Pages

Sabtu, 20 April 2024

Halimatus Sa’diyah, Sang Pengasuh Pertama


            Salah satu kebiasaan kaum perempuan di Quraish adalah menyusukan bayi-bayi mereka kepada kaum badui. Hal itu karena tiga alasan, yang pertama adalah karena kebiasaan mereka membanggakan diri ketika memiliki anak banyak, sehingga dengan menyusukan bayinya itu, mereka bisa segera mengandung dan melahirkan lagi. Kedua, pertimbangan bahasa, dimana bahasa penduduk kota Mekkah tidak semurni bahasa kaum badui. Hal itu karena Makkah didatangi berbagai manusia dari berbagai penjuru, yang menjadikan munculnya bahasa amiyah (pasaran). Ketiga, pertimbangan kesehatan, dimana penduduk Makkah memiliki kebiasaan buruk, yakni ketika mereka menymbelih kurban yang dipersembahkan untuk berhala- berhala, mereka membiarkan kurban itu sampai membusuk, dan habis dengan sendirinya. Selain itu karena banyaknya manusia yang datang dan pergi untuk beribadah disana menjadikan berbagai macam kuman dan penyakit mudah tersebar.


            Adapun kaum badui (pedalaman) mereka adalah kaum nomaden yang bergerak mengikuti rerumputan  yang hijau, yakni di tempat yang sedang turun hujan. Rumah mereka digambarkan di dalam Al-quran seperti tenda yang terbuat dari kulit dan bulu. Mereka pun menjadikan menyusui tersebut sebagai salah satu mata pencaharian. Maka setelah bayi- bayi kaum Quraish ini disusui mereka akan dikembalikan ketika usianya mencapai 2 tahun.

            Suatu saat terjadi paceklik dan kekeringan di kaum badui, mereka pun pergi ke Mekkah dengan harapan mendapatkan bayi untuk disusui sehingga mendapat penghasilan. Di saat itulah Nabi Muhammad dilahirkan, di tahun Abrahah, dimana peristiwa tersebut Allah sebut di dalam surat Al-Fil. Kakeknya, Abdul Muthalib memberi nama Muhammad, mengaqiqahi dan merayakan kelahiran cucu yang paling disayangi itu di depan Ka’bah. Namun setelah itu ibunya, Sayyidah Aminah pun merasa sedih. Ia ingin menyusukan putranya itu di kaum badui, namun suaminya yang telah wafat tidak meninggalkan harta yang cukup.

            Allah swt pun telah menetapkan rencana terbaik. Dimana ketika itu Allah lah yang memilihkan ibu susu terbaik bagi bayi Muhammad, perempuan baik yang begitu tulus dan ikhlas menyusuinya. Kala itu kali ada perempuan yang menawarkan diri untuk menyusui Muhammad, beliau selalu menolak. Adapun Halimah As-Sa’diyah, karena ia datang ke Mekkah dengan tubuh yang kurus, maka tidak ada wanita- wanita Makkah yang mau memilihnya untuk menjadi ibu susu bagi bayinya.

Akan tetapi ketika Halimah mendengar kabar bahwa ada satu bayi yang belum mendapat ibu susu yaitu Muhammad, -yang merupakan dari keluarga terhormat, namun ia anak yatim, sehingga mungkin ibunya tidak bisa memberi upah-, maka Halimah pun meminta izin kepada suaminya, Harits bin Abdil Uzza untuk tetap menyusuinya. Ia meyakinkan suaminya bahwa ia hanya berharap kebaikan dan keberkahan karena telah menyusui anak yatim. Setelah suaminya, mengizinkannya, maka ia pun menemui Aminah untuk mengambil bayinya.

Keberkahan pun langsung ia dan keluargnya rasakan ketika bayi itu mulai ia susui. Dimana ketika itu suami dan anak-anaknya sakit menjadi sembuh, unta dan keledainya yang kurus dan lemah menjadi kuat dan bisa berjalan cepat, ambing susu kambing- kambingnya pun terpenuhi susu padahal awalnya kosong. Sehingga mereka bisa minum susu dari sana, juga membuat keju dan berbagai makanan lainnya, bahkan bisa membantu keluarga- keluarga yang lain. Tak hanya itu, payudara Halimah yang pada awalnya  tidak bisa mengeluarkan asi pun setelah menyusi Muhammad maka susunya keluar dengan deras dan tubuhnya menjadi sehat dan kuat. Keyakinan mereka terhadap bayi tersebut yang membawa keberkahan pun semakin bertambah.  

Maka dibawalah bayi Muhammad ke kampung mereka di bawah pegunungan Thaif, karena Halimah berasal dari suku Hawazin. Selama dua tahun bayi Muhammad itu pun menyusu kepadanya, dan tumbuh besar bersama putra putri Halimah. Diantara yang paling dekat dengan Muhammad adalah Syaima’ binti Harits, yang dianggap seperti kakak sendiri, yang selalu mengajaknya bermain, menggendong dan menjaganya. Keberkahan pun begitu berlimpah ia rasakan bersama keluarganya.

Setelah dua tahun, dengan sangat berat hati, Halimah kembali ke Makkah untuk menegmbalikan Muhammad kepada keluargnya. Namun, melihat kondisi Makkah yang sedang tersebar wabah penyakit, maka Halimah memberanikan diri untuk meminta izin agar Muhammad bisa mereka bawa lagi. Melihat kondisi tersebut, maka demi kebaikan putranya, Aminah pun melepasnya dengan berat hati.

Muhammad pun kembali diasuh Halimah, bermain dan menggembala kambing bersama putra putrinya. Suatu ketika di usia sekitar 5 tahun, saat ia sedang menggembala domba bersama putri Halimah, tiba-tiba ia didatangi oleh dua lelaki yang berbaju putih, kemudian membawanya dan membelah dadanya, membersihkan apa yang ada di dalamnya. Kedua laki itu malaikat yang Allah utus untuk membersihkan darinya dendam dan iri, dan mengisi hatinya sifat rauf (lemah lembut) wa rahim (penyayang), sebagaimana Allah sifati Muhammad di dalam Al-Quran. Melihat itu, kakak sepersusuannya pun segera berlari mengabari ibunya.

Karena takut dan khawatir, maka setelah kejadian itu, Halimah membawanya ke rahib. Maka rahib itu mengatakan bahwa memang benar apa yang terjadi, sungguh anak itu akan merubah agama kaum di seluruh jazirah arab. Karena khawatir terjadi apa-apa, maka Halimah dan suaminya memutuskan untuk memulangkan Muhammad ke Makkah.

            Setelah bertemu Aminah, maka Halimah pun menceritakan apa yang terjadi. Namun Aminah justru menenangkannya dan mengabarinya bahwa ketika ia mengandungnya pun ia bermimpi ada cahaya yang keluar dari perutnya yang menerangi seluruh jazirah Arab, dari Syam ke Hadramaut.

            Keberadaan Halimah di dalam kehidupan Muhammad tidaklah terhenti disini. Ia senantiasa memantau kabar dan kondisi putra susuannya tersebut. Sehingga ia tahu ketika Muhammad diberi julukan Al-Amin sejak mudanya, kemudian saat beliau menikah dengan Khadijah, bagaimana beliau menyelsaikan perselisahan para pemuka Quraish ketika peletakkan hajar aswad seteleah direnovasinya Ka’bah, juga ketika beliau terlibat dalam harbu fijar bersama para pamannya. Hingga Muhammad diutus sebagai Rasulullah dan menyebarkan dakwahnya, ia pun mendengar. Kemudian tak lama ia pun masuk Islam.

            Adapun terkait wafatnya ada yang mengatakan saat fathu Makkah, namun pendapat yang lebih kuat adalah di masa Khalifah Umar bin Khattab, dimana Halimah sempat hijrah ke Madinah di masa Abu Bakar. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama, dengan apa yang terjadi dalam perang Hunain. Perang antara kaum muslimin dengan penduduk Thaif yang terdiri dari Suku Hawazin dan Tsaqif itu dimenangkan kaum muslimin, sehingga mereka mendapatkan ghanimah, juga tawanan yang sangat banyak yang kemudian Rasulullah bawa ke Ji’ronah untuk dibagikan kepada kaum muslimin terutama kepada para mualaf. Namun karena suku Hawazin adalah suku ibu asuhnya, Halimah, maka Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk mengembalikan harta dan keluarga kaum dari suku Hawazin. Semua itu Rasulullah lakukan sebagai bentuk kormat dan cintanya kepada ibu susunya.

            Begitulah keberkahan yang diperoleh oleh Halimah as-Sa’diyah, keluarga, bahkan kaumnya, karena ketulusan dan keikhlasan Halimah dalam menyusui dan mengasuh Muhammad kecil yang yatim. Keberkahan itu Allah swt limpahkan juga tak lain karena ia sosok yang bersegara menyambut seruan tuk beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam bish showab.

Atikah binti Zaid, Istri Para Syahid


            Zaid bin Nufail adalah paman Umar bin Khattab yang tergolong kaum hanifiyah, yakni yang tidak mau menyembah berhala selama hidupnya, dimana ia memegang ajaran Nabi Ibrahim, sehingga termasuk ahlu fatroh karena wafat sebelum Nabi Muhammad diutus.

            Atikah binti Zaid putra dari Zaid bin Nufail, memiliki saudara bernama Said bin Zaid yang menikah dengan adik perempuan Umar bin Khattab, yaitu Fathimah binti Khattab. Dimana melalui wasilah tangan merekalah, Umar pun luluh dan masuk Islam. Dari keluarga yang hanifiyah itulah, Atikah pun masuk Islam, yang kemudian dinikahi oleh Abdullah bin Abu Bakar. Pernikahan mereka sangat bahagia, namun karena begitu besar cinta dan terikatnya hati Abdullah kepada Atikah, ia pun menjadi sangat berat untuk meninggalkannya, bahkan untuk sholat berjamaah di masjid, juga pergi berjihad. Hal ini membuat Abu Bakar sangat marah, dan memerintahkan putranya itu untuk menceraikan Atikah, karena Atikah telah menjadikannya jauh dari ketaatan kepada Allah swt.

            Setelah bercerai kondisi Abdullah semakin buruk, dimana ia sering sakit- sakitan dan tubuhnya semakin kurus. Mengetahui itu, maka Atikah pun mencoba untuk membujuk Abu Bakar agat bisa rujuk, dan berjanji akan mendampinginya, terus mendorongnya untuk semakin taat kepada Allah dan memenuhi panggilannya. Maka Abu Bakar pun mengizinkan. Setelah mereka rujuk, maka Abdullah benar- benar berubah, ia menjadi jadi sosok lelaki sejati yang tidak lagi lemah untuk melakukan sholat di masjid, melakukan berbagai amal kebaikan juga berjihad, hingga akhirnya ia pun gugur sebagai syahid.

            Maka setelah masa iddah selesai, Atikah pun dinikahi oleh Umar bin Khattab, dan ia pun mendampingi Umar semasa kekhilafahannya. Karena Atikah sosok yang cerdas, maka Umar sering mengajaknya berdiskusi terkait permasalahan negara. Atikah memberi sejumlah masukkan yang luar biasa, sehingga Umar pun tercengang dan terheran. Maka Atikah pun meminta Umar untuk bertanya kepada istri Rasulullah bagaimana mereka dahulu juga memiliki peran besar ketika mendampingi masa kepemimpinan beliau.

Maka Umar pun bertanya kepada Ummu Salamah, yang ketika itu menjelaskan bagaimana peran beliau pada peristiwa Hudaibiyah. Dimana ia memberi masukan kepada Rasul disaat para sahabat sangat kecewa dengan keputusan Rasul dan perjanjian tersebut, hingga akhirnya para sahabat pun luluh dan patuh kepada baginda. Maka sejak itu Umar semakin yakin bahwa seorang istri bisa memiliki posisi yang penting dalam mendampingi kepemimpinan layaknya para istri Rasulullah, sehingga ia pun tidak ragu untuk mengajak Atikah berunding berbagai hal.

            Suatu ketika masa paceklik terjadi di Madinah, dimana kelaparan dan kekeringan tersebar. Karena itulah Umar pun hanya makan roti keras yang diolesi lemak murahan. Atikah pun berusaha tetap memahami kondisi, membesarkan hatinya, hidup sangat sederhana sebagaimana suaminya, juga tetap membujuknya agar memperhatikan kesehatannya. Bahkan ia meminta tolong Hafshah untuk menjadi penyambung lidahnya, sekalipun Umar tetap seperti itu setelah ia mendapat jawaban dari Hafshah mengenai kondisi Rasulullah yang juga sama ketika dahulu beliau masih mempimpin.

            Atikah juga mendampingi Umar hingga waktu menjelang wafatnya di mihrab masjid ketika ditusuk oleh Abu Lu’luah. Karena tusukan itu perutnya sobek sehingga kondisinya menjadi semakin lemah. Maka, Atikah dan Ummu Kultsum bin Abi Thalib -istri yang lain Umar- merawatnya secara bergantian, dan akhirnya Umar pun wafat sebagai syahid, di pangkuan Atikah.

            Setelah itu ia pun dinikahi oleh Zubair bin Awwam, karena Zubair mengetahui bahwa diantara keberkahan Atikah adalah siapa yang menjadi suaminya atas izin Allah, akan menjadi syahid. Maka setelah sekian waktu berumah tangga dengannya, maka Zubair bin Awwam bersama Thalhah bin Ubaidillah syahid dalam peristiwa Waq’atul Jamal.

            Melihat kondisi Atikah, Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah ketika itu mengatakan: “Barangsiapa ingin menjadi syahid, maka menikahlah dengan Atikah”. Mendengar itu maka putra beliu yaitu Husein bin Ali meminangnya dan menikahinya. Dan apa yang dikatakan Ali pun benar, Husein wafat sebagai syahid pada peristiwa waqatu Karbala.

            Demikanlah peran seorang perempuan, terutama istri dimana apabila ia keliru akan menjadikan suaminya lemah dan semakin jauh dari ketaatan. Dan apabila taat dan teguh dalam kebenaran, maka akan menjadikan suaminya sosok yang hebat, yang dapat mengukir kepahlawanan.

            Wallahu a’lam bish showab.

  

Asy- Syifa binti ‘Abdillah dan Rufaidah, Dokter dan Perawat Teladan


            Ketika Nabi Muhammad beliau adalah seorang yang ummi, yakni tidak bisa baca dan tulis. Akan tetapi hal ini adalah bukanlah bentuk kehinaan, melainkan bagian dari kemuliaan dan kemukjizatan bagi beliau. Di masa itu, mayoritas kaum Quraisy pun adalah kaum ummi. Namun hal itu bukan karena kemalasan atau kebodohan mereka, akan tetapi karena banyak diantara mereka adalah para penyair, sehingga bagi mereka penyair yang hebat itu ketika ia bisa membuat bait syair tanpa perlu berfikir lama, alat tulis, dan proses pengoreksian, namun cukup mengalirkan bait- bait itu dari lisan mereka. Oleh karena itu mereka memandang orang yang bergantung dengan baca tulis, merupakan kaum yang berada di kedudukan kedua.

            Adapun Bani Adi bin Ka’ab, dimana Asy-Syifa binti Abdillah bernasab dan dibesarkan merupakan kaum yang sangat menjunjung tinggi baca tulis. Sehingga mereka dikenal dengan kaum yang intelektual, sehingga dalam jabatan kekuasaan Quraish, orang dari Bani Adi bin Ka’ab sering mendapat posisi menjadi sifarah (duta dan delegasi). Mereka pun tidak merasa rendah meskipun kaum Quraish memiliki pandangan yang berbeda.

            Asy-Syifa sesuai namanya ia adalah shahabiyah yang disebutkan oleh para ahli sejarah sebagai mu’alimah (guru perempuan) pertama di dalam Islam, dimana beliau menjadi guru para shahabiyah di Madinah, termasuk murid yang paling dekat dengannya adalah Hafshah binti Umar, yang juga sebagai keponakannya.

            Ketika Rasulullah mengirimkan surat ke Muqauqis di Mesir untuk mengajak pada Islam, maka raja tersebut mengirim hadiah kepada Rasul dua budak perempuan, -dimana salah satuya dinikahi oleh Rasul yaitu Mariyah Qibtiyah-, juga dua tabib yang memiliki ilmu kedokteran ala Romawi timur, yang mewarisi tersebut dari sang pencetus terkenal dari Yunani, yaitu Hipocrates. Meskipun ilmu kedokteran saat itu masih sederhana dan banyak didasari oleh hepotesa, akan tetapi mereka juga menguasai pengobatan yang banyak berkaitan dengan zat kimia, seperti bisa, khamr, dll.

            Kedua dokter ini pun melayani umat Islam di Madinah selama 6 bulan, namun mereka merasa sangat tidak begitu diperlukan, karena melihat umat Nabi Muhammad begitu sehat, lantaran mereka terbiasa untuk menjaga kebersihan, pola makan yang benar, juga senantiasa berusah mencegah penyebaran penyakit. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah, dengan maksud untuk ingin kembali ke Mesir -dimana masih di bawah kekuasaan Romawi timur-, karena di sana jauh lebih banyak penyakit. Maka sebelum mengabulkan permintaan mereka, Rasulullah pun meminta mereka untuk mengajarkan ilmunya terlebih dahulu.

Dan dari kedua tabib itulah Asy-Syifa dan Hafshah menjadi murid yang paling intensif belajar ilmu kedokteran, sehingga mereka pun menjadi pakar. Bahkan, di masa kekhilfahan Umar bin Khattab, Asy- Syifa diangkat sebagai kepala jawatan pasar karena melihat asy-Syifa adalah sosok intelektual yang sangat cinta ilmu, cerdas, berwawasan luas, dan suka belajar hal baru. Ia yang mengawasi apa yang terjadi di pasar agar tidak ada transaksi- transaksi yang diharamkan.

Adapun Rufaidah binti Sa’ad al-Aslamiyah ia merupakan pelopor ilmu keperawatan di dalam Islam. Dimana ia banyak belajar dari ayahnya yang merupakan seorang tabib yang ahli ilmu kedokteran timur, yaitu dari Persia. Ayahnya telah banyak belajar ilmu tersebut dari Al-Harist bin Kaladah, seorang tabib jahiliyah yang pernah diangkat oleh Kaisar Persia untuk menjadi tabib disana. Ilmu kedokteran timur saat itu dikenal dengan kemampuan pembedahan, baik menggunakan besi, atau logam, seperti pengobatan kay.

Peran yang begitu besar dari Rufaidah yang tertulis dalam sejarah adalah ketika ia merawat, Saad bin Muadz (penguasa suku Aus di Madinah) mengalami luka ketika perang Khandaq. Dimana ketika itu ia terkena luka di tangan karena panah hingga darahnya memuncrat, dan dengan perawatan kay dari Rufaidah maka darahnya bisa terhenti dan sekedar menetes. Padahal luka yang parah itu ketika terkena seseorang biasanya tidak dapat bertahan hidup lama. Namun Sa’ad bisa bertahan selama satu bulan dengan sakitnya yang sangat parah.

Ia juga memiliki terobosan baru yang berbeda dari ayah dalam perawatan, dimana ia membuat semacam klinik, yang memiliki psinsip sangat menjaga kebersihan, memperhatikan sirkulasi udara, juga saluran air yang baik. Selain itu ia meninggalkan apa yang dulu dipakai oleh ayahnya yaitu penggabungan antara ilmu kedokteran dan jampi- jampi yang jelas dilarang dalam Islam, kemudian menggantinya dengan ruqyah syar’iyah, yang menggunakan ayat- ayat quran dan doa-doa.

Tak hanya itu, ia juga menjadi pelopor dibuatnya rumah sakit darurat, dimana dibuat dengan tenda yang bisa dibawa kemana- mana. Hal itu ia inisisasi dalam rangka memudahkan pelayanan bagi para mujahid yang terluka di medan perang. Bahkan ia membuat saluran darah ke arah tempat pembuangan agar penyakit tidak tersebar.

Demikianlah peran Asy-Syifa’ dan Rufaidah sebagai pelopor ilmu kedokteran dan keperawatan di dalam Islam, dimana dengan landasan ilmu yang mereka wariskan, maka dimasa keemasan Islam ilmu tersebut semakin berkembang dan menjadi standarisasi di berbagai rumah sakit mulai dari Barat di Cordoba, Toledo, Savili, hingga ke Timur di Baghdad, Damaskus, Rai, Samarkand, Isfahan, dan lainnya.

Wallahu a’lam bish showab.

Asma’ binti Umais, Pendamping 3 Lelaki Mulia


            Perempuan yang dikenal sebagai shahibu safinah, istri dari salah tiga sahabat Rasulullah saw, istri dua Khalifah dan dua syuhada.     Ketika perintah hijrah ke Habasyah turun, maka berangkatlah para sahabat yang memiliki kedudukan, juga keturunan bangsawan untuk mengamankan posisi mereka yang begitu penting dalam dakwah. Perjalanan hijrah itu tidaklah mudah, karena mereka harus menempuh perjalanan sangat jauh, dari Mekkah menuju laut Aden yang berada di wilayah Yaman. Kemudian mereka menyebrang laut dengan perahu.


Kala itu Ja’far pun ditunjuk sebagai ketua para sahabat yang menjadi delegasi hijrah ke sebuah negeri yang Raja yang adil tersebut. Namun kepergian mereka membuat kaum Quraish marah, sehingga mereka dikejar oleh utusan Quraish agar bisa memulangkan mereka.

Karena raja Najasyi adalah sosok yang bijak dan adil, maka ia terlebih dahulu mengajak dialog dari dua arah. Asma’ binti Umais sebagai istri sang ketua berusaha mendukung dan meyakinkan Ja’far agar tidak ragu menyampaikan kebenaran tentang Isa bin Maryam, sekalipun Nabi ini disembah oleh raja, para pembesar, dan rakyatnya. Dengan kecerdasan Ja’far, sebelum menjawab tantangan itu, ia membacakan surat Maryam, yang isinya begitu menggetarkan hati raja Najasyi. Perlindungan pun diberikan kepada mereka, kemudian sang Raja mengusir delegasi Quraish juga hadiah- hadiahnya untuk dibawa pulang. Bahkan setelah itu raja Najasyi juga masuk Islam, walaupun masih ia sembunyikan.

            Selama hampir 12 tahun, di negeri tersebut para sahabat terus bertahan dengan penuh kesulitan, ketidakpastian, kekurangan, juga ketidakstabilan.      Hingga pada tahun ke 7 hijriyah, Ja’far dan Asma’ pun menyusul hijrah ke Madinah. Ketika mereka tiba, karena kedekatan Asma dengan Hafshah binti Umar, maka Umar bin Khattab menyindir Asma’ karena ia dan suaminya sangat terlambat untuk berhijrah ke Madinah. Asma’ pun berusaha membela diri bahwa walaupun terlambat dalam hijrah ke Madinah, selama ini mereka telah menahan rasa sulit, sakit, duka, dan ketidakstabilan dimana semua itu dilakukan demi perjuangan, dan tidak ada tempat mengadu bagi mereka kecuali kepada Allah. Sedangkan para sahabat yang di Madinah berada di sisi Rasulullah dan bisa mengadu juga bertanya jika ada masalah.

Asma pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah, maka beliau pun membenarkan pembelaan Asma, membelanya dan mengatakan: “Sesungguhnya tidak ada yang berhak akan diriku dari kalian, karena mereka hijrah sekali sedangkan kalian dua kali”.

            Kedatangan mereka membuat Nabi sangat bahagia, selain ketika itu kaum muslimin baru saja mendapatkan kemenangan dalam perang Khaibar. Maka Rasulullah mengatakan: “Hari ini aku begitu bahagia, namun aku tidak tahu apakah bahagiaku ini karena kemenangan kaum muslimin atau karena kedatangan Ja’far”

            Tak lama dari tibanya mereka, seruan jihad pun datang kembali, dimana ketika itu kaum muslimin akan menghadapi 200.000 pasukan Romawi dengan gabungan pasukan Kristen Arab, juga dari Syam, sedangkan pasukan kaum muslimin hanya berjumlah 3000. Rasulullah menunjuk 3 panglima, yaitu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Ketiga panglima itu pun mematahuhi perintah Rasul sekalipun banyak hembusan dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa mereka pasti akan mati, karena seperti dalam agama mereka, jika seorang Nabi telah menyebutkan nama panglima berturut- turut, maka pasti semuanya akan gugur.

            Peperangan yang seolah tak seimbang itu menjadikan beberapa sahabat ragu dan ingin mengadu ke Rasulullah, namun Ja’far justru meyakinkan mereka bahwa apa yang Rasulullah putuskan pasti tidaklah salah. Maka di dalam medan itu Zaid pun gugur, dan panji dipegang oleh Ja’far yang kemudian mengalami 73 titik luka, tangan kanannya dipenggal, sehingga ia memegang panji dengan tangan kirinya, lalu ia pun dipenggal dan gugur syahid. Berikutnya panji dipegang Abdullah bin Rawahah hingga ia gugur, dan terkahir dipegang oleh Khalid bin Walid sampai ia berhasil membuat strategi yang menjadikan pasukan Romawi mundur.

            Rasulullah pun mengabarkan bahwa arwah Ja’far langsung dibawa burung menuju surga, dan kelak di surga kedua tangannya Allah ganti dengan kedua sayap, sehingga ia disebut ath-thayyar. Maka Rasulullah pun meminta para sahabiyah, tetangga Asma binti Umaie untuk memasak dan menghibur Asma binti Umair sebagai penghormatan kepadanya.

            Maka setelah gugurnya Ja’far, dan setelah masa iddahnya usai, Asma’ pun dinikahi oleh Abu Bakar yang darinya memiliki putra bernama Muhammad bin Abu Bakar. Dan setelah wafatnya Abu Bakar, Asma’ pun dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib. Suatu ketika kedua putra Asma yang bernama Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar bertikai, karena mereka saling membanggakan ayahnya dan mengatakan dirinya yang lebih mulia. Maka Ali pun memintanya untuk melerai mereka. Maka dengan cerdas Asma; mengatakan: “Kalau pemuda yang paling utama di dalam Islam maka Ja’far bin Abi Thalib, sedangkan orang tua yang paling utama di dalam Islam adalah Abu Bakar”. Mendengar itu Ali bin Abi Thalib bangga juga sedih, maka Asma pun menjawab: “Adapun engkau wahai Ali, engkau yang ketiga namun kamu yang paling bahagia”. Mendengar itu Ali pun tersenyum.

            Asma binti Umais juga pintu fiqh bagi para muslimah terkait muamalah istri dengan tamu- tamu yang datang. Dimana ketika Asma masih menjadi istri Abu Bakar, Asma didatangi saudara- saudara Ja’far dari Bani Hasyim. Dari sana Abu Bakar tidak menunjukkan ketidaksetujuannya. Maka dari sini ulama menggali hukum bahwa tamu- tamu yang datang kerumah harus dengan izin suami, dan istri tidak boleh menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya, sekalipun dari kalangam kerabatnya.

            Asma juga menjadi sosok sebab turunnya salah satu ayat, dimana ia bertanya kepada Rasulullah lantaran di dalam Al-Quran hanya menyebutkan keutamaan, pahala yang Allah berikan kepada mu’min, dan muslim  tanpa menyebutkan porsi khusus bagi mu’minah dan muslimah. Maka turunlah Al-Ahzab ayat 35 yang menjawab pertanyaannya tersebut.

            Inilah sosok Asma binti Umais, shahabiyah yang sangat taat sholihah, pemberani, pejuang yang tangguh, yang mendapatkan kemuliaan menjadi istri dari dua khalifah (Abu Bakar dan Ali) dan dua syahid (Ja’far dan Ali).

Wallahu a’lam bish showab.

           

 

 

Asma’ binti Abu Bakar, Sang Pembelah Sabuk


            Abu Bakar adalah sahabat terdekat dan terbaik Rasul, bahkan tiga generasi dari keluarganya tergolong generasi sahabat. Dimana ayahnya yaitu Abu Quhafa, kemudian Abu Bakar sendiri, juga anak- anak beliau diantaranya adalah Asma’ adalah termasuk orang- orang yang pertama beriman, berjumpa dan mendukung perjuangan Rasulullah. Sehingga pantas apabila Abu Bakar mendapat predikat sahabat terbaik Rasulullah, selain karena kepribadiannya, ia adalah sosok yang juga berpengaruh dan berperan besar untuk meyakinkan anak- anak dan keluarga, juga sahabat- sahabatnya dalam perdagannya akan kebenaran ajaran Rasul.


Hijrahnya Rasulullah saw adalah bagian dari perintah-Nya dimana Allah saw menurunkan perintah tersebut di waktu yang tentu tepat. Hijrahnya Nabi adalah perkara yang sangat ditakuti kaum Quraisy, sehingga untuk keberhasilannya membutuhkan strategi yang baik. Selain Abu Bakar yang telah memberikan hampir seluruh hartanya, untanya untuk membantu hijrahnya Nabi, Abu Bakar juga melibatkan kedua anaknya yaitu Abdullah bin Abu Bakr dan Asma’ binti Abu Bakr utuk mengambil peran dalam membantu hijrahnya Nabi ini. Asma’ yang ketika itu sedang hamil besar, mengandung anak pertama dari suaminya yaitu Zubair bin Awam, tidak sedikit pun merasa gentar, ragu dan lemah untuk mengantarkan makanan untuk Rasulullah dan ayahnya.

Sehingga  dikarenakan ia harus mendaki bukit yang sangat terjal, berbatu dan tinggi untuk sampai ke gua tsur, maka ia membelah selendang yang biasa digunakan sebagai sabuk untuk menahan kandungannya agar tetap aman, menjadi dua bagian. Dimana salah satunya untuk menggendong makanan di punggungnya, dan salah satunya lagi untuk tetap menopang kandungannya.

Tak hanya itu perannya, ketika Rasulullah dan ayahnya telah berangkat, dan kakeknya bertanya tentang ayahnya dan harta apa yang ditinggalkan untuknya juga keluarganya, maka karena kokohnya keimanannya, juga kepercayaannya yang bulat terhadap ayahnya, maka ia berhasil menenangkan sang kakek agar tidak perlu khawatir, meskipun Abu Bakar tidak meninggalkan harta untuk mereka. Disinilah ketaatan, kecerdasan, dan keyakinan Asma’ akan perintah Rabb-Nya bahwa harta yang dibawa ayahnya tak lain untuk perjuangan, menjadikannya ia mampu untuk mengkodisikan keluarga yang ditinggalkan Abu Bakar agar tetap tenang. Dari sini juga kitab isa melihat bagaimana kehebatan Abu Bakar yang tidak hanya berhasil untuk hijrah mendampingi dan berkorban Rasulullah, namun juga berhasil untuk meyakinkah dan menstabilkan kondisi keluarga yang ditinggalkannya.

Setelah beberapa waktu, maka Asma’ binti Abi Bakr dan Zubair bin Awwam pun menyusul hijrah ke Madinah dalam kondisi sudah hampir melahirkan. Saat itu di Madinah, telah tersebar opini bahwa kaum Yahudi telah menyihir setiap wanita yang datang kesana, bahwa mereka pasti akan mandul. Kalaupun hamil pasti akan keguguran, dan jikalau melahirkan pasti anaknya akan cacat. Namun, setelah tiga hari dari kedatangan Asma’  ia pun melahirkan, yang kemudian putranya lahir dengan sangat sehat dan kuat. Putra tersebut bernama Abdullah bin Zubair, yang dengan kelahirannya maka membantahkan opini yang disebar oleh kaum Yahudi.

Zubair bin Awwam yang dikenal sebagai hawari Rasulullah, yang senantiasa menjaga dan mengamankan jalan yang akan beliau lewati. Abdullah kecil pun nampak memiliki kekuatan dan ambisi sejak kecilnya, yang diturunkan oleh kedua orangtuanya. Suatu saat Rasulullah menjajarkan para sahabat kecil, seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ja’far, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, juga termasuk Abdullah bin Zubair, kemudian menantang mereka untuk mengejar Rasul. Ketika teman-temannya menggapai punggung dan kaki Rasulullah, maka Abdullah bin Zubair memeluk kapala Rasulullah. 

Setelah Asma’ melahirkan tiga putranya yaitu Abdullah, Mush’ab dan Urwah, -yang masing- masing berjarak jauh usianya- karena suatu permasalahan besar dalam rumah tangga, dan karena Zubair memiliki karakter pemarah dan temperamental, Asma pun diceraikan. Namun karena ia mengingat nasehat ayahnya, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda bahwa seorang perempuan sholihah yang ditinggalkan oleh suaminya yang shalih, kemudian ia tidak menikah lagi, maka kelak ia akan dimuliakan di surga. Dengan berpegang sabda Nabi itu, meskipun diceraikan ia tetap berharap kelak di surga bisa berkumpul lagi dengan Zubair, seorang sahabat yang shalih. Hal ini menunjukkan keshalihan Asma binti Abu Bakr dan kesetiaannya kepada sang suami.

 Asma’ berhasil melahirkan dan mendidik ketiga putranya mejadi sosok yang yang luar biasa. Dimana suatu ketika Abdullah, bersama dua adiknya, Mush’ab dan Urwah juga bersama Abdul Malik bin Marwan sedang berada di depan ka’bah, tepatnya di multazam, mereka saling mengungkapkan cita- cita mereka kelak ketika sudah besar. Abdullah mengatakan ingin menjadi penguasa Hijaz sehingga bisa melayani orang- orrang yang haji dan umrah, sedangkan Mush’ab ingin menjadi penguasa di Iraq, wilayah yang subur dan makmur, sehingga dia bisa memasok makanan kepada seluruh kaum muslimin. Adapun Abdul Malik ingin menjadi Khalifah agar bisa melayani seluruh kaum muslimin. Adapun Urwah ketika ditanya para kakaknya, ia pun menjawab:“aku hanya ingin ilmu”

Apa yang mereka impikan pun Allah kabulkan, dimana Asma’ masih hidup ketika melihat mereka mencapai semua impiannya itu. Abdullah juga adik-adiknya pun menjadi murid kesayangan Aisyah, yang terus dididik menjadi sosok pemimpin yang hebat. Urwah pun ketika besar menjadi alim, faqih dan menjadi guru para tabi’in, bahkan dia dikatakan sebagai salah satu dari tujuh fuqaha Madinah yang menghimpun ilmu para sahabat untuk disampaikan kepada generasi setelahnya.

Masa penuh dengan fitnah pun terjadi, dimana ketika itu terjadi perselisihan politik antara Abdullah bin Zubair dengan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus Suriah. Perselisihan itu mulai sejak masa Muawiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan. Terlepas dari semua peristiwa yang terjadi dan juga kedamaian yang sebenarnya sudah hampir terwujud, namun atas keinginan dan ambisi Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi, -karena ia punya dendam dengan Abdullah bin Zubair-, maka setelah membunuh adiknya Mushab bin Zubair di Iraq maka ia pun mengepung Makkah untuk membunuh Abdullah bin Zubair.   

Dalam kondisi yang sudah sangat genting tersebut, Abdullah pun mendatangi ibundanya yang sudah sangat berusia, untuk meminta nasehat. Maka Asma’ pun memberi nasehat kepadanya bahwa selama ia yakin dalam kebenaran dan musuhnya di atas kebatilan, maka tidak ada yang perlu ditakutkan, dan cukup bertawakal kepada Allah, dan jadikan jalan ini sebagai perjuangan untuk berjumpa dengan baginda Rasulullah saw. Asma pun menyarankan Abdullah untuk melepas baju besinya dan menggantinya dengan kain celana yang digunakan berlapis dua, agar ketika ia syahid auratnya tidak tersingkap. Maka dengan nasehat itu Abdullah pun keluar tanpa ragu, bahkan ketika itu tanpa dilindungi oleh 200 pemanah yang tidak lagi diminta Abdullah untuk mengawalnya lantaran mereka telah membicarakan perkataan yang kurang baik tentang Ustman bin Affan, kekasih Rasulullah saw.

Abdullah pun wafat karena serangan begitu dahsyat, yang bahkan ketika itu musuhnya menggunakan senjata manjaniq. Jasad Abullah pun digantung di Masjidil haram selama tiga bulan, sedangkan kepalanya dikirim ke Damaskus. Akan tetapi karena karomahnya, jasadnya mengeluarkan semerbak bau harum yang menyebar di Masjidil Haram. Dengan begitu, setelah mendapatkan nasehat maka al-Hajjaj pun segera menurunkannya karena dengan itu, maka akan semakin terlihat siapa yang ada dalam kebenaran dan kebatilan.

Setelah itu Al-Hajjaj pun mendatangi Asma untuk meminta maaf dan memohon restu, namun Asma pun tidak sudi dan dengan tegas mengatakan: “Sungguh engkau telah menghancurkan dunianya, namun dia telah menghancurkan akhiratmu”. Tak hanya itu dengan kebraniannya, ia juga menyampaikan sabda Rasulullah kepada Al-Hajaj bin Yusuf Ats- Tsaqofi itu: “Sungguh aku telah mendengar Rasulullah bersabda bahwa kelak dari Tsaqif akan muncul seorang pendusta dan seorang durjana. Adapun pendusta maka seluruh dunia tau bahwa ia adalah Musailamah al-Kadzab, Adapun durjana sungguh aku yakin itu adalah kamu”.

Keberanian Asma’ dan keteguhannya dalam kebenaran sungguh telah menjadikan putra- putranya pun menjadi sosok yang tangguh, dan teguh dalam kebenaran hingga akhir dari hidupnya.

Wallahu a’lam bish showab.

 

Ar- Rubayyi’ Binti Mu’awidz Bin Afra, Shahabiyah Pemberani

Ia adalah putri seorang sahabat dari kalangan anshar yang merupakan pahlawan di perang Badar, yang mana telah berhasil mebunuh firaun-nya kaum Quraish, yakni Abu Jahal. Ia adalah seorang putri dan keponakan dari dua paman yang bernama Muadz bin Afra dan Aufa’ bin Afra, dimana ayah dan kedua pamannya tersebut orang yang ditunjuk Nabi untuk berduel dengan tiga pemuka Quraish di awal perang badar, yaitu Walid bin Utbah, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabiah. Namun karena Utbah mengatakan bahwa ketiga sahabat anshar tadi tidak sekufu bagi mereka, lantaran mereka masih sangat muda dan bukan dari kalangan Quraish, maka Rasulullah pun menggantikan mereka dengan ketiga sahabat muhajirin dari kalangan Quraish yaitu Hamzah bin Abdul  Muthalib, Ali bin Abi Thalib, dan Ubaidillah bin Harist bin Abdul Muthalib. Dimana ketiga sahabat tersebut adalah paman dan sepupu Rasulullah sendiri.


            Dalam perang badar tersebut, Muawid mendekati Abdurahman bin Auf untuk bertanya tentang ciri- ciri Abu Jahal karena ia ingin sekali membunuhnya. Semangatnya untuk membunuh musuh Islam itu tak lain karena ia pernah mendegar bahwa ia telah menghina, menginjak dan melempari Rasulullah dengan kotoran ketika berdakwah di Makkah. Maka setelah Muawid bin Afra dengan seorang sahabat lain yaitu Mu’adz bin Amru bin Jamuh berhasil menebas dan menusuk Abu Jahal hingga sekarat, kemudian mereka melapor kepada Rasulullah, maka beliau pun mengakui bahwa mereka berdualah sang pembunuh musuh tersebsar Islam kala itu.

Kemudian ketika Abdulullah bin Mas’ud melihatnya masih hidup, ia pun memenggal kepalanya dan diberikan kepada Rasulullah. Namun di dalam perang tersebut ayah Rubayyi’ syahid dalam usianya yang masih cukup muda, yakni sekitar 20 tahun.

            Sepulang dari perang Badar ini, Rasulullah mendapatkan informasi bahwa Rubayyi’ akan melangsungkan pernikahan, sehingga sebagai bentuk kepedulian dan perhatian, Rasulullah saw pun tak hanya mendatangi pernikahannya namun juga memberikan nasehat kepadanya di kamar pengantin dan juga memberikan sejumlah hadiah, sebagai bentuk penghibur dan pengganti posisi ayahnya yang telah gugur dalam medan jihad. Kedekatan Rasulullah dengan keluarga Rubayyi terus terjalin, bahkan Rasulullah saw sering meminta tolong Rubayi untuk membantu urusannya.

Ia pun meriwayatkan sejumlah hadits dari Rasulullah yang tergolong hadits shahih, dan yang paling masyhur adalah hadits tentang sifat wudhu Rasulullah saw. Dimana hadits tersebut tergolong hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, juga dijadikaan rujukan oleh para tabiin setelah masa beliau termasuk Imam Malik ketika mengistinbath hukum bolehnya menggabungkan air yang digunakan untuk membasuh rambut dengan telinga. Hadits tersebut bisa diriwayatkan oleh Rubayyi’ karena ketika itu  sedang berada di rumah Aisyah dan disana Rasulullah saw meminta Rubayyi untuk menuangkan air dimana Rasul akan berwudhu. Dari sinilah kita tahu bahwa Rubayi seorang shahabiyah yang memiliki keunggulan dalam ilmu.

            Selain unggul dalam ilmu, banyak kisah keberanian Rubayyi’ yang bisa kita lihat, dimana ia selalu bergabung pada ghazwah (perang) dimana Rasulullah saw memimpinnya langsung selama hidup beliau, juga beberapa saraya (pasukan yang tidak dipimpin Rasul) seperti yang dipimpin Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usamah bin Zaid. Selain dikenal dengan keberaniannya di dalam medan perang, dimana jika dibutuhkan, ia akan mengangkat pedang bersama para sahabat yang lain untuk menghadap musuh, ia juga berperan untuk memberi minum, mengobati dan membantu para mujahid yang luka dalam medan perang jika ia tidak dibutuhkan untuk mengangkat senjata. Rubayyi’ tidak mau kecuali mengambil peran dan fungsi di dalam medan  jihad, dan tidak hanya membatasi pada tugasnya saja.

            Ia juga sosok yang pemberani saat direndahkan oleh seorang saudagar kaya dari Mekkah, dimana ia juga tokoh serta sesepuh dari kalangan Quraish yang kemudian hijrah setelah masuk Islam. Orang tersebut adalah ibunda dari Abu Jahal yang bernama Asma’ binti Makhrabah. Asma’ adalah seorang saudagar pengusaha minyak wangi di Makkah yang kemudian bisnisnya dilanjutkan ketika hijrah ke Madinah. Suatu saat Rubayyi’ ingin membeli minyak wangi darinya untuk dijual kembali. Namun karena ia mengetahui bahwa Rubayyi adalah putri dari sosok yang membunuh anaknya, yaitu Abu Jahal, maka ia pun mengatakan bahwa ayahnya layaknya budak yang telah membunuh tuannya. Maka Rubayyi tanpa rasa takut pun mengatakan: “Tidak wahai Ibu, justru ayahku adalah seorang tuan yang telah membunuh budaknya”. Maka Asma’ pun terdiam dan karena tersinggung ia pun melarang Rubayyi’ untuk membeli minyak wangi darinya. Maka dengan penuh hormat dan wibawa Rubayyi’ pun mengatakan bahwa dirinya tidak akan membeli minyak wangi tersebut.

            Hikmah dari kisah shahabiyah ini diantara lain:

·      Sebagai seorang putri dari mujahid sekaligus syahid fi sabilillah memang seharusnya bangga dan bersyukur karena Allah swt telah memilih dan meninggikan kedudukan ayahnya.

·      Islam meninggikan derajat muslimah, sehingga ia bisa mendapatkan kemuliaan layaknya laki- laki dalam ilmu dan medan jihad.

·      Dalam mengambil peran perjuangan memang seharusnya tidak minimalis dan mencukupkan peran yang ditugaskan saja, namun sebisa mungkin mengambil peran dan fungsi sebanyak dan sebaik mungkin pada medan perjuangan tersebut.

·      Keberanian dalam menyampaikan harus selalu ada bagi seorang muslimah, tanpa memandang kedudukan orang yang melakukan kesalahan, namun dengan tetap memperhatikan adab dan kehormatan diri.

Wallahu a’lam bish showab

Al-Khansa binti Amr, Ibunda Para Syuhada’

            Al Khansa’ memiliki nama asli Tumadhor binti Amru bin Shuraid, yang merupakan perempuan dari suku Sulaim. Pada masa jahiliyah ia kehilangan dua saudaranya yaitu kakak dan pamannya dalam peperangan, yang kemudian karena ia sosok penyair hebat, ia pun membuat syair untuk meratapi dan mengungkapkan kesedihannya akan kematian dua saudaranya.

Suatu saat Umar pun menegurnya karena syair yang penuh dengan ratapan. Maka Al-Khansa’ menjawab bahwa ratapannya memiliki makna yang berbeda antara yang ia buat saat masa jahiliyah dan setelah ia masuk Islam. Dimana ketika di masa jahiliyah ia membuat syair untuk meratapi kehilangannya, namun setelah ia masuk Islam, maka ratapannya karena semata- mata ia mengkasihani mereka lantaran tidak merasakan nikmatnya hidayah.

Al Khansa adalah sosok penyair yang diakui oleh Rasulullah juga para sahabat lainnya, bahkan kehebatannya melebihi Umruu Qais. Di dalam Islam syair tidaklah dilarang, selama mengajak kepada kebaikan dan ketaatan, juga dengan mempelajarinya maka dapat membantu untuk memahami al-Quran. Ia masuk Islam pada ‘amul wufud, tahun ke tujuh hijriyah. Tahun dimana Adi bin Hatim -sahabat yang dikenal dengan riwayat tentang kesalahpahamannya akan surat Al Baqoroh ayat 187 yang membahas waktu malam dan fajar- juga masuk Islam. Yang sejak tahun itu kebutuhan terhadap penjelasan al-Quran termasuk dengan syair semakin terasa dibutuhkan karena semakin banyaknya yang masuk Islam dari berbagai kabilah.

Di masa Umar bin Khattab suatu peperangan untuk menaklukkan wilayah Persia terjadi. Dimana ketika itu Islam semakin terdengar luas hingga Persia, sehingga rakyatnya mulai tertarik dengan keadilan dan kepemipimpinan Islam yang senantiasa menyebarkan kebaikan. Perang itu bernama ma’rakah Qadisiyah, dimana jumlah musuh saat itu 300 ribu sedangkan kaum muslimin hanya 30 ribu. Pada awalnya Umar  ingin memimpin pasukan itu secara langsung, namun Ali bin Abi Thalib melarangnya, karena ia adalah benteng kaum muslimin. Sehingga Abdurahman bin Auf mengusulkan agar perang kali itu dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqash yang masih merupakan salah satu paman Rasulullah saw. Ia sosok pemberani dan ahli strategi, yang bagaikan macan namun selama ini menyembunyikan kuku-kuku tajamnya.

Paman yang sering Rasulullah puji dimasa hidup beliau ini pun diberi nasehat oleh Umar agar tidak terlena dan berbangga diri dengan pujian-pujian Rasulullah. Umar juga berkata kepadanya: “Wahai Sa’ad sungguh yang aku takutkan bukanlah jumlahnya pasukan, namun aku takut kaum mukmin yang bermkasiat kepada-Nya. Karena  ketika mereka bermaksiat, maka hanyalah kekuatan pasukan saja yang akan menentukan  kemenangan mereka dan kaum kafir, karena saat itu Allah tidak lagi menjamin pertolongan untuk mereka”. Dalam perang tersebut Sa’ad sedang dalam kondisi sakit bisul sehingga ia harus ditopang dengan kursi agar tetap bisa mengomandai perang.

Pada saat itulah Al Khansa’, seorang ibu yang dikarunia empat putra yang telah beliau didik dengan keimanan yang kokoh dan kecintaan pada Islam, juga baginda Rasulullah saw merelakan mereka semua. Ketika seruan jihad sudah terdengar mereka ber-empat pun berunding dan berdebat siapa yang harus mengalah tidak ikut jihad demi menemani sang ibunda, lantaran ke-empatnya tidak ingin absen di dalamnya. Dengan penuh keyakinan al-Khansa’ pun mengatakan kepada mereka: “Wahai anak-anakku, sungguh aku memiliki penjaga yang yang penjagaannya jauh lebih baik dari penjagaan kalian, yaitu Allah. Sungguh aku tidak butuh penjagaan dari kalian. Maka pergilah untuk berjihad hingga Allah swt memenangkan dan memuliakan kalian..” kemudian Al Khansa membacakan surat Ali Imran ayat 200 untuk semakin menguatkan tekad mereka.

Dalam perang tersebut, Rustum panglima pasukan Persia ingin menguji bagaimana kekuatan pasukan kaum muslimin, sehingga ia memanggil Saad bin Abi Waqash sebagai panglima, kemudian bertanya kepadanya alasan mereka melakukan perang tersebut. Maka Sa’ad menjawab bahwa perang yang dilakukan kaum muslimin tak lain kecuali untuk merubah penghambaan yang sesama manusia menjadi penghambaan kepada Allah semata, juga untuk menggantikan kezaliman dengan keadilan yang merata bagi seluruh manusia. Rustum pun juga memanggil beberapa sahabat lainnya yang mereka dari pasukan menengah dan bawah, untuk mengetahui seberapa kokoh penanaman visi peperangan yang hebat itu  kepada seluruh pasukannya. Maka dipanggilah Mughirah bin Syu’bah dan Ribi’ bin Amir.

Karena mendegar jawaban yang sama dari mereka semua, maka Rustum semakin yakin bahwa pasukan kaum muslimin bukan pasukan biasa. Maka ia memutuskan 150 ribu pasukannya dipulangkan ke ibukota untuk berjaga- jaga. Peperangan pun pecah dengan begitu sengit, dimana pasukan Persia menggunakan gajah- gajah yang pada saat itu menjadi senjata terkuat, sehingga banyak pasukan kaum muslimin yang gugur, termasuk ke-empat putra Al-Khansa yang berada di bawah komando sahabat Al-Qa’qa bin Amir pun syahid pada hari pertama peperangan.

Ketika kabar syahid keempat putranya sampai ke Madinah, maka Al-Khansa membuat manisan dan ia bagi- bagikan kepada para tetangganya, ia sedikitpun  tak marah, bahkan sangat bersyukur dan memuji Allah swt telah memuliakannya dengan syahidnya keempat putranya.

Keridhaan Al-Khansa’ ini sesuai dengan apa yang Rasulullah saw sabdakan bahwa siapa yang memiliki tiga anak yang syahid maka orangtuanya di surga. Maka ada sahabat yang bertanya, bagaimana jika putranya hanya dua, maka Rasul menjawab bagi orangtuanya juga surga. Kemudian ada yang bertanya lagi bagaimana jika putranya hanya satu, maka Rasul menjawab bahwa baginya surga selama ia ridho kepada-Nya.

Wallahu a’lam bish showab.