Pages

Selasa, 23 April 2024

Sayyidah Al-Hurra, Penjaga Terakhir Andalusia

 

            Ketika kaum muslimin tidak lagi menjadikan syariat sebagai tolak ukurnya, perpecahan terjadi dimana- mana, dan hanya dunia yang menjadi orientasi hidupnya, maka kemorosatan adalah perkara yang pasti terjadinya. Khamr menjadi biasa, penguasa yang tidak lagi seusai dengan standar syariat-Nya, perempuan pun menjadi penghibur kaum pria.

Diantara bukti kemorosotan itu kita bisa menyaksikan kondisi Andalusia, dimana Granada (Qaranutah) kala itu menjadi benteng terakhir kaum muslimin di Andalusia. Pada tahun 1492 M pun akhirnya jatuh dibawah pasukan salibis, dimana kekuatan mereka adalah gabungan dari Kerajaan Kastilia dan Kerajaan Aragon dengan pasukan yang ingin merebut wilayah Eropa yang sudah dikuasai oleh kaum muslimin.  Sulthan Ali Abdullah pun menyerahkan kunci istana Granada yaitu istana Al-Hambra kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, namun memberikan syarat agar tidak menyiksanya. Sulthan tersebut pun harus meninggalkan Granada dengan sangat sedih menuju ke Maghrib (Maroko dan Tunisia).

            Pada tahun itulah Sayyidah Al-Hurra di usia 7 tahunnya menyaksikan kondisi yang sangat menyedihkan tersebut. Karena pasukan salibis sangat kejam juga telah melanggar perjanjian, maka mereka pun menyiksa dengan begitu keji, membakar, dan mebunuh kaum muslimin dan kaum Yahudi disana. Jika mereka tidak mau masuk dalam agama Katholik, maka mereka hanya memberi dua pilihan yaitu tetap di Granada namun mati, atau harus pergi.

            Kaum muslimin pun banyak yang berhijrah ke Maroko atau ke Timur wilayah Turki Utsmani yang kemudian disambut oleh Sulthan Salim I (cucu Muhammad Al Fatih dan ayah dari Sulthan Sulaiman Al-Qanuni), termasuk Sayyidah Al-Hurra beserta keluarganya. Dikarenakan ia dan keluargnya masih keturunan dari Hasan bin Ali bin Thalib, keturunan para syarif, maka keluarga beliau pun diberi tempat tinggal di kota Tetuan, yang dipimpin oleh penguasa bernama Al-Mandari. Setelah tinggal disana, ia pun dinikahi oleh penguasa tersebut.

            Setelah menjadi istri, atas izin suaminya ia pun membentuk angkatan laut, untuk mempertahankan wilayah kaum muslimin di wilayah Afrika Utara, dengan mempersatukan militer dari kesultanan Maroko dan Turki Ustamani. Pasukan salibis kala itu merupakan gabungan dari beberapa Kerajaan Kristen yang disebut Liga Kepausan. Pertarungan pun pecah dengan begitu sengit. Sayyidah Hurra memimpin pasukan tersebut untuk terus bertahan, yang bahkan dijuluki oleh Kristen Eropa sebagai “Bajak Laut dari Afrika Utara”.

            Maka ketika di Laut Tengah bagian Barat, Sayyidah Al-Hurra mempertahankan wilayah Maroko, -mulai dari kota Fez, Koiruan, Casablanca, Rabat, Marakesh-, yang dijadikan sasaran oleh pasukan salibis, maka di wilayah Timur Laut Tengah, militer Turki Ustmani yang dipimpin oleh Khairuddin Barbarosa pun juga memimpin pasukannya.

            Setelah suaminya wafat, maka tak lama ia dipinang oleh Sulthan Maghrib, dalam kondisi sedang di medan jihad melawan kaum salibis. Maka Sayyidah Al-Huraa ini pun menerimanya namun dengan syarat ia yang didatangi di kota Tetuan, karena ia tak mau meninggalkan medan jihad dan perjuangannya. Sehingga ia menjadi satu- satunya istri Sulthan yang dinikahi bukan di istana yang berada pusat kota, karena keteguhan dan visinya yang tidak goyah untuk melawan para musuh Islam itu dan berjaga- jaga di perairan timur laut tengah dari Kerajaan Portugis dan Spanyol.

            Wallahu a’lam bish showab.

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar