Pages

Kamis, 19 Oktober 2017

Hanya Jalan Bukan Tujuan

"Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik." (Qs. Al Isra' : 19)

Setiap manusia telah Allah berikan jatah waktu yang sama dalam satu hari, yaitu 24 jam. Namun, dengan waktu itu manusia akan menjadi tiga golongan yang sangatlah berbeda. Mereka yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Mereka yang rugi adalah yang hari ini amalnya sama dengan kemarin. Dan mereka yang celaka adalah orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin.

Lalu amalan apa yang dapat membuat kita masuk dalam golongan orang yang beruntung? 

Dua puluh empat jam akan terasa sangat panjang bagi ia yang banyak berangan-angan namun tidak melakukan tindakan. Tidak berani mengambil keputusan. Tidak siap dengan segala rintangan. Namun 24 jam itu akan tak terasa berlalu begitu cepat jika kita sibuk beramal dan melakukan kebaikan serta perbaikan. 

24 jam itu sangatlah berarti bagi orang yang sedang berjuang keras dalam mengejar dunianya. Ia bahkan rela tak memejamkan mata di saat orang istirahat. Di siang harinya ia bagai singa yang terus bergerak mengerjakan segala urusan yang tak berujung. Mengejar mangsa yang dinamakan uang. 

Time is money. Itulah arti waktu bagi pengejar dunia. Dan tanpa kita sadari, banyak diantara kita yang terlena dengan tugas kita yang sesungguhnya. Allah berfirman : "Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak mem­peroleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" (Qs. Hud : 15-16)

Siapapun yang berharap dunia dan menggunakan seluruh kehidupan ini untuk dunia nya, maka sejatinya ia sedang berlari meninggalkannya. Karena dunia ini tak lain hanya sesaat. Saat kita sibuk berlari mendapatkannya, sesungguhnya ia semakin jauh di belakang. Ia akan kita lupakan. Karena ketika ajal tiba ia pasti jatuh ke tangan orang. 

Namun tidak dengan amalan sholih. Ketika jasad kita telah dikuburkan, harta dan keluarga tetap di sini, namun hanya amalan itu yang akan menemani hingga hari pembalasan nanti. Karena memang jika akhirat itu semakin di kejar ia akan semakin mendekat pada kita. Semakin keras usaha kita, kenikmatan itu akan semakin mudah tergenggam.

Jika para pengejar dunia menghidupkan siang malam hanya untuk urusan makanan, kekayaan, kemewahan dan uang, maka usaha kita harus beriringan dengan sujud yang panjang dan memohon ampunan.

Jika kita benar benar bersungguh sungguh dalam meraih negeri akhirat, maka kesungguhan itu akan berbalas. Seperti Rasulullah saw yang ketika siang bagaikan singa Allah dalam menjalankan amanah dalam menyebarkan risalah islam. Dan di malam hari bagaikan rahib yang tak pernah terhenti air matanya karena takut kepada Rabb Semesta. 

Dunia adalah tempat berjalan menuju kampung halaman. Allah pun mengatakan dalan surah al Ahzab agar kita tidak melupakan bagian atau hak kita di dunia. Tapi bukan itu tujuan utama.

Tetaplah dalam rangka menggapai ridho-Nya, dalam bertindak kita harus selalu merujuk pada segala hukum dan ketetapan-Nya. Mengejar dunia secukupnya. Karena ia menjadi jalan untuk menggapai keridhoan, bukan menjadi tujuan dari kehidupan.

Imam Syafii berkata: "Barangsiapa ingin selamat dari dunia, maka hendaknya melakukan empat hal : mengurangi bicara, mengurangi makan, mengurangi tidur dan merasa cukup dengan rezeki yanga ada"

Wallahua'lam Bish Showab

Menggenggam Bara Api

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

Rasulullah bersabda : “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi)

Menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya di zaman seperti ini memang tidak segampang ketika islam masih memimpin, mengatur, dan senantiasa mengontrol seperti di zaman Rasulullah dan para sahabat.

Merasa takut kepada Allah adalah perkara sangat penting yang harus dimiliki setiap individu muslim. Dengan rasa takut inilah kita akan senantiasa merasa diawasi, dan akan terus berusaha memperbaiki diri. Menyempurnakan segala kewajiban sesulit apa pun. Walau dianggap aneh oleh banyak orang. Bahkan sering dianggap berlebihan. Atau juga dibilang terlalu ekstrim. Begitu juga saat meninggalkan apapun yang telah Allah dan Rasul-Nya larang, dan itu masih menjadi adat atau kebiasaan banyak orang. Saat kita berusaha meninggalkannya pasti dianggap tidak wajar, tidak mungkin, sok suci, dan lain sebagainya.

Itulah orang-orang yang selalu berpegang teguh pada islam. Seperti yang Rasulullah katakan dalam haditsnya. Bagai memegang bara api. Ajaran islam bagaikan bara api yang panas. Membuat sakit dan terluka bagi siapa saja yag berani memegang. Tak hanya luka atau perih, namun pasti dianggap orang lain seperti orang tak waras. Tak wajar. Nekad. Aneh-aneh saja.

Saat banyak pelajar yang memiliki jalan curang dengan menyontek jawaban saat ujian, ia akan berusaha dan hanya pasrah kepada Allah. Dengan segenap usaha dan kemampuan yang dimiliki, ia tak akan mau melakukan cara salah demi mendapat hasil yang memuaskan. Dia tau jika Allah pasti melihat. Bahkan lebih dekat dari urat lehernya.

Ketika semua orang menggunakan jasa bank saat melakukan berbagi transaksi yang membutuhkan pinjam meminjam uang, ia harus menahan dan berjuang mencari jalan keluar. Demi menjauhi riba. Beli motor, rumah, mobil, biaya pendidikan, dan sebagainya. Tidak mungkin. Mungkin itu yang ada di fikiran kebanyakan orang sekarang. Mana mungkin bisa dapat uang pinjaman berjuta atau berpuluh-puluh juta jika tidak dari bank. Impossible. Sedangkan dosa riba yang paling kecil saja seperti menzinahi ibu sendiri.

Saat para wanita semakin berlomba-lomba memamerkan aurat mereka. Demi kedudukan. Demi karir. Demi jodoh, yang katanya sulit didapat jika terlalu menutup diri. Tapi kita sebaliknya. Menutup diri serapat- rapatnya. Selalu menundukkan pandangan kepada siapapun yang bukan mahram. Tidak mudah diajak untuk bergaul dan berkumpul yang disana campur baur. Apalagi diajak berdua-duaan. Tak akan pernah tertarik sedikitpun. Kuno. Tak laku. Ketinggalan zaman. Semua gelar yang nampak buruk itu terus disematkan. Padahal larangan mendekati zina pun sudah jelas Allah katakan dalam Al Quran.

Ketika banyak orang memilih jalan cepat dalam mendapatkan kartu resmi identitas negara atau surat izin mengemudi. Di samping sistem dan peraturannya memang sulit dan rumit, namun jika bukan karena takut dan taqwa kepada-Nya, maka banyak yang katanya Muslim tapi masih berani menyuap pihak aparat. Demi bisa mendapat apa yang dibutuhkan dengan cepat. Padahal Rasulullah sudah memperingatkan dalam sebuah haditsnya : "Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan)" (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi). Jadi tak hanya yang menerima uang suap. Tapi yang menyuap dan juga yang menjadi perantara pun juga Allah laknat. Tidak mungkin lolos. Ribet. Buang-buang waktu. Pasti kebanyakan beranggapan seperti itu. 

Itulah bara api. Yang panas dan sakit jika dipegang. Sakit di tangan karena luka dan terbakar. Juga sakit hati karena selalu dianggap aneh dan terlalu memaksakan diri. Namun bukanlah Rasulullah telah bersabda?  "Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”

Pun saat orang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Namun kita berusaha keras untuk memikirkan masa depan umat islam. Terus melakukan perbaikan di tengah kerusakan.
Menyampaikan kebenaran walau harus dikucilkan. Menyampaikan walau hanya mampu saat ayat. Memberi peringatan walau sangat pahit dan sulit. Terkait hal ini dalam sebuah riwayat, Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya “wahai rasulullah siapa yang asing itu (al-Ghuraba)?” Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Yaitu orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Tak hanya keberuntungan sebagaimana yang telah dijanjikan Rasulullah. Allah pun juga sudah menjamin dalam berbagi firman-Nya. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar. Dan Allah akan memberi rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada-Nya, maka Allah akan mencukupkan segala urusan kita.

Jadi tetaplah bertahan dalam perjuangan menggenggam bara api yang kecil ini. Karena api neraka tak akan pernah terbayang. Dan tak sedikitpun berbanding dengan apa yang ada di dunia ini.

Wallahu a'lam bis Showab

Rabu, 18 Oktober 2017

Sucikan Jalan Menuju Surga

"Kapakahatakanlah sama orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui?" (Az Zumar :6)

Menjadi hal yang wajar jika dalam langkah mulia menuntut ilmu agama kita merasa putus asa. Ingin segera mengakhiri, merasa tertekan, dan enggan untuk bekerja keras. Menahan kantuk di tengah malam, berpeluh lelah di siang hari.

Banyak orang yang memilih untuk mensudahi keletihan itu. Tugas yang menggunung tidak ada habis dan ujungnya.

Biasanya kita berfikir untuk menyerah karena takut menghadapi ujian, tak tahan dengan berbagai tugas, mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran, merasa tidak bisa seperti kawan yang lainnya, atau bahkan khawatir dan trauma dengan nilai yang buruk.

Muncullah berbagai bisikkan setan yang membuat kita merasa lemah dan lupa akan hakikat menuntut ilmu. Tidakkah kita ingat bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim?

Rasulullah saw bersabda : "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim". Jadi tak ada alasan lain yang melandasi kita untuk terus menggali ilmu selain untuk menjalankan kewajiban. Jika manusia Allah ciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, maka menggali ilmu adalah salah satu bentuk ibadah kita kepada-Nya. Tak lain untuk menggapai ridha-Nya. Namun, bagaimana jika niat kita menuntut ilmu hanya sekedar mencari kedudukan di antara manusia? Atau sekedar hebat-hebatan untuk mengejar nilai tertinggi?

Bukankah amal itu tergantung pada niatnya. Jika niat kita saja sudah salah, maka yang seharusnya mengejar ilmu itu bisa bernilai pahala di sisi-Nya, tapi jika landasan kita karena hanya hal lain, maka tak ada yang didapat selain kepuasan intelektualitas. 

Imam Ghazali pernah memberi nasehat : "Jika seseorang menuntut ilmu dengan maksud hanya untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri dan telah menjual akhirat dengan dunia"

Wallahu a'lam bish Showab.

Mengapa Futur?

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).

Sebagai seorang pemburu ilmu, seringkali kita mengalami futur. Tiba-tiba bosan dengan rutinitas yang kita lakukan. Semangat untuk menjalankan semua aktivitas sudah tak ada lagi.

Ketika berbagai harapan yang baru saja diinginkan sudah tak teringat lagi. Berbagai impian yang sudah tertulis rapi dalam buku agenda pun tak lagi berbekas dalam diri.

Nikmat Allah yang tak kan terhitung jumlahnya itu seakan tak pernah ada. Ketika kita merasa orang yang disekitar kita lebih bahagia hidupnya.

Itulah manusia. Allah telah menyebutkan dalam salah satu firman-Nya : "Innal Insana khuliqa halu'a, Idzā massahu syaru jazu'a, wa Idzā massahul khairu manu'a". (Qs. Al Ma'arij : 19-21)

Maka tak ada cara lain untuk mengembalikan semangat itu selain satu kata bersyukur. Dengannya kita kan mengganggap diri kita adalah orang yang paling beruntung. Dan dengan bersyukur pula Allah akan menambah nikmat kepada hamba-Nya.

Pertama, coba kita berhenti sejenak dari semua berbagai aktivitas yang tak lelah mengejar kita. Coba kita luangkan waktu untuk merenung. Kita putar kembali ingatan kita. Kehidupan kita sebelum berada di tempat ini. Teman-teman yang berbeda dari kawan saat ini. Atau jalan yang sangat terjal pun telah berhasil kita lalui. Pun saat kita coba pikirkan doa dan berbagai harapan yang dulu kita bisikkan dalam setiap sujud dan tangisan. Saat ini semua itu telah berada di depan mata, bersama hembusan nafas kita.

Bahkan dikatakan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

Berfikir sesaat lebih baik dari pada qiyamullail.

Kedua, berkawanlah dengan orang yang kurang beruntung dari kita. Teman yang lebih sulit kondisi hidupnya, lebih suram keadaan keluarganya, atau bahkan mereka yang sangat sibuk dengan berbagi amanah mulia hingga ia tak ada lagi waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Atau mereka yang tak memiliki kondisi tubuh yang sempurna, atau hidupnya tak bisa merasakan manisnya menuntut ilmu. Kita bandingkan apapun yang sudah kita miliki dengan mereka yang tak bisa merasakan.

Ketiga, memohon kepada Allah agar Dia membimbing kita untuk kembali mengingat berbagai karunia-Nya. Seperti doa nabi sulaiman dalam surah An Naml : "Ya Allah anugerahkanlah kepadaku untuk mensyukuri nikmat yang telah engkau berikan kepada-Ku dan kepada kedua orangtuaku, dan dgn rahmat-Mu masukkanlah aku ke dalam golongan orang Shalih".

Saat kita tak tau lagi bagaimana cara untuk mensyukuri nikmat-Nya, maka hanya dengan pertolongan Allah kita bisa segera tersadarkan. Sungguh Dia adalah Dzat yang Maha Lembut dan Dekat.

Wallahu a'lam bish Showab

Yang Hilang dan Yang Abadi

"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (Qs. Muhammad : 7)

Di dalam melakukan semua kewajiban pasti ada yang namanya lelah dan letih. Istirahat yang berkurang. Kondisi fisik yang kian tak terawat. Makanan yang masuk pun sekedarnya. Seadanya. Tak berfikir ingin beli ini dan itu. Pakaian pun tak lagi ingin ditambah. Itu salah satu bukti saat waktu kita telah habis untuk memikirkan dan melakukan banyak hal.

Pada suatu titik, pasti kita mengalami waktu kejenuhan. Ingin mengakhiri lelah ini. Jika sudah tak ada harapan lagi di dunia, mungkin banyak yang berharap dapat segera bertemu Rabbnya. Ingin segera mengistirahatkan tubuh di pangkuan-Nya.

Lantas, sudah merasa pantaskah diri kita? Seberapa banyak amal yang yakin telah diterima-Nya?

Jadikan lelah itu lillah. Jika kehidupan ini memang lebih baik untuk kita, maka jangan sampai kita terlena. Teruslah berlelah-lelah dalam menggapai kemuliaan dengan ilmu. Mengejar pemahaman dan pengetahuan islam demi menyempurnakan apa yang belum sempurna. Terus berlari dalam menggapai ridho illahi. Jangan pernah kita merasa takut untuk melewati dan menjalani hari esok. Karena kita tidak pernah akan mampu mengira bahwa nafas masih ada saat mata kembali terbuka.

Tak apa lelah. Jika semua itu dijadikan lillah. Benar-benar tulus dalam hati dan mengalir bersama darah, insya Allah akan menjadi berkah. Lelah dalam kebaikan itu pasti akan hilang. Tak lama. Namun pahala yang dihasilkan insya Allah akan abadi disisi Nya. Tapi, jika lelah itu karena melakukan amal yang sia-sia, atau bahkan durhaka kepada-Nya demi mendapat nikmat sementara. Mengejar keberuntungan di dunia. Maka ingatlah bahwa nikmat itu cuma sesaat, namun dosa yang tercatat akan terus ada.

Ketika kebutuhan pribadi banyak yang tertunda. Saat urusan pribadi banyak yang terbengkalai. Ketika keinginan-keinginan pun selalu tertumpuk rapat oleh kesibukan. Menjadi terlupakan. Saat tugas-tugas pribadi menjadi harus begadangan. Semua itu karena waktu kita yang selalu diutamakan untuk mereka. Untuk melanjutkan perjuangan Rasulullah. Tetap tenanglah. Tawakkal itu kekuatan yang tiada tanding.

Serahkan semua kepada Dia. Daya dan kekuatan serta keterbatasan kita memang tak kan mampu untuk melakukan. Tapi keyakinan akan kekuatan yang tak nampak itu yang bisa menjadi penolong. Yang tak pernah ingkar. Tak pernah meleset dari segala kebaikan. Jika kita menolong agama-Nya, maka pasti Dia akan menolong kita dan mengokohkan serta meneguhkan kaki kita di atas bumi Allah ini.

Beramallah untuk dunia seakan kita hidup selamanya. Namun, teruslah beramal untuk akhirat seakan hari ini adalah hari terakhir kehidupan kita. Begitu pesan Baginda Rasulullah Shalallahu 'alai wa sallam..

Wallahu a'lam bish Showab

Selasa, 17 Oktober 2017

Bukan Untuk Tenar atau Didengar

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik" (Qs. An Nahl : 125)

Ketika dakwah begitu hampa, dan tantangan tak ada ujungnya. Atau tiba-tiba terasa membosankan, pernahkah kita berfikir untuk apa aku berdakwah? Menyampaikan ini dan itu? Dan untuk apa peduli dengan orang lain di sekitarku?

Inilah saatnya kita kembali merenung. Memuhasabahi diri dengan segala hal yang sudah terjadi dan dialami. Perlu diingat kembali, bahwa langkah kita ini adalah salah satu bentuk ketaatan dalam menjalankan salah satu kewajiban. Dalam banyak ayat telah dijelaskan bahwa umat islam adalah umat yang terbaik, yang Allah ciptakan untuk menyeru manusia. Mengajak dalam kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.

Selain menjalankan kewajiban, jalan dakwah adalah jalan sebuah pembuktian cinta. Karena cinta itu perlu aksi nyata. Tak hanya dalam hati atau terucap di lisan saja. Ia menuntut sebuah amalan serta perbuatan yang bisa mengartikan. Bukankah di akhirat kita kan bersama orang yang kita cinta?

Allah berfirman dalam surah Al- Ahzab ayat 21, bahwa "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah".

Maka tak ada cara lain untuk membuktikan cinta kita kepada Allah, serta Rasul-Nya, serta mengharap ridho selain menjadikan rasul sebagai teladan bagi setiap sendi kehidupan kita.

Dan menyampaikan kebenaran walau pahit, walau sulit dan terkadang rumit, namun itulah jejak yang dahulu Rasulullah ukir bersama para sahabat. Tak hanya cacian, pengucilan, dan  kebencian saja yang bermunculan. Darah pun mengiringi dan terus bercucuran. Harta pun habis tak bersisa. Nyawa pun akan menjadi taruhan. Ketakutan dan kekhawatiran selalu menjadi pelengkap.

Namun itulah cinta. Karena dakwah itu bukan sekedar untuk kebahagiaan jika dikerjakan, bukan pula masalah diterima atau tidak, juga tidak dilihat dari seberapa banyak atau sedikit yang menerima, apalagi berharap ketenaran karena kepawaian dalam berbicara.

Nabi Nuh pun berdakwah selama beratus-ratus tanpa henti. Siang malam tanpa bosan. Namun berapa pengikutnya? Hanya puluhan saja. Jalan ini sangatlah mulia. Bukan untuk sekedar mencari jumlah dan banyak-banyakan. Karena pahala yang mengalir itu karena keikhlasan dan kesungguhan kita untuk terus mengatakan yang haq.

Keterpaksaan dalam menjalankan pasti sering terasa sangat berat. Namun saat kita yakin jika Allah pasti memberi kemudahan, maka keterpaksaan itu menjadi kebutuhan. Yang tak bisa ditinggalkan. Merasa janggal jika belum dilaksanakan.

Inilah pilihan berat, namun imbalannya jauh lebih indah. Inilah jalan mulia. Kita ambil jalan ini karena ketaatan kita kepada Allah, bukti cinta kepada Sang Rasul yang sangat dirindukan. Agar kita tahu bagaimana kelelahan Rasul dalam menyampaikan kebenaran ini. Hingga Dia yang menghentikan, maka jangan pernah berusaha untuk berhenti.

Wallahua'lam bish Showab

Rancangan Terindah

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu Tidak mengetahui.”
(QS. Al Baqarah 216)

Kita sebagai manusia pasti memilki berbagai cita-cita dan rencana untuk meraihnya. Dalam meniti kebahagiaan di masa depan, kita pasti akan berjuang keras sejak masa muda, bahkan dari usia belia. Orangtua kita pun tak akan rela jika kelak hidup kita lebih sulit dari masa hidup keduanya. Mereka senantiasa ingin memberikan jalan yang lebih indah untuk kita, para buah hatinya.

Berbagi usaha telah dilakukan tanpa henti. Lantunan doa dalam setiap sujud pun senantiasa mengiringi. Deraian air mata pun juga menambah bukti kekhusyukkan dalam menggapai harapan dari Sang Maha Kuasa.

Namun, seiring bertambahnya usia. Seiring berjalannya berbagi peristiwa. Dan seiring berputarnya waktu, tentu banyak kejadian baru yang kita alami. Kejadian yang tak pernah dibayangkan apalagi diharapkan. Peristiwa yang tak sesuai dengan rancangan hidup.

Seperti saat memilih sekolah atau lembaga yang disana kita bisa menggali ilmu demi bekal masa depan. Terkadang semua persiapan kita untuk meraih impian sudah tertata begitu rapi.

Keinginan kita untuk berlari di jalan yang sudah diinginkan menjadi tabu. Semua hanya kenangan. Dan harapan menjadi pupus. Terkubur bersama air mata.

Tapi ingatlah, bahwa kita ini adalah hamba. Hati dan nyawa ini ada yang memiliki. Rancangan kehidupan yang kita tulis rapi pun hanya goresan hati. Tapi disana, disisi-Nya sudah ada jalan hidup yang telah tertulis dengan lebih terperinci. Dan ia tak akan dapat diganti oleh tangan-tangan hamba yang dimiliki.

Ingatlah bahwa apa yang Allah putuskan itu yang terbaik, walau nampak buruk bagi kita. Tiada kejadian dan ketentuan yang kebetulan. Semua sudah terancang di kitab penggenggam kehidupan. Yang perlu kita lakukan adalah terus bertawakkal diawal, ditengah dan diakhir dari setiap harapan dan impian yang akan atau sedang dikejar. Kedua, usaha yang keras dan sungguh-sungguh. Tak pernah putus harapan, karena Allah pun telah melarang. Terakhir, doa pun harus selalu terpanjatkan. Ia adalah kekuatan dahsyat yang hanya dimiliki orang-orang yang beriman dan yakin. Allah sudah berjanji apabila seorang hamba meminta, sesungguhnya Allah itu dekat. Ia akan mengabulkan apa yang tak henti diutarakan dalam hati dan lisan. Bahwa doa itu seperti mengayuh sepeda. Semakin kencang dan tak pernah berhenti, maka suatu saat pasti akan sampai.

Wallahualam bis Showab