Pages

Senin, 11 September 2017

Menyatukan Fikir dan Dzikir

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imran : 190-191)

Allah telah menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada diantaranya. Juga telah menjadikan malam dan siang silih berganti. Menciptakan matahari dan bulan yang selalu berjalan pada orbitnya. Semua itu adalah tanda- tanda adanya pencipta bagi orang yang mampu menggunakan mata dan telinganya, serta akal untuk berfikir.

"Ulul Albab", begitulah Allah menggambarkan dalam banyak ayat-Nya. Ulul Albab inilah orang yang dengan akal atas anugerah Allah mampu mengingat Allah dalam keadaan apapun. "Alladzina yadzkurnallah qiyaman wa qu'udan, wa 'ala junūbihim, wa yatafakkaruna fī khalqi as- samāwāti wal ardhi".

Dalam kondisi berdiri, duduk, maupun berbaring mereka senantiasa mengingat Allah.

Maka, antara berfikir dan berdzikir ini tak boleh terpisah. Berfikir setiap saat tentang apa saja yang harus dilakukan untuk menunaikan semua kewajiban, dan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Memikirkan kondisi ummat, dan senantiasa mencari solusi sesuai tuntunan. Memikirkan masalah saudara-saudara kita, dan berusaha menolongnya, atau berfikir tentang ilmu dan karya-karya yang ingin dilahirkan demi kebaikan.

Akal yang terus berfikir ini harus senantiasa disambungkan dengan dzikir atau mengingat Allah. Selain berfikir dalam rangka memberi solusi, melaksankan kewajiban atau menyampaikan kebenaran demi meraih ridho-Nya, yang pasti selalu dikaitkan dengan ketetapan Hukum Syara'. Namun alangkah baiknya jika lisan pun harus terus bergerak. Karena dzikir dalam lisan, tak akan sedikit pun mengurangi kemampuan kita dalam berfikir. Atau mengganggu konsentrasi. 

Justru karena waktu yang pendek dan singkat kita dapat melakukan dua amalan yang keduanya bisa bernilai pahala. Ketika waktu kita terbatas. Tak cukup waktu untuk bisa duduk lama setelah sholat untuk berdzikir, maka ia sangat bisa dilakukan dimana saja dan kapan pun. Jangan sampai kita terlalu banyak berfikir, tapi lupa mengingat Allah. Lisan kita jauh dari kalimat-kalimat tayyibah. Hati kita berat untuk memuji dan mengagungkan Allah. Karena sejatinya berzikir adalah salah satu bentuk ketawakkalan kita terhadap Allah. Berserah diri dan bergantung pada Nya. Karena tak jarang kita dapatkan sebuah masalah yang kita tak mampu lagi memikirkan solusinya. Kita sudah tak tahu lagi jalan keluarnya. 

Dalam sebuah kisah yang cukup masyhur. Bahwa ada seorang penjual roti di Bashrah, yang sangat gemar beristighfar. Suatu saat Imam Ahmad ingin ke Bashrah, ingin sekali pergi kesana. Sedangkan ia tidak memiliki kerabat, kawan, ataupun kenalan disana. Tidak memiliki tujuan dan keperluan apapun. Namun, beliau ingin sekali pergi kesana. Seperti ada hal penting yang mendorongnya untuk pergi kesana.

Hingga akhirnya beliau pergi. Sampai disana beliau sholat  si sebuah masjid kemudian beristirahat di dalamnya. Bermaksud untuk menginap semalam, karena tidak ada tempat untuk rehat selain masjid. Tiba- tiba penjaga masjid tersebut datang dan menegurnya agar tidak tidur di masjid. Maka Imam Ahmad pun keluar, dan tidur di teras masjid. Penjaga masjid pun mendatanginya kembali. Memarahinya dan mengusirnya. Hingga lewat lah seorang laki-laki dengan sepedanya. Seorang penjual roti. Melihat seorang laki-laki yang diusir dari masjid, ia pun mendekati dan memberinya tawaran untuk menginap di rumahnya.

Pada sepertiga malam, saat Imam Ahmad telah bangun, ia melihat laki-laki penjual roti itu sedang mengaduk adonan yang akan ia jual keesokan harinya. Setiap sekali kali mengaduk, ia selalu mengucapkan istighfar dalam lisannya. Karena mendengar istighfar yang diucapkan nya berkali-kali, maka Imam Ahmad pun penasaran dan bertanya : "Sejak kapan engkau melakukan ini, mengaduk adonan sambil beristighfar?". Penjual roti itu berkata : "Sejak saya menjual roti, sekitar 30 tahun". Imam Ahmad bertanya kembali : "Lalu apa yang kamu dapatkan dari istighfar yang kau ucapkan?". Laki-laki itu pun menjawab : "Allah selalu mengabulkan segala hal yang aku inginkan, kecuali satu hal. Allah belum mengabulkannya". Imam Ahmad bertanya : "Apa permintaan itu?", Ia pun menjawab : "Sejak dahulu saya ingin bertemu Imam Ahmad. Itulah keinginan yang belum terkabulkan". Imam Ahmad pun terkejut, dan bahagia, ia pun berkata : "Sekarang keinginanmu sungguh telah terkabulkan wahai pemuda. Saya Imam Ahmad. Kiranya istighfarmu lah yang mengantarkanku ke kota ini". Imam Ahmad pun memeluk penjual roti itu dan menangis.

Kisah itulah yang sepatutnya menjadi teladan yang agung bagi kita. Betapa istighfar yang nampak remeh, dan ringan itu membawa banyak sekali kebaikan. Tak hanya kebaikan di dunia saja, namun ia lah yang dapat menolong kita di akhirat pula jika kita ikhlas hanya karena Allah. Sungguh kita tak pernah tau, istighfar mana yang dapat menghapuskan dosa-dosa kita. Walau nampak remeh, namun tak banyak orang yang dapat mengamalkan. Tentu nya tujuan kita beristighfar lillahi ta'ala. Tak hanya untuk kepentingan dunia, namun benar-benar untuk mencari ampunan sebanyak-banyak. Jika Allah memudahkan segala yang kita harapkan itulah hikmah dari nya.

Maka,  beristighfarlah

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar