Safiatuddin Tajul Alam adalah putri dari
Sulthan Iskandar Muda, pemimpin Kesultanan Aceh dan Melayu pada tahun 1607-
1636 M, di masa Portugis sedang menjajah Aceh dan Melayu. Ketika itu ia mampu
menyatukan berbagai wilayah hingga mencapai Sumatra Barat, Sumatra Utara,
Johor, Pahang dan lainnya untuk melawan Portugis. Sosok Sultan yang begitu
tegas dalam memegang prinsip syariat Islam. Di masa itu Kesultanan Aceh dibagi
menjadi beberapa tugas, bukan suatu kekuasaan yang absolut, sehingga para
pemimpin itu ada yang memegang undang- undang, adat, juga kemiliteran.
Suatu ketika satu-satunya putra mahkota Sultan
Iskandar Muda yang diharapkan dapat melanjutkan kepemimpinan ayahnya telah
melakukan perzinaan setelah ia menikah. Maka, ketika itu Sultan memutuskan
untuk tetap menghukum putranya dengan rajam, sekalipun banyak dari pihak
keluarga kesultanan yang berusaha menahan hukuman itu. Dengan tegas, sang
Sultan menjawab dengan bijak : “Matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat ngon
hukom pat tamita (kalau anak mati, maka masih ada kuburan yang
diziarahi, namun kalau hukum yang mati maka dimana hendak dicari?)”.
Perkataan tersebut menunjukkan ketegasannya bahwa hukum tidak boleh tajam ke
bawah namun tumpul ke atas, dan apabila sultan tidak menegakkan hukum untuk
anaknya, maka itu adalah bagian dari pelanggaran, juga dapat menghilangkan
kepercayaan rakyat terhadap penguasa. Maka putranya pun di rajam hingga mati.
Pada
tahun 1637, para bangsawan dan ulama di kesultanan bersepekat untuk mengangkat
Iskandar Tsani sebagai penerus Iskandar Muda setelah wafatnya. Iskandar Tsani
adalah menantu dari Iskandar Muda yang dulunya adalah putra Mahkota kesultanan
Johor yang disandera olehnya ketika penaklukkan Johor. Kemudian ia dinikahkan
dengan putrinya yaitu Putri Sri Alam. Di masa hidupnya, Iskandar Muda melihat
menantunya adalah sosok yang kuat, cakap, dapat dipercaya, dan bijaksana.
Sultan Iskandar Tsani sejak kecil dididik oleh
para ulama, sehingga ia memiliki pemahaman syariat yang kuat. Dan di masa
kepemimpinannya ia sangat terbantu oleh istrinya Putri Sri Alam, yang kelak
dijuluki Saifatuddin. Seorang perempuan yang berpendidikan dan cerdas.
Di masa kepemimpinannya, Iskandar Tsani ini
melihat adanya pemahaman wahdatul
wujud yang ketika itu tersebar di masa kepemimpinan mertuanya. Baginya
pemahaman ini bahaya apabila diberikan kepada masyarakat awam, karena akan
banyak syariat yang diremehkan dan ditinggalkan. Sehingga ia pun berusaha untuk
meluruskan pemahaman yang sudah tersebar itu dengan mengundang seorang ulama
besar, tokoh umat, mubaligh, dan da’i yang pandai beretorika, juga seorang
penulis yang berasal dari Ranir, Gujarat yang bernama Syaikh Nuruddin
Ar-Raniri. Beliau pun dapat menguatkan posisi seorang mufti Aceh yang bernama
Syaikh Abdurauf as-Sankili yang diberi gelar dengan Syaikh Quala, dimana beliau
juga telah lama menentang paham ini namun beliau kurang mampu untuk memahamkan
ke masyarakat, karena ia sosok ulama pengkaji. Maka, Syaikh Nuruddin tersebut
belajar bahasa Melayu yang dengannya dakwah di Aceh lebih cepat mencapai
tujuannya. Bahkan karyanya pun banyak yang ditulis dengan bahasa Melayu.
Pada tahun 1641, sekitar empat tahun
kepemimpinan Iskandar Tsani, ia pun wafat. Padahal Aceh ketika itu sedang
berada dalam kondisi sangat genting. Walaupun Portugis sudah menyerah dari
pasukan Aceh dan Melayu, namun datanglah penjajah baru yaitu dari VOC Belanda
yang berhasil mengalahkan Portugis di selat Melaka. Sedangkan Belanda memiliki
kekuatan yang jauh lebih besar dari Portugis.
Maka, terjadilah perdebatan diantara para ulama,
siapa yang berhak untuk melanjutkan kesultanan, melihat ketika itu putra- putra
dari keluarga kesultanan belum memiliki usia dan kemampuan yang cukup. Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri pun setelah mendalami dalil dan kondisi, maka ia berfatwa
bahwa perempuan boleh mengambil kepemimpinan tersebut, karena melihat
kesultanan di Aceh yang sifatnya tidak absolut atau mutlak, seperti
kekhalifahan, karena dibagi menjadi beberpa kepemimpinan. Walaupun pada awalnya
banyak ditentang oleh ulama lain, termasuk Syaikh Abdurauf, namun pada akhirnya
semua menerima karena kuatnya dalil yang dijadikan hujah oleh Syaikh Nuruddin
tersebut.
Maka ditunjuklah putri Iskandar Muda, atau
istri Iskandar Tsani untuk memimpin. Di awal masa kepemimpinannya, Sultanah ini
segera membuat berbagai kebijakan baru yang luar biasa hingga di masa itu
Kesultanan Aceh dijuluki sebagai masa yang mencapai puncak keemasan Islam dan
kemelayuan yang tidak tertandingi.
Dimana dalam bidang agama, Saifatuddin
telah membuat kebijakan penyebaran dan penanaman aqidah yang benar kepada
masyarakat. Ia pun meminta Syaikh Nuruddin untuk menulis kitab Hidayatul Imam,
yang mencakup konsep- konsep aqidah yang sederhana serta mudah dipahami,
kemudian disebarkan kepada para Imam di berbagai daerah untuk diajarkan kepada
masyarakat di seluruh pelosok Aceh. Selain itu beliau meminta Syaikh Abdrurauf
untuk menulis kitab Miratu Thulab yang mencakup hukum- hukum fiqh tata negara, perdata,
pidana juga perdagangan, sebagai rujukan untuk menjalankan pemerintahan Aceh.
Dalam aspek perdagangan, ia pun juga
membuat beberapa kebijakan. Jika di masa ayahnya perdagangan rempah- rempah
sangat maju, kemudian di masa suaminya impor gajah untuk perdagangan dan
militer juga berkembang pesat, maka di masanya ia membuat terobosan dengan
mendatangkan berbagai pedagang dari berbagai negeri di Eropa untuk mengimbangi kongsi-
kongsi dagang yang ingin memonopoli Aceh.
Ia pun membuat tempat perdagangan untuk
Portugis, Prancis, Belanda, juga dari Gujurat India, juga para pedagang dari
Jazirah Arab. Selain itu ia juga memberikan hak istimewa kepada para pedagang
muslim. Dengan kebijakan ini, maka perdagangan yang terjadi menjadi sehat dan
bisa dikontrol oleh kesultanan, jugq bisa mengimbangi pedagang dari Barat juga
menguntungkan rakyat Aceh. Bahkan ia juga mendorong para pengusaha kaya agar
memodali kesultanan agar dapat membeli komoditas milik rakyat dengan harga yang
baik, kemudian kesultanan akan menjualnya kepada para pedagang dari berbagai
negeri. Dengan begitu antara pengusaha, kesultanan juga rakyat bisa mendapat
keuntungan, sedangkan pedagang asing tidak bermain bebas.
Selain dari aspek keagamaan dan
perdagangan, ia juga memiliki kebijakan dalam aspek pendidikan. Dimana ia
mendirikan madrasah- madrasah yang juga mendidik para perempuan agar bisa
mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki- laki. Bahkan di harem istana
kesultanan, didatangkan guru- guru terbaik untuk mengajar perempuan- perempuan
harem sehingga mereka mendapatkan ilmu yang tinggi baik dalam bidang keagamaan,
ilmu pengetahuan, juga ilmu tatanegara. Sehingga dari sanalah lahir sultanah-
sultanah yang cerdas, berilmu, dan kompeten seperti Naqiyatuddin, Zakiyatuddin,
dan Tengku Falikah yang memiki kontribusi besar untuk masyarakat dan Islam di
Aceh.
Begitulah peran Saifatuddin yang begitu
luar biasa di bumi Aceh dan Melayu, dimana di masa kepemimpinannya Aceh dan
Melayu mencapai puncak keemasan dan kemajuan dalam literasi, sastra,
pendidikan, juga perdagangan.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar