Pages

Selasa, 23 April 2024

Ratu Safiatuddin Tajul Alam dari Aceh

 

Safiatuddin Tajul Alam adalah putri dari Sulthan Iskandar Muda, pemimpin Kesultanan Aceh dan Melayu pada tahun 1607- 1636 M, di masa Portugis sedang menjajah Aceh dan Melayu. Ketika itu ia mampu menyatukan berbagai wilayah hingga mencapai Sumatra Barat, Sumatra Utara, Johor, Pahang dan lainnya untuk melawan Portugis. Sosok Sultan yang begitu tegas dalam memegang prinsip syariat Islam. Di masa itu Kesultanan Aceh dibagi menjadi beberapa tugas, bukan suatu kekuasaan yang absolut, sehingga para pemimpin itu ada yang memegang undang- undang, adat, juga kemiliteran.

Suatu ketika satu-satunya putra mahkota Sultan Iskandar Muda yang diharapkan dapat melanjutkan kepemimpinan ayahnya telah melakukan perzinaan setelah ia menikah. Maka, ketika itu Sultan memutuskan untuk tetap menghukum putranya dengan rajam, sekalipun banyak dari pihak keluarga kesultanan yang berusaha menahan hukuman itu. Dengan tegas, sang Sultan menjawab dengan bijak : “Matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat ngon hukom pat tamita (kalau anak mati, maka masih ada kuburan yang diziarahi, namun kalau hukum yang mati maka dimana hendak dicari?)”. Perkataan tersebut menunjukkan ketegasannya bahwa hukum tidak boleh tajam ke bawah namun tumpul ke atas, dan apabila sultan tidak menegakkan hukum untuk anaknya, maka itu adalah bagian dari pelanggaran, juga dapat menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap penguasa. Maka putranya pun di rajam hingga mati.

            Pada tahun 1637, para bangsawan dan ulama di kesultanan bersepekat untuk mengangkat Iskandar Tsani sebagai penerus Iskandar Muda setelah wafatnya. Iskandar Tsani adalah menantu dari Iskandar Muda yang dulunya adalah putra Mahkota kesultanan Johor yang disandera olehnya ketika penaklukkan Johor. Kemudian ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Putri Sri Alam. Di masa hidupnya, Iskandar Muda melihat menantunya adalah sosok yang kuat, cakap, dapat dipercaya, dan bijaksana.

Sultan Iskandar Tsani sejak kecil dididik oleh para ulama, sehingga ia memiliki pemahaman syariat yang kuat. Dan di masa kepemimpinannya ia sangat terbantu oleh istrinya Putri Sri Alam, yang kelak dijuluki Saifatuddin. Seorang perempuan yang berpendidikan dan cerdas.

Di masa kepemimpinannya, Iskandar Tsani ini melihat adanya pemahaman  wahdatul wujud yang ketika itu tersebar di masa kepemimpinan mertuanya. Baginya pemahaman ini bahaya apabila diberikan kepada masyarakat awam, karena akan banyak syariat yang diremehkan dan ditinggalkan. Sehingga ia pun berusaha untuk meluruskan pemahaman yang sudah tersebar itu dengan mengundang seorang ulama besar, tokoh umat, mubaligh, dan da’i yang pandai beretorika, juga seorang penulis yang berasal dari Ranir, Gujarat yang bernama Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Beliau pun dapat menguatkan posisi seorang mufti Aceh yang bernama Syaikh Abdurauf as-Sankili yang diberi gelar dengan Syaikh Quala, dimana beliau juga telah lama menentang paham ini namun beliau kurang mampu untuk memahamkan ke masyarakat, karena ia sosok ulama pengkaji. Maka, Syaikh Nuruddin tersebut belajar bahasa Melayu yang dengannya dakwah di Aceh lebih cepat mencapai tujuannya. Bahkan karyanya pun banyak yang ditulis dengan bahasa Melayu.

Pada tahun 1641, sekitar empat tahun kepemimpinan Iskandar Tsani, ia pun wafat. Padahal Aceh ketika itu sedang berada dalam kondisi sangat genting. Walaupun Portugis sudah menyerah dari pasukan Aceh dan Melayu, namun datanglah penjajah baru yaitu dari VOC Belanda yang berhasil mengalahkan Portugis di selat Melaka. Sedangkan Belanda memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari Portugis.

Maka, terjadilah perdebatan diantara para ulama, siapa yang berhak untuk melanjutkan kesultanan, melihat ketika itu putra- putra dari keluarga kesultanan belum memiliki usia dan kemampuan yang cukup. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri pun setelah mendalami dalil dan kondisi, maka ia berfatwa bahwa perempuan boleh mengambil kepemimpinan tersebut, karena melihat kesultanan di Aceh yang sifatnya tidak absolut atau mutlak, seperti kekhalifahan, karena dibagi menjadi beberpa kepemimpinan. Walaupun pada awalnya banyak ditentang oleh ulama lain, termasuk Syaikh Abdurauf, namun pada akhirnya semua menerima karena kuatnya dalil yang dijadikan hujah oleh Syaikh Nuruddin tersebut.

Maka ditunjuklah putri Iskandar Muda, atau istri Iskandar Tsani untuk memimpin. Di awal masa kepemimpinannya, Sultanah ini segera membuat berbagai kebijakan baru yang luar biasa hingga di masa itu Kesultanan Aceh dijuluki sebagai masa yang mencapai puncak keemasan Islam dan kemelayuan yang tidak tertandingi.

Dimana dalam bidang agama, Saifatuddin telah membuat kebijakan penyebaran dan penanaman aqidah yang benar kepada masyarakat. Ia pun meminta Syaikh Nuruddin untuk menulis kitab Hidayatul Imam, yang mencakup konsep- konsep aqidah yang sederhana serta mudah dipahami, kemudian disebarkan kepada para Imam di berbagai daerah untuk diajarkan kepada masyarakat di seluruh pelosok Aceh. Selain itu beliau meminta Syaikh Abdrurauf untuk menulis kitab Miratu Thulab yang mencakup hukum- hukum fiqh tata negara, perdata, pidana juga perdagangan, sebagai rujukan untuk menjalankan pemerintahan Aceh.

Dalam aspek perdagangan, ia pun juga membuat beberapa kebijakan. Jika di masa ayahnya perdagangan rempah- rempah sangat maju, kemudian di masa suaminya impor gajah untuk perdagangan dan militer juga berkembang pesat, maka di masanya ia membuat terobosan dengan mendatangkan berbagai pedagang dari berbagai negeri di Eropa untuk mengimbangi kongsi- kongsi dagang yang ingin memonopoli Aceh.

Ia pun membuat tempat perdagangan untuk Portugis, Prancis, Belanda, juga dari Gujurat India, juga para pedagang dari Jazirah Arab. Selain itu ia juga memberikan hak istimewa kepada para pedagang muslim. Dengan kebijakan ini, maka perdagangan yang terjadi menjadi sehat dan bisa dikontrol oleh kesultanan, jugq bisa mengimbangi pedagang dari Barat juga menguntungkan rakyat Aceh. Bahkan ia juga mendorong para pengusaha kaya agar memodali kesultanan agar dapat membeli komoditas milik rakyat dengan harga yang baik, kemudian kesultanan akan menjualnya kepada para pedagang dari berbagai negeri. Dengan begitu antara pengusaha, kesultanan juga rakyat bisa mendapat keuntungan, sedangkan pedagang asing tidak bermain bebas.

Selain dari aspek keagamaan dan perdagangan, ia juga memiliki kebijakan dalam aspek pendidikan. Dimana ia mendirikan madrasah- madrasah yang juga mendidik para perempuan agar bisa mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki- laki. Bahkan di harem istana kesultanan, didatangkan guru- guru terbaik untuk mengajar perempuan- perempuan harem sehingga mereka mendapatkan ilmu yang tinggi baik dalam bidang keagamaan, ilmu pengetahuan, juga ilmu tatanegara. Sehingga dari sanalah lahir sultanah- sultanah yang cerdas, berilmu, dan kompeten seperti Naqiyatuddin, Zakiyatuddin, dan Tengku Falikah yang memiki kontribusi besar untuk masyarakat dan Islam di Aceh.

Begitulah peran Saifatuddin yang begitu luar biasa di bumi Aceh dan Melayu, dimana di masa kepemimpinannya Aceh dan Melayu mencapai puncak keemasan dan kemajuan dalam literasi, sastra, pendidikan, juga perdagangan.

Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar