Pages

Minggu, 11 Februari 2024

Persiapan Jadi Orangtua

Banyak orang yang menikah tapi tidak siap punya anak, padahal hakikat perniakhan adalah untuk memperbanyak keturunan, bukan sekedar untuk bersenang- senang dan bahagia dengan pasangan. Persiapan tersebut dengan mendalami ilmu sejak hamil, saat melahirkan, ketika mendidik, sehingga ketika sudah punya anak (yang bisa saja dalam waktu kurang dari setahun) setelah pernikahan, akan mampu untuk menjaga amanah tersebut. Jika tidak memiliki ilmu yang cukup, maka anak akan menjadi korban.

Untuk membekali diri maka tidak bisa dengan otodidak, atau hanya menunggu didekte orangtua, karena zaman kita, anak kita dengan orangtua kita semua berbeda. Contohnya dalam hal memberikan makanan untuk anak, dimana ilmu gizi atau kedokteran terus mengalami perkembangan. Dimana anak usia dibawah 6 bulan tidak perlu diberi makanan kecuali asi. Dan pemahaman itu bisa berbeda dengan orangtua kita di zaman dahulu yang memberikan nasi kepada anak di usia tersebut.

Dan yang paling penting dalam mengurus anak adalah mendidiknya, terutama ibu yang merupakan madrsah ula bagi anak- anaknya. Bagi ayah juga penting, akan tetapi lebih banyak dibebankan kepada ibu. Maka ketika perempuan sekolah tinggi semata- mata dalam rangka untuk mendidik anak bukan untuk mengejar karir. Walaupun profesi kita menjadi ibu rumah tangga, namun kita senantiasa meniatkan ilmu tersebut agar bisa melahirkan generasi rabbani yang cerdas. Misal dalam penanganan anak yang bisa berbeda- beda, maka itu memerlukan ilmu dalam memahami masing- masing mereka, mengarahkan dan mendidiknya.

              Bagaimana caranya untuk mempersiapkan diri menjadi orangtua?

1.      Semua itu harus dimulai sebelum pernikahan, bukan setelahnya. Banyak orang yang sebatas memperisapkan pernikahan tapi tidak mempersiapkan ilmu parenting. Harus memiliki visi ketika belajar ilmu parenting agar bisa memberikan yang terbaik untuk anak- anaknya.

Untuk menjadi orantua yang baik, maka butuh belajar yang sangat baik, karena belajar untuk menjadi orangtua lebih sulit daripada mempersiapkan pernikahan. Bisa dilakukan dengan mengikuti seminar- seminar parenting dan membaca buku- buku parenting. Meskipun belum punya anak maka tetap harus bersungguh- sungguh, kemudian ketika sudah mulai mendidik anak maka bisa dengan mengulang lagi dengan mendatangi seminar- seminar lain, dalam rangka menutupi kekurangan, karena bisa jadi sudah dipelajari tapi lupa dipraktekkan. Bisa juga berkonsultasi dengan para orangtua yang berhasil mendidik anaknya untuk menghafal al- quran di usia dini, dan memiliki akhlak yang baik, dimana akhlak itu sangat dipengaruhi oleh kedua orangtua dan lingkungannya.

2.      Tugas orangtua tidak hanya membesarkan, tapi juga mendidik. Maka harus memiliki ilmu. Suami memiliki kewajiban untuk mengingatkan dan memahamkan istrinya, seperti dalam masalah ibadah, menutup aurat. Adapun istri yang merupakan ibu, maka ia bertanggung jawab mendidik anaknya terutama dalam aspek ibadah, juga agama. Agar memiliki kesadaran dalam beribadah maka harus ada proses memahamkan, tidak hanya sekedar memerintah dan membiasakan saja, yakni dengan memahamkan pentingnya sholat dan puasa misalnya, kewajibannya, dan balasan dari Allah swt, baik pahala ataupun dosa, juga adanya surga dan neraka.

3.      Juga harus dengan membiasakan ibadah dengan baik kepada anak. Ali bin Abi Thalib dalam tahapan pendidikan anak berkata: “tujuh tahun pertama (0-7) perlakukan mereka seperti raja”, dimana semua keinginan mereka dituruti, disenangkan, dan diberi reward atas perlakuan baik mereka dengan hal-hal yang mereka senangi, menghabiskan waktu dengannya walaupun memiliki kesibukan diluar rumah.

“Tujuh tahun kedua (7-14) perlakukan anak kalian sebagai tawanan”, dimana diberi aturan yang ketat, tidak boleh meninggalkan ibadah, harus beribadah dengan baik, memberi reward dan punishmend atas perbuatan mereka jika melalaikan kewajibannya, juga harus melibatkan anak dalam pembuatan peraturan dan kesepakatan, termasuk kesepakatan reward dan punishment atas yang dilakukan.

“dan tujuh tahun ketiga (14-21) maka perlakukan mereka seperti sahabat”, karena mereka sudah bisa diajak berfikir, dan bermusyawarah dalam memutuskan sesuatau, juga bertanggung jawab atas keputusan yang mereka ambil.

4.      Selain ibadah dengan rutin, juga harus mampu membimbing anak agar memiliki akhlak yang baik. Mendidik akhlak dengan cara memberi contoh yang baik, mulai cara berkomunikasi kita dengan anak, ketika meminta tolong, tidak berkata kasar, tidak membully, juga tidak mudah marah, karena mereka akan meniru setiap yang kita lakukan kepada mereka, ketika suatu saat mereka berkomunkasi dengan orang lain. Bahkan perbuatan dan sikap kita tanpa perkataan pun akan ditiru.

5.      Menjaga anak- anak dari lingkungan yang kurang baik. Ada istilah “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Meskipun di keluarga sudah ditanamkan pemahaman dan kebiasaan yang baik, namun tidak bisa dipungkiri anak akan mendapati lingkungan dan teman yang tidak sejalan, sehingga menemukan kata- kata dan pergaulan buruk, sehingga bisa sekali terpengaruhi, maka perlu sekali dikontrol dengan siapa dia bergaul. Maka ketika kita tidak bisa mencegah anak untuk bermain dengan mereka, maka harus diberi pemahaman bahwa hal- hal yang buruk itu jangan sampai diikuti, dan harus bisa menasehati mereka sekalipun teman- temannya tidak mau mendengarkan.

6.      Senantiasa belajar menjadi orangtua yang baik, mulai dengan memperbaiki kekurangan- kekurangan, dan juga belajar mengelola emosi. Karena jika orangtua selalu berusaha memperbaiki diri maka anak- anak juga akan menjadi anak yang baik dan memiliki pemahaman yang baik.

7.      Mendidik anak sesuai dengan zamannya. Setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, maka kita harus mengikuti apa yang terjadi di zamannya, seperti game. Kita harus tahu agar bisa mengarahkan dan memahamkan mana yang boleh diambil, ditonton dan mana yang tidak.

Masa depan anak ada di tangan kita, dimana anak itu bagaikan kertas putih yang bersih dan kosong, dimana orangtua adalah orang yang pertama kali menggoreskan tinta di atas kertas tersebut. Jika goresan itu baik, maka anak kita akan menjadi anak yang berkualitas, baik, dan bisa dibanggakan.

Maka kita tidak boleh menyepelekan ilmu parenting. Karena tanggung jawab terhadap anak tidak hanya membesarkan dan memberi makan tapi harus mendidik, karena kita akan melahirkan generasi penerus bangsa, dan umat Nabi Muhammad saw.

       Wallahu a'lam bish showab

Persiapan Ilmu dan Wawasan

       Pernikahan adalah ibadah, maka agar ibadah tersebut diterima oleh-Nya, maka selain harus disertai niat yang lurus, maka juga harus dibekali dengan ilmu yang cukup agar proses menuju kesana, selama menjalaninya, dan ketika menghadapi segala problematika di dalamnya bisa sesuai dengan syariat-Nya. Maka beberapa ilmu yang harus diperhatikan berikut ini:

1.      Persiapan ilmu agama: dimulai dari al quran, walau belum hafal maka harus ada upaya untuk memperbaiki bacaan atau tahsin, dan lebih baik lagi jika bisa bersanad, ilmu fiqh terkait dengan nikah, talaq, haidh, nifas, istihadhoh dan ibadah- ibadah harian. Masalah haidh nifas seharusnya tidak difahami oleh perempuan saja tapi juga laki- laki agar bisa memahamkan istrinya karena dia yang bertanggung jawab, namun paling  minimal salah satu harus ada yang paham agar ketika menghadapi masalah bisa menyelesaikan, ilmu aqidah yang berkaitan dengan takdir, dll

2.      Wawasan tentang pernikahan, sebanyak mungkin dari berbagai referensi yang bisa diakses.

3.      Konsultasi dengan para senior yang lebih dahulu menikah dan telah nampak dari keluarganya terwujud sakinah mawaddah wa rahmah, sekalipun tetap memiliki kekurangan.

4.     Merancang visi dan misi pernikahan kita, rumah tangga yang diharapkan, bagaimana Pendidikan anak. Karena jika tidak ada visi dan misi dalam berkeluarga, maka keluarga hanya mengikuti arus yang mengalir saja.

5.    Meminta nasehat dari orangtua dalam pernikahan, karena orangtua pasti sangat senang ketika dilibatkan dalam urusannya, karena orangtua merasa dibutuhkan untuk membimbingnya.

Menambah ilmu dan wawasan sangatlah penting karena banyak orang yang mau menikah hanya karena ingin bukan karena siap, sehingga yang terjadi ketika ada konflik di tengah jalan akan terjadi dampak yang buruk, seperti talak yang terjadi begitu mudah dan tanpa mengetahui hukum serta ketentuan. Tanpa ilmu agama maka akan ada pemutusan solusi yang bertentangan dengan syariat Allah swt.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Persiapan Mental dan Emosi

   Banyak orang yang sudah merasa sudah siap menikah atau sekedar ingin menikah, tapi belum siap untuk menghadapi konflik yang pasti terjadi di dalam pernikahan, karena pernikahan bukanlah sesuatu yang selalu manis, dan indah. Oleh karena itu harus ada persiapan diri.

  Kematangan mental dan emosi tidak bisa dipatok dengan usia. Untuk mematangkan mental dan emosi maka harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1.       Pengaturan emosi diri, karena nantinya pasangan kita pasti memiliki kekurangan dan bisa jadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Banyak hal yang terbuka satu per satu setelah menikah. Pilihan kita adalah pilihan yang sudah melalui proses yang terbaik juga melibatkan Allah swt dalam keputusannya, maka ketika ada kekurangan, kita bisa menjadi ikhlas. Adapun perkara yang di dalam kuasa sehingga bisa dirubah, maka samabil berjalan sambil diperbaiki, juga pasangan kita memperbaiki kekurangan kita, seperti akhlak, dan sikap. Harus sama- sama memiliki prinsip untuk saling mengingatkan satu sama lain.

2.      Mengendalikan emosi saat konflik ketika ada api yang tersulut walau dari masalah kecil, karena setelah menikah ketika memutuskan sesuatu harus secara bersama dari dua kepala yang berbeda. Di dalam hadits, Rasululullah memerintahkan kita ketika marah untuk harus merubah posisi. Di dalam hadits lain, marah dari syaitan dan syaitan dari api, dan api akan mati dengan air. Maka, sebelum memutuskan sesuatu maka harus ditunggu terlebih dahulu hingga emosi mereda, kemudian difikirakn solusi setelahnya.

3.      Bersabar ketika rumah tangga dalam ujian.  Banyak hal yang dikira awalnya baik- baik saja, tapi ternyata tidak. Maka sebelum menikah harus sudah menyiapkan diri untuk siap menghadapi segala resiko ketika menikah dengan seseorang.

4.     Belajar ikhlas menerima takdir Allah swt, seperti mertua atau pasangan yang tidak sesuai harapan.

5.      Berkomunikasi yang baik, karena akan dua kepala yang tidak selalu sama, yang cara berfikir dan lahir dari keluarga dan lingkungan yang berbeda. Maka diawali dengan komunikasi yang baik dengan orangtua.

6.      Mencari tahu bagaimana agar bisa diterima pasangan, bukan selalu minta dimengerti, dan menangis atau diam dan marah. Maka harus meredamkan emosi dahulu dan bagaimana bisa mengambil hati dan meminta izin kepada orangtua untuk menikah.

7.      Resolusi konflik atau mencari solusi dari setiap masalah dengan bersama- sama. Ketika  ada masalah dengan pasangan, maka harus duduk bersama dan mencari solusi bersama dengan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan harus lapang hati untuk menerima kebenaran sekalipun dari istri, selama itu berlandaskan syariat. Ketaatan kepada suami tidak mutlak, tapi hanya selama suami berpegang dengan syariat

8.      Bertanggung jawab dalam setiap keputusan, dalam hal apapun, yang harus dilatih sejak saat sebelum menikah. Seperti kuliah dan jurusan yang diambil, tempat tinggal, dan lain- lain. Walaupun menerima masukkan dari orang tua, namun keputusan sudah diambil, kemudian menemukan masalah, maka kita harus bertanggung jawab atas Keputusan tersebut, bukan menyalahkan orang lain apalagi orangtua. Termasuk dalam pengelolaan keuangan, yang akan bisa berbeda kondisinya setelah menikah, dimana semua dimulai dari nol dan harus mengatur dengan sebaik- baiknya.

9.         Komitmen harus ada sejak awal pernikahan. Banyak orang yang menikah hanya karena ingin bahagia, tapi ketika tidak mendapatkannya maka dia akan menyesal, kebingunan, dan kecewa kepada pasangan. Maka harus diluruskan niat bahwa menikah hanya untuk mencari ridho Allah swt, dan tidak menggantungkan harapan pada pasangan. Maka apapun ujian dan konsekuensinya, maka akan terus bertahan. Oleh karena itu niat menikah lillah harus kokoh, jika tidak maka mendapati badai kecil saja, maka bisa tumbang.

10.    Setiap pernikahan pasti ada kekurangan, ketika kita merasa kekurangan di satu titik dan itu tidak terjadi pada pasangan lain, maka bukan berarti pasangan tersebut tidak punya masalah atau ujian, tapi mungkin diuji pada titik lain. Maka tidak perlu melihat dan iri terhadap kehidupan keluarga lain.

Wallahu a’lam bish showab

Sabtu, 10 Februari 2024

Free Palestine itu Bukan Sekedar (Part 8)

Bukan sekedar dengan menuntut peguasa tuk menutup kedutaan AS dan Israel, namun juga harus menuntut gerakkan militer tuk tumbangkan rezim dan sistem. Menuntut penguasa untuk menggerakkan militernya, dan menuntut para militer tuk menyambut seruan umat dan Al-Aqsha, menembus perbatasan yang hanya ilusi belaka.

            Setelah sepuluh hari peperangan meledak, antara para mujahid denga para zionis, kekalahan telak sudah benar- benar nampak di pihak musuh terlaknat itu. Frustasi yang begitu merasuk, rasa takut yang begitu kuat merayap dalam jiwa mereka, membuat mereka membabi buta tuk membantai penduduk Gaza lantaran mereka tidak sanggup jika menghadapi dan membunuh serangan para pejuang yang tak takut akan kematian. Hanya serangan udara yang meneror dan mentarget warga sipil, yang banyak dari kalangan anak- anak dan wanita.

              Kaum muslimin di Yordania, Lebanon, Mesir, Turki dan berbagai belahan dunia lainnya mulai Eropa, Afrika hingga Asia semua turun di jalanan merangsek kantor- kantor keduataan Israel dan menuntut kepada penguasa untuk menutup kantor kedutaan tersebut. Amukan masa itu membuat merinding dan mengobarkan gelora perjuangan. Perasaan umat begitu dalam dan menampakkan persatuan akan kezaliman yang semakin hari semakin tak manusiawi.

             Namun, yang perlu kita fahami adalah perkara yang seharusnya diserukan oleh kaum muslimin dan yang mereka tuntutkan kepada para ahlu quwah, dimana mereka lahir dan hidup bersama mereka. Ahlu quwah yang sebagaimana diantara kita bersedih, tersayat, menangis, diantara mereka pun seperti itu. Jika diantara kita ada orang- orang yang mukhlis, maka diantara mereka pun seperti itu. Jika diantara kita ada yang tidak rela dan marah besar dengan kejahatan para penjajah juga negara besar yang menopangnya, maka diantara mereka pun seperti itu.

              Bukankah para ahlu quwah lah yang ketika itu diseru oleh Rasulullah ketika beliau ingin meminta perlindungan dalam dakwah dan perjuangan? Bukankah Rasulullah pernah mendatangi puluhan kabilah dimana mereka memiliki kekuatan tentara yang bisa menumbangkan sistem jahiliyah? Bukankah Rasulullah meminta baiat perang pada baiat aqabah yang kedua, dimana mereka itu merupakan bagian dari tentara pasukan kaumnya? Bukankah itu yang Rasulullah minta tuk melindungi Islam dengan menumbangkan sistemnya dan ditegakkan Islam sebagai sistem pengganti?

              Maka, jika para tentara kaum muslimin hari ini terbelenggu dengan rezim yang akan terus melarang dan menghalangi, tidakkah mereka mampu tuk menjatuhkan kursi kekuasaan dengan gampang? Jika para prawira mereka begitu setia dengan para penguasa pengkhianat, tidak kah diantara  mereka ada para pasukan yang masih tersisa di dalam dirinya iman? Tidakkah tersisa di dalam diri mereka pemahaman akan perintah jihad yang telah diwajibkan? Bukankah diantara jutaan pasukan itu akan ada sekelompok orang yang memiliki keimanan dan keikhlasan? Mereka yang menjadikan kekuatan itu semata- mata untuk membela Islam dan melindungi darah kaum muslimin. Berapa banyak revolusi terjadi, dan yang menumbangkan para penguasa yang zalim adalah para tentara pemegang senjata?

               Oleh karena itu, pemahaman harus terus diberikan kepada para pasukan dan tentara ummat Islam di berbagai belahan negeri. Nyatanya mereka masih memilki akidah Islam, dan bagian dari kita dan ummat ini. Jika pemahaman itu ada dan diantara mereka ada yang terus menyebarkan maka bukanlah perkara yang mustahil untuk mengobarkan semangat jihad dan membela darah serta kehormatan ummat ini?

              Sebagaimana yang terjadi saat perang Arab Israel tahun 1948, -terlepas dari adanya sandiwara negara- negara Barat yang menseting perang tersebut-, namun diantara mereka banyak dari orang- orang yang ikhlas, yang benar- benar ingin mengalahkan dan menghancurkan entitas Yahudi. Sebagaimana tentara Yordania yang tidak lagi mendengarkan komando presidennya ketika mereka diminta untuk mundur lantaran perang tersebut memang mengharuskan untuk terus maju, hingga menang atau syahid fi sabilillah.

#FreePalestine #ArmiesToAqsha #AqsaCallsArmies #GazaUnderAttack #SavePalestine #BadaiAlaqsha #ThufanAlaqsha

Kamis, 08 Februari 2024

Menunda Belajar; Menunda Kesuksesan Masa Depan

            Belajar itu tak hanya di dalam kelas atau bersama guru pembimbing. Belajar dapat dilakukan kapanpun dan bersama siapapun. Terkait belajar menulis, maka terdapat dua hal yang harus dipelajari tanpa putus dan harus terus menerus, yaitu menulis itu sendiri juga membaca. Penulis sejati adalah orang yang paling pandai mengambil hikmah dalam setiap kejadiam, memetik pelajaran di setiap keadaan. Ia bagaikan pemotret realitas kekininan, senantiasa mengkritisi segala keanehan dan kesalahan, perekam jejak kehidupan dan sepandai-pandainya pengungkap perasaan. Ia sering tampak diam, namun benaknya tak pernah berhenti berputar. Memikirkan dan merangkai kata tuk ungkapkan perasaan dan pemikiran.

         Menulis bagi sosok pembelajar adalah aktivitas yang tak mungkin dijauhi dan dihentikan, bahkan dalam kondisi sesulit apapun. Bagi seorang pembelajar dan penulis semua hal dapat diungkapkan, bebagai hal dapat dikabarkan, berbagai kejadian ingin diajarkan tuk jadi pembelajaran. Baginya tak ada kata libur, walau sedang ditengah-tengah keramaian, kemacetan, atau kesedihan. Segala yang dialami, dan dilihat selalu ada sesuatu yang ingin dituagkan dalam rangkaian kata-kata yang indah. Disanalah penulis belajar. Jika ia benar-benar ingin mendapat predikat penulis maka otak dan tangan harus berjalan beriringan.Walau satu atau dua kalimat, ia harus berusaha mencari wasilah yang dapat menghanatrkan dia untuk menulis, jika menggunakan netbook sangat tidak memungkinkan, maka ia akan berlari ke handphone yang dia sulap menjadi buku elektronik, dimana zaman sekarang  kebanyakan orang hanya menjadikannya untuk alat pencitraan. Akan tetapi baginya akan menjadi wasilah tuk raih kesuksesan di masa depan. Menyampaikan berbagai kebenaran, mengkritisi kesalahan, dan menumpuk ganjaran. Jika handhphone tidak mamadai, karena mati atau rusak ia pasti memiliki habits membawa buku yang dapat mencatat apa yang ia fikrikam.

         Selain menulis, ia juga memiliki keseriusan pula dalam membaca, rakus terhadap ilmu, dan tak rela sedetik pun waktunya terbuang hanya untuk berfikir atau mekalukan yang sia-sia. Ada pula kondisi yang akan ia temukan ketika beraktivitas di luar ruamh yang memaksanya menganggur beberapa menit, seperti berjalan menuju sebuah tempat, diatas kendaraan, atau menunggu seseorang yang tidak ontime dalam memenuhi janji atas suatu pertemuan. Semua waktu luang itu begitu berarti bagi seorang penulis, satu, dua halaman dapat dibaca daripada melamun tanpa ada arti.

            Kedua hal ini tidaklah mudah, kecuali bagi kita yang telah memiliki habits atau kebiasaan. Dan habits tak akan ada tanpa ada paksaan. Di awal kita memulai atau membiasakaan pasti ada sesuatu yang aneh, berat, malu, lucu, kurang pede, dan tidak nyaman. Namun berikutnya yang terjadi adalah sebaliknya. Jika tidak melakukan itu semua, maka akan terasa hampa, sedih, risih, dan kecewa karena tidak memanfaatkan waktu dengan sebaik- baiknya. Habits baik tak akan malahirkan kecuali kebaikan dan manfaat bagi pelakunya, orang- orang di sekitarnya, atau bahkan generasi yang akan datang.

            Maka mualailah dengan sedikit paksaan, kelak akan nyaman, dan suatu saat akan merasakan kebahagiaan yang begitu menagihkan.

Selasa, 06 Februari 2024

Free Palestine itu Bukan Sekedar (Part 7)

Bukan sekedar saat pecahnya peperangan dan agresi sebagaimana yang terjadi beberapa kali di beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi perjuangan itu terus ada sampai berhasil tuk membebaskannya, sebagaimana membebaskan wilayah kaum muslimin yang lainnya. Perjuangan itu terus ada, sampai kemenangan itu tiba dengan tegaknya kepemimpinan Islam yang dapat menyatukan barisan serta menaungi kita di bawah kibaran bendera sang Baginda..

              Sudah lebih dari empat bulan peperangan antara para mujahid dan Israel pecah. Belum ada tanda- tanda pembantain itu berkahir, akan tetapi kita akan selalu yakin bahwa kemenangan itu dekat atas izin-Nya. Para mujahid dari bumi suci itu masih terus bertahan, melawan, dan berjaga- jaga tuk terus meraih dan menyambut janji Rabb-Nya. Para pemuda yang tak takut akan kematian, namun justru begitu merindukan. Para pemuda yang begitu kokoh imannya dan tidak khawatir akan segala ancaman negara- negara besar yang ada di balik musuh mereka.

              Sedangkan pembantaian mereka atas rakyat sipil di Gaza tak lain dan tak bukan hanyalah bentuk kepanikan dan bentuk balasan atas kerugian mereka. Frustasi itu sudah menjangkiti hingga puncaknya, lantaran mereka kalah telak di hadapan para mujahid yang hanya takut pada Rabb-Nya. Sehingga tak ada cara lain yang bisa mereka lakukan melainkan melakukan serangan udara dan menargetkan para keluarga, saudara, tetangga para mujahid yang begitu mudah membuat mereka tak berdaya.

            Perang ini begitu sengit, sehingga menyayat jutaan hati kaum msulimin di berbagai belahan dunia. Perang ini begitu kejam, lantaran musuh pengecut itu tak lagi memperhatikan aturan dalam medan pertempuran. Perang ini begitu luar biasa membuat jagat raya sosial media mengabarkan hal yang serupa, sehingga kemarahan kita semakin membuncah dan berkobar, layaknya kayu yang disiram minyak dan disulut dengan api yang merah. Perang ini mampu membuktikkan bahwa umat islam memiliki perasaan yang sama, lantaran akidah mereka tidaklah berbeda. Keyakinan dan keimanan yang satu dan tertanam kuat dalam jiwa.

              Akan tetapi di tengah gelombang kemarahan, kesedihan, dan tangisan juga seruan- seruan itu, kita harus faham bahwa jauh sebelum adanya perang #ThufanulAqsha, pada dasarnya Palestina sudah dalam kondisi perang, masih terjajah, dan terus disakiti serta ditindas oleh zionis yang terlaknat itu. Maka dari itu, seruan #FreePalestine haruslah kita pahami bahwa semua itu bukan sekedar pembelaan di saat pecahnya pembantaian yang begitu brutal, bukan ketika perang antara dua kubu sedang terjadi di dalam medan pertempuran. #FreePalestine harus senantiasa kita serukan hingga Islam itu tegak sebagaimana dulunya. #FreePalestine adalah wujud dari kecintaan kita akan bumi suci, bumi para nabi, dimana para Nabi dan Rasul akan diimami oleh Rasul terakhir, utusan Sang Illahi. 

              Maka ada dan tidaknya serangan udara yang brutal itu, ada tidaknya perlawanan darat dari musuh terlaknat itu, ada tidaknya kekejaman yang terus dilakukan Barat tuk mendukung penjajahan itu, maka suara kita tetaplah sama dan satu, selama musuh itu masih ada dan hukum-Nya belum kembali terterapkan dalam kehidupan dengan sempurna.

              Karena perang ini bagaikan kayu bakar saja yang membuat api kemarahan umat semakin berkobar. Perang dan agresi militer ini hanyalah pemantik dan penyulut yang membuat umat semakin sadar dan bangkit untuk menuntut persatuan dan tumbangnya sistem bobrok yang tak bisa sedikitpun diharapkan. Agresi di Palestina nyatanya hanya salah satu saja dari sekian permasalahan umat di penjuru bumi yang lain. Yaman, Suriah, Sudan, Turkistan, Myanmar, dan lain sebagainya nyatanya sama, dalam kondisi kacau tak karuan. Dimana Islam dihinakan, dan saudara kita ditindas serta disakiti dengan berbagai macam bentuk siksaan.

              Maka, seruan #SavePalestine adalah sebagaimana seruan yang kita teriakkan di berbagai belahan bumi lainnya. Seruan tuk mengembalikan Islam secara paripurna, dalam naungan sebuah kekuasaan Islam yang merupakan satu- satunya yang membersihkan bumi suci itu dari pijakan kaum kafir penjajah, kaum tamak yang tak punya etika dan adab, kaum bengis yang haus akan darah wanita serta anak- anak. Institusi ini yang sebagaimana dulunya, akan menjaga persatuan ummat dalam satu panji, dan menerapkam hukum dari-Nya, serta menyerukan dakwah serta jihad ke seluruh penjuru dunia. 

#FreePalestine #ArmiesToAqsha #AqsaCallsArmies #GazaUnderAttack #SavePalestine #BadaiAlaqsha #ThufanAlaqsha

Sabtu, 03 Februari 2024

Menulis: Antara Ingin dan Butuh

Banyak hal yang melandasi seorang penulis tidak berhenti dalam berkarya, tidak lelah menuangkan fikiran, dan tidak bosan mencari ide. Namun, dari berbagai motivasi atau alasan yang mendorongnya itu, pasti tak lepas dari dua hal, yaitu keinginan atau kebutuhan. Dua hal ini yang akan menentukan bagaimana hasil dari yang ditulis, juga menentukan bagaimana keistiqomahan si penulis dalam mengarungi dan melawan berbagai halangan yang menghadangnya saat akan berkarya.

            Seseorang yang menulis karena ingin, biasanya dia akan tergantung pada mood dan waktu. Dia akan menulis saat ada mood dalam dirinya. Ketika moodnya bagus, maka ia akan serius untuk menulis, bahkan rela menyisihkan waktunya berjam-berjam dalam sehari untuk menulis. Tekadnya menggebu- gebu, semua ide bermunculan walau sedikit dipaksa. Bahkan hal-hal yang biasanya diutamakan jadi diakhirkan. Namun, saat moodnya jelek, maka semua akan buyar, tak tersisa sedikitpun semangat, waktu luang yang dimilikinya pun tak juga mendorongnya untuk menulis, semua ini dikarenakan situasi hati dan fikiran yang tidak mendukung. Maka hasilnya pun tak maksimal, tak akan terukur dan sulit ditafsirkan.

            Berbeda halnya dengan seseorang yang menulis karena dirinya memang merasa butuh. Karena butuh, maka apabila tidak dipenuhi ia akan gelisah, tidak tenang, sakit, atau bahkan menyebabkan kematian, layaknya tidur atau makan, yang mana manusia pasti membutuhkan keduanya, sehingga jika tidak terpenuhi maka dia akan sakit, dan fatalnya nyawanya pun akan terenggut. Karena dorongan butuh, maka seorang penulis akan lebih kuat dan tahan banting. Apapun rintangannya ia akan tetap berusaha menulis. Seolah menulis adalah nyawa baginya, maka jika aktivitas menulis itu tidak lagi dia lakukan, maka hidupnya akan terancam. Jadi seperti itulah gambaran jika seseorang menulis karena ia merasa butuh, walaupun alasan kebutuhan itu pun juga relatif, baik butuh untuk penghasilan, butuh untuk mengajar, butuh untuk berdakwah, dan lain sebagainya.

            Oleh karena itu, sebelum memulai untuk menulis jangan sampai kita salah motivasi dan pijakan, sehingga menyebabkan tidak bisa konsisten dalam berkarya dan mewujudkan cita- cita besarnya. Karena sebesar apapun kendala menghadang, jika butuh maka akan berusaha sekuatnya untuk mendapatkannya.