Pages

Selasa, 23 April 2024

Nyai Walidah, Kebangkitan Kaum ‘Aisyah

 

            Nyai Walidah adalah sosok yang memiliki peran besar dalam membina, dan mendidik para muslimah di masanya. Lahir dan besar di daerah Kauman Yogyakarta, yang merupakan putri dari Kyai Muhammad Fadhil seorang penghulu dan penasehat kraton Yogyakarta. Kemudian ia dinikahkan dengan sepupunya, Kyai Ahmad Dahlan yang merupakan putra dari kakak ayahnya, seorang penghulu kraton juga khatib di Masjid Gede Kauman, yang bernama Khatib Abu Bakar. Kala itu penghulu adalah jabatan yang memiliki tugas untuk dalam urusan keagamaan di keraton. Dari nasab keduanya, mereka adalah keturunan para ulama dan bangsawan yang juga tersambung dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.

            Setelah menikah, ia dan suaminya membuat berbagai macam pengajian, dimana Kyai Ahmad Dahlan sendiri mendirikan berbagai kelompok pengajian dan di berbagai tempat dengan nama yang berbeda- beda, seperi kajian wal fajri, wal ‘ashri di Wirobrajan, al- ikhwan, juga Al-Ma’un di Kauman. Adapun Nyai Ahmad Dahlan atau Nyai Walidah membuat pengajian khusus ibu- ibu yang dinamakan Sopo Tresno, yang tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di Solo, Pekalongan, juga Surabaya, dimana sesekali Kyai Ahmad Dahlan mengisi dalam pengajian tersebut.

            Pada tahun 1912, Muhammadiyah berdiri, dan pada tahun 1915 Nyai Ahmad Dahlan mengusulkan kepada suaminya agar mendirikan organisasi khusus untuk perempuan. Kemudian atas nama pengajian Sopo Tresno, -karena ketika itu masih dalam penjajahan-, maka ia pun mengajukan proposal perizinan kepada pemerintahan kolonial Belanda untuk mendirikan organisasi khusus perempuan yang kemudian dinamakan dengan Aisiyah, yang dinisbatkan kepada ibunda Aisyah binti Abu Bakar, yang identik dengan ilmunya yang sangat luas. Dengan harapan organiasasi ini dapat mendidik para muslimah untuk menjadi sosok yang hebat tak hanya dalam peran domestik, namun juga memiliki keilmuan yang mumpuni.

            Pada tahun 1917, Aisiyah dimasukkan dalam organisasi Muhammadiyah, bahkan pada tahun 1923 pun ketika suaminya wafat, Aisiyah terus berkembang pesat. Sehingga dari sana para pengurus Muhammadiyah dari kaum laki- laki tidak perlu lagi untuk mengurus kaum ibu dalam aktivitas organisasinya.

            Pada tahun 1926, diadakan sebuah kongres Muhammadiyah, dimana Nyai Walidah sebagai ketuanya. Selain menjabat sebagai pengurus pusat Aisiyah, ia juga sebagai ketua hobestur Muhammadiyah. Bahkan selain aktif mengurus Aisiyah, ia juga berperan dalam pembinaan kepanduan putri di Hizbul Waton.

            Melalui Aisiyah ini, Nyai Ahmad Dahlan juga berusaha agar dapat membentengi akidah muslimah- muslimah, agar mereka dapat membentengi akidah suami mereka agar tidak melakukan ritual seikerei, yaitu ritual penyembahan dengan ruku dan sujud kepada kaisar dan dewa matahari yang disembah oleh orang Jepang setiap kali matahari terbit, sebagaimana diperintahkan oleh kolonial Jepang kepada setiap rakyat Indonesia yang bekerja di kantor kedinasan mereka.

            Ia juga sosok yang terus mendukung perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, dimana ia menghimbau berbagai cabang Aisiyah di seluruh Nusantara, untuk mendirikan dan mengontrol dapur- dapur umum sebagai bentuk pelayanan terhadap para pejuang. 

            Selain itu di masa revolusi fisik, -dimana ketika itu terjadi rekrutmen TKR (Tentara Keamanan Rakyat)-, ia pun mendorong para aktivis Muhammadiyah untuk masuk ke dinas militer, tanpa melupakan dirinya sebagai kader Muhammadiyah. Bahkan ia juga dijadikan juru bicara Muhammadiyah oleh Jendral Sudirman ketika merekrut para tantara tersebut, karena Jendral Sudirman juga salah satu kader Muhammadiyah dan kader Hizbul Waton yang juga dekat dengan suaminya.

            Pada tahun 1946, ia wafat dan disholatkan di Masjid Sudir Kauman, dimana ketika wafatnya banyak orang yang melayatnya bahkan alun- alun pun meluber. Ia juga dilayat oleh Mr. Aka Pring Gudito dan Menteri Agama HM Rashidi  sebagai perwakilan dari RI. Pada tahun 1971 pun, Presiden Soekarno mengeluarkan SK Presiden pengangkatan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Begitulah sosok Nyai Ahmad Dahlan, sosok ‘alimah, mualimah, daiyah, dan mujahidah yang memiliki visi besar dalam perjuangan, pendidik, dan mengkader umat.

Wallahu a’alam bish showab.

Tengku Fakinah, ‘Alimah Pendidik Para Mujahidah


            Istilah “Tengku” di dalam Aceh adalah julukan bagi seorang ‘alim atau ‘alimah. Tengku Fakinah adalah putri dari seorang ulama, juga keturunan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Tengku Muhammad Sa’ad, yang merupakan keturunan dari Datuk Mahmud, seorang mufti di Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Syah. Di usia mudanya, Tengku Fakinah sudah aktif dalam pengajaran di dayah (pesantren) yang didirikan oleh ayahnya, karena penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu seperti akidah, fiqh, nahwu, shorof, juga hadits.

Ia pun dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang ulama yang juga diminta mengajar disana. Pada tahun 1873 hingga 1879, suaminya terpanggil untuk ikut dalam barisan para mujahid melawan Belanda, yang kala itu sudah mulai masuk ke Kutaraja atau Banda Aceh bersama para panglima, juga kemudian diikuti oleh para santrinya. Suaminya juga mempertahankan wilayah Ulele, hingga akhirnya gugur syahid di sana.

Setelah wafatnya, Tengku Fakinah tetap terus melanjutkan perjuangannya. Ia mendirikan badan amal perempuan, yang memiliki beberapa divisi. Diantaranya adalah divisi perhimpunan, dimana kegiatannya menghimpun uang orang- orang kaya dalam rangka mengajak mereka membayar zakat, juga infaq fi sabilillah, setelah  memahamkan mereka akan kewajiban zakat dan jihad dengan harta, sembari memberi hadiah kepada mereka berupa mushaf al-Quran yang merupakan hasil karya tangan. Terdapat juga divisi logistik, dimana tugasnya membeli kain juga berbagai bahan makanan, seperti beras, daging, ikan, yang nantinya diolah menjadi makanan yang kering dan awet dalam waktu bertahun- tahun, untuk keperluan jihad. Selain itu juga ada divisi pembangunan benteng- benteng, yang terdiri dari perempuan- perempuan yang ahli dalam perancangan. Benteng itu dibuat untuk menjadi kubu- kubu pertahanan dari penjajah Belanda dengan bahan- bahan sederhana, seperti kayu, tanah liat, dan bambu.

Ketika ia harus banyak berunding dengan para panglima, tokoh, dan ulama terkait strategi dan perang, maka ia pun disarankan untuk menikah. Maka ia pun menikah dengan Tengku Nyak Badai, seorang ulama juga mujahid yang memiliki visi yang sama dengannya. Hingga ketika benteng cetwe dihancurkan Belanda, maka ia pun harus mundur ke arah Selatan, di arah Gayo. Disana ia memiliki murid yang sangat terkenal yaitu Cut Nyak Dien, istri dari Tengku Umar. Di masa itu, Tengku Fakinah dan suaminya bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lain, hingga suaminya kembali gugur. Ia tetap terus melanjutkan perjuangannya, termasuk yang paling penting menjadi distributor harta infaq dari orang- orang kaya untuk keperluan jihad, dengan berbagai kebutuhannya.

Suatu ketika ia mendengar Tengku Umar telah menyerah kepada Belanda, bahkan ia diberi sejumlah pasukan dari Belanda dan rumahnya juga telah dijaga oleh para tantara Belanda. Tengku Umar juga akan menyerang markaz- markaz para pejuang dari orang Aceh. Maka Tengku Fakinah pun mengirimkan tiga murid perempuannya untuk bertemu dengan Cut Nyak Dien agar mengingatkan kembali suaminya akan kewajiban jihad. Ia pun mengerimkan sejumlah hadiah kepada Cut Nyak Dien. Tengku Fakinah menulis sebuah surat agar ia menyampaikan kepada suaminya, bahwa apabila suaminya ingin melakukan serangan, hendaknya menghadap kepada pasukan inong balle terlebih dahulu, agar mereka tau mana yang lebih kuat, apakah perwira dari Belanda atau para janda syuhada’. Membaca surat itu maka Cut Nyak Dien pun menangis, dan menjawab suratnya dengan mengirim sejumlah hadiah mahal, berupa emas, kain- kain dan perhiasan untuk disumbangkan dalam jihad. Ia mengatakan kepada Tengku Fakinah bahwa hatinya tidak akan berubah, namun suaminya memiliki suatu pemikiran yang itu adalah bagian dari strategi. Dari jawaban tersebut Tengku Fakinah menjadi lebih tenang, karena pada akhirnya memang apa yang dilakukan oleh Tengku Umar adalah dalam rangka untuk mensiasati pasukan Belanda dan mengambil senjata- senjata yang dimiliki oleh Belanda.

Ketika Belanda terus menyerang benteng- benteng pertahanan bahkan hingga menjarah rumah Tengku Fakinah dan mengambil harta- harta infak untuk jihad, ia pun terus bergerilya ke daerah pedalaman, hingga ke sebuah benteng bernama benteng Anak Galung, yang dipimpin oleh Tengku Cik Ditiro, seorang ulama dan panglima, yang memimpin pasukan yang terdiri dari para ulama dan santri, dimana mereka sudah diambil sumpah untuk terus bertahan dan melawan hingga syahid. Pasukan ini yang menurut Belanda sangat sulit untuk dikalahkan, tidak seperti pasukan lain yang apabila terus- menerus digempur, maka mereka akan menyerah. Tengku Cik Ditiro pun gugur karena diracun oleh salah seorang santrinya yang berkhianat dengan memberikan racun kepadanya.

Namun, dengan tertembusnya benteng tersebut, Tengku Fakinah pun melanjutkan gerilya ke wilayah Gayelues di Selatan Aceh. Ketika Aceh sudah semakin dikuasai oleh Belanda dan pemimpinnya yaitu Sultan Muhammad Daud Syah telah ditangkap, maka ia pun diminta oleh seorang panglima untuk kembali ke kota Aceh untuk mengajarkan berbagai ilmu agama di masyarakat, tepatnya di sebuah wilayah khusus yang diminta oleh panglima tersebut kepada Belanda dalam rangka mengajarkan agama. Ia pun kembali, mengajar dan menjadi pimpinan di sebuah dayah (pesantren) yang dari sana meskipun penjajahan belum usai, namun ia benar- benar mendedikasikan dirinya untuk terus menyebarkan dan memahamkan ilmu kepada masyarakat. 

Pada tahun 1915, Tengku Fakihah hendak melakukan haji, maka ia pun menikah dengan Tengku Ibrahim agar memiliki mahrom. Selama 3 tahun lebih, di tanah haram ia belajar berbagai ilmu, dan bahkan menamatkan hafalan Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Suaminya pun wafat dan dimakamkan disana, kemudian ia pulang dan pada tahun 1919 ia wafat pada usia 75 tahun.

Begitulah sosok Tengku Fakihah, seorang mujahidah, dan ‘alimah yang mengajarkan kita bahwa jihad harus terus dilakukan bagaimana pun kondisinya, baik dengan fisik, harta maupun ilmu. Ia tak hanya mewariskan darah perjuangan, namun juga ilmu yang begitu luas kepada para murid dan pejuang di masanya.

            Wallahu a’lam bish showab.

Ratu Agung Tegalrejo, Pendidik Diponegoro


            Ratu Ageng memiliki nama asli Niken Lara Yuati adalah salah satu putri dari seorang ulama besar yang bernama Kyai Ageng Derpo Yudo, yang memiliki perguruan agama di daerah Perdikan Majajati atau Sragen. Ia juga masih memiliki darah keturunan dari sultan Ampel, sultan Bugis, dan juga sultan Bima.

Sejak kecil ia dididik oleh ayahnya dengan agama yang kuat, juga dengan kemampuan perang, hingga ia memiliki kemampuan memanah, berkuda, menggunakan tombak, pistol dan lain sebainya. Pada akhirnya ia dinikahi oleh Pangeran Mangkubumi, putra dari sultan Mataram, yang ketika itu kekuasannya mencakup wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia tak hanya sosok yang cerdas dan sholihah, namun memiliki keilmuan yang begitu luas.

            Ketika mertuanya, yaitu Sultan Mataram wafat, maka kakak iparnya menggantikan posisi, dimana suaminya pun mendapatkan jabatan yang tinggi di sisi kakaknya. Namun karena melihat kebijakan kakaknya banyak berpihak kepada VOC Belanda maka ia pun banyak mengkritiknya, seperti kebijakan penguasaan Belanda atas wilayah pesisir Mataram dari wilayah Tegal hingga Banyuwangi dengan harga yang sangat murah, juga kepatuhannya terhadap kehendak VOC agar rakyat Mataram memberikan sekitar 180.000 ton beras setiap tahunnya.

            Suatu ketika Pangeran Mangkubumi mengundurkan diri dari jabatannya di kraton melihat sikap para pejabat yang begitu buruk kepadanya karena ketegasannya melawan kebijakan sultan, dan juga keloyalannya terhadap Belanda. Maka ia meminta izin kakaknya untuk melakukan pemberontakan dan juga perlawanan terhadap Belanda. Pada tahun 1746 hingga tahun 1755 ia terus bergerilya dalam perlawanan memimpin pasukkannya melawan Belanda, mulai dari wilayah Nganjuk, Ponorogo Kediri, Blitar, kemudian ke timur ke arah Madiun, Demak, Blora, dan ke barat menuju wilayah Kedu, Bagelen, Kebumen, Banyumas. Keberhasilan pun banyak diraih olehnya, termasuk berhasil membunuh salah satu Gubernur Jendral bernama Baron van Imhoff setelah dikepung di bentengnya di Ungaran, Semarang. Ia juga berhasil membunuh salah satu panglima musuh yang bernama Mayor de Klerk.

            Dalam masa 9 tahun inilah istrinya, Ratu Ageng senantiasa berada di sisinya, juga ikut melakukan serangan dengan mengangkat berbagai senjata. Namun, karena serangan yang dilakukan oleh pasukan pangeran Mangkubumi semakin membuat musuh gentar, maka Belanda pun meminta Syaikh Ibrahim salah satu tokoh besar dari Turki Utsmani untuk membujuk pangeran Mangkubumi agar mau menerima perjanjian damai, yang kemudian dinamakan perjanjian giyanti. Maka, perjanjian itu diterima dengan syarat wilayahnya dibagi menjadi dua, yang barat yaitu di Yogyakarta menjadi wilayah kekuasannya yang kemudian ia menjadi Sultan Hamengkubuwono I, -dimana ia benar- benar independent tidak sama sekali dikuasai-, dan yang kedua wilayah yang barat di daerah Surakarta yang kemudian dipimpin oleh keponakannya yaitu Pakubuwono III.

            Setelah ia memimpin Yogyakarta, mereka memiliki putra yang bernama Raden Masundoro, yang kelak akan menjadi Sultan Hamengkubuwono II. Di dalam pemerintahan suaminya, Ratu Agung membentuk pasukan Bergodo Langan Kusumo, kelompok pasukan kawal sultan yang isinya dari perempuan. Pasukan ini telah dilatih oleh Ratu Agung agar memiliki kemampuan seperti dirinya, pandai berkuda dan menggunakan berbagai senjata. Oleh karena itu, ketika salah satu gubernur jenderal Belanda Prancis yang bernama Herman William Daendels datang kesana sangat terkejut melihat kemampuan perempuan-perempuan Jawa yang begitu luar biasa dan sangat jauh berbeda dengan para wanita di Eropa. Di masa ini pula kesultnan Mataram mengalami puncak kejayaan, sehingga dinamakan masa keemasan kedua setelah masa Sultan Agung.

            Di dalam salah satu perpusatakaan British terdapat suatu karya besar dari luar Eropa yang tebalnya mencapai 3040 halaman, yang dinamakan Serak Menak Amir Hamzah, dimana penulisnya itu mengatakan bahwa karangan itu ditulis, didektekan, diarahkan dan dipersembahkan kepada Ratu Ageng. Karangan ini berisi kisah Hamzah bin Abdul Muthalib meskipun juga ditambah dengan karangan fiksi. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah penginisasi dan pemberi arahan penulisan karangan tersebut ketika ia berada di Tegalrejo.

            Ketika masa kepemimpinan putranya, Hamengkubuwono II banyak kebijakan yang kurang sesuai, menindas rakyat, bahkan beberapa sikap yang melanggar syariat, seperti sangat berambisi dalam melakukan pembangunan benteng- benteng kraton yang berlebihan, juga pabrik- pabrik senjata seperti meriam dan messiu dengan menaikkan pajak yang sangat tinggi kepada rakyat, sehingga rakyat banyak yang mengalami tekanan. Maka pada tahun 1792 setelah wafat suaminya, ia memutuskan untuk meninggalkan kraton dan membersamai cicitnya yaitu Ratir Mas Muthahar, yang lahir di keraton pada tahun 1785, yang kelak menjadi Pangeran Diponegoro. Dimana kelahirannya ketika itu, suaminya pernah berpesan agar mendidik anak tersebut sebaik-baiknya karena ia punya firasat bahwa dari dirinya lah kerusakan yang terjadi pada musuh mereka yaitu Belanda akan jauh lebih besar.

Sosoknya yang tak hanya seorang pejuang, dan mujahid yang pandai berperang, namun juga seorang intelektual, serta sangat peduli dengan literasi dan pendidikan keluarganya, Sehingga ia memiliki peran yang sangat besar dalam menanamkan teladan para pahlawan, seperti Hamzan bin Abdul Muthalib, juga Umar bin Khattab.

            Ia mendidik Pangeran Dipenogero juga murid- muridnya di Tegalrejo, sejak kecil dengan dua prinsip, yang pertama adalah hidup dengan sedehrana, dimana ia dijauhkan dari kehidupan kraton yang mewah dan glamor, juga dilibatkan dalam kegiatan masyarakat, juga bertani, hingga memanen, sehingga membentuk pribadinya menjadi sosok yang memiliki kepedulian. Yang kedua, mendidik dengan agama, dimana ia mendatangkan berbagai ulama dari berbagai penjuru, untuk mendidik para santri juga mayarakat disana untuk mempelajari berabagai ilmu agama.

Hal ini yang menjadikan Diponegoro menjadi sosok yang dekat dengan ulama serta punya jaringan dengan berbagai pesatren dan perguruan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain itu, ia juga memiliki pribadi yang sangat luar biasa dalam melakukan perjuangan perlawanan kepada Belanda dalam waktu bertahun- tahun. Ia lah sosok yang mengobarkan perang sabil di seluruh penjuru Jawa yang membuat perlawanan kepada VOC jauh lebih besar dari yang dilakukan oleh kakek buyutnya,

            Ratu Ageng juga sosok yang punya peran besar di masyarakat di Tegalrejo, dimana saat itu bisa menaungi 3000 petani di Tegalrejo, juga bisa memberangkatkan ulama- ulama untuk pergi haji, yang kala itu haji menjadi perkara yang sangat sulit dan mahal.

            Begitulah sosok Ratu Ageng Tegalrejo, yang telah menanamkan sentuhan keagamaan, intelektual, juga perjuangan kepada sosok Diponegoro yang kemudian memiliki peran beasar bagi umat Islam di Nusantara.

Pangeran Diponegoro pernah mengisahkan bahwa Ratu Ageng sangat menyukai kitab Taqrib dalam ilmu fiqh, kitab Tuhfah dalam ilmu tasawuf, juga kitab Tajusalatin dan Sulalatusalatin untuk ilmu kepemerintahan, yang semua kitab itu diajarkan kepada Dipenegroro kecil. Ia juga mengenalkan sejumlah ulama dari berbagai penjuru agar kelak ia terkoneksi dan memiliki realasi ketika berjuang di berbagai wilayah. Ia juga tetap menghubungkannya dengan keraton, sehingga ia sangat dipercaya oleh sultan juga para pejabat sehigga mereka pun banyak yang mendatangi Diponegoro di rumahnya untuk berunding masalah kesultanan. Bahkan ketika salah satu dari Sri Sultan Hamengkubowono diangkat namun usianya masih kecil, maka ia diangkat menjadi wali untuk membantunya.

Wallahu a’lam bish showab.

 

Ratu Kalinyamat, Mujahidah dari Jepara

 

            Ratu Kalinyamat yang memiliki nama kecil Ratna Kencana adalah salah satu putri dari Sultan Trenggono atau Sultan Mu’min, salah satu Sultan Demak yang ketika itu berkuasa pada tahun 1521 hingga 1549.

Ia menikah dengan Pangeran Hadiri atau Pangeran Kalinyamat, yang kemudian setelah pernikahannya mereka berdua diberi otonomi luas terhadap Pelabuhan Jepara yang kala itu menjadi pelabuhan yang sangat maju, ramai, juga terdapat angkatan laut yang sangat kuat, juga pelabuhan terpenting di wilayah Nusantara bagian Barat. Walaupun sebelum masa itu pelabuhan Jepara juga sudah menjadi pangkalan armada laut yang dipimpin oleh salah seorang paman dari Ratna Kencana, yang dikenal sebagai Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor. Pati Unus juga telah berhasil menggempur Malaka sebanyak dua kali yang kala itu dikuasai oleh Portugis. Ketika itu ia juga memiliki kapal perang yang sangat besar yang jauh lebih besar dan kuat dibandingkan kapal Portugis. Pamannya juga termasuk penguasa yang pertama kali mengusir Portugis di Malaka, bahkan mendahului Aceh. Tak hanya itu, Pati Unus juga berhasil menyatukan beberapa pasukan dari berbagai kesultanan untuk menyerang Portugis, seperti Bugis, Banjar, Cirebon, Banten, Palembang, dan Jambi.


            Pada masa kepemimpinannya, mertua dari Ratu Kalinyamat, -julukan bagi Ratna Kencana- diangkat menjadi perdana Menteri. Dimana ketika itu ia memiliki keahlian dalam bidang ukir kayu, sehingga di Jepara berkembang seni ini, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Apabila di masa Hindu, ukir- ukiran itu berbentuk makhluk- makhluk hidup, maka saat itulah ukiran dirubah menjadi bentuk tanaman dan pepohonan saja.

            Pangeran Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat, sepasang suami istri yang sangat kompak dan saling mendukung satu sama lain. Jika istrinya adalah sosok yang pandai berduel dan bertarung, maka suaminya adalah ahli administrasi yang berhasil memajukan perdagangan di Jepara ketika itu.

            Suatu ketika pada tahun 1546, terjadi konflik dan ketidakstabilan di Kesultanan Demak. Kala itu kakak laki- laki dari Ratu Kencana yang bernama Raden Prawoto, diangkat menjadi pengganti Sultan Trenggono yang wafat. Namun karena terjadi konflik di dalam kesultanan Demak, maka tak lama Pangeran Prawoto pun dibunuh, sehingga Ratu Kalinyamat dan suaminya ke Sultan Kudus untuk menuntut keadilan, karena ketika itu kris yang digunakan untuk membunuh kakaknya ada disana. Namun Sunan Kudus membela Aryo Penangsang sang pembunuh kakaknya karena itu bagian dari qisas, dimana dulu kakaknya pernah membunuh ayah dari Aryo Penangsang yang merupakan pamannya.

            Mereka pun kecewa dan kembali ke Jepara, namun di tengah perjalanan mereka diserang dan Pangeran Kalinyamat pun terbunuh oleh suruhan dari Aryo Panangsang. Karena khawatir urusannya akan diikut campuri mereka, maka Ratu Kalinyamat pun membawa jenazah suaminya hingga dimakamkan di Mantingan. Sedangkan Arya Panangsang mengambil alih kepemimpinan Demak. Namun Ratu Kalinyamat terus berusaha menyingkirkan Aryo Penangsang agar konflik itu selesai dan Demak dalam kondisi stabil kembali.

            Maka ia pun memtuskan untuk bekerjasama dengan kakak iparnya yang bernama Adipati Hadiwijoyo dari Pajang, dalam rangka membunuh Aryo Panangsang. Setelah berhasil maka Adipati Hadiwijoyo pun diangkat menjadi Sultan Demak, namun pusat kotanya dipindahkan di Pajang (Surakarta).

            Setelah kepemimpinannya itu, maka Ratu Kalinyamat diberi otoritas untuk mengatur daerah pesisir, mulai dari Jepara, Demak, hingga Kudus. Dari otoritas itu ia mengendalikan perdagangan sehingga wilayah tersebut menjadi kaya raya, dengan tujuan untuk melanjutkan perjuangan pamannya, Pati Unus dan suaminya untuk melawan Portugis di Malaka.

            Pada tahun 1550, Sulthan Ali Mughalid Syah dari Aceh mengajukan proposal kerjasama ke Ratu Kalinyamat untuk melawan Portugis di Malaka. Maka ia pun mengirimkan 200 kapal untuk membantu persekutuan pasukan Melayu, Aceh dan Jawa. Dimana ketika perlawanan itu terjadi, dan pasukan Melayu dan Aceh kalah, namun pasukan Jawa masih bertahan. Maka pasukan Jawa pun berhasil merompak kapal- kapal Portugis, sehingga menjadikan pelabuhan Malaka ditakuti dan semakin sepi.

            Pada tahun 1565 Ratu Kalinyamat mengirimkan armadanya ke Hitu, Ambon untuk membantu kesultanan disana menghadapi Portugis, yang akhirnya bisa membuat  armada Portugis hancur. Keberhasilannya mengirimkan armada ke Ambon, -sedangkan jarak antara Jepara ke Ambon sangatlah jauh-, menunjukkan bahwa Ratu Kalinyamat memiliki hubungan yang sangat baik dengan berbagai kesultanan yang dilewati oleh armada tersebut.

            Pada tahun 1573, Sultan Alaudin dari Aceh untuk meminta kerjasama yang kedua kali. Maka Ratu Kalinyamat pun mengirim 15000 pasukan untuk melawan. Namun karena sempat terjadi konflik, maka pasukan tersebut terlambat sampai di Malaka, dimana pasukan sekutu dari Melayu sudah mundur. Akhirnya pasukan yang sudah dikirim tersebut tetap maju di Malaka, walaupun dua pertiga dari jumlah pasukan itu gugur sebagai syahid, sedangkan sisanya kembali lagi ke Jepara.

            Kedigdayaan Ratu yang luar biasa ini membuat Portugis menyebutnya sebagai mawar laut utara, dimana namanya harum di pesisir laut utara. Selain itu juga ia dijuluki oleh Portugis sebagai: “Rainha de Japora Senora Federica Grani Gededame (seorang Ratu Jepara yang sangat pemberani lagi tangguh, juga seorang perempuan yang kaya raya, bijaksansa dan mulia)”

            Tak hanya itu saja kiprahnya, namun ketiga putra angkatnya (karena ia tidak punya putra kandung), yang merupakan pangeran- pangeran pun juga ia didik. Ketiga putra itu adalah Pangeran Rangga Jumena yang tak lain adik bungsunya sendiri dimana ayahnya telah wafat ketika ia masih kecil, kemudian kelak ia menjadi Bupati Madiun dan mertua dari Panembahan Senopati Raja I Mataram, Arya Pangiri yang merupakan keponakannya, juga Pangeran Arya Jepara, anak dari saudarinya dimana saudarinya tersebut dinikahi oleh Raja Banten, yaitu Maulana Hasanuddin.

            Inilah sosok Ratu Kalinyamat, seorang mujahidah, pemimpin, laksamana, juga pendidik para pangeran.

Wallahu a’lam bish showab.

Laksamana Malahayati, Panglima Inong Balee

 

            Pada tahun 1457- 1910, Kesultanan Aceh sedang digempur oleh pasukan VOC Belanda. Pada masa itu kaum muslimin yang dipimpin oleh para panglima dari kesultanan Aceh terus melawan penjajahan tersebut.

            Laksamana Malahayati adalah salah satu panglima angkatan laut Kesultanan Aceh. Ia adalah putri dari Mahmud Syah, yang sebelumnya juga termasuk panglima angkatan laut. Kakek dari ayahnya yang bernama Muhammad Said Syah pun memegang jabatan yang sama di masa sebelumnya. Meskipun ia adalah pangeran Sultan, namun ia lebih memilih mengabdi dalam militer, dan tidak menjabat sebagai penguasa. Adapun di masa kakeknya, ketika itu Aceh sedang menghadapi Portugis yang sedang menguasai selat Malaka.

            Malahayati yang dididik dari kecil dalam keluarga mujahid, dan militer, maka pada usia mudanya, sebelum ia menikah ia telah mendapat kedudukan sebagai pemimpin para pasukan pengawal istana dalam, yang terdiri dari para perempuan. Kemudian ia menikah juga dengan sosok panglima militer angkatan laut, yang bernama Zainul Abidin Syah.

Karena prestasi dan sifat amanahnya, Sultan Saidul Mukammil Riayat Syah mengangakatnya menjadi kepala pengelola istana dan juga kepala intelejen yang mematai informasi politik juga militer dari pihak musuh. Dan ketika melihat kemampuan yang luar biasa, jabatannya ditambah menjadi kepala protokol istana. Maka, ketika ada tamu- tamu negara dari berbagai wilayah yang hendak bertemu dengan Sultan, ialah yang bertugas melakukan screening kepada mereka, baik para pejabat, para kongsi dagang, ataupun rakyat biasa. Ia pun juga sering dimintai pendapatnya oleh Sultan Iskandar Muda.    

Begitulah kedudukan, pengalaman Malahayati yang menunjukkan begitu besar kemampuan yang dimilikinya. Maka, ketika suaminya Laksamana Zainal Abidin Syah wafat, maka sultan Iskandar Muda pun tak ragu untuk mengangkatnya menjadi Laksamana yang seutuhnya, yang mempimpin pasukan angkatan laut.

            Sejak masa Sultan Saidul Mukammil, kisah kepahlawanannya begitu luar biasa ketika ia ditunjuk untuk memimpin pasukan inong balee (janda- janda syuhada’) yang juga sudah memiliki kemampuan bertarung, untuk menghadap Cornelis De Houtman dari Belanda, yang telah berhasil mengambil rempah- rempah dari wilayah Timur Jawa, seperti Tuban, Gresik, Bali sebanyak empat kapak, kemudian mereka melewati Aceh dan berusaha untuk memonopoli perdagangan disana. Kemudian memaksa para rakyat untuk membeli rempah- rempah dari mereka. Maka ia pun menghadap kepada Cornelis dan terjadi duel di atas kapal, hingga akhirnya Malahayati berhasil menikam jantungnya hingga ia tewas. Tak hanya itu, ia pun berhasil menangkap adik Cornelis yang bernama Ferderick De Hutman yang kemudian dibawa ke hadapan Sultan. Akhirnya karena tertawan, mereka pun berusaha menebusnya. Kemudian Sultan memberi syarat agar dua kapal rempah tersebut diambil oleh Sultan.

            Di masa Sultan Iskandar Muda memegang kepemimpinan angkatan laut, ia pun bersama Sultan memimpin pasukan untuk menghadapi kekuatan Portugis di Malaka, hingga melemah dan akhirnya mundur. Dimana ketika itu keinginan Portugis untuk menguasai wilayah di Banten dan Jawa pun akhirnya gagal. Tak hanya menghadapi Portugis, ia juga berhasil menghadapi pasukan dari Spanyol dan Belanda.

            Begitulah sosok Malahayati, yang memiliki peran dan keahlian luar biasa dalam berbagai bidang, mulai dari memimpin protokol istana, memimpin kesatuan pasukan, ahli inelejen, ahli duel dan pertarungan, juga ahli negoisasi.

            Dari sosoknya kita semakin faham bahwa Islam sangat menempatkan posisi terhormat kepada para perempuan, yang dengan potensi serta keahliannya ia dapat membela Islam dan kaum muslimin. Walaupun Islam tetap menjunjung tinggi kehormatan, dan kemuliaan perempuan yang harus senantiasa dijaga.

Wallahu a’lam bish showab

 

 

Ratu Safiatuddin Tajul Alam dari Aceh

 

Safiatuddin Tajul Alam adalah putri dari Sulthan Iskandar Muda, pemimpin Kesultanan Aceh dan Melayu pada tahun 1607- 1636 M, di masa Portugis sedang menjajah Aceh dan Melayu. Ketika itu ia mampu menyatukan berbagai wilayah hingga mencapai Sumatra Barat, Sumatra Utara, Johor, Pahang dan lainnya untuk melawan Portugis. Sosok Sultan yang begitu tegas dalam memegang prinsip syariat Islam. Di masa itu Kesultanan Aceh dibagi menjadi beberapa tugas, bukan suatu kekuasaan yang absolut, sehingga para pemimpin itu ada yang memegang undang- undang, adat, juga kemiliteran.

Suatu ketika satu-satunya putra mahkota Sultan Iskandar Muda yang diharapkan dapat melanjutkan kepemimpinan ayahnya telah melakukan perzinaan setelah ia menikah. Maka, ketika itu Sultan memutuskan untuk tetap menghukum putranya dengan rajam, sekalipun banyak dari pihak keluarga kesultanan yang berusaha menahan hukuman itu. Dengan tegas, sang Sultan menjawab dengan bijak : “Matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat ngon hukom pat tamita (kalau anak mati, maka masih ada kuburan yang diziarahi, namun kalau hukum yang mati maka dimana hendak dicari?)”. Perkataan tersebut menunjukkan ketegasannya bahwa hukum tidak boleh tajam ke bawah namun tumpul ke atas, dan apabila sultan tidak menegakkan hukum untuk anaknya, maka itu adalah bagian dari pelanggaran, juga dapat menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap penguasa. Maka putranya pun di rajam hingga mati.

            Pada tahun 1637, para bangsawan dan ulama di kesultanan bersepekat untuk mengangkat Iskandar Tsani sebagai penerus Iskandar Muda setelah wafatnya. Iskandar Tsani adalah menantu dari Iskandar Muda yang dulunya adalah putra Mahkota kesultanan Johor yang disandera olehnya ketika penaklukkan Johor. Kemudian ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Putri Sri Alam. Di masa hidupnya, Iskandar Muda melihat menantunya adalah sosok yang kuat, cakap, dapat dipercaya, dan bijaksana.

Sultan Iskandar Tsani sejak kecil dididik oleh para ulama, sehingga ia memiliki pemahaman syariat yang kuat. Dan di masa kepemimpinannya ia sangat terbantu oleh istrinya Putri Sri Alam, yang kelak dijuluki Saifatuddin. Seorang perempuan yang berpendidikan dan cerdas.

Di masa kepemimpinannya, Iskandar Tsani ini melihat adanya pemahaman  wahdatul wujud yang ketika itu tersebar di masa kepemimpinan mertuanya. Baginya pemahaman ini bahaya apabila diberikan kepada masyarakat awam, karena akan banyak syariat yang diremehkan dan ditinggalkan. Sehingga ia pun berusaha untuk meluruskan pemahaman yang sudah tersebar itu dengan mengundang seorang ulama besar, tokoh umat, mubaligh, dan da’i yang pandai beretorika, juga seorang penulis yang berasal dari Ranir, Gujarat yang bernama Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Beliau pun dapat menguatkan posisi seorang mufti Aceh yang bernama Syaikh Abdurauf as-Sankili yang diberi gelar dengan Syaikh Quala, dimana beliau juga telah lama menentang paham ini namun beliau kurang mampu untuk memahamkan ke masyarakat, karena ia sosok ulama pengkaji. Maka, Syaikh Nuruddin tersebut belajar bahasa Melayu yang dengannya dakwah di Aceh lebih cepat mencapai tujuannya. Bahkan karyanya pun banyak yang ditulis dengan bahasa Melayu.

Pada tahun 1641, sekitar empat tahun kepemimpinan Iskandar Tsani, ia pun wafat. Padahal Aceh ketika itu sedang berada dalam kondisi sangat genting. Walaupun Portugis sudah menyerah dari pasukan Aceh dan Melayu, namun datanglah penjajah baru yaitu dari VOC Belanda yang berhasil mengalahkan Portugis di selat Melaka. Sedangkan Belanda memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari Portugis.

Maka, terjadilah perdebatan diantara para ulama, siapa yang berhak untuk melanjutkan kesultanan, melihat ketika itu putra- putra dari keluarga kesultanan belum memiliki usia dan kemampuan yang cukup. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri pun setelah mendalami dalil dan kondisi, maka ia berfatwa bahwa perempuan boleh mengambil kepemimpinan tersebut, karena melihat kesultanan di Aceh yang sifatnya tidak absolut atau mutlak, seperti kekhalifahan, karena dibagi menjadi beberpa kepemimpinan. Walaupun pada awalnya banyak ditentang oleh ulama lain, termasuk Syaikh Abdurauf, namun pada akhirnya semua menerima karena kuatnya dalil yang dijadikan hujah oleh Syaikh Nuruddin tersebut.

Maka ditunjuklah putri Iskandar Muda, atau istri Iskandar Tsani untuk memimpin. Di awal masa kepemimpinannya, Sultanah ini segera membuat berbagai kebijakan baru yang luar biasa hingga di masa itu Kesultanan Aceh dijuluki sebagai masa yang mencapai puncak keemasan Islam dan kemelayuan yang tidak tertandingi.

Dimana dalam bidang agama, Saifatuddin telah membuat kebijakan penyebaran dan penanaman aqidah yang benar kepada masyarakat. Ia pun meminta Syaikh Nuruddin untuk menulis kitab Hidayatul Imam, yang mencakup konsep- konsep aqidah yang sederhana serta mudah dipahami, kemudian disebarkan kepada para Imam di berbagai daerah untuk diajarkan kepada masyarakat di seluruh pelosok Aceh. Selain itu beliau meminta Syaikh Abdrurauf untuk menulis kitab Miratu Thulab yang mencakup hukum- hukum fiqh tata negara, perdata, pidana juga perdagangan, sebagai rujukan untuk menjalankan pemerintahan Aceh.

Dalam aspek perdagangan, ia pun juga membuat beberapa kebijakan. Jika di masa ayahnya perdagangan rempah- rempah sangat maju, kemudian di masa suaminya impor gajah untuk perdagangan dan militer juga berkembang pesat, maka di masanya ia membuat terobosan dengan mendatangkan berbagai pedagang dari berbagai negeri di Eropa untuk mengimbangi kongsi- kongsi dagang yang ingin memonopoli Aceh.

Ia pun membuat tempat perdagangan untuk Portugis, Prancis, Belanda, juga dari Gujurat India, juga para pedagang dari Jazirah Arab. Selain itu ia juga memberikan hak istimewa kepada para pedagang muslim. Dengan kebijakan ini, maka perdagangan yang terjadi menjadi sehat dan bisa dikontrol oleh kesultanan, jugq bisa mengimbangi pedagang dari Barat juga menguntungkan rakyat Aceh. Bahkan ia juga mendorong para pengusaha kaya agar memodali kesultanan agar dapat membeli komoditas milik rakyat dengan harga yang baik, kemudian kesultanan akan menjualnya kepada para pedagang dari berbagai negeri. Dengan begitu antara pengusaha, kesultanan juga rakyat bisa mendapat keuntungan, sedangkan pedagang asing tidak bermain bebas.

Selain dari aspek keagamaan dan perdagangan, ia juga memiliki kebijakan dalam aspek pendidikan. Dimana ia mendirikan madrasah- madrasah yang juga mendidik para perempuan agar bisa mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki- laki. Bahkan di harem istana kesultanan, didatangkan guru- guru terbaik untuk mengajar perempuan- perempuan harem sehingga mereka mendapatkan ilmu yang tinggi baik dalam bidang keagamaan, ilmu pengetahuan, juga ilmu tatanegara. Sehingga dari sanalah lahir sultanah- sultanah yang cerdas, berilmu, dan kompeten seperti Naqiyatuddin, Zakiyatuddin, dan Tengku Falikah yang memiki kontribusi besar untuk masyarakat dan Islam di Aceh.

Begitulah peran Saifatuddin yang begitu luar biasa di bumi Aceh dan Melayu, dimana di masa kepemimpinannya Aceh dan Melayu mencapai puncak keemasan dan kemajuan dalam literasi, sastra, pendidikan, juga perdagangan.

Wallahu a’lam bish showab.

Sayyidah Al-Hurra, Penjaga Terakhir Andalusia

 

            Ketika kaum muslimin tidak lagi menjadikan syariat sebagai tolak ukurnya, perpecahan terjadi dimana- mana, dan hanya dunia yang menjadi orientasi hidupnya, maka kemorosatan adalah perkara yang pasti terjadinya. Khamr menjadi biasa, penguasa yang tidak lagi seusai dengan standar syariat-Nya, perempuan pun menjadi penghibur kaum pria.

Diantara bukti kemorosotan itu kita bisa menyaksikan kondisi Andalusia, dimana Granada (Qaranutah) kala itu menjadi benteng terakhir kaum muslimin di Andalusia. Pada tahun 1492 M pun akhirnya jatuh dibawah pasukan salibis, dimana kekuatan mereka adalah gabungan dari Kerajaan Kastilia dan Kerajaan Aragon dengan pasukan yang ingin merebut wilayah Eropa yang sudah dikuasai oleh kaum muslimin.  Sulthan Ali Abdullah pun menyerahkan kunci istana Granada yaitu istana Al-Hambra kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, namun memberikan syarat agar tidak menyiksanya. Sulthan tersebut pun harus meninggalkan Granada dengan sangat sedih menuju ke Maghrib (Maroko dan Tunisia).

            Pada tahun itulah Sayyidah Al-Hurra di usia 7 tahunnya menyaksikan kondisi yang sangat menyedihkan tersebut. Karena pasukan salibis sangat kejam juga telah melanggar perjanjian, maka mereka pun menyiksa dengan begitu keji, membakar, dan mebunuh kaum muslimin dan kaum Yahudi disana. Jika mereka tidak mau masuk dalam agama Katholik, maka mereka hanya memberi dua pilihan yaitu tetap di Granada namun mati, atau harus pergi.

            Kaum muslimin pun banyak yang berhijrah ke Maroko atau ke Timur wilayah Turki Utsmani yang kemudian disambut oleh Sulthan Salim I (cucu Muhammad Al Fatih dan ayah dari Sulthan Sulaiman Al-Qanuni), termasuk Sayyidah Al-Hurra beserta keluarganya. Dikarenakan ia dan keluargnya masih keturunan dari Hasan bin Ali bin Thalib, keturunan para syarif, maka keluarga beliau pun diberi tempat tinggal di kota Tetuan, yang dipimpin oleh penguasa bernama Al-Mandari. Setelah tinggal disana, ia pun dinikahi oleh penguasa tersebut.

            Setelah menjadi istri, atas izin suaminya ia pun membentuk angkatan laut, untuk mempertahankan wilayah kaum muslimin di wilayah Afrika Utara, dengan mempersatukan militer dari kesultanan Maroko dan Turki Ustamani. Pasukan salibis kala itu merupakan gabungan dari beberapa Kerajaan Kristen yang disebut Liga Kepausan. Pertarungan pun pecah dengan begitu sengit. Sayyidah Hurra memimpin pasukan tersebut untuk terus bertahan, yang bahkan dijuluki oleh Kristen Eropa sebagai “Bajak Laut dari Afrika Utara”.

            Maka ketika di Laut Tengah bagian Barat, Sayyidah Al-Hurra mempertahankan wilayah Maroko, -mulai dari kota Fez, Koiruan, Casablanca, Rabat, Marakesh-, yang dijadikan sasaran oleh pasukan salibis, maka di wilayah Timur Laut Tengah, militer Turki Ustmani yang dipimpin oleh Khairuddin Barbarosa pun juga memimpin pasukannya.

            Setelah suaminya wafat, maka tak lama ia dipinang oleh Sulthan Maghrib, dalam kondisi sedang di medan jihad melawan kaum salibis. Maka Sayyidah Al-Huraa ini pun menerimanya namun dengan syarat ia yang didatangi di kota Tetuan, karena ia tak mau meninggalkan medan jihad dan perjuangannya. Sehingga ia menjadi satu- satunya istri Sulthan yang dinikahi bukan di istana yang berada pusat kota, karena keteguhan dan visinya yang tidak goyah untuk melawan para musuh Islam itu dan berjaga- jaga di perairan timur laut tengah dari Kerajaan Portugis dan Spanyol.

            Wallahu a’lam bish showab.

             

‘Ishmatuddin Hatun, Pendamping Pembebasan Baitul Maqdis

 

            Sebagaimana hari ini Baitul Maqdis masih terjajah oleh zionis selama lebih dari satu abad lamanya, seperti itulah yang terjadi di masa Ishmatuddin Hatun, dimana Baitul Maqdis diduduki oleh pasukan salib selama lebih dari 100 tahun. Sebagaimana hari ini, kaum muslimin terus berusaha memantaskan diri dan berjuang untuk mendapatkan pertolongan-Nya, maka seperti itulah yang terjadi di masanya. Sebagaimana hari ini ketika umat Islam sulit tuk mengalahkan tantara zionis la’natullah lantaran persatuan umat yang telah tiada, maka di masa itu pula persatuan umat yang telah melemah membuat pendudukan semakin kokoh dan lama.

            Di masa Kekhilafahan Abasiyah kondisi kaum muslimin tidaklah sekuat pada masa sebelumnya, lantaran persatuan tidak lagi kokoh. Oleh karena itu ketika pasukan salib menduduki wilayah- wilayah kaum muslimin termasuk Palestina, maka untuk merebutnya kembali membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari satu abad. Meskipun persatuannya melemah, namun seluruh penguasa di negeri kaum muslimin tetap mengakui dan tunduk di bawah kekhilafahan yang satu yang berpusat di Baghdad, Iraq. Dengan begitu, merebut kembali Baitul Maqdis membutuhkan lebih dari satu abad, yaitu sejak tahun 1099 M- 1187 M di masa Shalahuddin Al-Ayyubi. Artinya untuk bisa meraih cita- cita besar itu terdapat 3- 4 generasi yang terlewati, yang terus berjuang tuk mewujudkan pembebasannya.

Imaddudin Zanky merupakan penguasa Halb (Aleppo), yang pada saat itu termasuk penguasa pertama yang memiliki kesadaran untuk merebut kembali Baitul Maqdis. Kesadaran tersebut juga disadari oleh para ulama di masanya, yang dimulai dengan adanya kesadaran ruhani, diantaranya adalah Imam Ghazali yang kemudian menuliskan kitab Ihya ‘Ulumuddin. Kemudian kesadaran tersebut berlanjut dengan adanya kesadaran tsaqofi, diantaranya pula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang kemudian mendirikan madrasah- madrasah yang dikenal dengan madrasah Jailaniyah, yang dari sanalah disiapkan generasi- generasi penakluk yang siap untuk menjadi penakluk.

Kemudian kesadaran tersebut menjadi kesadaran siyasi (politik), dimana diinisiasi oleh kesultanan Zankiyah yang dipimpin oleh Imaduddin Zanky. Kesadaran siyasi ini menjadikannya bergerak untuk mempersatukan wilayah- wilayah kaum muslimin, mulai dari Tripoli, Homs, Allepo, Damaskus juga lainnya. Baginya penaklukkan Baitul Maqdis tak mungkin tercapai tanpa adanya persatuan umat Islam.  Selain terus melawan pasukan salib yang juga berusaha mengambil wilayah kaum muslimin lainnya, ia pun juga berusaha menyatukan Damaskus agar menjadi wilayah kesatuan yang kala itu dipimpin oleh Mu’inuddin Unur. Setelah berhasil menyatukannya, maka Imaduddin Zanky menikahkan putranya yaitu Nuruddin Mahmud dengan putri dari Muinuddin Unur yaitu ‘Ishmatuddin Hatun, sehingga Nuruddin pun menjadi penguasa di Damaskus menggantikan mertuanya.

Dari sinilah perjuangan ‘Ishmatuddin Hatun dimulai. Ia seorang perempuan yang shalihah, faqihah, ‘alimah dan cerdas. Di Damaskus, Ishmatuddin mendirikan madrasah- madrasah yang dikenal dengan madrasah Hatuniyah, dalam rangka menyiapkan generasi penakluk dimana ia dan Nuruddin mengangkat Imam Ibnu ‘Asakir sebagai pemimpin madrasah tersebut. Beliau sosok ulama besar di masa itu yang sangat dikagumi oleh Ishmatuddin dan Nuruddin Mahmud. Seorang ulama yang mengarang kitab Maghazi yang menjelaskan bagaimana peperangan Rasul, cara menuntun hewan tunggangan, memperlalakukan pasukan, menggunakan pedang, kepahlawanan Rasul dan lain- lain. Dan dari salah satu kitab inilah Nuruddin juga para murid- muridnya belajar bagaimana penakukkan yang diajarkan oleh Rasulullah.

Selama Nuruddin menjadi pemimpin kaum muslimin dalam melawan pasukan salib, maka ‘Ishmatuddin senantiasa mendampinginya, menyemangatinya, bahkan sering memberi perhatian kepada para panglima dan pasukan yang berprestasi dengan memberi mereka hadiah. Ia juga membakar semangat suaminya agar terus memberikan kepercayaan kepada orang- orang hebat yang ada di sisinya,

Suatu ketika Kesultanan Fathimiyah di Mesir meminta bantuan kepada Nuruddin karena wilayahnya diancam oleh pasukan Raja Amalik dari Jerusalem yang ingin menguasainya. Karena, bagi raja tersebut, untuk menguasai Levan (Lebanon, Suriah, Pelastina, dan Yordaniah), maka Mesir harus digenggam, karena ia merupakan wilayah yang menjadi lumbung pangan dan logistic, juga tempat strategis yang jika dikuasai maka akan mudah mengendalikan perdagangan dunia. Sehingga Nuruddin pun mengutus Shalahuddin Al Ayyubi dan pamannya Asaduddin Syirkuh dengan memimpin 30 ribu pasukan. Dikarenakan banyak juga pasukan yang dikirim ke wilayah lain untuk mempertahankan wilayah dari pasukan salib, maka di Damaskus tersisa hanya 3 ribu pasukan saja,

Peperanagan antara kaum muslimin dengan pasukan salib pun pecah di Mesir tepatnya di kota Dimyat. Pada waktu yang sama, pasukan salib dari Jerusalem juga melihat kesempatan di Damaskus, dimana jumlah pasukan yang tersisa disana hanya sedikit. Maka Nuruddin Mahmud pun bertekad untuk menghadapi musuh dan memimpin pasukkannya langsung, namun para ulama menasehatinya agar menyerah saja, karena ia adalah sandaran kaum muslimin saat itu sedangkan pasukan kaum muslimin yang tersisa tidaklah banyak. Namun dengan keyakinan Nuruddin menjawab: “Sungguh sebelum ada diriku, kaum muslimin telah dalam penjagaan Allah, dan ketika aku tidak ada mereka pun tetap dalam penjagaan-Nya. Maka aku tetap akan maju karena aku mencari syahid yang aku cintai”.

            Ketika pasukannya telah siap, Nuruddin naik ke sebuah bukit dan disana ia sholat dua rakat, tanpa sepengetahuan siapapun. Disana ia berdoa: “Allahumma unshur dinaka wa lanshur mahmuda man mahmuda illa kalb, ya Rab ya Rabb ya Rabb (Ya Allah tolonglah agama-Mu, dan janganlah kau tolong Mahmud (yakni dirinya) karena tidaklah Mahmud melainkan seekor anjing..”. Peperangan pun pecah dengan begitu sengit, dan akhirnya kemenangan berada di pihak pasukan kaum muslimin, bahkan Nuruddin berhasil menawan tiga raja dari Kerajaan latin Jerussalem, yang kemudian diletakkan di benteng Damaskus.

            Walau telah menang, ia masih khawatir akan pasukannya di Mesir, lantaran ia belum mendapatkan berita, karena terjadi merpati yang membawa berita sedang bermasalah. Maka datanglah seorang ulama yang memiliki bashirah, ia mengabarkan kepada Nuruddin bahwa pasukannya di Mesir telah Allah swt menangkan, karena di dalam mimpi ia bertemu dengan Rasulullah yang memintanya untuk mengabarkan hal tersebut kepada Nuruddin, agar hatinya tenang.

Dari kemangan ini, maka kekuasaan Nuruddin juga telah mencakup Mesir, meskipun nama Fathimiyah masih ada. Kemudian Shalahuddin dijadikan sebagai pemimpin disana. 

            Tak lama dari itu Nuruddin ingin bersegera menghapuskan kesultanan Fathimiyah secara resmi, akan tetapi Shalahuddin tidak ingin mengambil keputusan tersebut karena ia telah melihat kondisi Mesir yang sebenarnya, dimana sekalipun kesultanan tersebut bermadzhab syiah, akan tetapi pada saat itu para qadhi, mufti, dan guru- guru di madrasah telah didominasi oleh ulama- ulama yang bermadzhab sunni. Setelah wafatnya sulthan Fathimiyah, maka kesultanan tersebut dihapuskan dan Mesir benar- benar masuk kesultanan Zankiyah, dengan Shalahuddin sebagai pemimpin disana.

            Nuruddin pun terus menyiapkan usaha pembebasan Baitu Maqdis, bahkan atas usulan Ishmatuddin dibuatlah mimbar yang kelak akan diletakkan di Baitul Maqdis jika telah berhasil ditaklukkan. Namun tak lama dari itu Nuruddin wafat, sehingga terjadi keguncangan di tengah kaum muslimin bahkan banyak wilayah yang lepas kembali dari kesultanan Zankiyah, lantaran putra Nuruddin ketika itu yang bernama As-Shalih Ismail masih berusia 8 tahun.

Maka Shalahuddin mengambil keputusan untuk kembali ke Suriah dan berusaha bernegoisasi dengan pemimpin di berbagai wilayah agar tetap mau bersatu, namun penolakan terjadi di mana- mana. Ia pun ke Damaskus dan didukung oleh Ishmatuddin Hatun yang kemudian dinikahi oleh Shalahuddin untuk melanjutkkan perjuangan suaminya, karena ia termasuk kader terbaik yang dibentuk oleh Nuruddin. Karena negoisasi yang dilakukan Shalahuddin ditolak, maka terpaksa ia pun memerangi wilayah- wilayah tersebut, hingga akhrinya Shalahuddin berhasil menyatukan lima wilayah, yaitu Suriah, Yordania, Lebanon, Mesir dan Hijaz.

Dengan terwujudnya persatuan ini maka jalan menuju pembebasan Baitul Maqdis akan semakin mudah. Disanalah peran Ishmatuddin Hatun sebagai penyambung mata rantai pembebasan, dimana para ulama mengatakan jika bukan karena peran dan dukungannya yang besar maka mungkin Shalahuddin tidak mampu tuk menyatukan wilayah- wilayah tersebut dalam rangka penaklukkan Baitul Maqdis.

Hubungan mereka begitu sangat erat dan selalu saling menguatkan. Bahkan selama Shalahuddin terus bergerak memimpin pasukan untuk melawan pasukan salib, sedangkan Ishmatuddin berada di Damaskus, setiap hari mereka saling mengirim surat satu sama lain hingga kemudian dibukukan.

Bahkan ketika Ishmatuddin menjelang wafat, ia telah menyiapkan surat-surat yang cukup banyak, sehingga ketika wafat ia berpesan kepada para pembesar di istana agar merahasiakan wafatnya selama tiga bulan, dan tetap mengirimkan surat yang sudah dituliskannya kepada Shalahuddin setiap beberapa hari. Hal itu ia maksudkan karena ia khawatir semangat Shalahuddin melemah ketika menghadapi musuh ketika mengetahui kabar wafatnya. Terlebih lagi, saat itu Shalahuddin sedang menghadapi pasukan Richard the Lionheart, Raja Inggris juga Philip August dari Prancis, dan pasukan salib yang ketika itu dinamakan perang salib ketiga.

Maka selama tiga bulan peperangann, Shalahuddin tidak menyadari bahwa istrinya telah wafat, karena surat- surat darinya tetap ia terima. Sehingga ketika pasukan salib tersebut menyatakan mundur dan Shalahuddin kembali ke Damaskus, maka ia baru mengetahui bahwa istrinya telah wafat.

Begitulah sosok Ishmatuddin, sang pendamping dua lelaki hebat yang menjadi jalan menuju pembebasan bumi suci kaum muslimin yang telah direbut oleh salibis selama seratus tahun lebih. 

Wallahu a’lam bish showab.

Lubna dari Cordoba, Matematikawan Zaman Keemasan

 

            The golden age atau masa emas dari peradaban Islam seperti di masa Harun Ar-Rasyid, bisa kita saksikan dari bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di salah satu wilayah di Eropa ini, yaitu Cordoba. Sebuah kota yang memiliki sebuah istana yang berlapis tujuh, dimana panjangnya mencapai 12 km. Istana tersebut dinamakan Madinatu Zahro, yang mana tujuh lapis itu menggambarkan tujuh surga yang ciri-cirinya disebutkan di dalam Al-Quran.

            Di dalam istana itu tak hanya terdapat taman dengan berbagai pohonnya, namun terdapat pula sungai- sungai yang mengalir, yang berisi air madu dan susu. Bahkan pohon- pohon buatan yang dipasang disana pun berdahan dan berdaun perak dan emas, yang setiap pagi dan petang dipasang berbagai macam buah- buahan sesuai musim.

            Peradaban yang membuat Barat, termasuk kekaisaran Romawi kala itu tunduk tanpa memberi syarat apapun. Bahkan ketika menghadap pemimpin Cordoba kala itu yaitu Abdurahman III di dalam istana Madinah Zahro, ia langsung bersimpuh, menyerah kepada kekuasaan Islam, dengan harapan bisa mendapat perlindungan dan keadilan. Sang pemimpin yang sedang memegang Al-Quran di tangan kanan dan pedang di tangan kiri kemudian duduk di hadapan bara api itu pun berkata: “Aku hanya akan menawarkanmu mushaf ini, jika kau menolak maka akan aku akan perangi kalian dengan pedang ini, dan jika kalian mati maka kalian akan disiksa dalam api seperti ini”

            Di istana tersebutlah Lubna dilahirkan, dibesarkan dan diberikan pendidikan terbaik oleh para pelayan dan perempuan- perempuan istana, bersama anak- anak penguasa dan pejabat lainnya. Dimana di istana tersebut terdapat ruangan khusus perempuan yang dinamakan harem. Meskipun terdapat perbedaan terkait nasab Lubna, akan tetapi sejak kecil memang dia dididik di dalam istana tersebut.

            Sejak kecil ia dididik dengan Al-Quran, ilmu fiqh, juga termasuk ilmu faraid dimana kemudian ia menjadi seorang ahli dalam bidang tersebut. Dari sanalah ia menguasai dan mengembangkan ilmu aritmatika, aljabar, trigonometri, juga cabang ilmu matematika yang lainnya.

            Ia juga memiliki peran sebagai penyalin naskah dan penerjemah dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai bahasa, dimana ketika itu Abdurahman III ingin menyaingi Baitul Hikmah yang ada di Baghdad, pusat kekhilafahan. Bahkan ketika Lubna telah menikah dengan Al Hakam II, putra dari Abdurahman III ia ditunjuk sebagai pimpinan para penyalin naskah yang jumlahnya mencapai ribuan. Di masa tersebut ia pun menginisiasi pembangunan perpustakaan di dalam istana Madinatu Zahro, dimana di dalamnya terdapat koleksi buku yang jumlahnya mencapai 400 ribu dari berbagai bidang keilmuan yang bisa diakses oleh para ulama dan cendekiawan.

            Tidak hanya  menjadi pemimpin para cendekian dan ilmuwan di dalam istana, ia juga sosok pertama yang menginisasi sabatikal, yaitu pengabdian keilmuan, dimana dia mengambil cuti setiap bulan untuk keluar dari istana untuk mengajar rakyat di luar istana. Dengan usahanya itu, maka pembahasan berbagai ilmu pengetahuan tersebar luas di masyarakat, sehingga ilmu pengetahuan menjadi konsumsi di tengah mereka.

            Ia juga menjadi sosok penghasil berbagai riset, juga sebagai konsultan bagi proyek- proyek pembangunan dari kekhalifahan yang membutuhkan hitungan- hitungan yang sangat akurat. Dari sanalah, karena kontribusi dirinya juga di Cordoba lahir banyak ilmuwan dengan berbagai bidangnya, diantaranya adalah Ibnu Firnas, pencetus konsep penerbangan.

            Begitulah sosok Lubna, yang lahir di masa keemasan Islam, karena keimanan, ketaatan, kecerdasan, ia kepeduliaannya juga cintanya terhadap ilmu dan Islam ia mampu menorehkan kontribusi yang begitu besar bagi kaum muslimin juga dunia.

            Maka benarlah perkataan seorang ulama bernama Malik bin Nabi: “Jika ilmu melayani iman maka peradaban akan maju. Namun jika ilmu hanya untuk melayani ilmu maka peradaban akan stagnan, dan jika ilmu untuk melayani hawa nafsu, maka peradaban akan mengalami penurunan dan kehancuran”

Walahu a’lam bish showab.