Pages

Selasa, 06 Februari 2018

Bukan Diriku Tapi Allah (2)

Usai tes kami berfoto sebentar. Itu pun mencari-cari celah agar tidak dilihat banin. Sulit sekali. Dan hanya beberapa gambar saja yang didapat.

Tawakkal. Diawal. Di tengah. Dan di akhir. Pengumuman hasil tes itu tanggal 6 atau 7 Oktober. Jadi hanya dua hari saja kami menunggu. Esok hari membuat kami semakin khawatir dan penasaran. Hingga tengah malam tanggal 6 itu nama kami belum nampak. Baru ada untuk banin. Itupun belum semua. Kami harus berkali-kali lihat pengumuman itu di halaman Facebook KPP MABA. Keesokan harinya tanggal 7, sudah banyak yang muncul lagi nama-nama kami belum ada. Dan kebanyakan teman yang ku kenal, nama mereka telah keluar. Aku belum. Ada dari mereka yang masuk mustawa Mutawasith Tsani (level 4), Mubtadi tsani (level 2), Mutaqaddim awal (level 5), dan Mutawasith Awal (level 3). Dan hingga tengah malam namaku pun belum keluar. Aku berhusnudzon saja. Mungkin Allah masih memberi kesempatan untuk berdoa. Aku pun tidur dengan hati yang semakin penasaran. Berusaha untuk tenang dan berserah diri pada-Nya. Apapun itu yang terjadi. 

Hingga kami terbangun. Tanggal 8 Oktober. Hari itu sebenarnya daurah lughoh sudah akan dimulai. Pagi itu beberapa nama temanku muncul lagi. Dan aku mencari-cari namaku diantara ratusan nama yang semua bertuliskan Arab. Belum ada. Aku ulang lagi.

"Mba, udah ada?", tanyaku kepada Mba Rizkia.

"Udah., Alhamdulliah..."

"Alhamdulliah.. tapi aku belum, mba", keluhku. Pagi itu semua teman yang aku kenal aku tanya satu per satu. Dan nama mereka serta dimana level mereka sudah mereka ketahui. Dan aku entah harus bagaimana.

Selain nama dan level juga qoah (ruang kelas), terdapat pula pengumunan kapan level-level itu bisa mulai masuk. Dan pada hari itu hanya untuk level Mubtadi Awal (level 1), Mubtadi Tsani (level2), Mutaqaddim Tsani (level 6) dan Mutamyiz (level 7). Itupun dibagi dua waktu. Banat pagi hingga siang, dan banin siang hingga malam. Sedangkan sisanya belum dipastikan kapan bisa mulai masuk.

"Assalamualaikum. Ustadz, afwan ana masuk mustawa berapa ya? Karena di pengumuman tidak ada nama ana", akhirnya aku putuskan untuk bertanya melalui massanger ke akun Facebook KPP Maba. Itu atas saran temanku.

"Waalaikumsalam. Atas nama siapa?"

"Qonita Fairuz Salsabila", aku tulis dengan huruf Arab. 

"Roqm julus berapa?"

"21072, ustadz"

"Mutaqaddim Tsani"..."Qoah 21"

"Beneran ustadz?", tanyaku spontan. Dengan bahasa yang kurang sopan. Tidak percaya sedikitpun.

"Iya"

"Alhamdulliah"

"Masuk pagi ini jam 8", dan saat itu sudah pukul 9 pagi. Dan aku masih belum percaya. Saat temanku menyuruhku segera berangkat, aku menolak. Bukan karena malas. Tapi karena masih belum yakin dengan itu.

"Syukron Ustadz"

"Afwan"

Segera kusujudkan tubuh ini. Tak tahu dengan cara apalagi aku harus bersyukur. Akhirnya Mba Rizkia mau menemaniku ke Markaz Lughoh untuk memastikan. Dan Salma pun juga akan memastikan namanya. Kami menberanikan naik bus. Walau itu pertama kali tanpa kakak kelas.

Setelah memastikan ke idarah (kantor) Markaz, ternyata benar. Ustadz itu menyuruhku segera masuk ke Qoah 21.

"Itu kan bener, mbak.. yaudah masuk aja mbak", kata Salma meyakinkanku.

"Tapi ngga ada temannya gitu?"

"Nggapapa, mba"

"Barakallah Qonita..", tambah Mbak Rizkia.

Dan aku pun masuk gedung biru yang unik itu. Petugas-petugas di pintu masuk itu heran melihatiku. "Mungkin karena datangku terlalu siang", fikirku.

Tapi aku beranikan saja untuk terus masuk. Menelusuri lorong panjang yang kanan dan kirinya penuh dengan kelas.

Aku lihat satu per satu. Angka yang berurutan. Satu, dua, tiga. Dan hingga ujung hanya ada sekitar tujuh.

"Terus dua puluh satu ada dimana? Ya Allah aku harus gimana", ruangan itu sepi. Aku tahu sedang ada pembelajaran di kelas yang pintunya tertutup semua. Maka pantas jika tidak ada orang di luar.

"Ustadzah, qoah wahid wa 'isyrun fen?", tanyaku spontan saat melihat seorang wanita berkerudung yang nampak seorang pengajar.

"Fauq.. na'am ta'ali (di atas.. ok sini sini)" katanya dengan memberi isyarat tangan bahwa ia akan menunjukkan ruangan yang aku cari.

Setelah naik tangga, ustadzah itu mengambil arah ke kiri dan beliau menyuruhku ke kanan sambil memberi petunjuk bahwa Qoah 21 ada di kanan dan paling ujung dari lorong itu. Aku pun menyusurinya. Ada qoah 16, 17, 18. Dan lorong itu semakin ke ujung semakin gelap. Membuatku sedikit ragu. 19, 20. Dan 21 benar-benar paling ujung, tepatnya saat di simpangan yang jika ke kiri sudah ada lorong lagi. 

Pintu Qoah itu terbuka lebar. Seorang Ustadz nampak sedang menjelaskan pelajaran. Dan seketika melihat ke arah ku, karena aku berdiri disitu bererapa waktu. Tanpa berfikir panjang aku langsung masuk. Wajah-wajah di kelas itu nampak asing, walaupun masih wajah ASEAN. Ustadz itu sangat ramah.

"Assalamuailkum. Ustadz ana fi hadzihil Qoah?"

"Na'am. Masmuk?"

"Qonita Fairuz Salsabila", sengaja aku sebutkan semua namaku. Aku fikir nama itu akan dicek ke absen. Agar jelas dan tak tertukar fikirku. 

"Anti min aina?"

"Min andunisiya ustadz"

"Anti jadidah?"

"Na'am. Qala Ustadz fil idarah ana fi hadzihil qoah", aku meyakinkan beliau kembali. Walaupun tak nampak dari wajah nya sesikitpun kecurigaan. Tapi aku heran kenapa seolah-seolah nama ku belum ada disitu. Dan aku menganggap teman-teman di kelas itu pun baru sspertiku.

"Anti jadidah?"

"Na'am ustadz"

"Isytarakti imtihan qabul fil usbu' madhi soh?"

"Na'am ustadz"

"Tsuma anti mubasyarah tadkhul mutaqaddim tsani?"

"Na'am ustadz"

"Masya Allah.. tafadholi"

"Masmuk"

"Qonita Fairuz Salsabila"

"La.. thawil jiddan"

"Qonita..."

"Ahh.. laa astathi' an udzakir. Tsuma anti min aina?", ternyata beliau tidak ingin aku menyebut semua namaku. Dan cukup satu kata saja.

"Andunisiya ustadz", dua kali sudah beliau bertanya dari mana aku. Aku tak begitu faham jawaban apa yang beliau inginkan. Ternyata saat bererapa hari aku mulai belajar, aku faham bahwa maksud beliau kenapa aku terlambat? Dari mana saja? Karena waktu itu memang sudah jam kedua. Itupun aku sudah terlambat sekali dari waktu istirahat. 

Kawan-kawan itu nampak ramah. Walaupun satu pun tak ku kenal. Dan satu pun tak ada yang dari Indonesia, tetapi mereka benar-benar menganggapku tak hanya sekedar kawan. Tapi lebih dari itu. Seperti saudara sendiri. Satu per satu mereka mendekat. Mengajak berkenalan dan menanyakan banyak hal. Mulai dari film Indonesia, sistem sekolah dan pesantren, makanan, dan imtihan qabul (Tes Tahdid Mustawa). Aku senang saja. Karena baru pertama kali itu aku mendapat teman dari luar negara sendiri.

Yang aku suka dari mereka salah satunya adalah masalah berpakaian. Sangat syar'i dan tidak terlalu banyak aksesoris yang bisa menjadi celah tabaruj. Mereka juga sangat suka menolong orang lain. Tak peduli dari mana. Itulah persaudaraan yang didasari aqidah. Bukan negara, ras, atau keluarga. Karena ikatan yang abadi dan tulus hanya yang dilandasi oleh iman. Bukan karena perasaan atau hanya sekedar kebutuhan. 

Cinta pada Allah dan Rasul-Nya lah yang menyatukan. Begitu indahnya Islam akan benar-benar dirasakan ketika mau tak mau harus bergaul dan berteman dengan mereka yang lahir dari rahim serta belahan bumi yang berbeda.

Waktu itu terasa begitu cepat. Belum genap satu bulan. Mungkin sekitar tiga pekan, kami harus menghadapi Imtihan Muntashof (Ujian Pertenghan). Dan itu sangat membuatku cukup takut dan khawatir. Karena hanya aku yang murid baru di kelas itu. Sedangkan semua teman yang lain sudah berkali-kali mengikuti imtihan di markaz sejak mereka Mustawa Mutawasith Awwal (level 3). Tapi berbekal keyakinan pada Allah, dan usaha yang kulalukan dengan selalu menghadiri kelas secara rutin, semua berjalan dengan lancar. 

Dan sampai hari itu masih ada ganjalan pertanyaan dalam diriku. Aku masih mencari-cari teman dari Indonesia yang masuk level yang sama denganku. Dan aku tak tau harus bagaimana. 

"Assalamuailkum. Ustadz afwan ana mau tanya. Selain ana banat yang masuk Mutaqaddim Tsani siapa ya? Karena ana sekelas hanya dengan pelajar dari Malaysia dan Singapura. Syukron", kuberanikan pesan singkat itu aku kirim ke akun Facebook KPP Maba.

"Waalaikumsalam. Lihat saja di pengumunan kemarin", balasan itu cepat dan begitu singkat.

"Sebanyak itu? Dan aku harus mencari satu per satu?", kataku sedikit menggerutu. Sudahlah aku pasrah saja. Jika memang Allah kehendaki pasti Allah pertemukan. Lagi-lagi doa yang menjadi jalan.

Benar saja. Tak lama dari kegelisahan itu Allah pun memberi jawaban. Salma memberitahuku bahwa dia memiliki kenalan seorang teman dari kekeluargaan yang juga masuk Mustawa Mutaqaddim tsani. Benar saja bahwa ikatan yang hanya dilandasi karena negara, atau disebut nasionalisme hanya muncul saat ada ancaman atau keperluan. Tetapi yang dilandasi aqidah tak akan mengenal keluarga, negara, apalagi hanya sekedar bahasa dan warna kulit. 

Tak lama setelah itu, aku segera meminta nomor handphonenya ke Salma. Aku benar-benar punya banyak perntanyaan seputar nasib kami jika kuliah tahun ini juga. Apa yang harus kami lakukan dan apa saja yang harus kami urus segera. 

Kak Farah. Dia di Qoah 16 yang sebenarnya tidak jauh dari Qoah ku. Hanya berselisih dua ruangan yang berada di sebelah kiri, dan satu di seberangnya. Akhirnya kami bertemu dan berbincang disaat istirahat. Itupun hanya beberapa menit. Tapi aku benar-benar lega telah menemukan teman yang bernasib sama.

Hari-hariku habis di markaz mulai pukul delapan pagi hingga usai dzuhur. Setelah sholat aku segera beranjak ke Kuliyyatul banat (Kampus akhwat). Setidaknya bisa mengikuti muhadhoroh (kuliah) jam terakhir. 

"Hari ini kuliah tak?"

"Anti?"

"Insya Allah"

"Oke. Ana kalau ngga ada temannya belum berani.", aku benar-benar sangat mengandalkan teman-teman kelas yang satu jurusan, yaitu Ushuludin. Mereka jauh lebih tau banyak hal dibanding diriku yang mungkin belum genap satu bulan di negeri ini. Dan mereka sudah lebih dari lima bulan. Aku tak berani datang ke kuliah tanpa mereka, walau itu bukan hari pertama atau kedua bagiku. Tapi sudah yang kesekian kalinya.  

Lelah memang. Lapar. Dan hari berpuasa jauh lebih aku sukai. Karena tidak akan tersiksa oleh perihnya lapar. Dan kalaupun lapar serta haus insya Allah berpahala. Belum ditambah kantuk yang terkadang sulit ditahan. Materi yang terlalu berat, atau lebih tepatnya karena bahasa yang digunakan Dukturah (dosen) bercampur dengan bahasa amiyah. Benar-benar tak ada yang mampu kupahami.

Keseharian ini terus berjalan dari hari Ahad sampai Rabu. Hingga akhirnya Allah pertemukan diriku dengan Mahasiswi Indonesia yang jelas mereka seharusnya adalah kakak tingkat. Dari kakak itu aku mulai berkenalan dengan banyak kawan yang lain. Respon mereka pun macam-macam. Ada yang antusias dan seketika akrab. Menanyaiku banyak hal. Ada juga yang memberi semangat. Beberapa ada juga yang cuek, bahkan ada yang menampakkan sikap kurang suka. Karena menurutnya, jika langsung kuliah tanpa mengikuti step-step dari markaz lughoh akan sulit saat kuliah. Dan respon yang terakhir ini yang membuatku menjadi khawatir dan berfikir negatif.

Mampukah diri ini?

Dari perkenalan itu, akhirnya aku dimasukkan ke beberapa grup. Grup Ushuluddin untuk wafidat yang berisi Mahasiwi-Mahasiwi se ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan lain-lain. Kemudian grup yang khusus pelajar Ushuludiin dari Indonesia saja. Dan terakhir grup Bimbel senat Ushuluddin khusus Hay Asher (Distrik 10). 

Allah benar-benar membukakan jalan. Asalkan kita selalu berikhtiar, bersabar, dan bertawakkal dalam kondisi apapun. Dari sana, aku pun bisa tahu kitab apa saja yang harus aku beli. Dimana dan bagaimana caranya.

Pada suatu hari Ahad, aku sengaja tidak hadir di Markaz Lughoh. Aku tau jika setiap pelajar punya jatah lima kali untuk ghaib (tidak hadir), dan aku baru menggunakan sekali saja saat sakit. Maka hari Ahad itu kedua kalinya aku tak hadir. Walaupun cukup berat bagiku, karena harus meninggalkan majelis bersama Ustadz dan Ustadzah. Setegas dan sekeras apapun guru itu, tetap saja dirindukan dan dinantikan ilmunya. Mereka yang menguasai ilmu bahasa Arab tanpa diragukan lagi.

Mulai pekan itu aku sudah sibuk dengan aktivitas-aktivitas baru lagi. Pagi ke markaz lughoh hingga pukul satu siang. Setelah itu aku mengikuti muhadhoroh (kuliah) di jam terkahir. Dalam kondisi lelah dan lapar, tetap kami kejar muhadhoroh itu. Bahkan walaupun Duktur atau Dukturah (dosen) menjelaskan dengan bahasa 'Amiyah (Arab keseharian) bukan bahasa Fushah (Arab resmi) kami tetap berusaha memcerna. Setidaknya kami mendapat kepakan sayap para malaikat yang dibentangkan diatas para thalabah ilmu (penuntut ilmu). Di lantai lima, lantai teratas itu kami bertahan dalam peluh dan kantuk yang sering tak tertahan. Berharap barakah dan tetesan ilmu. Terkadang tak kuasa menahan air mata lantaran syukur dan takut. Kekhawatiran yang tak henti-hentinya muncul karena banyak hal yang belum aku pahami dari bangku kuliah itu. Banyak hal yang harus aku kejar dan korbankan. Berusaha diatas usaha yang ainnya.

Setelah muhadhoroh terakhir, aku segera mengikuti bimbel yang diadakan oleh SMFU (Senat Mahasiwa Fakultas Ushuluddin) yang berada di Bawabat, Asher. Dan itupun hampir setiap hari. Selain diadakan juga oleh sebuah lembaga bimbingan belajar. Di bimbel ini aku terjunkan diriku dengan serius. Karena hanya itu waktu yang efektif, dan hampir semua maddah (makul) bisa aku pelajari. Dari enam yang diujikan di Termin satu, lima darinya semua ada pada bimbel. Semua bimbel ini pun tak berbayar sedikitpun.

Dan itulah aktivitas yang kulakukan selama kurang lebih dua bulan. Sejak Mutaqadim Tsani, hingga Mutamayyiz saat keletihan itu kian bertambah. Karena untuk mengejar Ujian Termin satu, maka Mustawa (level) Mutamayyiz yang seharusnya ditempuh selama satu bulan, menjadi dipersingkat selama dua pekan. Bisa dibayangkan apa yang dipelajari pasti semakin banyak dan menuntut kecepatan dalam memahami. Tugas-tugasnya pun tak mampu terhitung. Hingga akhirnya aku benar-benar mengerjakan yang aku anggap paling mudah dan kemungkinan besar akan dikoreksi. Terjaga dalam malam-malam yang panjang. Antara membaca kitab muqarrar (Buku Kuliah) juga tugas-tugas Markaz Lughoh yang jikapun aku seharian duduk mengerjakannya sepertinya tak akan pernah selesai. Belum lagi jam pelajaran pun ditambah. Yang awalnya pukul delapan hingga 12.30 siang menjadi dari pukul tujuh pagi hingga pukul 13.00 siang. Dan itu saat-saat mendekati puncak musim dingin. Ketika malam lebih panjang dari siangnya. Saat adzan shubuh pukul lima lebih. Selesai sholat shubuh pukul enam pagi. Dan matahari terbit sekitar hampir pukul tujuh. Artinya setiap hari aku berangkat saat matahari belum nampak. Kabut masih menyelimuti. Udara dingin pagi masih membalut kota. Dan mungkin kebanyakan orang pun masih bersembunyi dibalik selimut mereka. Tapi semua itu terasa indah. Dalam nafas yang tersengal-sengal dan kesendirian, aku merasa semakin dekat dengan Rabb pemilik kehidupan ini. Penggenggam nyawa manusia. Tempat mengadukan segala rasa. Tempat menggantungkan segala kesulitan.

Bersama beberapa penumpang yang tak lain para bapak yang sedang berangkat mencari nafkah. Maka tak jarang hanya diriku seorang yang menajadi penumpang sayyidat (perempuan). Pakaian musim dingin itu masih lengkap membalut tubuh mereka. Seolah belum lama terbangun dari tidur. Syal, penutup telinga, juga kaos kaki tebal, dan tentunya jaket yang membungkus badan. 

Lelah memang. Ingin menyerah? Sering. Ingin berhenti dan menangis? Tak jarang. Dan itu hanya aku keluhkan kepada Dzat Yang Maha Teliti dan Mendengar. Aku hanya berbekal nasehat dari lisan seseorang. Yang tulus mendidikku dan selalu berdiri di tuk mendukungku. Nasehat itu benar-benar kan kuingat. Di akhir perpisahan kami, di akhir pelukan kami. Di penghujung pertemuan saat di bandara Jakarta. 

"Nak, selalu sabar, ikhlas dan istiqomah di jalan Allah..."

Ikhlas. Itulah salah satu kekuatan yang sangat dahsyat. Saat kau tak pernah mengeluh dalam kondisi apapun itu. Bahkan hingga kau tak mengingat sebuah kata itu. Itulah ikhlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar