Pages

Selasa, 23 April 2024

Tengku Fakinah, ‘Alimah Pendidik Para Mujahidah


            Istilah “Tengku” di dalam Aceh adalah julukan bagi seorang ‘alim atau ‘alimah. Tengku Fakinah adalah putri dari seorang ulama, juga keturunan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Tengku Muhammad Sa’ad, yang merupakan keturunan dari Datuk Mahmud, seorang mufti di Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Syah. Di usia mudanya, Tengku Fakinah sudah aktif dalam pengajaran di dayah (pesantren) yang didirikan oleh ayahnya, karena penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu seperti akidah, fiqh, nahwu, shorof, juga hadits.

Ia pun dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang ulama yang juga diminta mengajar disana. Pada tahun 1873 hingga 1879, suaminya terpanggil untuk ikut dalam barisan para mujahid melawan Belanda, yang kala itu sudah mulai masuk ke Kutaraja atau Banda Aceh bersama para panglima, juga kemudian diikuti oleh para santrinya. Suaminya juga mempertahankan wilayah Ulele, hingga akhirnya gugur syahid di sana.

Setelah wafatnya, Tengku Fakinah tetap terus melanjutkan perjuangannya. Ia mendirikan badan amal perempuan, yang memiliki beberapa divisi. Diantaranya adalah divisi perhimpunan, dimana kegiatannya menghimpun uang orang- orang kaya dalam rangka mengajak mereka membayar zakat, juga infaq fi sabilillah, setelah  memahamkan mereka akan kewajiban zakat dan jihad dengan harta, sembari memberi hadiah kepada mereka berupa mushaf al-Quran yang merupakan hasil karya tangan. Terdapat juga divisi logistik, dimana tugasnya membeli kain juga berbagai bahan makanan, seperti beras, daging, ikan, yang nantinya diolah menjadi makanan yang kering dan awet dalam waktu bertahun- tahun, untuk keperluan jihad. Selain itu juga ada divisi pembangunan benteng- benteng, yang terdiri dari perempuan- perempuan yang ahli dalam perancangan. Benteng itu dibuat untuk menjadi kubu- kubu pertahanan dari penjajah Belanda dengan bahan- bahan sederhana, seperti kayu, tanah liat, dan bambu.

Ketika ia harus banyak berunding dengan para panglima, tokoh, dan ulama terkait strategi dan perang, maka ia pun disarankan untuk menikah. Maka ia pun menikah dengan Tengku Nyak Badai, seorang ulama juga mujahid yang memiliki visi yang sama dengannya. Hingga ketika benteng cetwe dihancurkan Belanda, maka ia pun harus mundur ke arah Selatan, di arah Gayo. Disana ia memiliki murid yang sangat terkenal yaitu Cut Nyak Dien, istri dari Tengku Umar. Di masa itu, Tengku Fakinah dan suaminya bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lain, hingga suaminya kembali gugur. Ia tetap terus melanjutkan perjuangannya, termasuk yang paling penting menjadi distributor harta infaq dari orang- orang kaya untuk keperluan jihad, dengan berbagai kebutuhannya.

Suatu ketika ia mendengar Tengku Umar telah menyerah kepada Belanda, bahkan ia diberi sejumlah pasukan dari Belanda dan rumahnya juga telah dijaga oleh para tantara Belanda. Tengku Umar juga akan menyerang markaz- markaz para pejuang dari orang Aceh. Maka Tengku Fakinah pun mengirimkan tiga murid perempuannya untuk bertemu dengan Cut Nyak Dien agar mengingatkan kembali suaminya akan kewajiban jihad. Ia pun mengerimkan sejumlah hadiah kepada Cut Nyak Dien. Tengku Fakinah menulis sebuah surat agar ia menyampaikan kepada suaminya, bahwa apabila suaminya ingin melakukan serangan, hendaknya menghadap kepada pasukan inong balle terlebih dahulu, agar mereka tau mana yang lebih kuat, apakah perwira dari Belanda atau para janda syuhada’. Membaca surat itu maka Cut Nyak Dien pun menangis, dan menjawab suratnya dengan mengirim sejumlah hadiah mahal, berupa emas, kain- kain dan perhiasan untuk disumbangkan dalam jihad. Ia mengatakan kepada Tengku Fakinah bahwa hatinya tidak akan berubah, namun suaminya memiliki suatu pemikiran yang itu adalah bagian dari strategi. Dari jawaban tersebut Tengku Fakinah menjadi lebih tenang, karena pada akhirnya memang apa yang dilakukan oleh Tengku Umar adalah dalam rangka untuk mensiasati pasukan Belanda dan mengambil senjata- senjata yang dimiliki oleh Belanda.

Ketika Belanda terus menyerang benteng- benteng pertahanan bahkan hingga menjarah rumah Tengku Fakinah dan mengambil harta- harta infak untuk jihad, ia pun terus bergerilya ke daerah pedalaman, hingga ke sebuah benteng bernama benteng Anak Galung, yang dipimpin oleh Tengku Cik Ditiro, seorang ulama dan panglima, yang memimpin pasukan yang terdiri dari para ulama dan santri, dimana mereka sudah diambil sumpah untuk terus bertahan dan melawan hingga syahid. Pasukan ini yang menurut Belanda sangat sulit untuk dikalahkan, tidak seperti pasukan lain yang apabila terus- menerus digempur, maka mereka akan menyerah. Tengku Cik Ditiro pun gugur karena diracun oleh salah seorang santrinya yang berkhianat dengan memberikan racun kepadanya.

Namun, dengan tertembusnya benteng tersebut, Tengku Fakinah pun melanjutkan gerilya ke wilayah Gayelues di Selatan Aceh. Ketika Aceh sudah semakin dikuasai oleh Belanda dan pemimpinnya yaitu Sultan Muhammad Daud Syah telah ditangkap, maka ia pun diminta oleh seorang panglima untuk kembali ke kota Aceh untuk mengajarkan berbagai ilmu agama di masyarakat, tepatnya di sebuah wilayah khusus yang diminta oleh panglima tersebut kepada Belanda dalam rangka mengajarkan agama. Ia pun kembali, mengajar dan menjadi pimpinan di sebuah dayah (pesantren) yang dari sana meskipun penjajahan belum usai, namun ia benar- benar mendedikasikan dirinya untuk terus menyebarkan dan memahamkan ilmu kepada masyarakat. 

Pada tahun 1915, Tengku Fakihah hendak melakukan haji, maka ia pun menikah dengan Tengku Ibrahim agar memiliki mahrom. Selama 3 tahun lebih, di tanah haram ia belajar berbagai ilmu, dan bahkan menamatkan hafalan Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Suaminya pun wafat dan dimakamkan disana, kemudian ia pulang dan pada tahun 1919 ia wafat pada usia 75 tahun.

Begitulah sosok Tengku Fakihah, seorang mujahidah, dan ‘alimah yang mengajarkan kita bahwa jihad harus terus dilakukan bagaimana pun kondisinya, baik dengan fisik, harta maupun ilmu. Ia tak hanya mewariskan darah perjuangan, namun juga ilmu yang begitu luas kepada para murid dan pejuang di masanya.

            Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar