Pages

Senin, 11 September 2017

Cahaya Yang Tak Pernah Padam

Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (At-Taubah: 32)

Ibnu Katsir dalam tafsir nya mengatakan : Yakni petunjuk dan agama yang hak yang Allah turunkan melalui Rasulullah Saw. Mereka bermaksud memadamkannya dengan bantahan dan kedustaan yang mereka buat-buat. Allah mengumpamakan perbuatan mereka itu dengan seseorang yang berkeinginan memadamkan sinar matahari atau cahaya rembulan dengan tiupan. Dengan kata lain hal ini jelas tidak mungkin dan tidak ada jalan untuk itu. Maka demikian pula apa yang disampaikan oleh Allah melalui Rasul-Nya, pasti akan sempurna dan akan menang. Maka Allah pun menjawab apa yang ingin mereka lakukan, yaitu dengan lanjutan dalam ayat ini ; dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. 

Betapa banyak makar orang orang kafir dan munafik yang sangat ingin menghancurkan islam, menutup-nutupi cahaya islam yang terang benderang, yang ingin memecah belah umat islam sehinga menjadi lemah dan akan mudah untuk diperbudak.

Dengan asas kapitalisme, maka para pemilik kapital atau modal itu dengan mudah mengadakan segala cara untuk merusak kesatuan umat islam, dan menghalangi rahmat nya agar tidak menaungi seluruh alam semesta. Dengan uang, mereka menyembunyikan kebenaran, dan mengada-ngada segala kebohongan di dalam media. Mereka memutar balikkan fakta demi menjatuhkan islam dan umat nya. Dengan uang ia membunuh, menindas, menghancurkan negeri negeri kaum muslim tanpa alasan. Brutal dan bengis. 

Dengan kekuasaan mereka mengatakan islam itu kejam, islam itu kekerasan, terorisme, intoleran, agama permusuhan, tiada mengenal perdamaian, gemar perang dan anti kebhinnekaan. Segal hal yang buruk mereka cap kan pada islam dan ummat nya. Lisan para pengemban dakwah dibungkam. Ulama para pewaris nabi dikriminalisasi. Organisasi yang senantiasa menebarkan kebaikan dibubarkan tanpa sedikitpun duduk di peradilan. Segala akses dakwah diawasi. Begitu miris dan diktator.

Namun, apakah berhasil semua usaha mereka? Apakah makar itu berhasil memadamkan cahaya Allah yang tak akan ada yang mampu menghalau? Apakah cahaya matahari mampu dikalahkan terang nya oleh percikan api di bumi?

Tidak akan. Karena Islam adalah satu satunya agama yang Allah ridhoi : "innadīna 'indallahi al-islam". "Waradhitu lakumul islāma dīna"

Ketika Allah telah mengutus Nabi dan Rasul terakhir, maka telah sempurna lah syariat-Nya. Telah sempurna agama ini. Yang artinya telah sempurna pula nikmat yang begitu agung, yaitu nikmat petunjuk kepada kebenaran. "Al yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu 'alaikum islāmadinā".

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman : Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar. untuk dimenangkan-Nya atas segala agama. (At-Taubah: 33)

Ibnu Katsir menerjemahkan arti petunjuk ialah apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. berupa berita-berita yang benar, iman yang benar, dan ilmu yang bermanfaat. Dan agama yang hak ialah amal-amal yang benar lagi bermanfaat di dunia dan akhirat.

Dengan petunjuk inilah Allah memenangkan Islam diatas semua Agama. Dan ini semua adalah ketentuan Allah yang telah termaktub di dalam al Quran. Yang tak mungkin salah, dan berubah.

Wamakarū, wa makar allahu. Wallahu khairul makīrīn. Sungguh Allah adalah sebaik-baik pembuat makar diatas makar mereka.

Wallahu a'lam Bish Showab

Baper-nya Pemuda Surga

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Ar Rum : 21)

Baper. Kata yang sudah menjadi keseharian pemuda. Remaja, pelajar, atau mahasiswa. Dan terlebih yang masih memiliki status jomblo. Menyandang status belum berpasangan. Baper. Satu kata yang mengantarkan banyak hal. Ketika melihat sahabat sendiri sudah Allah pertemukan dengan jodohnya. Padahal umur masih belia. Orang nya pun sederhana. Bahkan kita merasa diatasnya. Baper. Kapan giliranku? 

Pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Yang semakin membuat resah, dan iri. Gelisah hingga terbawa dalam mimpi. 

Hanya satu hal mengapa baper selalu menjadi penyakit remaja dan pemuda. Karena banyak yang belum memahami apa hakikat berpasangan. Apa tujuan Allah mempertemukan. Yang akhirnya hanya ingin segera meraih kebahagian yang mungkin hanya akhirnya hanya didapat di awal. Atau menjalani adat dan kebiasaan sebagaimana kebanyakan. Bisa upload sana sini agar meraih pujian. Yang pada akhirnya kaget dan shock karena belum ada persiapan yang matang.

Dalam banyak ayat Nya Allah telah menjelaskan, bahwa banyak hikmah dan tujuan dari penciptaan manusia yang berpasang-pasangan. Pertama, dalam surah Ar Rum Allah mengatakan : supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. 

Pasangan adalah sahabat bagi kita kelak. Bukan atasan atau bawahan. Bukan pula pembantu, dan hanya sekedar pemuas hawa nafsu. Dengan nya Allah menciptakan rasa tentram dan saling mengasihi serta menyayangi. Sehingga dapat saling mengingatkan dan membantu untuk bersabar dalam menjalankan ketaatan, dan menyempurnakan kewajiban. Yang dengan nya, apapun menjadi ganjaran berupa pahala. Meraih ridho Allah karena menjalankan sunnah Rasul-Nya. Memperbanyak ummat Muhammad dengan jalan yang benar. 

Kedua, dalam Surah At Tahrim Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Perintah Allah begitu jelas. Bahwa dalam keluarga, yang berawal dari berpasangan ada sebuah misi yang sangat mulia. Yaitu menjaga diri dan seluruh anggota keluarga dari api neraka. Yang bahan bakarnya batu dan manusia. Yang dijaga oleh malaikat yang tak pernah sekalipun membantah perintah Tuhan-Nya. Keras nan kasar terhadap para pembangkang.

Dalam tafsir ibnu Katsir, dikatakan bahwa Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari seorang lelaki, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (At-Tahrim: 6) Makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka. 

Ayat ini begitu besar dan penting makna nya, dan tak gampang pelaksanaannya. Mendidik dan mengajari pasangan serta keturunan adalah pekerjaan sepanjang hidup. Mengingatkan dalam kewajiban, dan mencegah segala yang dilarang. Tentu semuanya diatas ilmu. Yang mustahil terwujudkan melainkan dengan tempaan yang serius. Karena tujuan berkeluarga tak hanya meraih kebahagiaan dan kesuksesan dunia, tapi meraih kenikmatan yang abadi. 

Ketiga, dalam surah Al Furqon, Allah pun berfirman bahwa dalam kehidupan berpasangan ada sebuah misi besar, yaitu : Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Pasangan dan keturunan adalah penyejuk mata. Yang dengan nya akan lahir generasi pemimpin bagi orang- orang yang bertaqwa. Yang tentunya adalah untuk mengemban risalah agama ini. Menjadi khalifah fil ardhi, yang menjalankan semua perintah illahi. Dan menjadikan generasi yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mudah, dan tak akan tumbuh kecuali dengan ilmu dan iman dari orang tua. Dan itulah misi dari hidup berpasangan, yang seharusnya sudah difikirkan secara mendalam.

Maksud penyejuk mata, Al-Hasan Al-Basri pernah ditanya tentang makna ayat ini. Ia menjawab, "Makna yang dimaksud ialah bila Allah memperlihatkan kepada seorang hamba yang muslim istri, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah. Demi Allah, tiada sesuatu pun yang lebih menyejukkan hati seorang muslim daripada bila ia melihat anak, cucu, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah Swt.

dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74)

Ibnu Katsir dalam tafsir nya bahwa Ibnu Abbas, Al-Hasan As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan yang dimaksud ialah para pemberi petunjuk yang mendapat petunjuk dan para penyeru kebaikan; mereka menginginkan agar ibadah mereka berhubungan dengan ibadah generasi penerus mereka, yaitu anak cucu mereka. Mereka juga menginginkan agar hidayah yang telah mereka peroleh menurun kepada selain mereka dengan membawa manfaat, yang demikian itu lebih banyak pahalanya dan lebih baik akibatnya.

Maka sungguh sebuah kesalahan, jika banyak di kalangan pemuda yang terus terjangkit dengan perasaan yang sedih dan khawatir pada tempat yang salah. Yaitu hanya karena masalah waktu, padahal Allah sudah menetapkan semua. Baper yang seharusnya adalah saat melihat pasangan atau keluarga lain yang benar-benar dapat menjalankan misi keluarga muslim sejati. Yang mampu membimbing keluarganya menjadi orang yang bertakwa dan menjaganya dari api neraka.

Wallahu a'lam Bish Showab

Harga Diri Pemuda (2)

"Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga"

Salah satu bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah Dia selalu menunjukkan jalan kepada yang dicintai menuju kebaikan. Yang kemudian akan mengantarkannya menuju kenikmatan yang tiada tanding.

Kebaikan itu salah satunya adalah menuntut ilmu agama. Maka tidakkah kita bersyukur jika Dia telah menunjukkan salah satu terobosan tuk meraih kenikmatan yang kekal.

Rasulullah bersabda bahwa meniti sebuah langkah dalam menuntut ilmu agama adalah sebuah kemuliaan dari Allah baginya. Meniti jalan baik dengan melakukan jarak jauh dari sebuah tempat ke tempat lain. Bertemu guru dari satu kota ke kota lain. Atau dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang mengantarkan kita dalam penguasaan ilmu. Menghafal, mentadabburi dan memahami ayat quran, menelaah hadist, membaca buku, mengamati, mendengarkan ceramah, memenuhi majelis-majelis ilmu, atau dengan menulis yang merupakan pengikat ilmu.

Semua perkara diatas jelas lebih banyak dialami oleh pemuda para pemburu ilmu. Yang tugas utamanya tak lain adalah memperbanyak pengetahuan untuk mengetahui hakikat penciptaan.

Juga bisa meraih kebahagiaan serta impian besar di dunia maupun di akhirat.

Menuntut ilmu agama tidak hanya mempermudah jalan menuju surga. Ali Radhiyallahu 'anhu berkata : "Siapa yang tidak mencintai ilmu agama, maka tidak ada kebaikan pada dirinya". Inilah mengapa ilmu agama yang dipelajari secara serius dan mendalam pasti akan membawa kebaikan bagi yang mempelajarinya. Kebaikan di alam yang fana atau di alam yang abadi selamanya.

Imam Syafi'i pun mengatakan : "Demi Allah hakikat pemuda adalah dengan ilmu dan taqwa. Bila keduanya tidak ada, maka tidak ada harga diri baginya". Jelas pula, sebagai pemuda kita tak boleh melepaskan ketaqwaan karena ilmu dunia. Begitu pula ketaqwaan pasti akan mengantarkan kita untuk semakin memperdalam ilmu.

Dan apabila kita menuntut ilmu hanya karena mencari ridho-Nya dan Ikhlash semata-mata karena-Nya, maka akan nampak perbedaan antara yang berkebalikan darinya. Yang hanya untuk mengejar ketenaran atau kedudukan, harta, dan pujian. Imam Hasan Al-Bahsri pernah memberi sebuah nasehat :  "Barangsiapa yang menuntut ilmu karena Allah, maka tak lama lagi akan terlihat lagi pengaruhnya pada kekhusyukkannya, kezuhudannya, dan kethawadhuannya"

Sudahkah kita tergolong yang demikian?

Wallahu A'lam bish Showab

Menyatukan Fikir dan Dzikir

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imran : 190-191)

Allah telah menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada diantaranya. Juga telah menjadikan malam dan siang silih berganti. Menciptakan matahari dan bulan yang selalu berjalan pada orbitnya. Semua itu adalah tanda- tanda adanya pencipta bagi orang yang mampu menggunakan mata dan telinganya, serta akal untuk berfikir.

"Ulul Albab", begitulah Allah menggambarkan dalam banyak ayat-Nya. Ulul Albab inilah orang yang dengan akal atas anugerah Allah mampu mengingat Allah dalam keadaan apapun. "Alladzina yadzkurnallah qiyaman wa qu'udan, wa 'ala junūbihim, wa yatafakkaruna fī khalqi as- samāwāti wal ardhi".

Dalam kondisi berdiri, duduk, maupun berbaring mereka senantiasa mengingat Allah.

Maka, antara berfikir dan berdzikir ini tak boleh terpisah. Berfikir setiap saat tentang apa saja yang harus dilakukan untuk menunaikan semua kewajiban, dan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Memikirkan kondisi ummat, dan senantiasa mencari solusi sesuai tuntunan. Memikirkan masalah saudara-saudara kita, dan berusaha menolongnya, atau berfikir tentang ilmu dan karya-karya yang ingin dilahirkan demi kebaikan.

Akal yang terus berfikir ini harus senantiasa disambungkan dengan dzikir atau mengingat Allah. Selain berfikir dalam rangka memberi solusi, melaksankan kewajiban atau menyampaikan kebenaran demi meraih ridho-Nya, yang pasti selalu dikaitkan dengan ketetapan Hukum Syara'. Namun alangkah baiknya jika lisan pun harus terus bergerak. Karena dzikir dalam lisan, tak akan sedikit pun mengurangi kemampuan kita dalam berfikir. Atau mengganggu konsentrasi. 

Justru karena waktu yang pendek dan singkat kita dapat melakukan dua amalan yang keduanya bisa bernilai pahala. Ketika waktu kita terbatas. Tak cukup waktu untuk bisa duduk lama setelah sholat untuk berdzikir, maka ia sangat bisa dilakukan dimana saja dan kapan pun. Jangan sampai kita terlalu banyak berfikir, tapi lupa mengingat Allah. Lisan kita jauh dari kalimat-kalimat tayyibah. Hati kita berat untuk memuji dan mengagungkan Allah. Karena sejatinya berzikir adalah salah satu bentuk ketawakkalan kita terhadap Allah. Berserah diri dan bergantung pada Nya. Karena tak jarang kita dapatkan sebuah masalah yang kita tak mampu lagi memikirkan solusinya. Kita sudah tak tahu lagi jalan keluarnya. 

Dalam sebuah kisah yang cukup masyhur. Bahwa ada seorang penjual roti di Bashrah, yang sangat gemar beristighfar. Suatu saat Imam Ahmad ingin ke Bashrah, ingin sekali pergi kesana. Sedangkan ia tidak memiliki kerabat, kawan, ataupun kenalan disana. Tidak memiliki tujuan dan keperluan apapun. Namun, beliau ingin sekali pergi kesana. Seperti ada hal penting yang mendorongnya untuk pergi kesana.

Hingga akhirnya beliau pergi. Sampai disana beliau sholat  si sebuah masjid kemudian beristirahat di dalamnya. Bermaksud untuk menginap semalam, karena tidak ada tempat untuk rehat selain masjid. Tiba- tiba penjaga masjid tersebut datang dan menegurnya agar tidak tidur di masjid. Maka Imam Ahmad pun keluar, dan tidur di teras masjid. Penjaga masjid pun mendatanginya kembali. Memarahinya dan mengusirnya. Hingga lewat lah seorang laki-laki dengan sepedanya. Seorang penjual roti. Melihat seorang laki-laki yang diusir dari masjid, ia pun mendekati dan memberinya tawaran untuk menginap di rumahnya.

Pada sepertiga malam, saat Imam Ahmad telah bangun, ia melihat laki-laki penjual roti itu sedang mengaduk adonan yang akan ia jual keesokan harinya. Setiap sekali kali mengaduk, ia selalu mengucapkan istighfar dalam lisannya. Karena mendengar istighfar yang diucapkan nya berkali-kali, maka Imam Ahmad pun penasaran dan bertanya : "Sejak kapan engkau melakukan ini, mengaduk adonan sambil beristighfar?". Penjual roti itu berkata : "Sejak saya menjual roti, sekitar 30 tahun". Imam Ahmad bertanya kembali : "Lalu apa yang kamu dapatkan dari istighfar yang kau ucapkan?". Laki-laki itu pun menjawab : "Allah selalu mengabulkan segala hal yang aku inginkan, kecuali satu hal. Allah belum mengabulkannya". Imam Ahmad bertanya : "Apa permintaan itu?", Ia pun menjawab : "Sejak dahulu saya ingin bertemu Imam Ahmad. Itulah keinginan yang belum terkabulkan". Imam Ahmad pun terkejut, dan bahagia, ia pun berkata : "Sekarang keinginanmu sungguh telah terkabulkan wahai pemuda. Saya Imam Ahmad. Kiranya istighfarmu lah yang mengantarkanku ke kota ini". Imam Ahmad pun memeluk penjual roti itu dan menangis.

Kisah itulah yang sepatutnya menjadi teladan yang agung bagi kita. Betapa istighfar yang nampak remeh, dan ringan itu membawa banyak sekali kebaikan. Tak hanya kebaikan di dunia saja, namun ia lah yang dapat menolong kita di akhirat pula jika kita ikhlas hanya karena Allah. Sungguh kita tak pernah tau, istighfar mana yang dapat menghapuskan dosa-dosa kita. Walau nampak remeh, namun tak banyak orang yang dapat mengamalkan. Tentu nya tujuan kita beristighfar lillahi ta'ala. Tak hanya untuk kepentingan dunia, namun benar-benar untuk mencari ampunan sebanyak-banyak. Jika Allah memudahkan segala yang kita harapkan itulah hikmah dari nya.

Maka,  beristighfarlah

Wallahu a'lam.

Yang Celaka Pasti Menjauh

"Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya." (Al - a'la : 9-11)

Ketika Allah telah memberikan petunjuk kepada Rasul-Nya, maka Allah memerintahkan untuk memberi peringatan kepada orang lain. Karena itu akan nampak siapakah yang akan menerima apa yang diperintahkan, dan siapa yang menolak lantaran tak mau meninggalkan kejahiliyahan. Adapula yang menerima namun hatinya masih dalam kekufuran. 

Itulah jejak Rasulullah yang senantiasa ditempuh sepanjang hidupnya. Memberi peringatan kepada seluruh manusia. Dan tugas ini pun belum berakhir, selama kita masih bernafas dan iman masih tertancap dalam dada. Karena perintah mengingatkan, menasehati, dan meluruskan kesalahan tak hanya tugas Nabi dan Rasul. Tak hanya kewajiban ulama, imam, kyai, atau para ustadz. Walaupun ayat tersebut bersifat perintah kepada satu orang, yaitu Nabi Muhammad saw, tapi sebagaimana yang kita ketahui bahwa apa yang diperintahkan di dalam Al Quran ditujukan kepada seluruh kaum Muslimin hingga akhir zaman. "Itulah kitab (Al Quran) yang tidak ada keraguan. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa" (Al Baqoroh : 2)

Maka, saat kita telah bersungguh- sungguh dalam memberi nasehat dan peringatan, akan nampak bermacam reaksi atau respon manusia. Dan hanyalah orang yang takut kepada Allah yang akan menerima nasehat tersebut. Hanya orang yang memiliki akal, yang dengannya ia mampu mengambil pelajaran. Dia akan memperbaiki apa yang salah dan tak sesuai dengan perintah.

Tapi, sebaliknya. Orang yang celaka pasti akan menjauh. Seolah- seolah telinga mereka tertutup untuk mendengar nasehat dan peringatan itu. Mata mereka terpejam untuk melihat kebaikan dan segala bentuk teladan. Hati mereka mengeras karena kesombongan. Itulah orang yang celaka menurut Allah, "dan orang-orang yang celaka akan menjauhinya"

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Ali r.a. telah berkata, "Berbicaralah kepada orang-orang lain sesuai dengan jangkauan pengetahuan mereka, maukah kamu bila Allah dan Rasul-Nya didustakan."

Maka, dalam memberi peringatan, pengajaran, dan teladan kepada manusia tentu harus dengan cara yang dapat dipahami. Dengan bahasa yang mudah dimengerti, tidak memberatkan, dan pastinya perlahan. Dimulai dari hal-hal kecil. Ketika perintah yang ringan bisa dijalankan, maka perintah dan larangan yang lain kita berikan dan jelaskan secara perlahan.

Dalam ayat ini "oang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran", Ibnu Katsir menafsirkan : Yaitu mereka yang mau menerima sebagai pelajaran dari apa yang engkau sampaikan, hai Muhammad, adalah orang yang hatinya takut kepada Allah dan meyakini bahwa dia pasti akan menghadap dan berdua dengan-Nya.

"orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (Al-A'la: 11-13)

Lalu maksud dari orang yang celaka, yakni ia tidak dapat mati sehingga ia terhenti dari siksaannya, dan tidak pula hidup dengan kehidupan yang memberi manfaat baginya. Bahkan kehidupannya itu merupakan penderitaan dan mudarat baginya, karena dengan kehidupannya yang kekal ia selalu menderita oleh pedihnya siksaan dan berbagai macam pembalasan yang ditimpakan kepadanya secara abadi.

Wallahu a'lam bish Showab 

Siapakah Muslim Yang Buruk?

"Janganlah kalian mengganggap diri kalian suci. Dia lebih mengatahui siapa yang bertaqwa" (Qs. An Najm : 23)

Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits : "Janganlah kamu mengatakan diri kalian suci. Allah lebih mengetahui siapa yang tergolong paling baik di antara kalian" (Hr. Muslim).

Salah satu ciri seorang Muslim adalah ketika ia tak pernah menyombongkan diri di hadapan saudaranya sesama muslim. Seberapa pun tinggi kedudukan kita diantara mereka, sebanyak apapun ilmu kita, dan sebesar apapun amanah yang kita pikul. Sebanyak apapun pula amal ibadah yang sudah kita lakukan, atau setenar apapun kita karena kecerdasan serta kepandaian, kita perlu ingat bahwa kita tak pernah tau siapa yang lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah.

Jika memang kedudukan kita di hadapan manusia itu lebih tinggi, namun semua itu tak akan mampu menjamin tingginya derajat kita di hadapan Allah. Tuhan Semesta alam. 

Kita terkadang salah memahami apa arti sombong. Saat kita melihat seseorang yang selalu memperhatikan pakaian dan penampilannya kita sering menganggapnya sebagai orang yang sombong. Sedangkan yang dimaksud sombong sebagaimana sabda Rasulullah adalah : "Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia".

Mungkin tak sedikit diantara kita, saat merasa ilmu dan pemahaman atau pengalaman sudah lebih banyak dari orang lain, kita akan mengganggap dia lebih rendah, meremehkan kedudukan dan keberadaannya. Bahkan saat ia menyampaikan kebenaran walau kecil, kita menolaknya. Atau jika yang berbicara adalah saudara kita yang berbeda golongan. Tidaklah kita lupa bahwa Allah bersabda dalam surah at-Taubah ayat 11 : "Dan jika mereka bertaubat, melaksanakan sholat dan menunaikan zakat maka mereka adalah saudaramu dalam agama".

Inilah pentingnya tawadhu' bagi setiap muslim. Saat kita bertemu dengan siapapun selama ia Muslim, maka kita tak boleh berprasangka buruk kepadanya. Lebih-lebih jika merasa diri ini paling suci. Paling mulia. Paling benar pendapatnya. Paling sempurna amalnya. 

Rasulullah mempertegas dalam sebuah hadits : "Seseorang layak dimiliki sebagai orang yang jahat (buruk) jika ia meremehkan saudaranya yang Muslim" (Hr. Muslim)

Maka sudah jelas, dalam melakukan segala amalan, ibadah, termasuk sungguh-sungguh dalam dakwah, tak ada alasan untuk melakukannya kecuali karena ketaatan. Bukan untuk mejadikan diri agar lebih dipandang di hadapan manusia. Hingga membuat kita sombong, yaitu merendahkan dan meremehkan saudara seiman.

Wallahu a'lam bish Showab.

Pengawas dan Kematian

"Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati" (Qs. Luqman : 34)

Sering kali kelelahan membuat kita ingin berhenti sejenak dan mencari hiburan guna menghilangkan kebosanan. Tak jarang dalam usaha menghilangkan rasa bosan dan jenuh, diantara kita menempuh jalan yang salah. Walau awalnya mubah, namun karena berlebihan atau melalaikan jatuhnya menjadi lahan pendatang dosa.

Padahal kita tahu sendiri bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Teliti akan semua yang dilakukan kita sebagai hamba-Nya. Termasuk sekecil dan sehalus apapun perbuatan yang kita lakukan.

"Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya  daripada urat lehernya". (Qs. Qaf : 16)

Saat kita memahami bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher kita, maka kita seharusnya senantiasa merasa sedang dan selalu diawasi. Itulah alasan kuat yang seharusnya dapat menegur kita agar tak lelah dalam berbenah.

Ketika ibadah, dakwah, sedekah, dan melakukan amalan-amalan sunnah serasa berat dan kita mulai lengah, maka ayat ini seharusnya dapat menampar kita bahwa setiap hembus nafas kita sedang diawasi. Setiap prasangka dalam hati pasti dinilai. Setiap kata yang terucap dari mulut ini juga pasti akan dicatat disisi-Nya. Apalagi perbuatan sia-sia yang dapat menjerumuskan.

Dalam surah Luqman diatas kita juga bisa memahami bahwa tak ada seorang pun yang tahu kapan dan dimana ia kembali ke pangkuan-Nya. Apakah itu dalam kegelapan malam bersama kelelapan, atau saat dalam perjalanan, atau ketika dalam forum pelajaran, ketika sedang makan, atau bahkan sedang melakukan kemaksiatan.

Jika memang Sang Pengawas itu sangat dekat, dan kematian itu tak tau menjemput dimana, sudah selayaknya hal tersebut mendorong kita untuk tak lelah dalam beramal shalih. Tak berat dalam bersedekah. Tak enggan untuk menolong orang lain, serta mau berjuang dan rela berkorban di jalan-Nya.

Wallahu a'lam bish Showab

Hampa Tanpanya

"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (Qs. Al-Isra' : 82)

Dalam lingkungan yang sangat buruk seperti saat ini, banyak pemuda yang lebih mudah terbawa dalam kebiasaan negatif daripada positif. Lebih mudah terlena dengan kesenangan yang nampak di depan mata, daripada kebahagiaan yang berpahala. Pemuda saat ini pun kebanyakan lebih mudah terbawa oleh arus budaya-budaya kaum jahiliyah. Mulai dari apa yang mereka dengarkan, lakukan, dan mereka banggakan.

Banyak yang sudah gandrung dengan lagu-lagu sekuler yang dipasarkan oleh negara barat. Satu hari tanpa mendengarkannya serasa sunyi dan sepi. Tak hanya pada lagu yang mereka ciptakan, namun juga para pembuat lagu-lagu tersebut pun tak jarang menjadi idola kehidupan. Menjadi patokan kesuksesan. Menjadi impian untuk dapat dipertemukan.

Demi menghibur diri pun tak sedikit yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar menonton film yang berpuluh-puluh episode. Pun waktu shopping demi fashion dan tampilan tubuh adalah bagian yang sangat diperhatikan. Itulah beberapa gambaran yang merupakan pelarian untuk membuang masalah dan kesedihan.

Apakah seperti itu sebagai seorang pemuda Muslim?
Jika surga adalah tempat yang sangat dirindukan bagi kita, tak sepatutnya kita mengikuti arus yang justru menjauhkan kita dari ridha-Nya.

Rasa sedih, duka, galau, air mata, dan masalah yang silih berganti itu pasti. Tapi bagaimana cara menyikapi adalah pilihan kita.

Dunia ini sebentar. Maka kesenangan dan kesedihan pun juga pasti tak kan lama. Ia akan terus berganti.

Kita bisa melihat kebersihan hati kita saat kita sedang sendiri. Apa yang kita pikirkan saat sunyi dan sendiri itu? Meneteskah air mata kita karena takut pada-Nya? Atau justru memikirkan perkara perkara untuk memenuhi nafsu kita?

Kemudian saat kita berada pada majelis. Apakah kita bisa menghayati? Mengambil ilmu dan faedah darinya? Walau kadang nampak majelis biasa atau remeh, jika kita menghormati apa yang disampaikan dalam majelis tersebut, maka kita akan mendapat pelajaran penting walau kecil.

Terkahir saat kita membaca Al Quran. Apakah kita tahan untuk berlama-lama dengannya? Atau justru berat untuk menikmati setiap ayat-Nya?

Inilah yang seharusnya berbeda antara pemuda muslim sejati dangan pemuda pengekor budaya barat. Sudah saatnya kita kembali pada Al Quran dalam segala kondisi dan situasi. Termasuk bagi siapapun yang sedang membutuhkan hiburan. Untuk sekedar menghasilkan sebuah senyuman, melupakan kejenuhan, atau menyeka air mata.

Ingatlah bahwa Al Quran itu Allah turunkan tak lain tuk menjadi obat dan rahmat bagi siapa yang yakin. Jika kita mampu mendekat sedekat-dekatnya, maka akan banyak sekali keajaiban dan hiburan disana. Menghayati tiap ayatnya, membaca terjemahnya, juga memahami tafsirnya tak lagi menjadi perkara yang berat bagi siapa yang sudah dekat dan cinta pada kalam Sang Pemilik Hati ini.

Akan menjadi masalah, kegalauan dan merasa tak tenang saat satu hari saja tak dimulai dengan membacanya. Hari menjadi hampa jika mulut tak basah dengan kalam-Nya yang mulia itu. Sekalipun sibuk dan sakit, ia akan selalu ingin mengisi rongga hati. Ia akan menjadi bekal pengokoh dalam diri.

Wallahua'lam Bish Showab

Waktu Yang Panjang

"Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepada kalian tanda-tanda Ku, Oleh karena itu, janganlah kalian minta kepada-Ku untuk mendatangkannya dengan segera!" (QS. Al-Anbiyâ :37)

Banyak diantara kita menginginkan sebuah kesuksesan. Ingin berhasil dalam pekerjaan. Ingin sukses dalam mendapatkan gelar. Ingin  meraih kedudukan tinggi dengan ilmu. Tapi banyak pula yang tak mau lelah. Tak mau bertahun-tahun menahan kesabaran. Tak mau berkorban mengurangi waktu istirahat. Dan tak sedikit yang tidak serius. Kurang sungguh-sungguh, bahkan meminta yang serba cepat dan instan.

Dalam menuntut ilmu pun seperti itu. Kita sering tak sabar ingin mendapatkan hasil baik tanpa perjuangan melalui waktu yang panjang. Kita ingin menguasai suatu bahasa, namun tak mau bergaul dengannya siang dan malam. Tak mau jeli dan tekun dalam membuka buku-buku panduan. Bahkan enggan untuk mempraktekkannya. Dalam melakukan suatu pendalaman ilmu, kita sering tak tahan untuk berkecimpung dalam waktu bertahun-tahun.

Itulah tabiat manusia. Ingin yang cepat dan nampak hasilnya dengan segera. Namun enggan menjalani proses. Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili mengatakan : "Orang tergesa-gesa dan mudah bosan tidak akan memperoleh ilmu".

Sebagai penuntut ilmu pun, kita harus memahami bahwa setidaknya ada enam syarat  untuk meraih kesuksesan dalam pembelajaran. Imam Syafi'i berkata : "Kamu tidak akan mendapat ilmu kecuali dengan enam perkara : kecerdasan, antusias terhadap ilmu, kesungguhan, harta, bergaul dengan guru, dan waktu yang panjang".

Maka jelaslah, selain kesungguhan dan ketekunan, dalam menuntut ilmu kita tak akan bisa jika hanya mau dalam waktu yang singkat. Ingin menguasai al quran namun tak betah berlama-lama bersamanya selama bertahun-tahun, bahkan sepanjang hidup. Tak mau menelaahnya, mentadabburinya, menghafalnya, juga memahami tafsirnya.

Imam Az zuhri berkata : "Karena sesungguhnya ilmu itu hanya bisa dicari secara pelan-pelan, seiring berjalannya siang dan malam".

Diantara kita pun sering sekali ingin menguasai suatu ilmu namun ingin mempersingkat waktu belajar. Saat hari ujian tiba, dalam semalam kita belajar dengan porsi yang sangat banyak. Ingin keberhasilan dengan sistem kebut. Dan itulah kesalahan dalam menuntut ilmu. Maka setelah ujian, ilmu itu pasti akan melayang dari pemahaman yang belum menempel kuat.

Imam Az zuhri memberi nasehat bagi kita yang memiliki tipe seperti itu : "Barangsiapa yang belajar sekali langsung banyak, niscaya ilmu itu akan hilang semua darinya".

Termasuk dalam menghafal Al Quran. Jika yang kita inginkan hanya hafal tanpa maksud agar cinta terhadap al Quran, maka menghafalkannya sangatlah mudah, bahkan dalam waktu singkat. Namun hanya  kuantitas hafalan yang nampak. Sedangkan kualitasnya pasti akan sangat buruk. Ia akan mudah lepas dan terlupakan dalam memori. Dan hasilnya akan jauh berbeda dengan mereka yang menghafal sedikit demi sedikit. Diulang- diulang. Tak lelah melafalkan ayat dan surat yang sama.

Wallahu a'lam bis Showab

Rabu, 06 September 2017

Cita Cita Tinggi

"Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (Qs. Al Mujadalah : 11)

Dalam menuntut ilmu kita tidak boleh mengesampingkan ketaqwaan kepada Rabb alam semesta. Banyak di antara kita yang sibuk dengan usaha yang keras dalam menuntut ilmu namun kurang dalam tawakal dengan kekuatan besar yang ada pada Allah sang pemilik kehidupan.

Tak sedikit pula yang belum memahami bahwa ilmu apapun itu tidak bisa dikaitkan dengan peningkatan kita terhadap kualitas iman. Terlebih ilmu-ilmu dunia yang mungkin dianggap jauh dari ayat- ayat Al Quran. Beranggapan bahwa apa yang dipelajari terkait ilmu alam, ilmu sosial, atau hitung-hitungan adalah sesuatu yang tak bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah sang Tuhan.

Padahal Allah sendiri telah menyebutkan banyak dalam ayat-ayat Nya, bahwa dalam penciptaan langit dan bumi, kapal yang berlayar di laut, pergantian siang dan malam, berputarnya matahari dan bulan yang terus berganti sesuai orbitnya, turunnya hujan, juga angin yang Allah hembuskan untuk semua makhluk-Nya. Pada semuanya itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang yang mau berfikir akan kekuasaan Allah, dan semakin yakin serta takut kepada-Nya.

Oleh karena itu, ketika seseorang itu menuntut ilmu karena Allah, dengan maksud untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya, maka tentu ilmu itu akan menghantarkan nya untuk meningkatkan kadar keimanan-Nya. Kesibukannya dalam belajar itu tak kan pernah melakukannya untuk mengingat Allah. Justru ilmu itu yang akan membimbingnya untuk takut dan merasa hina di hadapan-Nya.

Seseorang yang memiliki cita-cita tinggi dalam hidupnya, maka apa yang dia lakukan tak lepas dari ilmu, ibadah, dan segala amal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Ia pun tak akan pernah tergoda apalagi menyibukkan diri dengan amalan yang sia-sia, apalagi hingga melenakan. Bahkan tak pernah terfikiran untuk menghibur diri dengan hiburan yang kurang bermanfaat. Waktunya dia habiskan dalam kegiatan positif. Tak pernah puas dengan ilmu yang sudah dia pelajari. Pun tak pernah lelah untuk beramal shalih.

Termasuk ketika mengalami kesulitan dalam menempuh jalan perjuangan menggapai kemuliaan. Keterbatasan yang pasti dimiliki setiap manusia kan membuatnya berfikir bahwa diri ini bukanlah siapa siapa tanpa kemurahan-Nya.

Imam Ibnul Qayyim berkata : 
“Orang yang memiliki cita-cita yang tinggi, pemikirannya adalah seputar ilmu dan iman, juga seputar amal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.”

Maka, antara ilmu dan iman itu tak kan pernah terpisah pada seseorang yang menuntut ilmu karena Allah. Allah pun akan meninggikan derajat orang yang beriman juga berilmu disisi-Nya beberapa derajat. Tidak hanya beriman dan beramal namun tanpa ilmu. Tidak pula mengusai ilmu namun tak membuatnya semakin tunduk serta takut kepada Allah.

Wallahu a'lam bish Showab.