, dan rutenya tidak serumit yang tadi. Tidak sampai 10 menit akhirnya mereka sampai, dan kembali lagi memarkirkan motor. Dan mereka pun langsung mencari nama dimana motor Vela dikirim memalui jasa pengiriman itu. Setelah menemukan nama kantor yang dicari itu, mereka memastikan apakah benar motor Vela berada di tempat itu. Dan ternyata Nihil. Belum ada tanda- tanda sedikitpun. Kata penjaga kantor itu, mungkin sekitar 2 jam lagi akan datang.
Subhanallah..ternyata ada lagi tantangan yang harus mereka lalui hari itu. Akhirnya Vela mengajak Hasna untuk ke Masjid karena adzan Asar sudah terdengar sejak tadi. Sebelumnya mereka membeli minum di sebuah warung angkringan. Disana setelah sholat Asar berjamaah, mereka membaca Al- Qur’an, dan tak lama Hasna tertidur di atas sajadah semacam karpet di Masjid itu. Ia benar-benar kelelahan karena terik matahari yang sangat menyengat itu.
“Has, bangun yuk!, udah jam lima. Semoga motornya udah sampai”, kata Vela dengan sambil membangunkan Hasna.
“Heeh, iya”. Mereka pun berjalan dengan sisa tenaga yang ada. Menuju kantor yang tadi sudah mereka temukan. Alhamdulillah, ternyata benar, motor Vela telah datang. Namun, sekitar 15 menit mereka menunggu antrian karena banyak sekali orang yang juga mau mengambil atau mengirim berbagai macam paket.
                “Ini kan motornya?”, akhirnya giliraan mereka datang. Semua kardus dan plastik yang menyelimuti motor itu dilepas, dan setelah mendapat kunci dari petugasnya Vela pun menyalakan motor itu. Uppss.. tidak bisa. Dan ternyata bensin di dalam motor itu tak ada setetes pun sepertinya.
“Nanti beli bensin aja disana mbak! Disana ada penjual eceran”, kata bapak petugas itu kepada mereka. “Kalau motor yang dipaketin memang sengaja dikosongkan tangkinya dari bensin, biar aman waktu dibawa kereta”
“Oh, gitu ya pak. Terimakasih pak!”
                Mereka harus mengisi bensin di motor Vela.
“Has, aku baru inget. Uangku tinggal dua ribu. Kamu bawa uang nggak?”, tanya Vela sambil menuntun motornya. Sedangkan Hasna menaiki motor yang mereka pinjam dari Ustadzah dengan perlahan.
“Wah..iya? aku nggak bawa uang sama sekali”
“Ya Allah, gimana ya? Wah, itu di depan kita harus bayar parkir motor, lagi!”, kata Vela sambil menunjuk motor yang dinaiki oleh Hasna. Ternyata Vela hanya membawa uang delapan ribu ketika itu. Dua ribu pertama mereka gunakan untuk membayar parkir di stasiun Lempuyangan. Dua ribu kedua mereka gunakan untuk membayar parkir di stasiun Tugu di pintu Utara. Dua ribu ketiga mereka gunakan untuk membeli minum, karena mereka benar- benar kehausan. Dan terakhir untuk membayar parkir kembali di pintu Selatan stasiun Tugu itu. Dan, habislah uang mereka. Tak tersisa sepeser pun.
 “Heh..berarti tak ada cara lain kecuali kita harus berhasil membujuk penjual bensin untuk memberikan bensin ke motor kamu. Mungkin kita bisa meninggalkan barang jaminan”, kata Hasna mencoba berfikir solutif. “Ya, semoga saja penjualnya berbaik hati dan kasihan pada kita”
“Iya, amin”
“Ya sudah, sekarang aku duluan, mengecek penjual bensin itu ada di sebelah mana”, kata Hasna memberi usulan.
“Ok, tapi jangan tinggalin aku lho!”
“Iya, tenang aja!”, kata Hasna, yang kemudian menjalankan motornya. Ia enggan menyeberang, sehingga ia berjalan menepi di sebelah kanan. Untung jalan besar itu tidak seramai biasanya. Hanya sekitar 150 meter dari stasiun Tugu, ia pun menemukannya. Bapak itu sedang membenahi sebuah motor milik seorang laki-laki yang duduk menunggu di sebuah kursi. Selain bensin, bapak itu membuka bengkel.
                Hasna pun mematikan mesin motor yang dinaikinya, kemudian menunggu Vela yang sedang menaiki motornya pelan-pelan. Rupanya ia memanfaatkan sisa-sisa terakhir bensin di tangki motornya. Setelah Vela sampai, mereka pun berunding bagaimana cara membujuk bapak itu agar mau membantu mereka. Laki-laki yang sedang menuggu motornya yang sedang diperbaiki itu, sepertinya bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan. Entah tahu atau tidak, dan mereka sengaja menunggu laki-laki itu pergi. Dan akhirnya, Hasna pun kembali memberanikan dirinya berbicara kepada orang yang belum dikenal itu. Berusaha membujuk suatu hal yang belum pernah sekalipun ia lakukan.
“Hmm, pak maaf. Jadi begini, kami baru saja mengambil kiriman motor...dan bla..bla..bla”, ia menjelaskan dengan wajah yang sedikit takut, karena bapak itu tak senyum atau merespon sedikitpun. Sepertinya ia sudah tahu, kata-kata apa yang akan mereka katakan pada intinya. “Jadi, jika kami meninggalkan jaminan bisa tidak pak? Dan yang kami bawa saat ini hanya STNK.”
“Oh, kalau STNK tidak bisa mbak. Saya maunya SIM atau KTP paling tidak”
“Aduh, kita kan belum punya semua itu”, bisik Vela kepada Hasna.
“Hm, kami belum punya pak”, kata Hasna kepada bapak itu sambil terus berfikir. “Apa ya Vel yang bisa dijadikan jaminan selain itu?”, tanya Hasna meminta pendapat pada Vela. Dia pun terus berfikir sambil menatap kedua motor yang terparkir di pinggir jalan itu.
                Sepertinya kala itu ada Malaikat yang membisiki untuk membantunya. Dia baru sadar jika helm yang mereka bawa ada tiga. Dua yang mereka pakai dari rumah, dan satu lagi paket yang menyatu di motor Vela.
“Hm, kalau..u, helm bisa pak?”, kata Hasna sedikit terbata-bata karena takut dan malu.
“Oh, helm? Ya, bisa mbak!”
“Bisa pak?, Alhamdulillah, akhirnya Vel”, kata Hasna pada Vela yang sejak tadi hanya diam.
“Baik pak, besok siang atau sore kami kesini lagi ya pak. Karena kalau pagi kami masih sekolah. Kalau malam ini, sudah tutup ya pak bengkelnya?”, kata Vela seperti sudah mendapat kekuatan untuk kembali berbicara.
“Oh, iya mbak. Nggak apa-apa. Besok sore aja”, kata bapak itu dengan ramah.
                Akhirnya mereka pun bisa pulang dengan tenang. Hari itu, cobaan Hasna dalam membantu Vela memang berlipat-lipat, dan ada-ada saja. Walaupun keesokannya ia harus menghadapi ujian Tahfidz Juz 29, ia tidak enggan membantu orang lain, tentunya hanya karena-Nya. Dan dengan seizin Allah, ia pun dimudahkan dalam menghadapi ujian itu, dan mendapat nilai yang sangat memuaskan.