Ratu
Ageng memiliki nama asli Niken Lara Yuati adalah salah satu putri dari seorang
ulama besar yang bernama Kyai Ageng Derpo Yudo, yang memiliki perguruan agama
di daerah Perdikan Majajati atau Sragen. Ia juga masih memiliki darah keturunan
dari sultan Ampel, sultan Bugis, dan juga sultan Bima.
Sejak kecil ia dididik oleh ayahnya dengan
agama yang kuat, juga dengan kemampuan perang, hingga ia memiliki kemampuan
memanah, berkuda, menggunakan tombak, pistol dan lain sebainya. Pada akhirnya
ia dinikahi oleh Pangeran Mangkubumi, putra dari sultan Mataram, yang ketika
itu kekuasannya mencakup wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia tak hanya sosok
yang cerdas dan sholihah, namun memiliki keilmuan yang begitu luas.
Ketika
mertuanya, yaitu Sultan Mataram wafat, maka kakak iparnya menggantikan posisi,
dimana suaminya pun mendapatkan jabatan yang tinggi di sisi kakaknya. Namun
karena melihat kebijakan kakaknya banyak berpihak kepada VOC Belanda maka ia
pun banyak mengkritiknya, seperti kebijakan penguasaan Belanda atas wilayah
pesisir Mataram dari wilayah Tegal hingga Banyuwangi dengan harga yang sangat
murah, juga kepatuhannya terhadap kehendak VOC agar rakyat Mataram memberikan
sekitar 180.000 ton beras setiap tahunnya.
Suatu
ketika Pangeran Mangkubumi mengundurkan diri dari jabatannya di kraton melihat
sikap para pejabat yang begitu buruk kepadanya karena ketegasannya melawan
kebijakan sultan, dan juga keloyalannya terhadap Belanda. Maka ia meminta izin
kakaknya untuk melakukan pemberontakan dan juga perlawanan terhadap Belanda.
Pada tahun 1746 hingga tahun 1755 ia terus bergerilya dalam perlawanan memimpin
pasukkannya melawan Belanda, mulai dari wilayah Nganjuk, Ponorogo Kediri,
Blitar, kemudian ke timur ke arah Madiun, Demak, Blora, dan ke barat menuju
wilayah Kedu, Bagelen, Kebumen, Banyumas. Keberhasilan pun banyak diraih
olehnya, termasuk berhasil membunuh salah satu Gubernur Jendral bernama Baron
van Imhoff setelah dikepung di bentengnya di Ungaran, Semarang. Ia juga
berhasil membunuh salah satu panglima musuh yang bernama Mayor de Klerk.
Dalam
masa 9 tahun inilah istrinya, Ratu Ageng senantiasa berada di sisinya, juga
ikut melakukan serangan dengan mengangkat berbagai senjata. Namun, karena
serangan yang dilakukan oleh pasukan pangeran Mangkubumi semakin membuat musuh
gentar, maka Belanda pun meminta Syaikh Ibrahim salah satu tokoh besar dari
Turki Utsmani untuk membujuk pangeran Mangkubumi agar mau menerima perjanjian
damai, yang kemudian dinamakan perjanjian giyanti. Maka, perjanjian itu
diterima dengan syarat wilayahnya dibagi menjadi dua, yang barat yaitu di
Yogyakarta menjadi wilayah kekuasannya yang kemudian ia menjadi Sultan
Hamengkubuwono I, -dimana ia benar- benar independent tidak sama sekali
dikuasai-, dan yang kedua wilayah yang barat di daerah Surakarta yang kemudian
dipimpin oleh keponakannya yaitu Pakubuwono III.
Setelah
ia memimpin Yogyakarta, mereka memiliki putra yang bernama Raden Masundoro,
yang kelak akan menjadi Sultan Hamengkubuwono II. Di dalam pemerintahan
suaminya, Ratu Agung membentuk pasukan Bergodo Langan Kusumo, kelompok pasukan
kawal sultan yang isinya dari perempuan. Pasukan ini telah dilatih oleh Ratu
Agung agar memiliki kemampuan seperti dirinya, pandai berkuda dan menggunakan
berbagai senjata. Oleh karena itu, ketika salah satu gubernur jenderal Belanda
Prancis yang bernama Herman William Daendels datang kesana sangat terkejut
melihat kemampuan perempuan-perempuan Jawa yang begitu luar biasa dan sangat
jauh berbeda dengan para wanita di Eropa. Di masa ini pula kesultnan Mataram
mengalami puncak kejayaan, sehingga dinamakan masa keemasan kedua setelah masa
Sultan Agung.
Di
dalam salah satu perpusatakaan British terdapat suatu karya besar dari luar
Eropa yang tebalnya mencapai 3040 halaman, yang dinamakan Serak Menak Amir
Hamzah, dimana penulisnya itu mengatakan bahwa karangan itu ditulis,
didektekan, diarahkan dan dipersembahkan kepada Ratu Ageng. Karangan ini berisi
kisah Hamzah bin Abdul Muthalib meskipun juga ditambah dengan karangan fiksi.
Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah penginisasi dan pemberi arahan penulisan
karangan tersebut ketika ia berada di Tegalrejo.
Ketika
masa kepemimpinan putranya, Hamengkubuwono II banyak kebijakan yang kurang
sesuai, menindas rakyat, bahkan beberapa sikap yang melanggar syariat, seperti
sangat berambisi dalam melakukan pembangunan benteng- benteng kraton yang berlebihan,
juga pabrik- pabrik senjata seperti meriam dan messiu dengan menaikkan pajak
yang sangat tinggi kepada rakyat, sehingga rakyat banyak yang mengalami
tekanan. Maka pada tahun 1792 setelah wafat suaminya, ia memutuskan untuk
meninggalkan kraton dan membersamai cicitnya yaitu Ratir Mas Muthahar, yang
lahir di keraton pada tahun 1785, yang kelak menjadi Pangeran Diponegoro. Dimana
kelahirannya ketika itu, suaminya pernah berpesan agar mendidik anak tersebut
sebaik-baiknya karena ia punya firasat bahwa dari dirinya lah kerusakan yang
terjadi pada musuh mereka yaitu Belanda akan jauh lebih besar.
Sosoknya yang tak hanya seorang pejuang,
dan mujahid yang pandai berperang, namun juga seorang intelektual, serta sangat
peduli dengan literasi dan pendidikan keluarganya, Sehingga ia memiliki peran
yang sangat besar dalam menanamkan teladan para pahlawan, seperti Hamzan bin
Abdul Muthalib, juga Umar bin Khattab.
Ia
mendidik Pangeran Dipenogero juga murid- muridnya di Tegalrejo, sejak kecil
dengan dua prinsip, yang pertama adalah hidup dengan sedehrana, dimana ia
dijauhkan dari kehidupan kraton yang mewah dan glamor, juga dilibatkan dalam
kegiatan masyarakat, juga bertani, hingga memanen, sehingga membentuk
pribadinya menjadi sosok yang memiliki kepedulian. Yang kedua, mendidik dengan
agama, dimana ia mendatangkan berbagai ulama dari berbagai penjuru, untuk
mendidik para santri juga mayarakat disana untuk mempelajari berabagai ilmu
agama.
Hal ini yang menjadikan Diponegoro menjadi
sosok yang dekat dengan ulama serta punya jaringan dengan berbagai pesatren dan
perguruan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain itu, ia juga memiliki pribadi
yang sangat luar biasa dalam melakukan perjuangan perlawanan kepada Belanda
dalam waktu bertahun- tahun. Ia lah sosok yang mengobarkan perang sabil di
seluruh penjuru Jawa yang membuat perlawanan kepada VOC jauh lebih besar dari yang
dilakukan oleh kakek buyutnya,
Ratu
Ageng juga sosok yang punya peran besar di masyarakat di Tegalrejo, dimana saat
itu bisa menaungi 3000 petani di Tegalrejo, juga bisa memberangkatkan ulama-
ulama untuk pergi haji, yang kala itu haji menjadi perkara yang sangat sulit
dan mahal.
Begitulah
sosok Ratu Ageng Tegalrejo, yang telah menanamkan sentuhan keagamaan, intelektual,
juga perjuangan kepada sosok Diponegoro yang kemudian memiliki peran beasar
bagi umat Islam di Nusantara.
Pangeran Diponegoro pernah mengisahkan
bahwa Ratu Ageng sangat menyukai kitab Taqrib dalam ilmu fiqh, kitab Tuhfah
dalam ilmu tasawuf, juga kitab Tajusalatin dan Sulalatusalatin untuk ilmu
kepemerintahan, yang semua kitab itu diajarkan kepada Dipenegroro kecil. Ia juga
mengenalkan sejumlah ulama dari berbagai penjuru agar kelak ia terkoneksi dan
memiliki realasi ketika berjuang di berbagai wilayah. Ia juga tetap
menghubungkannya dengan keraton, sehingga ia sangat dipercaya oleh sultan juga
para pejabat sehigga mereka pun banyak yang mendatangi Diponegoro di rumahnya
untuk berunding masalah kesultanan. Bahkan ketika salah satu dari Sri Sultan
Hamengkubowono diangkat namun usianya masih kecil, maka ia diangkat menjadi
wali untuk membantunya.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar