Ketika
kaum muslimin tidak lagi menjadikan syariat sebagai tolak ukurnya, perpecahan
terjadi dimana- mana, dan hanya dunia yang menjadi orientasi hidupnya, maka
kemorosatan adalah perkara yang pasti terjadinya. Khamr menjadi biasa, penguasa
yang tidak lagi seusai dengan standar syariat-Nya, perempuan pun menjadi
penghibur kaum pria.
Diantara bukti kemorosotan itu kita bisa
menyaksikan kondisi Andalusia, dimana Granada (Qaranutah) kala itu menjadi
benteng terakhir kaum muslimin di Andalusia. Pada tahun 1492 M pun akhirnya
jatuh dibawah pasukan salibis, dimana kekuatan mereka adalah gabungan dari
Kerajaan Kastilia dan Kerajaan Aragon dengan pasukan yang ingin merebut wilayah
Eropa yang sudah dikuasai oleh kaum muslimin.
Sulthan Ali Abdullah pun menyerahkan kunci istana Granada yaitu istana
Al-Hambra kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, namun memberikan syarat agar
tidak menyiksanya. Sulthan tersebut pun harus meninggalkan Granada dengan
sangat sedih menuju ke Maghrib (Maroko dan Tunisia).
Pada
tahun itulah Sayyidah Al-Hurra di usia 7 tahunnya menyaksikan kondisi yang
sangat menyedihkan tersebut. Karena pasukan salibis sangat kejam juga telah
melanggar perjanjian, maka mereka pun menyiksa dengan begitu keji, membakar,
dan mebunuh kaum muslimin dan kaum Yahudi disana. Jika mereka tidak mau masuk
dalam agama Katholik, maka mereka hanya memberi dua pilihan yaitu tetap di
Granada namun mati, atau harus pergi.
Kaum
muslimin pun banyak yang berhijrah ke Maroko atau ke Timur wilayah Turki
Utsmani yang kemudian disambut oleh Sulthan Salim I (cucu Muhammad Al Fatih dan
ayah dari Sulthan Sulaiman Al-Qanuni), termasuk Sayyidah Al-Hurra beserta
keluarganya. Dikarenakan ia dan keluargnya masih keturunan dari Hasan bin Ali
bin Thalib, keturunan para syarif, maka keluarga beliau pun diberi tempat
tinggal di kota Tetuan, yang dipimpin oleh penguasa bernama Al-Mandari. Setelah
tinggal disana, ia pun dinikahi oleh penguasa tersebut.
Setelah
menjadi istri, atas izin suaminya ia pun membentuk angkatan laut, untuk
mempertahankan wilayah kaum muslimin di wilayah Afrika Utara, dengan
mempersatukan militer dari kesultanan Maroko dan Turki Ustamani. Pasukan
salibis kala itu merupakan gabungan dari beberapa Kerajaan Kristen yang disebut
Liga Kepausan. Pertarungan pun pecah dengan begitu sengit. Sayyidah Hurra
memimpin pasukan tersebut untuk terus bertahan, yang bahkan dijuluki oleh
Kristen Eropa sebagai “Bajak Laut dari Afrika Utara”.
Maka
ketika di Laut Tengah bagian Barat, Sayyidah Al-Hurra mempertahankan wilayah
Maroko, -mulai dari kota Fez, Koiruan, Casablanca, Rabat, Marakesh-, yang
dijadikan sasaran oleh pasukan salibis, maka di wilayah Timur Laut Tengah,
militer Turki Ustmani yang dipimpin oleh Khairuddin Barbarosa pun juga memimpin
pasukannya.
Setelah
suaminya wafat, maka tak lama ia dipinang oleh Sulthan Maghrib, dalam kondisi
sedang di medan jihad melawan kaum salibis. Maka Sayyidah Al-Huraa ini pun
menerimanya namun dengan syarat ia yang didatangi di kota Tetuan, karena ia tak
mau meninggalkan medan jihad dan perjuangannya. Sehingga ia menjadi satu-
satunya istri Sulthan yang dinikahi bukan di istana yang berada pusat kota,
karena keteguhan dan visinya yang tidak goyah untuk melawan para musuh Islam
itu dan berjaga- jaga di perairan timur laut tengah dari Kerajaan Portugis dan
Spanyol.
Wallahu
a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar