Salah
satu kebiasaan kaum perempuan di Quraish adalah menyusukan bayi-bayi mereka
kepada kaum badui. Hal itu karena tiga alasan, yang pertama adalah karena kebiasaan
mereka membanggakan diri ketika memiliki anak banyak, sehingga dengan
menyusukan bayinya itu, mereka bisa segera mengandung dan melahirkan lagi.
Kedua, pertimbangan bahasa, dimana bahasa penduduk kota Mekkah tidak semurni bahasa
kaum badui. Hal itu karena Makkah didatangi berbagai manusia dari berbagai
penjuru, yang menjadikan munculnya bahasa amiyah (pasaran). Ketiga,
pertimbangan kesehatan, dimana penduduk Makkah memiliki kebiasaan buruk, yakni
ketika mereka menymbelih kurban yang dipersembahkan untuk berhala- berhala,
mereka membiarkan kurban itu sampai membusuk, dan habis dengan sendirinya. Selain
itu karena banyaknya manusia yang datang dan pergi untuk beribadah disana
menjadikan berbagai macam kuman dan penyakit mudah tersebar.
Adapun
kaum badui (pedalaman) mereka adalah kaum nomaden yang bergerak mengikuti
rerumputan yang hijau, yakni di tempat
yang sedang turun hujan. Rumah mereka digambarkan di dalam Al-quran seperti
tenda yang terbuat dari kulit dan bulu. Mereka pun menjadikan menyusui tersebut
sebagai salah satu mata pencaharian. Maka setelah bayi- bayi kaum Quraish ini
disusui mereka akan dikembalikan ketika usianya mencapai 2 tahun.
Suatu
saat terjadi paceklik dan kekeringan di kaum badui, mereka pun pergi ke Mekkah
dengan harapan mendapatkan bayi untuk disusui sehingga mendapat penghasilan. Di
saat itulah Nabi Muhammad dilahirkan, di tahun Abrahah, dimana peristiwa
tersebut Allah sebut di dalam surat Al-Fil. Kakeknya, Abdul Muthalib memberi
nama Muhammad, mengaqiqahi dan merayakan kelahiran cucu yang paling disayangi itu
di depan Ka’bah. Namun setelah itu ibunya, Sayyidah Aminah pun merasa sedih. Ia
ingin menyusukan putranya itu di kaum badui, namun suaminya yang telah wafat
tidak meninggalkan harta yang cukup.
Allah
swt pun telah menetapkan rencana terbaik. Dimana ketika itu Allah lah yang
memilihkan ibu susu terbaik bagi bayi Muhammad, perempuan baik yang begitu
tulus dan ikhlas menyusuinya. Kala itu kali ada perempuan yang menawarkan diri
untuk menyusui Muhammad, beliau selalu menolak. Adapun Halimah As-Sa’diyah,
karena ia datang ke Mekkah dengan tubuh yang kurus, maka tidak ada wanita-
wanita Makkah yang mau memilihnya untuk menjadi ibu susu bagi bayinya.
Akan tetapi ketika Halimah mendengar kabar
bahwa ada satu bayi yang belum mendapat ibu susu yaitu Muhammad, -yang
merupakan dari keluarga terhormat, namun ia anak yatim, sehingga mungkin ibunya
tidak bisa memberi upah-, maka Halimah pun meminta izin kepada suaminya, Harits
bin Abdil Uzza untuk tetap menyusuinya. Ia meyakinkan suaminya bahwa ia hanya
berharap kebaikan dan keberkahan karena telah menyusui anak yatim. Setelah suaminya,
mengizinkannya, maka ia pun menemui Aminah untuk mengambil bayinya.
Keberkahan pun langsung ia dan keluargnya
rasakan ketika bayi itu mulai ia susui. Dimana ketika itu suami dan
anak-anaknya sakit menjadi sembuh, unta dan keledainya yang kurus dan lemah
menjadi kuat dan bisa berjalan cepat, ambing susu kambing- kambingnya pun
terpenuhi susu padahal awalnya kosong. Sehingga mereka bisa minum susu dari
sana, juga membuat keju dan berbagai makanan lainnya, bahkan bisa membantu
keluarga- keluarga yang lain. Tak hanya itu, payudara Halimah yang pada
awalnya tidak bisa mengeluarkan asi pun
setelah menyusi Muhammad maka susunya keluar dengan deras dan tubuhnya menjadi
sehat dan kuat. Keyakinan mereka terhadap bayi tersebut yang membawa keberkahan
pun semakin bertambah.
Maka dibawalah bayi Muhammad ke kampung
mereka di bawah pegunungan Thaif, karena Halimah berasal dari suku Hawazin. Selama
dua tahun bayi Muhammad itu pun menyusu kepadanya, dan tumbuh besar bersama
putra putri Halimah. Diantara yang paling dekat dengan Muhammad adalah Syaima’
binti Harits, yang dianggap seperti kakak sendiri, yang selalu mengajaknya
bermain, menggendong dan menjaganya. Keberkahan pun begitu berlimpah ia rasakan
bersama keluarganya.
Setelah dua tahun, dengan sangat berat
hati, Halimah kembali ke Makkah untuk menegmbalikan Muhammad kepada keluargnya.
Namun, melihat kondisi Makkah yang sedang tersebar wabah penyakit, maka Halimah
memberanikan diri untuk meminta izin agar Muhammad bisa mereka bawa lagi.
Melihat kondisi tersebut, maka demi kebaikan putranya, Aminah pun melepasnya
dengan berat hati.
Muhammad pun kembali diasuh Halimah,
bermain dan menggembala kambing bersama putra putrinya. Suatu ketika di usia
sekitar 5 tahun, saat ia sedang menggembala domba bersama putri Halimah,
tiba-tiba ia didatangi oleh dua lelaki yang berbaju putih, kemudian membawanya
dan membelah dadanya, membersihkan apa yang ada di dalamnya. Kedua laki itu
malaikat yang Allah utus untuk membersihkan darinya dendam dan iri, dan mengisi
hatinya sifat rauf (lemah lembut) wa rahim (penyayang),
sebagaimana Allah sifati Muhammad di dalam Al-Quran. Melihat itu, kakak
sepersusuannya pun segera berlari mengabari ibunya.
Karena takut dan khawatir, maka setelah kejadian
itu, Halimah membawanya ke rahib. Maka rahib itu mengatakan bahwa memang benar
apa yang terjadi, sungguh anak itu akan merubah agama kaum di seluruh jazirah
arab. Karena khawatir terjadi apa-apa, maka Halimah dan suaminya memutuskan
untuk memulangkan Muhammad ke Makkah.
Setelah
bertemu Aminah, maka Halimah pun menceritakan apa yang terjadi. Namun Aminah
justru menenangkannya dan mengabarinya bahwa ketika ia mengandungnya pun ia
bermimpi ada cahaya yang keluar dari perutnya yang menerangi seluruh jazirah Arab,
dari Syam ke Hadramaut.
Keberadaan
Halimah di dalam kehidupan Muhammad tidaklah terhenti disini. Ia senantiasa
memantau kabar dan kondisi putra susuannya tersebut. Sehingga ia tahu ketika
Muhammad diberi julukan Al-Amin sejak mudanya, kemudian saat beliau menikah
dengan Khadijah, bagaimana beliau menyelsaikan perselisahan para pemuka Quraish
ketika peletakkan hajar aswad seteleah direnovasinya Ka’bah, juga ketika beliau
terlibat dalam harbu fijar bersama para pamannya. Hingga Muhammad diutus
sebagai Rasulullah dan menyebarkan dakwahnya, ia pun mendengar. Kemudian tak
lama ia pun masuk Islam.
Adapun
terkait wafatnya ada yang mengatakan saat fathu Makkah, namun pendapat yang
lebih kuat adalah di masa Khalifah Umar bin Khattab, dimana Halimah sempat
hijrah ke Madinah di masa Abu Bakar. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama, dengan
apa yang terjadi dalam perang Hunain. Perang antara kaum muslimin dengan
penduduk Thaif yang terdiri dari Suku Hawazin dan Tsaqif itu dimenangkan kaum
muslimin, sehingga mereka mendapatkan ghanimah, juga tawanan yang sangat banyak
yang kemudian Rasulullah bawa ke Ji’ronah untuk dibagikan kepada kaum muslimin
terutama kepada para mualaf. Namun karena suku Hawazin adalah suku ibu asuhnya,
Halimah, maka Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk mengembalikan
harta dan keluarga kaum dari suku Hawazin. Semua itu Rasulullah lakukan sebagai
bentuk kormat dan cintanya kepada ibu susunya.
Begitulah
keberkahan yang diperoleh oleh Halimah as-Sa’diyah, keluarga, bahkan kaumnya,
karena ketulusan dan keikhlasan Halimah dalam menyusui dan mengasuh Muhammad
kecil yang yatim. Keberkahan itu Allah swt limpahkan juga tak lain karena ia sosok
yang bersegara menyambut seruan tuk beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar