Pages

Sabtu, 20 April 2024

Asy- Syifa binti ‘Abdillah dan Rufaidah, Dokter dan Perawat Teladan


            Ketika Nabi Muhammad beliau adalah seorang yang ummi, yakni tidak bisa baca dan tulis. Akan tetapi hal ini adalah bukanlah bentuk kehinaan, melainkan bagian dari kemuliaan dan kemukjizatan bagi beliau. Di masa itu, mayoritas kaum Quraisy pun adalah kaum ummi. Namun hal itu bukan karena kemalasan atau kebodohan mereka, akan tetapi karena banyak diantara mereka adalah para penyair, sehingga bagi mereka penyair yang hebat itu ketika ia bisa membuat bait syair tanpa perlu berfikir lama, alat tulis, dan proses pengoreksian, namun cukup mengalirkan bait- bait itu dari lisan mereka. Oleh karena itu mereka memandang orang yang bergantung dengan baca tulis, merupakan kaum yang berada di kedudukan kedua.

            Adapun Bani Adi bin Ka’ab, dimana Asy-Syifa binti Abdillah bernasab dan dibesarkan merupakan kaum yang sangat menjunjung tinggi baca tulis. Sehingga mereka dikenal dengan kaum yang intelektual, sehingga dalam jabatan kekuasaan Quraish, orang dari Bani Adi bin Ka’ab sering mendapat posisi menjadi sifarah (duta dan delegasi). Mereka pun tidak merasa rendah meskipun kaum Quraish memiliki pandangan yang berbeda.

            Asy-Syifa sesuai namanya ia adalah shahabiyah yang disebutkan oleh para ahli sejarah sebagai mu’alimah (guru perempuan) pertama di dalam Islam, dimana beliau menjadi guru para shahabiyah di Madinah, termasuk murid yang paling dekat dengannya adalah Hafshah binti Umar, yang juga sebagai keponakannya.

            Ketika Rasulullah mengirimkan surat ke Muqauqis di Mesir untuk mengajak pada Islam, maka raja tersebut mengirim hadiah kepada Rasul dua budak perempuan, -dimana salah satuya dinikahi oleh Rasul yaitu Mariyah Qibtiyah-, juga dua tabib yang memiliki ilmu kedokteran ala Romawi timur, yang mewarisi tersebut dari sang pencetus terkenal dari Yunani, yaitu Hipocrates. Meskipun ilmu kedokteran saat itu masih sederhana dan banyak didasari oleh hepotesa, akan tetapi mereka juga menguasai pengobatan yang banyak berkaitan dengan zat kimia, seperti bisa, khamr, dll.

            Kedua dokter ini pun melayani umat Islam di Madinah selama 6 bulan, namun mereka merasa sangat tidak begitu diperlukan, karena melihat umat Nabi Muhammad begitu sehat, lantaran mereka terbiasa untuk menjaga kebersihan, pola makan yang benar, juga senantiasa berusah mencegah penyebaran penyakit. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah, dengan maksud untuk ingin kembali ke Mesir -dimana masih di bawah kekuasaan Romawi timur-, karena di sana jauh lebih banyak penyakit. Maka sebelum mengabulkan permintaan mereka, Rasulullah pun meminta mereka untuk mengajarkan ilmunya terlebih dahulu.

Dan dari kedua tabib itulah Asy-Syifa dan Hafshah menjadi murid yang paling intensif belajar ilmu kedokteran, sehingga mereka pun menjadi pakar. Bahkan, di masa kekhilfahan Umar bin Khattab, Asy- Syifa diangkat sebagai kepala jawatan pasar karena melihat asy-Syifa adalah sosok intelektual yang sangat cinta ilmu, cerdas, berwawasan luas, dan suka belajar hal baru. Ia yang mengawasi apa yang terjadi di pasar agar tidak ada transaksi- transaksi yang diharamkan.

Adapun Rufaidah binti Sa’ad al-Aslamiyah ia merupakan pelopor ilmu keperawatan di dalam Islam. Dimana ia banyak belajar dari ayahnya yang merupakan seorang tabib yang ahli ilmu kedokteran timur, yaitu dari Persia. Ayahnya telah banyak belajar ilmu tersebut dari Al-Harist bin Kaladah, seorang tabib jahiliyah yang pernah diangkat oleh Kaisar Persia untuk menjadi tabib disana. Ilmu kedokteran timur saat itu dikenal dengan kemampuan pembedahan, baik menggunakan besi, atau logam, seperti pengobatan kay.

Peran yang begitu besar dari Rufaidah yang tertulis dalam sejarah adalah ketika ia merawat, Saad bin Muadz (penguasa suku Aus di Madinah) mengalami luka ketika perang Khandaq. Dimana ketika itu ia terkena luka di tangan karena panah hingga darahnya memuncrat, dan dengan perawatan kay dari Rufaidah maka darahnya bisa terhenti dan sekedar menetes. Padahal luka yang parah itu ketika terkena seseorang biasanya tidak dapat bertahan hidup lama. Namun Sa’ad bisa bertahan selama satu bulan dengan sakitnya yang sangat parah.

Ia juga memiliki terobosan baru yang berbeda dari ayah dalam perawatan, dimana ia membuat semacam klinik, yang memiliki psinsip sangat menjaga kebersihan, memperhatikan sirkulasi udara, juga saluran air yang baik. Selain itu ia meninggalkan apa yang dulu dipakai oleh ayahnya yaitu penggabungan antara ilmu kedokteran dan jampi- jampi yang jelas dilarang dalam Islam, kemudian menggantinya dengan ruqyah syar’iyah, yang menggunakan ayat- ayat quran dan doa-doa.

Tak hanya itu, ia juga menjadi pelopor dibuatnya rumah sakit darurat, dimana dibuat dengan tenda yang bisa dibawa kemana- mana. Hal itu ia inisisasi dalam rangka memudahkan pelayanan bagi para mujahid yang terluka di medan perang. Bahkan ia membuat saluran darah ke arah tempat pembuangan agar penyakit tidak tersebar.

Demikianlah peran Asy-Syifa’ dan Rufaidah sebagai pelopor ilmu kedokteran dan keperawatan di dalam Islam, dimana dengan landasan ilmu yang mereka wariskan, maka dimasa keemasan Islam ilmu tersebut semakin berkembang dan menjadi standarisasi di berbagai rumah sakit mulai dari Barat di Cordoba, Toledo, Savili, hingga ke Timur di Baghdad, Damaskus, Rai, Samarkand, Isfahan, dan lainnya.

Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar