Pages

Sabtu, 20 April 2024

Halimatus Sa’diyah, Sang Pengasuh Pertama


            Salah satu kebiasaan kaum perempuan di Quraish adalah menyusukan bayi-bayi mereka kepada kaum badui. Hal itu karena tiga alasan, yang pertama adalah karena kebiasaan mereka membanggakan diri ketika memiliki anak banyak, sehingga dengan menyusukan bayinya itu, mereka bisa segera mengandung dan melahirkan lagi. Kedua, pertimbangan bahasa, dimana bahasa penduduk kota Mekkah tidak semurni bahasa kaum badui. Hal itu karena Makkah didatangi berbagai manusia dari berbagai penjuru, yang menjadikan munculnya bahasa amiyah (pasaran). Ketiga, pertimbangan kesehatan, dimana penduduk Makkah memiliki kebiasaan buruk, yakni ketika mereka menymbelih kurban yang dipersembahkan untuk berhala- berhala, mereka membiarkan kurban itu sampai membusuk, dan habis dengan sendirinya. Selain itu karena banyaknya manusia yang datang dan pergi untuk beribadah disana menjadikan berbagai macam kuman dan penyakit mudah tersebar.


            Adapun kaum badui (pedalaman) mereka adalah kaum nomaden yang bergerak mengikuti rerumputan  yang hijau, yakni di tempat yang sedang turun hujan. Rumah mereka digambarkan di dalam Al-quran seperti tenda yang terbuat dari kulit dan bulu. Mereka pun menjadikan menyusui tersebut sebagai salah satu mata pencaharian. Maka setelah bayi- bayi kaum Quraish ini disusui mereka akan dikembalikan ketika usianya mencapai 2 tahun.

            Suatu saat terjadi paceklik dan kekeringan di kaum badui, mereka pun pergi ke Mekkah dengan harapan mendapatkan bayi untuk disusui sehingga mendapat penghasilan. Di saat itulah Nabi Muhammad dilahirkan, di tahun Abrahah, dimana peristiwa tersebut Allah sebut di dalam surat Al-Fil. Kakeknya, Abdul Muthalib memberi nama Muhammad, mengaqiqahi dan merayakan kelahiran cucu yang paling disayangi itu di depan Ka’bah. Namun setelah itu ibunya, Sayyidah Aminah pun merasa sedih. Ia ingin menyusukan putranya itu di kaum badui, namun suaminya yang telah wafat tidak meninggalkan harta yang cukup.

            Allah swt pun telah menetapkan rencana terbaik. Dimana ketika itu Allah lah yang memilihkan ibu susu terbaik bagi bayi Muhammad, perempuan baik yang begitu tulus dan ikhlas menyusuinya. Kala itu kali ada perempuan yang menawarkan diri untuk menyusui Muhammad, beliau selalu menolak. Adapun Halimah As-Sa’diyah, karena ia datang ke Mekkah dengan tubuh yang kurus, maka tidak ada wanita- wanita Makkah yang mau memilihnya untuk menjadi ibu susu bagi bayinya.

Akan tetapi ketika Halimah mendengar kabar bahwa ada satu bayi yang belum mendapat ibu susu yaitu Muhammad, -yang merupakan dari keluarga terhormat, namun ia anak yatim, sehingga mungkin ibunya tidak bisa memberi upah-, maka Halimah pun meminta izin kepada suaminya, Harits bin Abdil Uzza untuk tetap menyusuinya. Ia meyakinkan suaminya bahwa ia hanya berharap kebaikan dan keberkahan karena telah menyusui anak yatim. Setelah suaminya, mengizinkannya, maka ia pun menemui Aminah untuk mengambil bayinya.

Keberkahan pun langsung ia dan keluargnya rasakan ketika bayi itu mulai ia susui. Dimana ketika itu suami dan anak-anaknya sakit menjadi sembuh, unta dan keledainya yang kurus dan lemah menjadi kuat dan bisa berjalan cepat, ambing susu kambing- kambingnya pun terpenuhi susu padahal awalnya kosong. Sehingga mereka bisa minum susu dari sana, juga membuat keju dan berbagai makanan lainnya, bahkan bisa membantu keluarga- keluarga yang lain. Tak hanya itu, payudara Halimah yang pada awalnya  tidak bisa mengeluarkan asi pun setelah menyusi Muhammad maka susunya keluar dengan deras dan tubuhnya menjadi sehat dan kuat. Keyakinan mereka terhadap bayi tersebut yang membawa keberkahan pun semakin bertambah.  

Maka dibawalah bayi Muhammad ke kampung mereka di bawah pegunungan Thaif, karena Halimah berasal dari suku Hawazin. Selama dua tahun bayi Muhammad itu pun menyusu kepadanya, dan tumbuh besar bersama putra putri Halimah. Diantara yang paling dekat dengan Muhammad adalah Syaima’ binti Harits, yang dianggap seperti kakak sendiri, yang selalu mengajaknya bermain, menggendong dan menjaganya. Keberkahan pun begitu berlimpah ia rasakan bersama keluarganya.

Setelah dua tahun, dengan sangat berat hati, Halimah kembali ke Makkah untuk menegmbalikan Muhammad kepada keluargnya. Namun, melihat kondisi Makkah yang sedang tersebar wabah penyakit, maka Halimah memberanikan diri untuk meminta izin agar Muhammad bisa mereka bawa lagi. Melihat kondisi tersebut, maka demi kebaikan putranya, Aminah pun melepasnya dengan berat hati.

Muhammad pun kembali diasuh Halimah, bermain dan menggembala kambing bersama putra putrinya. Suatu ketika di usia sekitar 5 tahun, saat ia sedang menggembala domba bersama putri Halimah, tiba-tiba ia didatangi oleh dua lelaki yang berbaju putih, kemudian membawanya dan membelah dadanya, membersihkan apa yang ada di dalamnya. Kedua laki itu malaikat yang Allah utus untuk membersihkan darinya dendam dan iri, dan mengisi hatinya sifat rauf (lemah lembut) wa rahim (penyayang), sebagaimana Allah sifati Muhammad di dalam Al-Quran. Melihat itu, kakak sepersusuannya pun segera berlari mengabari ibunya.

Karena takut dan khawatir, maka setelah kejadian itu, Halimah membawanya ke rahib. Maka rahib itu mengatakan bahwa memang benar apa yang terjadi, sungguh anak itu akan merubah agama kaum di seluruh jazirah arab. Karena khawatir terjadi apa-apa, maka Halimah dan suaminya memutuskan untuk memulangkan Muhammad ke Makkah.

            Setelah bertemu Aminah, maka Halimah pun menceritakan apa yang terjadi. Namun Aminah justru menenangkannya dan mengabarinya bahwa ketika ia mengandungnya pun ia bermimpi ada cahaya yang keluar dari perutnya yang menerangi seluruh jazirah Arab, dari Syam ke Hadramaut.

            Keberadaan Halimah di dalam kehidupan Muhammad tidaklah terhenti disini. Ia senantiasa memantau kabar dan kondisi putra susuannya tersebut. Sehingga ia tahu ketika Muhammad diberi julukan Al-Amin sejak mudanya, kemudian saat beliau menikah dengan Khadijah, bagaimana beliau menyelsaikan perselisahan para pemuka Quraish ketika peletakkan hajar aswad seteleah direnovasinya Ka’bah, juga ketika beliau terlibat dalam harbu fijar bersama para pamannya. Hingga Muhammad diutus sebagai Rasulullah dan menyebarkan dakwahnya, ia pun mendengar. Kemudian tak lama ia pun masuk Islam.

            Adapun terkait wafatnya ada yang mengatakan saat fathu Makkah, namun pendapat yang lebih kuat adalah di masa Khalifah Umar bin Khattab, dimana Halimah sempat hijrah ke Madinah di masa Abu Bakar. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama, dengan apa yang terjadi dalam perang Hunain. Perang antara kaum muslimin dengan penduduk Thaif yang terdiri dari Suku Hawazin dan Tsaqif itu dimenangkan kaum muslimin, sehingga mereka mendapatkan ghanimah, juga tawanan yang sangat banyak yang kemudian Rasulullah bawa ke Ji’ronah untuk dibagikan kepada kaum muslimin terutama kepada para mualaf. Namun karena suku Hawazin adalah suku ibu asuhnya, Halimah, maka Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk mengembalikan harta dan keluarga kaum dari suku Hawazin. Semua itu Rasulullah lakukan sebagai bentuk kormat dan cintanya kepada ibu susunya.

            Begitulah keberkahan yang diperoleh oleh Halimah as-Sa’diyah, keluarga, bahkan kaumnya, karena ketulusan dan keikhlasan Halimah dalam menyusui dan mengasuh Muhammad kecil yang yatim. Keberkahan itu Allah swt limpahkan juga tak lain karena ia sosok yang bersegara menyambut seruan tuk beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar