Pages

Minggu, 19 Mei 2024

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 5): Cintai Cinta-Nya


            Memiliki keturunan adalah harapan setiap pasangan di sepanjang zaman. Namun tidak ada yang memiliki kuasa untuk menetapkah hal itu, melainkah Allah swt. sebagaimana firman-Nya:Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”. Ayat ini menjelaskan bahwa ada lima perkara ghaib dimana manusia memang tidak memiliki kuasa untuk mengetahui dan mengaturnya.

            Ketika pasangan belum diberikan keturunan maka yang perlu difahami, pertama dan yakini, bahwa setiap ujian pasti akan Allah swt beri sesuai kadar kemampuan hambanya. Kedua, bahkan ujian tersebut harus disyukuri, karena di dalam al-Quran Allah pun memberi ujian tersebut kepada orang- orang terpilih, mulai Nabi Ibrahim, istri Nabi Zakariya, juga istri Imran. Mereka pun tak hanya sedih, namun juga dicemooh dan divonis oleh orang- orang disekitarnya bahwa mereka mandul. Tak hanya itu wanita- wanita yang paling mulia yang berada di sisi manusia termulia pun juga Allah uji dengan tidak diberikan keturunan, yaitu para istri Rasulullah, seperti Aiysah, Hafshah, Ummu Salamah, juga Saudah dan lainnya. Bahkan Imam Syafii, pun setelah mengembara ilmu dari Palestina, ke Makkah, ke Mesir, lalu ke Baghdad, selama 20 tahun lamanya, dan setelah selama itu istrinya baru bisa mengandung. Oleh karena itu, ujian semacam ini hanya Allah berikan kepada manusia pilihan yang mana Allah pasti mengetahui bahwa hambanya mampu untuk menghadapinya.

            Ketiga, harus difahami juga bahwa sepasang suami istri sebagaimana manusia biasa, mereka hanya Allah minta untuk memaksimalkan ikhtiar, mulai dari do’a dengan terus berhunsuudzon kepada-Nya, konsultasi ke dokter jika memang diperlukan tanpa perlu terburu- buru, juga melakukan berbagai ikhtiar kesehatan, termasuk bermain hujan, dimana hal itu juga disarankan oleh ulama, seperti Imam Ibnu Qayim Al-Jauzi, berdasarkan ayat Al- Quran, bahwa dari airlah Allah menghidupakn segala yang mati, dan menghidupkan berbagai macam makhluk hidup.

            Merupakan bagian dari kesalahan apabila kita sebagai seorang muslim, menuntut, menyalahkan, menekan, atau menyakiti hati saudara atau bahkan pasangan kita, ketika tak kunjung diberikan keturunan, padahal yang bisa memberi keturunan muthlaq hanya Allah saja. Maka seharusnya sepasang suami istri bisa saling memahami, menguatkan, dan menciptakan kebahagiaan bersama agar tidak stress, yang justru berdambak pada hormon dan kesuburan.

            Manusia hanya bisa berikhtiar, namun tetap Allah yang memiliki rencana terbaik. Dan tidak ada kehidupan kecuali pasti diliputi dengan ujian, dan tidak ada rumah tangga pasti Allah limpahkan berbagai cobaan, yang semua itu bisa menjadi ladang pahala yang berlimpah jika senantiasa ikhlas, ridho, sabar, tawakal, dengan terus berikhtiar menjalankan segala perintah-Nya.

Wallahu a’lam bish showab.

 

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 4): Hijab, Bukan Topeng!


            Ketika Islam memerintahkan muslimah untuk berhijab, maka semata- mata untuk menjaga kehormatannya, juga agar ia tidak diganggu. Maka ketika ia mengenakannya, maka harus senantiasa sadar bahwa hal itu merupakan bagian dari kewajiban, yang tentunya juga harus disertai dengan menjalankan kewajiban- kewajiban yang lainnya, seperti menjaga lisannya, pandangannya, tingkah laku, pergaulannya dengan lawan jenis, juga akhkak- akhlak lainnya. Hijab bukan dikenakan untuk menutupi keburukan- keburukannya agar tidak ada orang yang memandangnya melainkan ketaatan.


            Termasuk yang sangat perlu dijaga oleh seorang muslimah adalah ketika ia mengkepresikan rasa cintanya. Seorang shahabiyah dari kalangan anshar pernah suatu ketika mengungkapkan cintanya kepada Rasulullah, di saat Rasulullah berada di suatu majelis dengan para sahabat. Di depan mereka shahabiyah ini dengan berani menawarkan dirinya agar Rasul menikahinya. Namun setelah mendengar itu, Rasulullah memalingkan mukanya, sehingga shabiyah pun mengerti jawaban Rasul, maka ia pun pergi. Anas bin Malik yang ketika itu melihat para shahabiyah yang lain memnggunjingnya, maka Anas pun menegur mereka dan mengatakan bahwa perempuan tersebut lebih mulia dibandingkan mereka, karena ia mengungkapkan cinta agar menjadi hubungan yang halal, dan itu lebih menjaga hati serta kehormatannya, meskipun ditolak.

            Ketika seorang muslimah mengagumi sosok laki-laki karena ilmu, akhlak dan keshalihannya, maka hal itu boleh saja, asalkan tidak berlebihan dan harus memahami batasan, dan menjadikan cintanya semata- mata karena ukhuwah, keilmuan dan ketaatannya.

            Islam memerintahkan muslimah tuk menjaga izzah (kehormatan) dan iffahnya yaitu (kesuciaan). Hal itu harus diwujudkan baik di dunia nyata ataupun di dunia maya. Hijab bukan menjadi penghalang untuk berinteraksi dengan orang lain selama dalam batas yang dibolehkan syariat. Begitu juga ketika di media sosial, maka jangan sampai ia menjadi wasilah tuk menambah dosa, lantaran ia tidak menjaga dirinya dari pandangan laki- laki, terlebih jika menampilkan dirinya dengan penuh menggoda juga dapat memancing pandangan liar.

            Pakaian muslimah pun memiliki ketentuan, tidak sembarangan, yaitu menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, tidak transparan, tidak membentuk tubuh, tidak menyerupai pakaian laki- laki, tidak menyerupai pakaian orang kafir, dan tidak terlalu mencolok (tabaruj), juga harus dengan khimar dan jilbab.

Wallahu a’lam bish showab

 

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 3): Membidadarikan Diri

            Suatu ketika Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasulullah, terkait mana yang lebih mulia, antara wanita sholihah yang masuk surga, atau bidadari surga? Maka Rasulullah saw pun menjawabnya bahwa wanita sholihah yang lebih mulia, karena ia dimasukkan surga karena usahanya untuk menjadi sosok yang sholihah. Bahkan perbandingan antara keduanya layaknya batu berlian dengan batu biasa, atau seperti kenyataan dan bayang- bayang saja.

            Hal itu dikarenakan perempuan dunia yang sholihah, bisa meraih derajat dan kedudukan di surga harus melalui berbagai proses dan perjuangan yang panjang. Ia harus sholat, puasa, shodaqoh, dan melakukan berbagai ketaatan dan perintah lainnya, juga melalui berbagai ujian di dunia. Sedangkan bidadari surga tidaklah sama sekali mendapat perintah itu semua, apalagi ujian dunia yang terus- menerus tiada ujungnya. Sebagaimana yang Allah katakan: Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung” (Al- Waqi’ah: 35).

            Wanita sholihah memiliki kecantikan yang jauh lebih tinggi bahkan dikatakan oleh Rasulullah sampai 70 ribu kali lipat dari bidadari surga ketika mereka telah mendapatkan surga-Nya, karena ketaaatannya selama di dunia. Mereka akan ditempatkan di istana- istana surga seperti yang Allah katakan: “(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'adn”  (At- Taubah: 72). Sedangkan para bidadari mereka Allah letakkan di dalam kemah- kemah, sebagaimana friman-Nya:(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah.” (Ar- Rahman: 72)

            Jika bidadari surga Allah gambarkan di dalam Al-Quran yang memiliki mata jeli, buah dada yang montok, berusia muda- muda, maka wanita shalihah yang mereka masuk surga karena ketaatannya, ia akan jauh lebih menarik dan tinggi derajatnya. Para wanita ini yang juga akan dipasangkan dengan pasangan- pasangan mereka yang sahlih selama di dunia. Maka kedudukan para pelayan muda dari laki-laki di surga, juga para bidadari tidaklah lebih tinggi dari laki- laki shalih dan perempuan shalihah yang karena ketaatan mereka, menjadikan mereka masuk ke dalam surga-Nya. Kenikmatan memandang bidadari, juga para pelayan muda pun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kenikmatan memandang Allah disana.

            Oleh karena itu seorang muslimah harus senantiasa memantaskan dirinya agar bisa meraih derajat tersebut. Sosok shalihah adalah yang qanitah (taat) kepada Rabb-Nya, juga hafidzah yakni yang mau menjaga kehormatannya, juga rahasia dan harta suaminya. Juga senantiasa memberi teladan dan inspirasi dalam kebaikan bagi muslimah lainnya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, dengan tetap menjaga hati dan dirinya dari segala yang dilarangnya. 

Wallahu a’lam bish showab.

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 2): Kesetaraan yang Terindah


            Ketika peradaban- peradaban berbagai agama begitu merendahkan kedudukan perempuan, bai itu Yunani, Romawi, Mesopotamia, India, Hindu, Kristen, juga Arab Jahiliyah, maka Islam datang tuk meninggikan dan menjaganya dengan penjagaan serta penghormatan terbaik. Islam datang bagai pelita bagi kegelapan yang ada di masa itu, dimana kala itu wanita dipandang sebagai makhluk kedua, objek pemuasaan pria, juga layaknya barang yang bisa diperjual belikan dan diwariskan, bahkan layak untuk dibunuh lantaran malu tuk membesarkannya. Tak hanya itu bahkan ia pun bisa mendapat predikat wanita yang setia ketika siap mati ketika suaminya meninggal. Islam dengan syariatnya pun menghapuskan semua itu dan menjadikannya makhluk yang mulia, dan dalam pandangan Rab-Nya tidak ada yang membedakan dengan pria, melainkan  karena ketaqwaan saja. 


            Namun kesalahpahaman menjadikan kaum wanita hari ini menunutut adanya kesataraan. Padahal munculanya gerakan feminis atau kesetaraan gender ini muncul di tengah peradaban barat yang dahulu mereka memang benar- benar merendahkan martabat perempuan.

            Maka bagi kita cukup kembali kepada syariat Islam, dimana Allah sudah memberi tugas, kewajiban, dan perintah sesuai dengan fitrah manusia, baik laki- laki maupun perempuan. Jika kita melihat para shahabiyah juga istri- istri Nabi, maka kita tahu bahwa Islam tidak sama sekali melarang perempuan untuk berperan di tengah kehidupan, selama dalam perkara yang tidak dilarang. Khadijah yang merupakan saudagar kaya, Aisyah menjadi guru para sahabat, juga Hafshah dan Asy-Syifa menjadi pakar kedokteran yang memiliki peran besar di Madinah juga dalam peperangan. Artinya perempuan boleh untuk memiliki peran dalam ranah publik selama ia tidak menginggalkan kewajiban utamanya di dalam rumah, dan semua itu dia niatkan untuk berkhidmat pada Islam dan kaum muslimin.

            Adapun dalam kepemimpinan, maka Islam melarang perempuan untuk memegang kepemimpinan yang memegang kebijakan. Hal itu berdasarkan hadits Nabi yang telah beliau tuturkan, dimana hal itu pasti memiliki hikmah yang besar, karena memang Allah sudah memberikan kelebihan kepada laki- laki yang bisa memikul kewajiban besar tersebut.

            Perempuan sangatlah dimuliakan di dalam Islam. Ketika ia menjadi seorang anak, maka Rasulullah bersabda bahwa siapa yang membesarkan dan mendidik anak perempuannya dua atau tiga maka baginya surga. Ketika perempuan menjadi istri, maka Rasulullah bersabda bahwa laki- laki yang terbaik adalah yang paling baik terhadap istrinya. Ketika perempuan menjadi seorang ibu, maka maka Rasulullah memerintahkan kepada anaknya untuk bebakti kepada ibunya tiga kali lipat dari ke ayahnya. Tentu karena Allah swt telah memberikan kewajiban besar kepada ibu, yang tidak akan mampu tuk dijalankan oleh ayah, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui.

            Dalam urusan rumahtangga, ketika Allah menwajibkan suami tuk memberi nafkah, termasuk di dalamnya memberi makan dan pakaian, maka terdapat ulama yang berpendapat bahwa kesempurnaan memberi nafkah tak hanya memberi uang, namun juga hingga menyediakan makanan, dan menyuapkannya. Begitu pula kewajiban memberikan pakaian, juga termasuk memakaikannya.

            Ketika Islam menetapkan warisan bagi laki- laki 2 kali lipat dari perempuan, maka hal itu karena laki- laki memiliki peran yang berbeda dimana ia harus memberi mahar dan nafkah. Adapun dalam karir, maka Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja, namun Islam menekankan bahwa perempuan memiliki tiga kewajiban yang itu harus benar- benar diperhatikan, yaitu mengandung, melahirkan, menyusui, yang mana semua itu menjadi ladang pahala yang setara seperti jihad fi sabilillah.

            Maka, apabila feminisme dihadapkan dengan peradaban barat, maka hal itu menjadi relevan, namun jika dihadapkan dengan Islam, maka hal itu menjadi sesuatu yang tidak masuk akal karena Islam tanpa feminisme pun sudah sangat jauh memuliakan perempuan.

            Sehingga ketika Kartini, Ratu Ageng Tegalrejo, dan Tengku Fakinah, dan tokoh- tokoh Muslimah Nusantara dan lainnya yang memiliki peran besar bagi perjuangan juga pemberian hak bagi para wanita, maka bukan karena untuk melawan budaya Nusantara atau jawa, karena di Nusantara sendiri telah mengenal Islam sejak lama. Akan tetapi yang mereka lakukan adalah dalam rangka untuk melawan budaya Barat yang telah tersebarkan.

Wallahu a’lam bish showab.

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 1): Allah Sebaik- baik Pemberi Kasih Sayang


            Banyak muslimah merasa insecure karena fisik, penghasilan yang belum mapan, prestasi yang biasa saja, atau jodoh yang tak kunjung datang sedangkan usia terus bertambah tanpa terasa. Padahal semua hal itu termasuk perkara yang diluar kuasanya sebagai manusia, perkara yang pada dasarnya tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya.

Maka agar tidak menjadi sebab yang membuatnya insecure, sudah seharusnya ia mengingat kembali betapa berlimpahnya nikmat yang sudah Allah swt berikan, dimana dengan rasa syukur itu ia akan senantiasa merasa bahagia. Rasulullah pernah mengingatkan kita: “Barangsiapa di antara kalian yang memasuki waktu pagi dalam kondisi sehat badannya, hatinya aman dan tentram, serta memiliki makanan untuk hari tersebut, maka seakan-akan dia memperoleh dunia dan seisinya”. Allah pun juga telah berfirman: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nahl: 18)

Kemuliaan seorang muslimah tidak diukur dari bagaimana fisiknya, karena Allah swt senantiasa melihat dari hati dan amalnya sebagaimana sabda baginda. Begitu juga bukan dinilai dari kemapanan materi dan pekerjaannya, karena pada dasarnya rezeki itu adalah yang bisa dinikmati dan didapatkan dari sumber yang diridhai-Nya. Begitu juga karena prestasinya, karena setiap manusia pasti Allah beri potensi istimewa yang terkadang ia belum menyadari bahkan tak dimiliki oleh selain dirinya. Begitu juga jodoh, karena nyatanya dua perempuan mulia yang Allah muliakan di dalam Al-Quran, yakni Maryam dan Asiyah binti Muzahim kemuliaannya bukanlah karena pasangannya. Maryam, seorang wanita sholihah, ahli ibadah, yang sangat menjaga kehormatannya, sangatlah ditinggikan kedudukannya meski ia tak menikah hingga akhir hayatnya. Bahkan karena kesuciannya, ia Allah pilih untuk memegang amanah besar, dimana dari rahimnya lahir sosok yang akan menyampaikan risalah Rab-Nya. Begitu pula Asiyah yang berada disisi sosok lelaki yang kejam, zalim, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan bagi seluruh manusia. Namun ia Allah tinggikan, semata- mata karena ketaatannya pada Rab-Nya, keteguhannya dalam memegang dan menyampaikan kebenaran hingga akhir hidupnya.

Oleh karena itu perempuan di dunia yang menjadikan bidadari surga cemburu padanya adalah perempuan yang shalihah, taat, serta yakin akan janji-Nya, dekat dengan Rabb-Nya, tunduk atas perintah-Nya, sabar atas segala ujian, teguh dalam kebenaran hingga khir hayatnya. Sama sekali bukan karena fisiknya, materi, prestasi ataupun sosok yang mendampingi hidupnya.

Wallahu a’lam bish showab

Selasa, 23 April 2024

Nyai Walidah, Kebangkitan Kaum ‘Aisyah

 

            Nyai Walidah adalah sosok yang memiliki peran besar dalam membina, dan mendidik para muslimah di masanya. Lahir dan besar di daerah Kauman Yogyakarta, yang merupakan putri dari Kyai Muhammad Fadhil seorang penghulu dan penasehat kraton Yogyakarta. Kemudian ia dinikahkan dengan sepupunya, Kyai Ahmad Dahlan yang merupakan putra dari kakak ayahnya, seorang penghulu kraton juga khatib di Masjid Gede Kauman, yang bernama Khatib Abu Bakar. Kala itu penghulu adalah jabatan yang memiliki tugas untuk dalam urusan keagamaan di keraton. Dari nasab keduanya, mereka adalah keturunan para ulama dan bangsawan yang juga tersambung dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.

            Setelah menikah, ia dan suaminya membuat berbagai macam pengajian, dimana Kyai Ahmad Dahlan sendiri mendirikan berbagai kelompok pengajian dan di berbagai tempat dengan nama yang berbeda- beda, seperi kajian wal fajri, wal ‘ashri di Wirobrajan, al- ikhwan, juga Al-Ma’un di Kauman. Adapun Nyai Ahmad Dahlan atau Nyai Walidah membuat pengajian khusus ibu- ibu yang dinamakan Sopo Tresno, yang tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di Solo, Pekalongan, juga Surabaya, dimana sesekali Kyai Ahmad Dahlan mengisi dalam pengajian tersebut.

            Pada tahun 1912, Muhammadiyah berdiri, dan pada tahun 1915 Nyai Ahmad Dahlan mengusulkan kepada suaminya agar mendirikan organisasi khusus untuk perempuan. Kemudian atas nama pengajian Sopo Tresno, -karena ketika itu masih dalam penjajahan-, maka ia pun mengajukan proposal perizinan kepada pemerintahan kolonial Belanda untuk mendirikan organisasi khusus perempuan yang kemudian dinamakan dengan Aisiyah, yang dinisbatkan kepada ibunda Aisyah binti Abu Bakar, yang identik dengan ilmunya yang sangat luas. Dengan harapan organiasasi ini dapat mendidik para muslimah untuk menjadi sosok yang hebat tak hanya dalam peran domestik, namun juga memiliki keilmuan yang mumpuni.

            Pada tahun 1917, Aisiyah dimasukkan dalam organisasi Muhammadiyah, bahkan pada tahun 1923 pun ketika suaminya wafat, Aisiyah terus berkembang pesat. Sehingga dari sana para pengurus Muhammadiyah dari kaum laki- laki tidak perlu lagi untuk mengurus kaum ibu dalam aktivitas organisasinya.

            Pada tahun 1926, diadakan sebuah kongres Muhammadiyah, dimana Nyai Walidah sebagai ketuanya. Selain menjabat sebagai pengurus pusat Aisiyah, ia juga sebagai ketua hobestur Muhammadiyah. Bahkan selain aktif mengurus Aisiyah, ia juga berperan dalam pembinaan kepanduan putri di Hizbul Waton.

            Melalui Aisiyah ini, Nyai Ahmad Dahlan juga berusaha agar dapat membentengi akidah muslimah- muslimah, agar mereka dapat membentengi akidah suami mereka agar tidak melakukan ritual seikerei, yaitu ritual penyembahan dengan ruku dan sujud kepada kaisar dan dewa matahari yang disembah oleh orang Jepang setiap kali matahari terbit, sebagaimana diperintahkan oleh kolonial Jepang kepada setiap rakyat Indonesia yang bekerja di kantor kedinasan mereka.

            Ia juga sosok yang terus mendukung perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, dimana ia menghimbau berbagai cabang Aisiyah di seluruh Nusantara, untuk mendirikan dan mengontrol dapur- dapur umum sebagai bentuk pelayanan terhadap para pejuang. 

            Selain itu di masa revolusi fisik, -dimana ketika itu terjadi rekrutmen TKR (Tentara Keamanan Rakyat)-, ia pun mendorong para aktivis Muhammadiyah untuk masuk ke dinas militer, tanpa melupakan dirinya sebagai kader Muhammadiyah. Bahkan ia juga dijadikan juru bicara Muhammadiyah oleh Jendral Sudirman ketika merekrut para tantara tersebut, karena Jendral Sudirman juga salah satu kader Muhammadiyah dan kader Hizbul Waton yang juga dekat dengan suaminya.

            Pada tahun 1946, ia wafat dan disholatkan di Masjid Sudir Kauman, dimana ketika wafatnya banyak orang yang melayatnya bahkan alun- alun pun meluber. Ia juga dilayat oleh Mr. Aka Pring Gudito dan Menteri Agama HM Rashidi  sebagai perwakilan dari RI. Pada tahun 1971 pun, Presiden Soekarno mengeluarkan SK Presiden pengangkatan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Begitulah sosok Nyai Ahmad Dahlan, sosok ‘alimah, mualimah, daiyah, dan mujahidah yang memiliki visi besar dalam perjuangan, pendidik, dan mengkader umat.

Wallahu a’alam bish showab.

Tengku Fakinah, ‘Alimah Pendidik Para Mujahidah


            Istilah “Tengku” di dalam Aceh adalah julukan bagi seorang ‘alim atau ‘alimah. Tengku Fakinah adalah putri dari seorang ulama, juga keturunan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Tengku Muhammad Sa’ad, yang merupakan keturunan dari Datuk Mahmud, seorang mufti di Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Syah. Di usia mudanya, Tengku Fakinah sudah aktif dalam pengajaran di dayah (pesantren) yang didirikan oleh ayahnya, karena penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu seperti akidah, fiqh, nahwu, shorof, juga hadits.

Ia pun dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang ulama yang juga diminta mengajar disana. Pada tahun 1873 hingga 1879, suaminya terpanggil untuk ikut dalam barisan para mujahid melawan Belanda, yang kala itu sudah mulai masuk ke Kutaraja atau Banda Aceh bersama para panglima, juga kemudian diikuti oleh para santrinya. Suaminya juga mempertahankan wilayah Ulele, hingga akhirnya gugur syahid di sana.

Setelah wafatnya, Tengku Fakinah tetap terus melanjutkan perjuangannya. Ia mendirikan badan amal perempuan, yang memiliki beberapa divisi. Diantaranya adalah divisi perhimpunan, dimana kegiatannya menghimpun uang orang- orang kaya dalam rangka mengajak mereka membayar zakat, juga infaq fi sabilillah, setelah  memahamkan mereka akan kewajiban zakat dan jihad dengan harta, sembari memberi hadiah kepada mereka berupa mushaf al-Quran yang merupakan hasil karya tangan. Terdapat juga divisi logistik, dimana tugasnya membeli kain juga berbagai bahan makanan, seperti beras, daging, ikan, yang nantinya diolah menjadi makanan yang kering dan awet dalam waktu bertahun- tahun, untuk keperluan jihad. Selain itu juga ada divisi pembangunan benteng- benteng, yang terdiri dari perempuan- perempuan yang ahli dalam perancangan. Benteng itu dibuat untuk menjadi kubu- kubu pertahanan dari penjajah Belanda dengan bahan- bahan sederhana, seperti kayu, tanah liat, dan bambu.

Ketika ia harus banyak berunding dengan para panglima, tokoh, dan ulama terkait strategi dan perang, maka ia pun disarankan untuk menikah. Maka ia pun menikah dengan Tengku Nyak Badai, seorang ulama juga mujahid yang memiliki visi yang sama dengannya. Hingga ketika benteng cetwe dihancurkan Belanda, maka ia pun harus mundur ke arah Selatan, di arah Gayo. Disana ia memiliki murid yang sangat terkenal yaitu Cut Nyak Dien, istri dari Tengku Umar. Di masa itu, Tengku Fakinah dan suaminya bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lain, hingga suaminya kembali gugur. Ia tetap terus melanjutkan perjuangannya, termasuk yang paling penting menjadi distributor harta infaq dari orang- orang kaya untuk keperluan jihad, dengan berbagai kebutuhannya.

Suatu ketika ia mendengar Tengku Umar telah menyerah kepada Belanda, bahkan ia diberi sejumlah pasukan dari Belanda dan rumahnya juga telah dijaga oleh para tantara Belanda. Tengku Umar juga akan menyerang markaz- markaz para pejuang dari orang Aceh. Maka Tengku Fakinah pun mengirimkan tiga murid perempuannya untuk bertemu dengan Cut Nyak Dien agar mengingatkan kembali suaminya akan kewajiban jihad. Ia pun mengerimkan sejumlah hadiah kepada Cut Nyak Dien. Tengku Fakinah menulis sebuah surat agar ia menyampaikan kepada suaminya, bahwa apabila suaminya ingin melakukan serangan, hendaknya menghadap kepada pasukan inong balle terlebih dahulu, agar mereka tau mana yang lebih kuat, apakah perwira dari Belanda atau para janda syuhada’. Membaca surat itu maka Cut Nyak Dien pun menangis, dan menjawab suratnya dengan mengirim sejumlah hadiah mahal, berupa emas, kain- kain dan perhiasan untuk disumbangkan dalam jihad. Ia mengatakan kepada Tengku Fakinah bahwa hatinya tidak akan berubah, namun suaminya memiliki suatu pemikiran yang itu adalah bagian dari strategi. Dari jawaban tersebut Tengku Fakinah menjadi lebih tenang, karena pada akhirnya memang apa yang dilakukan oleh Tengku Umar adalah dalam rangka untuk mensiasati pasukan Belanda dan mengambil senjata- senjata yang dimiliki oleh Belanda.

Ketika Belanda terus menyerang benteng- benteng pertahanan bahkan hingga menjarah rumah Tengku Fakinah dan mengambil harta- harta infak untuk jihad, ia pun terus bergerilya ke daerah pedalaman, hingga ke sebuah benteng bernama benteng Anak Galung, yang dipimpin oleh Tengku Cik Ditiro, seorang ulama dan panglima, yang memimpin pasukan yang terdiri dari para ulama dan santri, dimana mereka sudah diambil sumpah untuk terus bertahan dan melawan hingga syahid. Pasukan ini yang menurut Belanda sangat sulit untuk dikalahkan, tidak seperti pasukan lain yang apabila terus- menerus digempur, maka mereka akan menyerah. Tengku Cik Ditiro pun gugur karena diracun oleh salah seorang santrinya yang berkhianat dengan memberikan racun kepadanya.

Namun, dengan tertembusnya benteng tersebut, Tengku Fakinah pun melanjutkan gerilya ke wilayah Gayelues di Selatan Aceh. Ketika Aceh sudah semakin dikuasai oleh Belanda dan pemimpinnya yaitu Sultan Muhammad Daud Syah telah ditangkap, maka ia pun diminta oleh seorang panglima untuk kembali ke kota Aceh untuk mengajarkan berbagai ilmu agama di masyarakat, tepatnya di sebuah wilayah khusus yang diminta oleh panglima tersebut kepada Belanda dalam rangka mengajarkan agama. Ia pun kembali, mengajar dan menjadi pimpinan di sebuah dayah (pesantren) yang dari sana meskipun penjajahan belum usai, namun ia benar- benar mendedikasikan dirinya untuk terus menyebarkan dan memahamkan ilmu kepada masyarakat. 

Pada tahun 1915, Tengku Fakihah hendak melakukan haji, maka ia pun menikah dengan Tengku Ibrahim agar memiliki mahrom. Selama 3 tahun lebih, di tanah haram ia belajar berbagai ilmu, dan bahkan menamatkan hafalan Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Suaminya pun wafat dan dimakamkan disana, kemudian ia pulang dan pada tahun 1919 ia wafat pada usia 75 tahun.

Begitulah sosok Tengku Fakihah, seorang mujahidah, dan ‘alimah yang mengajarkan kita bahwa jihad harus terus dilakukan bagaimana pun kondisinya, baik dengan fisik, harta maupun ilmu. Ia tak hanya mewariskan darah perjuangan, namun juga ilmu yang begitu luas kepada para murid dan pejuang di masanya.

            Wallahu a’lam bish showab.