I.
Pendahuluan
Pantai Baru merupakan salah satu pesisir selatan
wilayah Yogyakarta. Pantai ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya
wisata bahari yang ada di Kabupaten Bantul. Pantai ini juga perbatasan dengan
pantai-pantai di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul. Jika diruntut dari
pantai paling Timur di Bantul, pantai baru ini terletak di ujung Barat Bantul,
dan merupakan pantai terakhir yang dibuka oleh warga.
Secara kasat mata, pantai-pantai di Bantul (termasuk
pantai Baru) memiliki ombak yang lebih besar dibanding pantai Selatan yang
berbatasan dengannnya. Hal ini dikarenakan pantai Baru tidak memiliki
perbukitan atau pegunungan yang mengelilinginya. Juga tidak ada batu-batu
tebing dan karang, sehingga ombak tidak terhalang oleh apapun. Sedangkan
seperti pantai di Gunungkidul, disana perbukitan dan tebing-tebing yang tinggi
sangatlah banyak. Maka, pantai di wilayah tersebut relatif lebih aman jika
digunakan untuk bermain air dibanding panta-pantai di Bantul. Selain itu,
adanya palung di dalam laut menyebabkan benturan ombak menjadi lebih keras.
Secara geografis, pantai Baru berada di ujung paling
Barat pantai Bantul. Kemudian di sebelah Timurnya terdapat pantai Kuwaru,
pantai Goa Cemara, pantai Pandansari, pantai Samas, pantai Depok, dan terakhir pantai Parangtritis. Pantai Baru terletak di Kampung
Pandansimo, Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten
Bantul, DIY.
Selain dikenal dengan hasil laut yaitu dari jasa
para nelayan, di wilayah sekitar pantai Baru juga dikenal dengan hasil tambak
udang dan ikannya. Dari sinilah, perlu diketahui bagaimana awal mulanya muncul
penambakan udang. Dan apakah penambakan tersebut lebih menguntungkan dibanding
hasil nelayan? Latar belakang tersebut yang menjadi alasan dilakukannya
Observasi Potensi Wilayah Pantai Baru.
II.
Hasil Wawancara dan Observasi
A. Sejarah Pantai Baru dan Sekilas Potensi
Dahulu pantai Baru masih tertutup oleh hutan pohon
cemara udang yang cukup lebat. Kenudian pada tahun 2009-2010, dibukalah
hutan-hutan yang menutupi keindahan pantai ini oleh para warga sekitar. Pantai
ini dinamakan “Pantai Baru” karena belum lama dibuka, dan merupakan pantai
terakhir yang dibuka di Bantul. Pantai ini dibuka dengan dua alasan penting,. Pertama, perpindahan pantai Pandansimo
(di Barat pantai Baru) yang disana sudah terjadi abrasi dengan kondisi yang
sudah cukup parah. Yaitu kondisi dimana pasir pantai terkikis oleh ombak laut.
Sehingga, antara air laut dengan pantai semakin datar (tidak lebih tinggi). Kedua, di pantai Pandansimo pula
terdapat prostitusi yang didalamnya adalah kumpulan para Pekerja Seks Komersial
(PSK), yang menyebabkan warga tidak nyaman, juga mengganggu wisatawan.
Sebelum pantai Baru dibuka secara resmi, jalan yang
menjadi alternatif menuju pantai telah dibuat lebih awal. Dan dana yang
digunakan untuk pembangunan jalan adalah dana dari Pemerintah. Setelah hutan
terbuka dan nama “Pantai Baru” telah diresmikan, maka pantai ini juga resmi
dijadikan salah satu alternatif wisata di Bantul. Setelah itu, Pemerintah juga
membuat kapling-kapling tanah yang akan digunakan warga untuk usaha dengan
warung makannya. Tanah yang dikapling juga memiliki kelas berdasarkan ukuran
dan lokasinya. Kelas A : Rp 500.000, kelas B : Rp 250.000, kelas C : Rp
100.000. Kemudian tanah-tanah tersebut dilelang kepada warga sekitar. Dan untuk
biaya per bulannya mereka dipungut sebesar Rp 10.000. Untuk pembangunan warung,
warga setempat menggunakan dana masing-masing.
Selain dibangunnya jalan dan warung-warung, Mushola
yang bisa dibilang cukup besar juga melengkapi fasilitas di pantai Baru ini.
Mushola ini dibangun dari dana sumbangan sebesar Rp 40.000.000, dan ditambah
uang kas warga setempat.
Sedangkan munculnya tambak ikan dan udang
dikarenakan kurangnya penghasilan pertanian dan lautan. Dan pada awalnya mereka
ingin mencoba-coba saja, namun ternyata mereka cukup berhasil dalam kurun waktu
kurang lebih 1,5 tahun.
B. Komoditas Kelautan
B.1.
Penangkapan Ikan oleh Nelayan
Berbagai
jenis komoditas ikan didapatkan para nelayan di laut. Mulai dari bawal, layur,
gabus, tengiri, lobster, udang, tongkol, teri, dan masih banyak lagi. Untuk
melengkapi kebutuhan melaut, mereka mambeli peralatan secara lengkap dari
daerah Cilacap. Terdiri dari perahu, jaring (±20-30 jaring), dan mesin. Harga
peralatan yang sudah lengkap tersebut bisa mereka dapatkan dengan harga minimal
25-30 juta rupiah. Jika hanya membutuhkan jaring, harga per jaringnya adalah Rp
400.000. Semua itu mereka beli dengan uang masing-masing, dan kebanyakan meminjam
pada Bank. Sedangkan untuk bahan bakar, perahu nelayan biasanya menggunakan
bensin dengan jumlah sekitar 9-12 liter setiap sekali melaut. Dan karena
dicampur dengan oli, maka sekitar 100-200 ribu rupiah harus mereka keluarkan
untuk kebutuhan bahan bakar setiap sekali melaut.
Para
nelayan biasanya pergi melaut pada pagi hari (setelah shubuh) dan pulang pada
siang atau sore hari. Pada musim hujan, hasil tangkapan akan lebih banyak dan
mudah dibanding ketika musim kemarau. Hal ini disebabkan karena pada musim
hujan, air-air dari sungai mengalir ke laut dengan lebih cepat sembari membawa
makanan-makanan tertentu (plankton) dari sungai menuju laut.
Sedangkan
untuk hasil melaut, para nelayan sendiri tidak bisa memperkirakan. Hal ini
karena hasil tangkapan erat kaitannya dengan kondisi cuaca dan musim. Namun,
jika sedang beruntung nelayan pernah mendapatkan jumlah ikan yang sangat banyak
dalam sehari. Yang apabila dijual bisa mencapai 13 juta rupiah. Dan pada musim
kemarau, mereka bisa mendapat ikan sejumlah 2,5 juta rupiah. Akan tetapi, semua
itu belum keuntungan bersih, karena mereka harus membeli bahan bakar yang cukup
mahal, menyewa jasa untuk mendorong dan mengangkat perahu, juga membayar
cicilan hutang kepada Bank.
Untuk
jenis ikan yang paling mahal hingga saat ini adalah ikan bawal. Sedangkan yang
paling murah adalah ikan teri. Lobster juga termasuk hasil laut yang harganya
cukup tinggi, yaitu mulai dari Rp 90.000-
Rp 400.000 per kilogramnya. Tergantung pada ukuran lobsternya. Semakin
besar size nya, maka semakin mahal pula harga per kilogramnya. Mereka menjual
semua hasil tangkapan itu di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), yang juga berlokasi
di pantai Baru tersebut. Kemudian ikan-ikan itu nantinya akan dibeli oleh para
bakul.
Pada
dasarnya, harga ikan-ikan tersebut sudah ditetapkan dan terdapat standar yang
wajar. Namun, antara nelayan dan bakul boleh saling tawar menawar untuk
mendapat keuntungan. Tak jarang pula, para nelayan lebih memilih untuk menjual
kepada bakul lain diluar TPI. Hal ini dikarenakan ada selisih harga yang lebih
tinggi daripada dijual pada bakul yang ada di TPI. Walau begitu, para nelayan
banyak yang mengatakan bahwa hasil melaut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, termasuk untuk pendidikan anak-anak mereka.
Terkait
bantuan Pemerintah, nelayan sebenarnya bisa mendapatkan apabila mau mengajukan
proposal. Untuk koperasi, saat ini sudah tidak ada lagi, dikarenakan
pengurusannya memburuk.
Nelayan di
pantai baru bisa dikatakan memiliki jumlah terbanyak dibanding nelayan di
pantai lain di Bantul. Dari sekitar 150 orang nelayan yang ada disana, 80 orang
diantaranya benar-benar masih aktif melaut. Karena jumlah yang cukup banyak
tersebut, mereka pun tak jarang mendapat bantuan yang lebih dibanding
nelayan-nelayan di pantai lain. Selain itu, kelompok nelayan juga memiliki uang
kas yang mereka dapatkan dari 1 persen hasil melaut dari setiap nelayan dalam
sekali melaut.
B.2. Pertambakan Ikan dan Udang
Lahan
kolam yang digunakan untuk pertambakan biasanya merupakan lahan yang dahulu
digunakan untuk pertanian. Karena penambakan ini milik individu, maka untuk
memenuhi kebutuhan dan peralatannya mereka memenuhinya secara individu pula.
Mulai dari membuat kolam, mengebor pasir (hingga ±6 meter) untuk mendapat air
asin, juga membeli kincir air (±6 juta) untuk oksigen.
Untuk
mendapatkan benih udang, biasanya mereka memesan dari berbagai tempat, seperti
dari Lampung, Bangka Belitung, dan Pacitan. Harga per benih udang adalah 45
rupiah. Dalam setiap kali beli, mereka biasanya membeli benih dalam jumlah yang
sangat banyak, yaitu kurang lebih 700.000 benih, dan harganya berkisar 28-36
juta (termasuk biaya pengiriman). Benih sebanyak itu biasanya digunakan untuk
tiga periode atau tiga kali panen, yang setiap periodenya menggunakan kurang
lebih 200 ribu benih. Namun, pada masa panennya, biasanya udang yang dapat
dipanen adalah sekitar 180.000 ekor.
Untuk
makanan udang, mereka juga memesan dari luar kota, seperti Bekasi dan Jakarta.
Pakan udang bisa dikatakan cukup mahal jika dibandingkan dengan pakan ikan atau
ternak, yaitu sekitar 17.500 rupiah per kilogramnya. Apalagi pemberian pakan
pada udang dibagi menjadi empat tahap. Mulai dari yang sangat lembut (selembut
tepung), hingga sebesar pelet pakan ikan yang bulat-bulat. Dalam satu hari,
udang diberi pakan bisa hingga 4 atau 5 kali.
Tak
jarang permasalahan yang mereka hadapi membuat kerugian yang sangat besar,
mengingat kebutuhan produksi juga tidaklah sedikit. Permasalahan tersebut
berupa penyakit yang menyerang udang, yang sering disebut mencret dan mio.
Penyakit mio ini dicirikan dengan ekor udang berwarna putih, sehingga tidak
dapat bertahan hidup cukup lama.
Usia
udang mulai dari benih hingga siap jual biasanya 70-90 hari (±3 bulan). Tetapi,
apabila diprediksi telah terserang penyakit seperti diatas, maka mereka akan
segera menjualnya dalam usia berapapun. Sehingga kerugian tidak semakin
membengkak. Apabila musim hujan tiba, pertumbuhan udang pun menjadi lambat.
Karena air asin dimana mereka hidup menjadi tercampur air hujan, yang merupakan
air payau.
Apabila
sudah tiba waktu panen, maka biasanya ada tengkulak atau bakul yang datang
untuk membeli udang tersebut. Mereka biasanya berasal dari Cilacap, Banyuwangi,
dan beberapa tempat lain. Harga normal udang per kilogramnya adalah 80-90 ribu.
Apabila dalam kondisi normal, mereka bisa mendapatkan hasil hingga 1,5 ton
udang setiap panennya. Kemudian jika dijual bisa mengantongi uang hingga 120
juta rupiah.
Karena
pertambakan ini milik individu, maka Pemerintah tidak pernah ikut campur tangan
sama sekali dalam pengelolaannya juga membuat kebijakan-kebijakan tertentu.
C. Kondisi Sosial dan Budaya
Dalam
kehidupan bermasyarakat, warga di sekitar pantai Baru tidak pernah mengalami
perselisihan dan persaingan yang hingga menciptakan konflik dalam kesamaan
profesi mereka. Jika dibanding nelayan-nelayan di tempat lain, nelayan di
pantai ini memiliki kesadaran sosial yang cukup tinggi. Selain dalam
melestarikan profesi, mereka juga membangun jalan sebagai akses wisatawan dan
Mushola untuk memudahkan beribadah dengan bersama-sama.
Untuk
menjaga keamanan dan kenyamanan, warga dan Pemerintah sepakat untuk membuat
larangan didirikannya penginapan dan rumah kecuali warga setempat. Sedangkan
terkait budaya, disana terdapat tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh para
nelayan apabila hasil melaut mereka sangat banyak. Sedekah laut itu berupa
buah-buahan, sayur mayur, dan kepala kerbau atau sapi yang mereka hanyutkan
bersamaan ke laut. Selain itu, mereka pun juga rutin mengundang penyanyi atau
ledek setiap tahunnya.
D. Kondisi Keagamaan
Semua
warga di daerah tersebut, beragama Islam. Akan tetapi, yang mau menjalankan
ibdah sholat secara istiqomah hanya sekitar 50 persennya. Sedangkan TPA juga
diadakan di salah satu Masjid, yaitu Masjid At-Tauhid dan hanya diadakan sekali
dalam seminggu. Kecuali apabila bulan suci Ramadhan tiba, TPA dilaksanakan
setiap hari.
Pengajian
pun juga diadakan secara rutin. Untuk pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak
diadakan setiap Minggu Wage. Sedangkan untuk remaja diadakan satu bulan sekali.
Dan pengisi pengajian adalah Ustadz dari luar daerah tersebut yang diundang
oleh para pemuda. Mereka pun juga cukup antusia dalam mengikuti acara seperti
itu.
E. Kondisi Pendidikan
Rata-rata
jenjang pendidikan akhir warga setempat adalah SLTA dan SLTP. Namun, mereka
sangat ingin anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan hingga tingkat
Perguruan Tinggi. Walaupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan
pendidikan tak jarang masih kekurangan, namun mereka masih memiliki tekad yang
cukup kuat akan pendidikan anak-anak mereka. Dengan begitu, mereka berharap
anak-anak mereka bisa memiliki profesi selain nelayan, terutama pekerjaan di
darat. Karena, menurut mereka profesi sebagai nelayan memiliki beberapa resiko,
yaitu :
1. Penghasilan sedikit, tidak mencukupi,
dan tidak pasti.
2. Resiko bekerja di laut lebih besar
dibanding bekerja di darat.
III.
Analisa dan Kesimpulan
Dari pemaparan berbagai fakta kondisi
wilayah dan potensi di pantai Baru, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan
dalam bentuk analisa berikut :
1. Kurangnya Penghasilan dari Melaut
Mayoritas
nelayan mengatakan bahwa penghasilan yang mereka peroleh dari hasil melaut
belum mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, termasuk biaya pendidikan
anak-anak mereka. Salah satu penyebab dari permasalahan berikut memang karena
kondisi alam dan musim yang tidak dapat dipungkiri. Namun, dengan fakta seperti
itu, maka seharusnya nelayan lebih memaksimalkan hasil tangkapan mereka.
Dengan
cara fokus pada satu pekerjaan itu saja, maka mereka seharusnya bisa
mendapatkan hasil tangkapan secara maksimal. Karena pada dasarnya, ketika
mereka hanya mendapatkan ikan yang sedikit, misal pada musim kemarau, mereka
tidak mau mncari ikan ke lokasi laut yang lebih tengah. Dengan alasan masih
memiliki penghasilan dari pekerjaan lain, mereka enggan melakukan hal tersebut.
Maka, tak jarang jika musim kemarau tiba dalam sehari mereka tidak mendapatkan
ikan sama sekali.
2. Kerugian Tambak Udang yang Sangat Besar
Para
nelayan atau petani mencoba pekerjaan baru ini rata-rata memang karena dorongan
adanya pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatannya. Namun, pada
faktanya mereka juga justru mengalami kerugian yang sangat besar. Hal ini
dikarenakan adanya penyakit yang cukup ganas yang menyerang udang mereka.
Penyakit tersebut sangat mudah menular, dan berakibat cukup fatal. Mulai dari
turunnya nafsu makan, tumbuhnya menjadi sangat lambat, dan berakhir dengan
kematian massal. Sehingga, harga benih, pakan, listrik, dan pembelian alat
produksi yang sangat mahal tidak dapat kembali, apalagi untung.
Oleh
karena itu, para penambak udang seharusnya melakukan pengkajian ulang, bagaimana
tindakan yang seharusnya mereka ambil untuk memberantas dan mencegah penyakit
yang menyerang dengan sangat cepat ini. Dan pengelolaan yang dilakukan secara
individu dan tidak adanya kelompok, maka musyawarah yang harusnya kerap
dilaksanakan untuk mengurangi dampak kerugian juga menjadi hampir tidak pernah.
Pantai Baru, 19 Agustus 2015
UAS Genap kelas X
KINI DEWALOTTO MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
BalasHapusUNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU ^-^
WWW.DEWA-LOTTO.NAME
WA : +855 88 876 5575