Istilah
“Tengku” di dalam Aceh adalah julukan bagi seorang ‘alim atau ‘alimah. Tengku
Fakinah adalah putri dari seorang ulama, juga keturunan dari keluarga ulama.
Ayahnya bernama Tengku Muhammad Sa’ad, yang merupakan keturunan dari Datuk
Mahmud, seorang mufti di Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Syah. Di usia
mudanya, Tengku Fakinah sudah aktif dalam pengajaran di dayah (pesantren) yang
didirikan oleh ayahnya, karena penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu
seperti akidah, fiqh, nahwu, shorof, juga hadits.
Ia pun dinikahkan oleh ayahnya dengan
seorang ulama yang juga diminta mengajar disana. Pada tahun 1873 hingga 1879,
suaminya terpanggil untuk ikut dalam barisan para mujahid melawan Belanda, yang
kala itu sudah mulai masuk ke Kutaraja atau Banda Aceh bersama para panglima,
juga kemudian diikuti oleh para santrinya. Suaminya juga mempertahankan wilayah
Ulele, hingga akhirnya gugur syahid di sana.
Setelah wafatnya, Tengku Fakinah tetap
terus melanjutkan perjuangannya. Ia mendirikan badan amal perempuan, yang
memiliki beberapa divisi. Diantaranya adalah divisi perhimpunan, dimana
kegiatannya menghimpun uang orang- orang kaya dalam rangka mengajak mereka
membayar zakat, juga infaq fi sabilillah, setelah memahamkan mereka akan kewajiban zakat dan
jihad dengan harta, sembari memberi hadiah kepada mereka berupa mushaf al-Quran
yang merupakan hasil karya tangan. Terdapat juga divisi logistik, dimana tugasnya
membeli kain juga berbagai bahan makanan, seperti beras, daging, ikan, yang
nantinya diolah menjadi makanan yang kering dan awet dalam waktu bertahun-
tahun, untuk keperluan jihad. Selain itu juga ada divisi pembangunan benteng-
benteng, yang terdiri dari perempuan- perempuan yang ahli dalam perancangan.
Benteng itu dibuat untuk menjadi kubu- kubu pertahanan dari penjajah Belanda
dengan bahan- bahan sederhana, seperti kayu, tanah liat, dan bambu.
Ketika ia harus banyak berunding dengan
para panglima, tokoh, dan ulama terkait strategi dan perang, maka ia pun
disarankan untuk menikah. Maka ia pun menikah dengan Tengku Nyak Badai, seorang
ulama juga mujahid yang memiliki visi yang sama dengannya. Hingga ketika
benteng cetwe dihancurkan Belanda, maka ia pun harus mundur ke arah Selatan, di
arah Gayo. Disana ia memiliki murid yang sangat terkenal yaitu Cut Nyak Dien,
istri dari Tengku Umar. Di masa itu, Tengku Fakinah dan suaminya bergerilya
dari satu wilayah ke wilayah lain, hingga suaminya kembali gugur. Ia tetap
terus melanjutkan perjuangannya, termasuk yang paling penting menjadi
distributor harta infaq dari orang- orang kaya untuk keperluan jihad, dengan
berbagai kebutuhannya.
Suatu ketika ia mendengar Tengku Umar telah
menyerah kepada Belanda, bahkan ia diberi sejumlah pasukan dari Belanda dan
rumahnya juga telah dijaga oleh para tantara Belanda. Tengku Umar juga akan
menyerang markaz- markaz para pejuang dari orang Aceh. Maka Tengku Fakinah pun
mengirimkan tiga murid perempuannya untuk bertemu dengan Cut Nyak Dien agar mengingatkan
kembali suaminya akan kewajiban jihad. Ia pun mengerimkan sejumlah hadiah
kepada Cut Nyak Dien. Tengku Fakinah menulis sebuah surat agar ia menyampaikan
kepada suaminya, bahwa apabila suaminya ingin melakukan serangan, hendaknya
menghadap kepada pasukan inong balle terlebih dahulu, agar mereka tau mana yang
lebih kuat, apakah perwira dari Belanda atau para janda syuhada’. Membaca surat
itu maka Cut Nyak Dien pun menangis, dan menjawab suratnya dengan mengirim
sejumlah hadiah mahal, berupa emas, kain- kain dan perhiasan untuk disumbangkan
dalam jihad. Ia mengatakan kepada Tengku Fakinah bahwa hatinya tidak akan
berubah, namun suaminya memiliki suatu pemikiran yang itu adalah bagian dari
strategi. Dari jawaban tersebut Tengku Fakinah menjadi lebih tenang, karena
pada akhirnya memang apa yang dilakukan oleh Tengku Umar adalah dalam rangka
untuk mensiasati pasukan Belanda dan mengambil senjata- senjata yang dimiliki
oleh Belanda.
Ketika Belanda terus menyerang benteng-
benteng pertahanan bahkan hingga menjarah rumah Tengku Fakinah dan mengambil
harta- harta infak untuk jihad, ia pun terus bergerilya ke daerah pedalaman,
hingga ke sebuah benteng bernama benteng Anak Galung, yang dipimpin oleh Tengku
Cik Ditiro, seorang ulama dan panglima, yang memimpin pasukan yang terdiri dari
para ulama dan santri, dimana mereka sudah diambil sumpah untuk terus bertahan
dan melawan hingga syahid. Pasukan ini yang menurut Belanda sangat sulit untuk dikalahkan,
tidak seperti pasukan lain yang apabila terus- menerus digempur, maka mereka
akan menyerah. Tengku Cik Ditiro pun gugur karena diracun oleh salah seorang
santrinya yang berkhianat dengan memberikan racun kepadanya.
Namun, dengan tertembusnya benteng
tersebut, Tengku Fakinah pun melanjutkan gerilya ke wilayah Gayelues di Selatan
Aceh. Ketika Aceh sudah semakin dikuasai oleh Belanda dan pemimpinnya yaitu
Sultan Muhammad Daud Syah telah ditangkap, maka ia pun diminta oleh seorang
panglima untuk kembali ke kota Aceh untuk mengajarkan berbagai ilmu agama di masyarakat,
tepatnya di sebuah wilayah khusus yang diminta oleh panglima tersebut kepada
Belanda dalam rangka mengajarkan agama. Ia pun kembali, mengajar dan menjadi pimpinan
di sebuah dayah (pesantren) yang dari sana meskipun penjajahan belum usai,
namun ia benar- benar mendedikasikan dirinya untuk terus menyebarkan dan
memahamkan ilmu kepada masyarakat.
Pada tahun 1915, Tengku Fakihah hendak
melakukan haji, maka ia pun menikah dengan Tengku Ibrahim agar memiliki mahrom.
Selama 3 tahun lebih, di tanah haram ia belajar berbagai ilmu, dan bahkan
menamatkan hafalan Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Suaminya pun wafat dan
dimakamkan disana, kemudian ia pulang dan pada tahun 1919 ia wafat pada usia 75
tahun.
Begitulah sosok Tengku Fakihah, seorang
mujahidah, dan ‘alimah yang mengajarkan kita bahwa jihad harus terus dilakukan
bagaimana pun kondisinya, baik dengan fisik, harta maupun ilmu. Ia tak hanya
mewariskan darah perjuangan, namun juga ilmu yang begitu luas kepada para murid
dan pejuang di masanya.
Wallahu
a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar