Zaid
bin Nufail adalah paman Umar bin Khattab yang tergolong kaum hanifiyah, yakni
yang tidak mau menyembah berhala selama hidupnya, dimana ia memegang ajaran
Nabi Ibrahim, sehingga termasuk ahlu fatroh karena wafat sebelum Nabi Muhammad
diutus.
Atikah
binti Zaid putra dari Zaid bin Nufail, memiliki saudara bernama Said bin Zaid
yang menikah dengan adik perempuan Umar bin Khattab, yaitu Fathimah binti
Khattab. Dimana melalui wasilah tangan merekalah, Umar pun luluh dan masuk
Islam. Dari keluarga yang hanifiyah itulah, Atikah pun masuk Islam, yang
kemudian dinikahi oleh Abdullah bin Abu Bakar. Pernikahan mereka sangat
bahagia, namun karena begitu besar cinta dan terikatnya hati Abdullah kepada
Atikah, ia pun menjadi sangat berat untuk meninggalkannya, bahkan untuk sholat
berjamaah di masjid, juga pergi berjihad. Hal ini membuat Abu Bakar sangat
marah, dan memerintahkan putranya itu untuk menceraikan Atikah, karena Atikah telah
menjadikannya jauh dari ketaatan kepada Allah swt.
Setelah
bercerai kondisi Abdullah semakin buruk, dimana ia sering sakit- sakitan dan
tubuhnya semakin kurus. Mengetahui itu, maka Atikah pun mencoba untuk membujuk
Abu Bakar agat bisa rujuk, dan berjanji akan mendampinginya, terus mendorongnya
untuk semakin taat kepada Allah dan memenuhi panggilannya. Maka Abu Bakar pun
mengizinkan. Setelah mereka rujuk, maka Abdullah benar- benar berubah, ia
menjadi jadi sosok lelaki sejati yang tidak lagi lemah untuk melakukan sholat
di masjid, melakukan berbagai amal kebaikan juga berjihad, hingga akhirnya ia
pun gugur sebagai syahid.
Maka
setelah masa iddah selesai, Atikah pun dinikahi oleh Umar bin Khattab, dan ia
pun mendampingi Umar semasa kekhilafahannya. Karena Atikah sosok yang cerdas,
maka Umar sering mengajaknya berdiskusi terkait permasalahan negara. Atikah
memberi sejumlah masukkan yang luar biasa, sehingga Umar pun tercengang dan
terheran. Maka Atikah pun meminta Umar untuk bertanya kepada istri Rasulullah
bagaimana mereka dahulu juga memiliki peran besar ketika mendampingi masa
kepemimpinan beliau.
Maka Umar pun bertanya kepada Ummu Salamah,
yang ketika itu menjelaskan bagaimana peran beliau pada peristiwa Hudaibiyah.
Dimana ia memberi masukan kepada Rasul disaat para sahabat sangat kecewa dengan
keputusan Rasul dan perjanjian tersebut, hingga akhirnya para sahabat pun luluh
dan patuh kepada baginda. Maka sejak itu Umar semakin yakin bahwa seorang istri
bisa memiliki posisi yang penting dalam mendampingi kepemimpinan layaknya para
istri Rasulullah, sehingga ia pun tidak ragu untuk mengajak Atikah berunding
berbagai hal.
Suatu
ketika masa paceklik terjadi di Madinah, dimana kelaparan dan kekeringan
tersebar. Karena itulah Umar pun hanya makan roti keras yang diolesi lemak
murahan. Atikah pun berusaha tetap memahami kondisi, membesarkan hatinya, hidup
sangat sederhana sebagaimana suaminya, juga tetap membujuknya agar
memperhatikan kesehatannya. Bahkan ia meminta tolong Hafshah untuk menjadi
penyambung lidahnya, sekalipun Umar tetap seperti itu setelah ia mendapat
jawaban dari Hafshah mengenai kondisi Rasulullah yang juga sama ketika dahulu
beliau masih mempimpin.
Atikah
juga mendampingi Umar hingga waktu menjelang wafatnya di mihrab masjid ketika
ditusuk oleh Abu Lu’luah. Karena tusukan itu perutnya sobek sehingga kondisinya
menjadi semakin lemah. Maka, Atikah dan Ummu Kultsum bin Abi Thalib -istri yang
lain Umar- merawatnya secara bergantian, dan akhirnya Umar pun wafat sebagai
syahid, di pangkuan Atikah.
Setelah
itu ia pun dinikahi oleh Zubair bin Awwam, karena Zubair mengetahui bahwa
diantara keberkahan Atikah adalah siapa yang menjadi suaminya atas izin Allah, akan
menjadi syahid. Maka setelah sekian waktu berumah tangga dengannya, maka Zubair
bin Awwam bersama Thalhah bin Ubaidillah syahid dalam peristiwa Waq’atul Jamal.
Melihat
kondisi Atikah, Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah ketika itu mengatakan: “Barangsiapa
ingin menjadi syahid, maka menikahlah dengan Atikah”. Mendengar itu maka
putra beliu yaitu Husein bin Ali meminangnya dan menikahinya. Dan apa yang
dikatakan Ali pun benar, Husein wafat sebagai syahid pada peristiwa waqatu
Karbala.
Demikanlah
peran seorang perempuan, terutama istri dimana apabila ia keliru akan
menjadikan suaminya lemah dan semakin jauh dari ketaatan. Dan apabila taat dan teguh
dalam kebenaran, maka akan menjadikan suaminya sosok yang hebat, yang dapat
mengukir kepahlawanan.
Wallahu
a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar