Pages

Selasa, 12 Januari 2016

Observasi Potensi Wilayah Pantai Baru Bantul Yogyakarta



            I.       Pendahuluan
Pantai Baru merupakan salah satu pesisir selatan wilayah Yogyakarta. Pantai ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya wisata bahari yang ada di Kabupaten Bantul. Pantai ini juga perbatasan dengan pantai-pantai di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul. Jika diruntut dari pantai paling Timur di Bantul, pantai baru ini terletak di ujung Barat Bantul, dan merupakan pantai terakhir yang dibuka oleh warga.
Secara kasat mata, pantai-pantai di Bantul (termasuk pantai Baru) memiliki ombak yang lebih besar dibanding pantai Selatan yang berbatasan dengannnya. Hal ini dikarenakan pantai Baru tidak memiliki perbukitan atau pegunungan yang mengelilinginya. Juga tidak ada batu-batu tebing dan karang, sehingga ombak tidak terhalang oleh apapun. Sedangkan seperti pantai di Gunungkidul, disana perbukitan dan tebing-tebing yang tinggi sangatlah banyak. Maka, pantai di wilayah tersebut relatif lebih aman jika digunakan untuk bermain air dibanding panta-pantai di Bantul. Selain itu, adanya palung di dalam laut menyebabkan benturan ombak menjadi lebih keras.
Secara geografis, pantai Baru berada di ujung paling Barat pantai Bantul. Kemudian di sebelah Timurnya terdapat pantai Kuwaru, pantai Goa Cemara, pantai Pandansari, pantai Samas, pantai Depok, dan terakhir  pantai  Parangtritis. Pantai Baru terletak di Kampung Pandansimo, Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY.
Selain dikenal dengan hasil laut yaitu dari jasa para nelayan, di wilayah sekitar pantai Baru juga dikenal dengan hasil tambak udang dan ikannya. Dari sinilah, perlu diketahui bagaimana awal mulanya muncul penambakan udang. Dan apakah penambakan tersebut lebih menguntungkan dibanding hasil nelayan? Latar belakang tersebut yang menjadi alasan dilakukannya Observasi Potensi Wilayah Pantai Baru.

    II.            Hasil Wawancara dan Observasi
A.  Sejarah Pantai Baru dan Sekilas Potensi
Dahulu pantai Baru masih tertutup oleh hutan pohon cemara udang yang cukup lebat. Kenudian pada tahun 2009-2010, dibukalah hutan-hutan yang menutupi keindahan pantai ini oleh para warga sekitar. Pantai ini dinamakan “Pantai Baru” karena belum lama dibuka, dan merupakan pantai terakhir yang dibuka di Bantul. Pantai ini dibuka dengan dua alasan penting,. Pertama, perpindahan pantai Pandansimo (di Barat pantai Baru) yang disana sudah terjadi abrasi dengan kondisi yang sudah cukup parah. Yaitu kondisi dimana pasir pantai terkikis oleh ombak laut. Sehingga, antara air laut dengan pantai semakin datar (tidak lebih tinggi). Kedua, di pantai Pandansimo pula terdapat prostitusi yang didalamnya adalah kumpulan para Pekerja Seks Komersial (PSK), yang menyebabkan warga tidak nyaman, juga mengganggu wisatawan.
Sebelum pantai Baru dibuka secara resmi, jalan yang menjadi alternatif menuju pantai telah dibuat lebih awal. Dan dana yang digunakan untuk pembangunan jalan adalah dana dari Pemerintah. Setelah hutan terbuka dan nama “Pantai Baru” telah diresmikan, maka pantai ini juga resmi dijadikan salah satu alternatif wisata di Bantul. Setelah itu, Pemerintah juga membuat kapling-kapling tanah yang akan digunakan warga untuk usaha dengan warung makannya. Tanah yang dikapling juga memiliki kelas berdasarkan ukuran dan lokasinya. Kelas A : Rp 500.000, kelas B : Rp 250.000, kelas C : Rp 100.000. Kemudian tanah-tanah tersebut dilelang kepada warga sekitar. Dan untuk biaya per bulannya mereka dipungut sebesar Rp 10.000. Untuk pembangunan warung, warga setempat menggunakan dana masing-masing.
Selain dibangunnya jalan dan warung-warung, Mushola yang bisa dibilang cukup besar juga melengkapi fasilitas di pantai Baru ini. Mushola ini dibangun dari dana sumbangan sebesar Rp 40.000.000, dan ditambah uang kas warga setempat.
Sedangkan munculnya tambak ikan dan udang dikarenakan kurangnya penghasilan pertanian dan lautan. Dan pada awalnya mereka ingin mencoba-coba saja, namun ternyata mereka cukup berhasil dalam kurun waktu kurang lebih 1,5 tahun.

B.  Komoditas Kelautan
B.1. Penangkapan Ikan oleh Nelayan
     Berbagai jenis komoditas ikan didapatkan para nelayan di laut. Mulai dari bawal, layur, gabus, tengiri, lobster, udang, tongkol, teri, dan masih banyak lagi. Untuk melengkapi kebutuhan melaut, mereka mambeli peralatan secara lengkap dari daerah Cilacap. Terdiri dari perahu, jaring (±20-30 jaring), dan mesin. Harga peralatan yang sudah lengkap tersebut bisa mereka dapatkan dengan harga minimal 25-30 juta rupiah. Jika hanya membutuhkan jaring, harga per jaringnya adalah Rp 400.000. Semua itu mereka beli dengan uang masing-masing, dan kebanyakan meminjam pada Bank. Sedangkan untuk bahan bakar, perahu nelayan biasanya menggunakan bensin dengan jumlah sekitar 9-12 liter setiap sekali melaut. Dan karena dicampur dengan oli, maka sekitar 100-200 ribu rupiah harus mereka keluarkan untuk kebutuhan bahan bakar setiap sekali melaut.
     Para nelayan biasanya pergi melaut pada pagi hari (setelah shubuh) dan pulang pada siang atau sore hari. Pada musim hujan, hasil tangkapan akan lebih banyak dan mudah dibanding ketika musim kemarau. Hal ini disebabkan karena pada musim hujan, air-air dari sungai mengalir ke laut dengan lebih cepat sembari membawa makanan-makanan tertentu (plankton) dari sungai menuju laut.
     Sedangkan untuk hasil melaut, para nelayan sendiri tidak bisa memperkirakan. Hal ini karena hasil tangkapan erat kaitannya dengan kondisi cuaca dan musim. Namun, jika sedang beruntung nelayan pernah mendapatkan jumlah ikan yang sangat banyak dalam sehari. Yang apabila dijual bisa mencapai 13 juta rupiah. Dan pada musim kemarau, mereka bisa mendapat ikan sejumlah 2,5 juta rupiah. Akan tetapi, semua itu belum keuntungan bersih, karena mereka harus membeli bahan bakar yang cukup mahal, menyewa jasa untuk mendorong dan mengangkat perahu, juga membayar cicilan hutang kepada Bank.
     Untuk jenis ikan yang paling mahal hingga saat ini adalah ikan bawal. Sedangkan yang paling murah adalah ikan teri. Lobster juga termasuk hasil laut yang harganya cukup tinggi, yaitu mulai dari Rp 90.000-  Rp 400.000 per kilogramnya. Tergantung pada ukuran lobsternya. Semakin besar size nya, maka semakin mahal pula harga per kilogramnya. Mereka menjual semua hasil tangkapan itu di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), yang juga berlokasi di pantai Baru tersebut. Kemudian ikan-ikan itu nantinya akan dibeli oleh para bakul.
     Pada dasarnya, harga ikan-ikan tersebut sudah ditetapkan dan terdapat standar yang wajar. Namun, antara nelayan dan bakul boleh saling tawar menawar untuk mendapat keuntungan. Tak jarang pula, para nelayan lebih memilih untuk menjual kepada bakul lain diluar TPI. Hal ini dikarenakan ada selisih harga yang lebih tinggi daripada dijual pada bakul yang ada di TPI. Walau begitu, para nelayan banyak yang mengatakan bahwa hasil melaut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk pendidikan anak-anak mereka.
     Terkait bantuan Pemerintah, nelayan sebenarnya bisa mendapatkan apabila mau mengajukan proposal. Untuk koperasi, saat ini sudah tidak ada lagi, dikarenakan pengurusannya memburuk.
     Nelayan di pantai baru bisa dikatakan memiliki jumlah terbanyak dibanding nelayan di pantai lain di Bantul. Dari sekitar 150 orang nelayan yang ada disana, 80 orang diantaranya benar-benar masih aktif melaut. Karena jumlah yang cukup banyak tersebut, mereka pun tak jarang mendapat bantuan yang lebih dibanding nelayan-nelayan di pantai lain. Selain itu, kelompok nelayan juga memiliki uang kas yang mereka dapatkan dari 1 persen hasil melaut dari setiap nelayan dalam sekali melaut.

B.2. Pertambakan Ikan dan Udang
            Lahan kolam yang digunakan untuk pertambakan biasanya merupakan lahan yang dahulu digunakan untuk pertanian. Karena penambakan ini milik individu, maka untuk memenuhi kebutuhan dan peralatannya mereka memenuhinya secara individu pula. Mulai dari membuat kolam, mengebor pasir (hingga ±6 meter) untuk mendapat air asin, juga membeli kincir air (±6 juta) untuk oksigen.
            Untuk mendapatkan benih udang, biasanya mereka memesan dari berbagai tempat, seperti dari Lampung, Bangka Belitung, dan Pacitan. Harga per benih udang adalah 45 rupiah. Dalam setiap kali beli, mereka biasanya membeli benih dalam jumlah yang sangat banyak, yaitu kurang lebih 700.000 benih, dan harganya berkisar 28-36 juta (termasuk biaya pengiriman). Benih sebanyak itu biasanya digunakan untuk tiga periode atau tiga kali panen, yang setiap periodenya menggunakan kurang lebih 200 ribu benih. Namun, pada masa panennya, biasanya udang yang dapat dipanen adalah sekitar 180.000 ekor.
            Untuk makanan udang, mereka juga memesan dari luar kota, seperti Bekasi dan Jakarta. Pakan udang bisa dikatakan cukup mahal jika dibandingkan dengan pakan ikan atau ternak, yaitu sekitar 17.500 rupiah per kilogramnya. Apalagi pemberian pakan pada udang dibagi menjadi empat tahap. Mulai dari yang sangat lembut (selembut tepung), hingga sebesar pelet pakan ikan yang bulat-bulat. Dalam satu hari, udang diberi pakan bisa hingga 4 atau 5 kali.
            Tak jarang permasalahan yang mereka hadapi membuat kerugian yang sangat besar, mengingat kebutuhan produksi juga tidaklah sedikit. Permasalahan tersebut berupa penyakit yang menyerang udang, yang sering disebut mencret dan mio. Penyakit mio ini dicirikan dengan ekor udang berwarna putih, sehingga tidak dapat bertahan hidup cukup lama.
            Usia udang mulai dari benih hingga siap jual biasanya 70-90 hari (±3 bulan). Tetapi, apabila diprediksi telah terserang penyakit seperti diatas, maka mereka akan segera menjualnya dalam usia berapapun. Sehingga kerugian tidak semakin membengkak. Apabila musim hujan tiba, pertumbuhan udang pun menjadi lambat. Karena air asin dimana mereka hidup menjadi tercampur air hujan, yang merupakan air payau.
            Apabila sudah tiba waktu panen, maka biasanya ada tengkulak atau bakul yang datang untuk membeli udang tersebut. Mereka biasanya berasal dari Cilacap, Banyuwangi, dan beberapa tempat lain. Harga normal udang per kilogramnya adalah 80-90 ribu. Apabila dalam kondisi normal, mereka bisa mendapatkan hasil hingga 1,5 ton udang setiap panennya. Kemudian jika dijual bisa mengantongi uang hingga 120 juta rupiah.
            Karena pertambakan ini milik individu, maka Pemerintah tidak pernah ikut campur tangan sama sekali dalam pengelolaannya juga membuat kebijakan-kebijakan tertentu.

C.  Kondisi Sosial dan Budaya
            Dalam kehidupan bermasyarakat, warga di sekitar pantai Baru tidak pernah mengalami perselisihan dan persaingan yang hingga menciptakan konflik dalam kesamaan profesi mereka. Jika dibanding nelayan-nelayan di tempat lain, nelayan di pantai ini memiliki kesadaran sosial yang cukup tinggi. Selain dalam melestarikan profesi, mereka juga membangun jalan sebagai akses wisatawan dan Mushola untuk memudahkan beribadah dengan bersama-sama.
            Untuk menjaga keamanan dan kenyamanan, warga dan Pemerintah sepakat untuk membuat larangan didirikannya penginapan dan rumah kecuali warga setempat. Sedangkan terkait budaya, disana terdapat tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh para nelayan apabila hasil melaut mereka sangat banyak. Sedekah laut itu berupa buah-buahan, sayur mayur, dan kepala kerbau atau sapi yang mereka hanyutkan bersamaan ke laut. Selain itu, mereka pun juga rutin mengundang penyanyi atau ledek setiap tahunnya.

D.  Kondisi Keagamaan
            Semua warga di daerah tersebut, beragama Islam. Akan tetapi, yang mau menjalankan ibdah sholat secara istiqomah hanya sekitar 50 persennya. Sedangkan TPA juga diadakan di salah satu Masjid, yaitu Masjid At-Tauhid dan hanya diadakan sekali dalam seminggu. Kecuali apabila bulan suci Ramadhan tiba, TPA dilaksanakan setiap hari.
            Pengajian pun juga diadakan secara rutin. Untuk pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak diadakan setiap Minggu Wage. Sedangkan untuk remaja diadakan satu bulan sekali. Dan pengisi pengajian adalah Ustadz dari luar daerah tersebut yang diundang oleh para pemuda. Mereka pun juga cukup antusia dalam mengikuti acara seperti itu.



E.   Kondisi Pendidikan
            Rata-rata jenjang pendidikan akhir warga setempat adalah SLTA dan SLTP. Namun, mereka sangat ingin anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Walaupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pendidikan tak jarang masih kekurangan, namun mereka masih memiliki tekad yang cukup kuat akan pendidikan anak-anak mereka. Dengan begitu, mereka berharap anak-anak mereka bisa memiliki profesi selain nelayan, terutama pekerjaan di darat. Karena, menurut mereka profesi sebagai nelayan memiliki beberapa resiko, yaitu :
1.      Penghasilan sedikit, tidak mencukupi, dan tidak pasti.
2.      Resiko bekerja di laut lebih besar dibanding bekerja di darat.

 III.            Analisa dan Kesimpulan
Dari pemaparan berbagai fakta kondisi wilayah dan potensi di pantai Baru, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dalam bentuk analisa berikut :
1.    Kurangnya Penghasilan dari Melaut
        Mayoritas nelayan mengatakan bahwa penghasilan yang mereka peroleh dari hasil melaut belum mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, termasuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Salah satu penyebab dari permasalahan berikut memang karena kondisi alam dan musim yang tidak dapat dipungkiri. Namun, dengan fakta seperti itu, maka seharusnya nelayan lebih memaksimalkan hasil tangkapan mereka.
        Dengan cara fokus pada satu pekerjaan itu saja, maka mereka seharusnya bisa mendapatkan hasil tangkapan secara maksimal. Karena pada dasarnya, ketika mereka hanya mendapatkan ikan yang sedikit, misal pada musim kemarau, mereka tidak mau mncari ikan ke lokasi laut yang lebih tengah. Dengan alasan masih memiliki penghasilan dari pekerjaan lain, mereka enggan melakukan hal tersebut. Maka, tak jarang jika musim kemarau tiba dalam sehari mereka tidak mendapatkan ikan sama sekali.
2.    Kerugian Tambak Udang yang Sangat Besar
        Para nelayan atau petani mencoba pekerjaan baru ini rata-rata memang karena dorongan adanya pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatannya. Namun, pada faktanya mereka juga justru mengalami kerugian yang sangat besar. Hal ini dikarenakan adanya penyakit yang cukup ganas yang menyerang udang mereka. Penyakit tersebut sangat mudah menular, dan berakibat cukup fatal. Mulai dari turunnya nafsu makan, tumbuhnya menjadi sangat lambat, dan berakhir dengan kematian massal. Sehingga, harga benih, pakan, listrik, dan pembelian alat produksi yang sangat mahal tidak dapat kembali, apalagi untung.
        Oleh karena itu, para penambak udang seharusnya melakukan pengkajian ulang, bagaimana tindakan yang seharusnya mereka ambil untuk memberantas dan mencegah penyakit yang menyerang dengan sangat cepat ini. Dan pengelolaan yang dilakukan secara individu dan tidak adanya kelompok, maka musyawarah yang harusnya kerap dilaksanakan untuk mengurangi dampak kerugian juga menjadi hampir tidak pernah.   

Pantai Baru, 19 Agustus 2015
UAS Genap kelas X

1 komentar:

  1. KINI DEWALOTTO MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
    UNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU ^-^
    WWW.DEWA-LOTTO.NAME
    WA : +855 88 876 5575

    BalasHapus