Ketika
Nabi Muhammad beliau adalah seorang yang ummi, yakni tidak bisa baca dan tulis.
Akan tetapi hal ini adalah bukanlah bentuk kehinaan, melainkan bagian dari
kemuliaan dan kemukjizatan bagi beliau. Di masa itu, mayoritas kaum Quraisy pun
adalah kaum ummi. Namun hal itu bukan karena kemalasan atau kebodohan mereka,
akan tetapi karena banyak diantara mereka adalah para penyair, sehingga bagi
mereka penyair yang hebat itu ketika ia bisa membuat bait syair tanpa perlu
berfikir lama, alat tulis, dan proses pengoreksian, namun cukup mengalirkan
bait- bait itu dari lisan mereka. Oleh karena itu mereka memandang orang yang
bergantung dengan baca tulis, merupakan kaum yang berada di kedudukan kedua.
Adapun
Bani Adi bin Ka’ab, dimana Asy-Syifa binti Abdillah bernasab dan dibesarkan
merupakan kaum yang sangat menjunjung tinggi baca tulis. Sehingga mereka dikenal
dengan kaum yang intelektual, sehingga dalam jabatan kekuasaan Quraish, orang
dari Bani Adi bin Ka’ab sering mendapat posisi menjadi sifarah (duta dan
delegasi). Mereka pun tidak merasa rendah meskipun kaum Quraish memiliki
pandangan yang berbeda.
Asy-Syifa
sesuai namanya ia adalah shahabiyah yang disebutkan oleh para ahli sejarah
sebagai mu’alimah (guru perempuan) pertama di dalam Islam, dimana beliau
menjadi guru para shahabiyah di Madinah, termasuk murid yang paling dekat
dengannya adalah Hafshah binti Umar, yang juga sebagai keponakannya.
Ketika
Rasulullah mengirimkan surat ke Muqauqis di Mesir untuk mengajak pada Islam,
maka raja tersebut mengirim hadiah kepada Rasul dua budak perempuan, -dimana
salah satuya dinikahi oleh Rasul yaitu Mariyah Qibtiyah-, juga dua tabib yang memiliki
ilmu kedokteran ala Romawi timur, yang mewarisi tersebut dari sang pencetus
terkenal dari Yunani, yaitu Hipocrates. Meskipun ilmu kedokteran saat itu masih
sederhana dan banyak didasari oleh hepotesa, akan tetapi mereka juga menguasai
pengobatan yang banyak berkaitan dengan zat kimia, seperti bisa, khamr, dll.
Kedua
dokter ini pun melayani umat Islam di Madinah selama 6 bulan, namun mereka merasa
sangat tidak begitu diperlukan, karena melihat umat Nabi Muhammad begitu sehat,
lantaran mereka terbiasa untuk menjaga kebersihan, pola makan yang benar, juga senantiasa
berusah mencegah penyebaran penyakit. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah,
dengan maksud untuk ingin kembali ke Mesir -dimana masih di bawah kekuasaan
Romawi timur-, karena di sana jauh lebih banyak penyakit. Maka sebelum
mengabulkan permintaan mereka, Rasulullah pun meminta mereka untuk mengajarkan
ilmunya terlebih dahulu.
Dan dari kedua tabib itulah Asy-Syifa dan
Hafshah menjadi murid yang paling intensif belajar ilmu kedokteran, sehingga
mereka pun menjadi pakar. Bahkan, di masa kekhilfahan Umar bin Khattab, Asy-
Syifa diangkat sebagai kepala jawatan pasar karena melihat asy-Syifa adalah
sosok intelektual yang sangat cinta ilmu, cerdas, berwawasan luas, dan suka
belajar hal baru. Ia yang mengawasi apa yang terjadi di pasar agar tidak ada
transaksi- transaksi yang diharamkan.
Adapun Rufaidah binti Sa’ad al-Aslamiyah ia
merupakan pelopor ilmu keperawatan di dalam Islam. Dimana ia banyak belajar
dari ayahnya yang merupakan seorang tabib yang ahli ilmu kedokteran timur,
yaitu dari Persia. Ayahnya telah banyak belajar ilmu tersebut dari Al-Harist
bin Kaladah, seorang tabib jahiliyah yang pernah diangkat oleh Kaisar Persia
untuk menjadi tabib disana. Ilmu kedokteran timur saat itu dikenal dengan
kemampuan pembedahan, baik menggunakan besi, atau logam, seperti pengobatan kay.
Peran yang begitu besar dari Rufaidah yang
tertulis dalam sejarah adalah ketika ia merawat, Saad bin Muadz (penguasa suku
Aus di Madinah) mengalami luka ketika perang Khandaq. Dimana ketika itu ia
terkena luka di tangan karena panah hingga darahnya memuncrat, dan dengan
perawatan kay dari Rufaidah maka darahnya bisa terhenti dan sekedar menetes. Padahal
luka yang parah itu ketika terkena seseorang biasanya tidak dapat bertahan
hidup lama. Namun Sa’ad bisa bertahan selama satu bulan dengan sakitnya yang
sangat parah.
Ia juga memiliki terobosan baru yang
berbeda dari ayah dalam perawatan, dimana ia membuat semacam klinik, yang
memiliki psinsip sangat menjaga kebersihan, memperhatikan sirkulasi udara, juga
saluran air yang baik. Selain itu ia meninggalkan apa yang dulu dipakai oleh
ayahnya yaitu penggabungan antara ilmu kedokteran dan jampi- jampi yang jelas
dilarang dalam Islam, kemudian menggantinya dengan ruqyah syar’iyah, yang
menggunakan ayat- ayat quran dan doa-doa.
Tak hanya itu, ia juga menjadi pelopor
dibuatnya rumah sakit darurat, dimana dibuat dengan tenda yang bisa dibawa
kemana- mana. Hal itu ia inisisasi dalam rangka memudahkan pelayanan bagi para
mujahid yang terluka di medan perang. Bahkan ia membuat saluran darah ke arah
tempat pembuangan agar penyakit tidak tersebar.
Demikianlah peran Asy-Syifa’ dan Rufaidah
sebagai pelopor ilmu kedokteran dan keperawatan di dalam Islam, dimana dengan
landasan ilmu yang mereka wariskan, maka dimasa keemasan Islam ilmu tersebut
semakin berkembang dan menjadi standarisasi di berbagai rumah sakit mulai dari
Barat di Cordoba, Toledo, Savili, hingga ke Timur di Baghdad, Damaskus, Rai,
Samarkand, Isfahan, dan lainnya.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar