The
golden age atau masa emas dari peradaban Islam seperti di masa Harun Ar-Rasyid,
bisa kita saksikan dari bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
salah satu wilayah di Eropa ini, yaitu Cordoba. Sebuah kota yang memiliki
sebuah istana yang berlapis tujuh, dimana panjangnya mencapai 12 km. Istana
tersebut dinamakan Madinatu Zahro, yang mana tujuh lapis itu menggambarkan
tujuh surga yang ciri-cirinya disebutkan di dalam Al-Quran.
Di
dalam istana itu tak hanya terdapat taman dengan berbagai pohonnya, namun terdapat
pula sungai- sungai yang mengalir, yang berisi air madu dan susu. Bahkan pohon-
pohon buatan yang dipasang disana pun berdahan dan berdaun perak dan emas, yang
setiap pagi dan petang dipasang berbagai macam buah- buahan sesuai musim.
Peradaban
yang membuat Barat, termasuk kekaisaran Romawi kala itu tunduk tanpa memberi
syarat apapun. Bahkan ketika menghadap pemimpin Cordoba kala itu yaitu
Abdurahman III di dalam istana Madinah Zahro, ia langsung bersimpuh, menyerah
kepada kekuasaan Islam, dengan harapan bisa mendapat perlindungan dan keadilan.
Sang pemimpin yang sedang memegang Al-Quran di tangan kanan dan pedang di
tangan kiri kemudian duduk di hadapan bara api itu pun berkata: “Aku hanya
akan menawarkanmu mushaf ini, jika kau menolak maka akan aku akan perangi
kalian dengan pedang ini, dan jika kalian mati maka kalian akan disiksa dalam
api seperti ini”
Di
istana tersebutlah Lubna dilahirkan, dibesarkan dan diberikan pendidikan
terbaik oleh para pelayan dan perempuan- perempuan istana, bersama anak- anak
penguasa dan pejabat lainnya. Dimana di istana tersebut terdapat ruangan khusus
perempuan yang dinamakan harem. Meskipun terdapat perbedaan terkait nasab Lubna,
akan tetapi sejak kecil memang dia dididik di dalam istana tersebut.
Sejak
kecil ia dididik dengan Al-Quran, ilmu fiqh, juga termasuk ilmu faraid dimana kemudian
ia menjadi seorang ahli dalam bidang tersebut. Dari sanalah ia menguasai dan
mengembangkan ilmu aritmatika, aljabar, trigonometri, juga cabang ilmu
matematika yang lainnya.
Ia
juga memiliki peran sebagai penyalin naskah dan penerjemah dari berbagai
disiplin ilmu dari berbagai bahasa, dimana ketika itu Abdurahman III ingin
menyaingi Baitul Hikmah yang ada di Baghdad, pusat kekhilafahan. Bahkan ketika
Lubna telah menikah dengan Al Hakam II, putra dari Abdurahman III ia ditunjuk
sebagai pimpinan para penyalin naskah yang jumlahnya mencapai ribuan. Di masa
tersebut ia pun menginisiasi pembangunan perpustakaan di dalam istana Madinatu
Zahro, dimana di dalamnya terdapat koleksi buku yang jumlahnya mencapai 400
ribu dari berbagai bidang keilmuan yang bisa diakses oleh para ulama dan
cendekiawan.
Tidak
hanya menjadi pemimpin para cendekian
dan ilmuwan di dalam istana, ia juga sosok pertama yang menginisasi sabatikal,
yaitu pengabdian keilmuan, dimana dia mengambil cuti setiap bulan untuk keluar
dari istana untuk mengajar rakyat di luar istana. Dengan usahanya itu, maka pembahasan
berbagai ilmu pengetahuan tersebar luas di masyarakat, sehingga ilmu
pengetahuan menjadi konsumsi di tengah mereka.
Ia
juga menjadi sosok penghasil berbagai riset, juga sebagai konsultan bagi
proyek- proyek pembangunan dari kekhalifahan yang membutuhkan hitungan-
hitungan yang sangat akurat. Dari sanalah, karena kontribusi dirinya juga di
Cordoba lahir banyak ilmuwan dengan berbagai bidangnya, diantaranya adalah Ibnu
Firnas, pencetus konsep penerbangan.
Begitulah
sosok Lubna, yang lahir di masa keemasan Islam, karena keimanan, ketaatan,
kecerdasan, ia kepeduliaannya juga cintanya terhadap ilmu dan Islam ia mampu
menorehkan kontribusi yang begitu besar bagi kaum muslimin juga dunia.
Maka
benarlah perkataan seorang ulama bernama Malik bin Nabi: “Jika ilmu melayani
iman maka peradaban akan maju. Namun jika ilmu hanya untuk melayani ilmu maka
peradaban akan stagnan, dan jika ilmu untuk melayani hawa nafsu, maka peradaban
akan mengalami penurunan dan kehancuran”
Walahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar