Pages

Minggu, 21 Juli 2024

Hijrah: Meninggalkan Kekuasaan Oligarki Liberal Menuju Kemenangan Islam dan Kemuliaan Kaum Muslimin

 Pembukaan

            Ketika Khalifah Umar bin Khattab menentukan awal penanggalan tahun bagi kaum muslimin dengan hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah, tak lain dan tak bukan sebab di masa itulah kondisi kaum muslimin sangatlah berubah dari fase sebelumnya di Makkah. Di mana ketika di Makkah mereka direndahkan, diancam, disiksa, dikriminilasisasi, diusir, bahkan dibunuh hanya karena memegang kalimat tauhid, menjalankan perintah agamanya, dan menyampaikan kebenaran yang diyakininya. Tiga belas tahun lamanya mereka menanggung dengan penuh kesabaran dan keteguhan namun tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan melindungi diri mereka serta agamanya. Maka ketika telah turun perintah, Rasulullah saw dan kaum muslimin pun hijrah, dimana persitiwa itu menjadi pemisah antara dua fase yang berbeda, dimana Islam memiliki kekuasaan yang menjaga. Oleh karenanya peristiwa itu disebut oleh Umar bin Khattab: dzuhurul Islam wa i’zazul muslimin (Kemenangan Islam dan kemuliaan bagi kaum muslimin)

            Peristiwa Baiat Aqabah kedua menjadi saksi, dimana sejak itu Rasalullah saw telah diangkat menjadi pemimpin negara bagi penduduk di Madinah. Dimana para pemuka kabilah, yang sekaligus para panglima perang yang telah membaiat Rasulullah saw sebagai bentuk penyerahan kekuasaan, perlindungan dan keloyalitasan mereka yang tak akan memihak kepada siapapun selain pada Islam dan Rasul-Nya. Rasulullah saw menjadi kepala negara mereka selama 10 tahun yang kemudian kepemimpinan itu dilanjutkan oleh para sahabat, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, juga khalifah- khalifah setelahnya selama 13 abad lamanya. Hingga akhirnya kekuasaan Islam yang telah menyatukan seluruh negeri kaum Muslimin itu lenyap, sehingga tidak ada lagi kekuasaan, perlindungan, keamanan, dan kemuliaan bagi umat ini.

Kekuasaan dan Penguasa Kaum Muslimin Hari Ini

            Adapu kekuasaan hari ini banyak sekali kita dapati kejanggalan, dan kezaliman. Kezaliman itu bermuara pada perpolitikan para oligarki yang menjadikan sekuler dan liberal sebagai asasnya. Dengan itu mereka melakukan segala cara untuk meraih kekuasaan, dan mempertahankannya. Seorang pemikir bernama Hedrick Smith mengatakan dalam bukunya: “Unsur terpenting politik Amerika adalah money, money dan money”. Indonesia sebagaimana Amerika yang merupakan negara demokrasi pun demikian pula adanya. Maka tak heran jika seorang tokoh politik yang mengatakan “Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu untuk membayar itu”.

Fakta membuktikkan hal itu, dimana biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon penguasa tidaklah sedikit. Roharmuzy mengatakan bahwa untuk menjadi anggota DPR membutuhkan dana sebesar 10- 14 milyar. Muhaimin Iskandar juga megatakan untuk menjadi walikota Jakarta membutuhkan dana hingga 40 milyar. Sedangkan gaji mereka pun ketika sudah menjabat tidak akan mencapai angka tersebut. Maka jelas, jika para calon bukan berlatar belakang pengusaha pasti akan disokong oleh para investor dan kapitalis. Uang benar- benar penentu untuk meraih kekesuaan. 

Pork Barrel Politic

Di dalam demokrasi ada strategi politik yang disebut dengan Pork Barrel Politic. Suatu strategi politik dengan cara membuat berbagai program dalam pemerintah dengan menggunakan dana APBN, dalam rangka untuk mendapatkan kepoluleran di tengan rakyat, demi kepentingan dirinya, partainya, atau orang yang didukungnya sehingga masyarakat akan memilih siapa yang dipilihnya. Program real ini bisa berbentuk Bansos (Bantuan Sosial) atau pembangunan infrastruktur seperti transportasi umum, jalan, dan yang lainnya. Pork Barrel ini tidak hanya terjadi di pusat, namun juga tingkat provinsi hingga daerah. Hal ini mengakibatkan adanya populisme dan terbentuknya manipulasi opini public.

            Ketika sejumlah koalisi besar menguasai jabatan mulai dari presiden, Menteri, DPR, MPR, maka pengaruh mereka untuk menetapkan kebijakan termasuk penetapan UU sangatlah signifikan. Maka lahirlah berbagai Undang-Undang yang disahkan mengundang kontroversi lantaran nampak untuk memuluskan agenda para oligarki dan investor, seperti revisi UU Minerba No.3 tahun 2020, revisi UU KPK No.19 tahun 2019, UU Perppu Covid No.1 tahun 2020, UU Omnibus Law no.11 tahun 2020 dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan populis otoriter, dimana kepopularitas penguasa lantaran gaya kampanyenya yang nampak menarik, dan program- program yang menunjukkan kepeduliannyanya terhadap rakyat, kendali penuh terhadap para perancang UU seperti para anggota legislatif, termasuk bentuk otoriter terhadap kelompok kritis di tengan rakyat -yang lagi- lagi dengan perumusan UU-, penguasa pun dapat dengan mudah menetapkan kebijakan yang menguntungkan kapitalis, investor dan oligarki yang merupakan sekelompok kecil yang memiliki kendali terhadap politik, hukum dan ekonomi.

              Populis otoriter adalah perkara yang sangat berbahaya bagi kita semua, karena dengan itu para penguasa mampu mengendalikan tiga komponen penting, yaitu rakyat yang mendukungnya karena kepoluritasannya, para pejabat negara pemegang kebijakan (baik yudikatif, eksekutif, legislative, juga apparat keamanan) yang dikendalikannya dengan give and take, juga ormas yang ditekan daya kritisnya dengan UU, maka ia akan terus mampu mengendalikan perpolitikan dalam jangka waktu panjang dalam periode sebanyak- banyaknya. Semuanya itu untuk melayani oligarki, kapitalis, dan investor.

            Maka jika hari ini rakyat merasa baik- baik saja, karena bisa makan, sekolah, memiliki tempat tinggal, mendapat keamanan, bisa beribadah tanpa ada halangan, sungguh ini menjadi tugas besar bagi kita untuk melakukan tasqiful ummah (pembinaan kepada umat). Karena berbagai kemudahan yang sudah memuaskan bagi mereka lantaran membandingkan dengan kondisi di orde lama. Akan tetapi bagi orang- orang yang mau berfikir mendalam maka akan menemukan bahwa di balik semua kemudahan ini ada banyak perkara yang perlu dicermati, dikritisi dan diperbaiki. Apakah rakyat rela ketika jalan tol dibangun sehingga mempercepat perjalanan, namun nyatanya semua itu harus dibayar dengan pajak? Apakah rakyat rela mendapat bansos 600 ribu rupiah dan sejumlah sembako dalam beberapa waktu sedangkan bergunung- gunung emas diambil para kapitalis karena UU yang dilegalkan penguasa? Apakah rakyat rela mendapat pendidikan yang gratis namun pendidikan itu membodohi mereka agar tidak kritis terhadap para penjajah, kapitalis, oligarki, dan investor yang terus meraup SDA-nya?

Jika umat ini tidak sekedar melihat yang nampak di permukaan saja, maka umat akan sadar bahwa kita memiliki problem besar yang harus difahami akar problem tersebut, seperti apa standarisasi yang benar dalam pengurusan umat baik dari aspek pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Dengan adanya pembinaan maka umat akan sadar bahwa tidak ada standarisasi yang lebih baik dan manusiawi selain yang bersumber dari Islam.

Hukum adalah Produk Kekuasaan

            Kerusakan yang terjadi di dalam sistem demokrasi sekuler merupakan kerusakan dari akar. Pada awalnya demokrasi ingin berusaha untuk mengkritik sistem Kerajaan yang menjadikan pembuat dan pelaksana hukum dipegang oleh para penguasa saja, agar menjadi dua hal yang dipisahkan. Maka dibuatlah lembaga legislatif sebagai pembuat hukum dan lembaga eksekutif sebagai penegak dan pelaksana hukum.

            Akan tetapi nyatanya semua itu gagal, karena pada faktanya anggota legislatif dan eksekutif adalah pilihan rakyat dimana rakyat memilih orang- orang yang sama, yang punya kepentingan sama, dari partai yang sama. Anggota legislatif pun dibayar oleh eksekutif. Maka dari itu, hukum yang dirancang oleh lembaga legislatif pun bisa dipesan dan dikontrol oleh lembaga eksekutif seusai keinginan dan kepentingan mereka. Maka jelas hukum itu dibuat karena keinginan penguasa, bukan diangkatnya penguasa dalam rangka menjalankan hukum.

            Hari ini bisa kita lihat hukum dibuat untuk melakukan legitimasi dan melindungi serta menjaga kepentingan agar tetap berjalan mulus sesuai harapan. Di dalam negara kekuasaan yang terjadi seperti hari ini ada tiga yang mereka pegang: ambilah hukum yang berguna untuk kekuasaan, dan rubahlah hukum yang menghalangi kekuasaan, dan buatlah hukum untuk memuluskan kepentingan kekuasaan.

            Inilah yang menjadi pembeda antara sistem demokrasi dengan sistem Islam yakni khilafah. Di dalam demokrasi siyadah wa sulthah (kedaulatan atau pembuat hukum dan kekuasaan) milik umat, walau faktanya adalah milik oligarki, investor dan kapitalis. Sedangkan di dalam Khilafah siyadah (kedaulatan) itu milik syari’ (Allah swt dan Rasul-Nya), sedangkan sulthah (kekuasaan) itu milik umat, yakni penguasa atau Khalifah adalah pilihan umat. Maka penguasa di dalam Islam itu tidak memiliki wewenang untuk membuat hukum, karena tugasnya adalah munafidz ahkam (pelaksana hukum) saja.

            Sistem demokrasi yang berlandaskanan sekulerisme, maka hukum yang dibuat adalah berlandaskan hawa nafsu. Sedangkan  di dalam banyak ayat, Al-quran menggambarkan bahwa hawa nafsu itu pasti bertentangan dengan al- haq (kebenaran) sebagaimana di dalam surat Al- Mu’minun ayat 71. Maka, selama tidak menggunakan sistem yang sudah diwariskan oleh Rasulullah saw dimana semuanya itu dilandaskan oleh wahyu, maka sudah pasti sistem itu hanya dilandasi dengan hawa nafsu manusia. Sedangkan hawa nafsu itu jika diikuti maka akan menimbulkan kerusakan di bumi dan langit serta semua yang ada disana.

Antara Pragmatisme Politisi dan Apatisme Masyarakat

            Faktor terbesar yang menjadikan perubahan hari ini terasa begitu berat adalah adanya politisi yang pragmatis dan masyarakat yang apatis. Ketika para politisi hari ini  memberikan  bantuan sosial, membangun berbagai sarana dan fasilitas yang penuh dengan kemewahan masyarakat pun terpana dan tersandra. Hal itu tak lain karena: pertama, merosotnya taraf berfikir mereka yang menjadikan kebahagiaan hanya sekedar beruba fisik dan terpenuhinya kebutuhan perut. Kedua adalah sudah begitu jauhnya pelayanan penguasa untuk masyarakat dari standar kelayakan, sehingga ketika diberi bantuan yang tak seberapa menjadi sesuatu yang nampak begitu berharga. Padahal sejatinya penguasa yang memiliki power dan wewenang, sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya bisa memberi jauh dari apa yang mereka tunjukkan sekarang.

            Para penguasa yang pragmatis ini pun ketika memberikan bantuan dan membangun fasilitas fisik untuk rakyat pun bukan tanpa tujuan, karena bagi mereka politik itu transaksional. Semua itu mereka lakukan tak lain untuk mencari muka agar rakyat terus berada di pihaknya dan mendukung siapapun yang didukungnya.   

Hijrah: Langkah Perubahan

            Hijrah secara bahasa bermakna at-tarku (meninggalkan), dimana para ulama mendefinisikan dengan tarki authan (meniggalkan tanah air) yakni intiqal min dar kufr ila dar islam (berpindah dari negeri kufur menuju negeri Islam), atau ada juga yang mendifiniskan hujran itsm wa ‘udwan  (meninggalkan dosa dan permusuhan), atau ada yang mengatakan al muhajir man hajara ma nahallah ‘anhu (orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang)

Perubahan harus didasarkan pada kesadaran dan dilandasi dengan keimanan. Karena hanya dengan itulah maka sesorang yang hijrah akan istiqomah dan teguh memegang kebenaran.

Oleh karena itu ketika kita ingin mengajak umat ini untuk berubah maka umat ini harus disadarkan terlebih dahulu. Bagaikan orang yang sakit, jika ia tidak sadar bahwa dia sedang sakit maka ia tak akan berusaha mencari dokter dan meminta obat. Penyadaran umat secara keseluruhan memang perkara yang mustahil, akan tetapi perubahan umat agar mereka mau menegakkan Islam perkara yang sangat mungkin diwujudkan.

Penyadaran itu harus dimulai dari tiga hal, yaitu adanya pembinaan masyarakat dari berbagai kalangannya, suatu kelompok atau partai yang senantiasa menjadi motor penggerak, dan para tokoh yang senantiasa ada silih berganti di tengah masyarakat.

Hijrah juga itu harus senantiasa dilandasi oleh keimanan, yakni ketika Allah swt dijadikan sebagai satu- satunya alasan dan tujuan, kecintaan kepada-Nya jauh lebih besar daripada apa yang dimiliki, dan ketika loyalitas hanya kepada Allah swt saja. Dengan begitu segala resiko, kesulitan, tantangan dan pengorbanan dalam hijrah itu akan terasa nikmat dan ringan, karena dengan itu seorang yang beriman akan semakin dekat dengan ridho-Nya. Rasa takut kepada apapun kepada selain-Nya juga akan mudah untuk dilawan. Allah swt pun akan ganti dengan kelapangan dan keberlimpahan sebagaimana di dalam An-Nisa ayat 100.

Oleh karena itu jika jangan sampai para pemilik kekuasaan hari ini yang kelak akan Allah swt mintai pertanggungjawaban akan mendapatkan penyesalan karena siksa-Nya di neraka, lantaran mereka tidak mau melakukan hijrah dengan berbagai alasan yang dibuat-buatnya, sebagaimana yang Allah swt jelaskan di dalam surat An-Nisa ayat 97.

Maka perubahan itu harus kita mulai dengan senantiasa menjadikan Rasulullah saw sebagai teladan. Dimana kekuasaan yang beliau bangun berawal dari hijrahnya mereka dari suatu tempat dan keluarga yang sangat mereka cintai. Akan tetapi karena keyakinan akan pertolongan-Nya, dan negara itu dibangun semata- mata karena perintah-Nya, maka dengan itu Allah swt mengokohkan kekuasaan itu bahkan dapat menaklukkan Persia dan Romawi dimana merupakan imperium terbesar kala itu. Negara yang dibangun ini menjadi peradaban terbaik, terbesar, terkuat, terlama dan menjadi adidaya, bukan karena semata- mata bangunan fisik atau kemewahannya, akan tetapi karena pemikiran yang cemerlang yang dimiliki oleh para pemimpin juga rakyat yang dipimpinnya.

Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk terus berdakwah di tengah umat dengan memaparkan kerusakan yang sudah nyata yang semua itu adalah akibat dari kemaksiatan yang terus dilakukan oleh manusia hari ini. Kemaksiatan berupa meninggalkan kewajiban dari-Nya dan terus melakukan perkara yang dilarang-Nya. Kemaksiatan yang terus dilakukan secara komunal dan struktural, sehingga dampaknya pun dirasakan secara komunal.

Wallahu a’lam bish showab.

Minggu, 19 Mei 2024

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 5): Cintai Cinta-Nya


            Memiliki keturunan adalah harapan setiap pasangan di sepanjang zaman. Namun tidak ada yang memiliki kuasa untuk menetapkah hal itu, melainkah Allah swt. sebagaimana firman-Nya:Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”. Ayat ini menjelaskan bahwa ada lima perkara ghaib dimana manusia memang tidak memiliki kuasa untuk mengetahui dan mengaturnya.

            Ketika pasangan belum diberikan keturunan maka yang perlu difahami, pertama dan yakini, bahwa setiap ujian pasti akan Allah swt beri sesuai kadar kemampuan hambanya. Kedua, bahkan ujian tersebut harus disyukuri, karena di dalam al-Quran Allah pun memberi ujian tersebut kepada orang- orang terpilih, mulai Nabi Ibrahim, istri Nabi Zakariya, juga istri Imran. Mereka pun tak hanya sedih, namun juga dicemooh dan divonis oleh orang- orang disekitarnya bahwa mereka mandul. Tak hanya itu wanita- wanita yang paling mulia yang berada di sisi manusia termulia pun juga Allah uji dengan tidak diberikan keturunan, yaitu para istri Rasulullah, seperti Aiysah, Hafshah, Ummu Salamah, juga Saudah dan lainnya. Bahkan Imam Syafii, pun setelah mengembara ilmu dari Palestina, ke Makkah, ke Mesir, lalu ke Baghdad, selama 20 tahun lamanya, dan setelah selama itu istrinya baru bisa mengandung. Oleh karena itu, ujian semacam ini hanya Allah berikan kepada manusia pilihan yang mana Allah pasti mengetahui bahwa hambanya mampu untuk menghadapinya.

            Ketiga, harus difahami juga bahwa sepasang suami istri sebagaimana manusia biasa, mereka hanya Allah minta untuk memaksimalkan ikhtiar, mulai dari do’a dengan terus berhunsuudzon kepada-Nya, konsultasi ke dokter jika memang diperlukan tanpa perlu terburu- buru, juga melakukan berbagai ikhtiar kesehatan, termasuk bermain hujan, dimana hal itu juga disarankan oleh ulama, seperti Imam Ibnu Qayim Al-Jauzi, berdasarkan ayat Al- Quran, bahwa dari airlah Allah menghidupakn segala yang mati, dan menghidupkan berbagai macam makhluk hidup.

            Merupakan bagian dari kesalahan apabila kita sebagai seorang muslim, menuntut, menyalahkan, menekan, atau menyakiti hati saudara atau bahkan pasangan kita, ketika tak kunjung diberikan keturunan, padahal yang bisa memberi keturunan muthlaq hanya Allah saja. Maka seharusnya sepasang suami istri bisa saling memahami, menguatkan, dan menciptakan kebahagiaan bersama agar tidak stress, yang justru berdambak pada hormon dan kesuburan.

            Manusia hanya bisa berikhtiar, namun tetap Allah yang memiliki rencana terbaik. Dan tidak ada kehidupan kecuali pasti diliputi dengan ujian, dan tidak ada rumah tangga pasti Allah limpahkan berbagai cobaan, yang semua itu bisa menjadi ladang pahala yang berlimpah jika senantiasa ikhlas, ridho, sabar, tawakal, dengan terus berikhtiar menjalankan segala perintah-Nya.

Wallahu a’lam bish showab.

 

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 4): Hijab, Bukan Topeng!


            Ketika Islam memerintahkan muslimah untuk berhijab, maka semata- mata untuk menjaga kehormatannya, juga agar ia tidak diganggu. Maka ketika ia mengenakannya, maka harus senantiasa sadar bahwa hal itu merupakan bagian dari kewajiban, yang tentunya juga harus disertai dengan menjalankan kewajiban- kewajiban yang lainnya, seperti menjaga lisannya, pandangannya, tingkah laku, pergaulannya dengan lawan jenis, juga akhkak- akhlak lainnya. Hijab bukan dikenakan untuk menutupi keburukan- keburukannya agar tidak ada orang yang memandangnya melainkan ketaatan.


            Termasuk yang sangat perlu dijaga oleh seorang muslimah adalah ketika ia mengkepresikan rasa cintanya. Seorang shahabiyah dari kalangan anshar pernah suatu ketika mengungkapkan cintanya kepada Rasulullah, di saat Rasulullah berada di suatu majelis dengan para sahabat. Di depan mereka shahabiyah ini dengan berani menawarkan dirinya agar Rasul menikahinya. Namun setelah mendengar itu, Rasulullah memalingkan mukanya, sehingga shabiyah pun mengerti jawaban Rasul, maka ia pun pergi. Anas bin Malik yang ketika itu melihat para shahabiyah yang lain memnggunjingnya, maka Anas pun menegur mereka dan mengatakan bahwa perempuan tersebut lebih mulia dibandingkan mereka, karena ia mengungkapkan cinta agar menjadi hubungan yang halal, dan itu lebih menjaga hati serta kehormatannya, meskipun ditolak.

            Ketika seorang muslimah mengagumi sosok laki-laki karena ilmu, akhlak dan keshalihannya, maka hal itu boleh saja, asalkan tidak berlebihan dan harus memahami batasan, dan menjadikan cintanya semata- mata karena ukhuwah, keilmuan dan ketaatannya.

            Islam memerintahkan muslimah tuk menjaga izzah (kehormatan) dan iffahnya yaitu (kesuciaan). Hal itu harus diwujudkan baik di dunia nyata ataupun di dunia maya. Hijab bukan menjadi penghalang untuk berinteraksi dengan orang lain selama dalam batas yang dibolehkan syariat. Begitu juga ketika di media sosial, maka jangan sampai ia menjadi wasilah tuk menambah dosa, lantaran ia tidak menjaga dirinya dari pandangan laki- laki, terlebih jika menampilkan dirinya dengan penuh menggoda juga dapat memancing pandangan liar.

            Pakaian muslimah pun memiliki ketentuan, tidak sembarangan, yaitu menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, tidak transparan, tidak membentuk tubuh, tidak menyerupai pakaian laki- laki, tidak menyerupai pakaian orang kafir, dan tidak terlalu mencolok (tabaruj), juga harus dengan khimar dan jilbab.

Wallahu a’lam bish showab

 

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 3): Membidadarikan Diri

            Suatu ketika Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasulullah, terkait mana yang lebih mulia, antara wanita sholihah yang masuk surga, atau bidadari surga? Maka Rasulullah saw pun menjawabnya bahwa wanita sholihah yang lebih mulia, karena ia dimasukkan surga karena usahanya untuk menjadi sosok yang sholihah. Bahkan perbandingan antara keduanya layaknya batu berlian dengan batu biasa, atau seperti kenyataan dan bayang- bayang saja.

            Hal itu dikarenakan perempuan dunia yang sholihah, bisa meraih derajat dan kedudukan di surga harus melalui berbagai proses dan perjuangan yang panjang. Ia harus sholat, puasa, shodaqoh, dan melakukan berbagai ketaatan dan perintah lainnya, juga melalui berbagai ujian di dunia. Sedangkan bidadari surga tidaklah sama sekali mendapat perintah itu semua, apalagi ujian dunia yang terus- menerus tiada ujungnya. Sebagaimana yang Allah katakan: Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung” (Al- Waqi’ah: 35).

            Wanita sholihah memiliki kecantikan yang jauh lebih tinggi bahkan dikatakan oleh Rasulullah sampai 70 ribu kali lipat dari bidadari surga ketika mereka telah mendapatkan surga-Nya, karena ketaaatannya selama di dunia. Mereka akan ditempatkan di istana- istana surga seperti yang Allah katakan: “(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'adn”  (At- Taubah: 72). Sedangkan para bidadari mereka Allah letakkan di dalam kemah- kemah, sebagaimana friman-Nya:(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah.” (Ar- Rahman: 72)

            Jika bidadari surga Allah gambarkan di dalam Al-Quran yang memiliki mata jeli, buah dada yang montok, berusia muda- muda, maka wanita shalihah yang mereka masuk surga karena ketaatannya, ia akan jauh lebih menarik dan tinggi derajatnya. Para wanita ini yang juga akan dipasangkan dengan pasangan- pasangan mereka yang sahlih selama di dunia. Maka kedudukan para pelayan muda dari laki-laki di surga, juga para bidadari tidaklah lebih tinggi dari laki- laki shalih dan perempuan shalihah yang karena ketaatan mereka, menjadikan mereka masuk ke dalam surga-Nya. Kenikmatan memandang bidadari, juga para pelayan muda pun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kenikmatan memandang Allah disana.

            Oleh karena itu seorang muslimah harus senantiasa memantaskan dirinya agar bisa meraih derajat tersebut. Sosok shalihah adalah yang qanitah (taat) kepada Rabb-Nya, juga hafidzah yakni yang mau menjaga kehormatannya, juga rahasia dan harta suaminya. Juga senantiasa memberi teladan dan inspirasi dalam kebaikan bagi muslimah lainnya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, dengan tetap menjaga hati dan dirinya dari segala yang dilarangnya. 

Wallahu a’lam bish showab.

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 2): Kesetaraan yang Terindah


            Ketika peradaban- peradaban berbagai agama begitu merendahkan kedudukan perempuan, bai itu Yunani, Romawi, Mesopotamia, India, Hindu, Kristen, juga Arab Jahiliyah, maka Islam datang tuk meninggikan dan menjaganya dengan penjagaan serta penghormatan terbaik. Islam datang bagai pelita bagi kegelapan yang ada di masa itu, dimana kala itu wanita dipandang sebagai makhluk kedua, objek pemuasaan pria, juga layaknya barang yang bisa diperjual belikan dan diwariskan, bahkan layak untuk dibunuh lantaran malu tuk membesarkannya. Tak hanya itu bahkan ia pun bisa mendapat predikat wanita yang setia ketika siap mati ketika suaminya meninggal. Islam dengan syariatnya pun menghapuskan semua itu dan menjadikannya makhluk yang mulia, dan dalam pandangan Rab-Nya tidak ada yang membedakan dengan pria, melainkan  karena ketaqwaan saja. 


            Namun kesalahpahaman menjadikan kaum wanita hari ini menunutut adanya kesataraan. Padahal munculanya gerakan feminis atau kesetaraan gender ini muncul di tengah peradaban barat yang dahulu mereka memang benar- benar merendahkan martabat perempuan.

            Maka bagi kita cukup kembali kepada syariat Islam, dimana Allah sudah memberi tugas, kewajiban, dan perintah sesuai dengan fitrah manusia, baik laki- laki maupun perempuan. Jika kita melihat para shahabiyah juga istri- istri Nabi, maka kita tahu bahwa Islam tidak sama sekali melarang perempuan untuk berperan di tengah kehidupan, selama dalam perkara yang tidak dilarang. Khadijah yang merupakan saudagar kaya, Aisyah menjadi guru para sahabat, juga Hafshah dan Asy-Syifa menjadi pakar kedokteran yang memiliki peran besar di Madinah juga dalam peperangan. Artinya perempuan boleh untuk memiliki peran dalam ranah publik selama ia tidak menginggalkan kewajiban utamanya di dalam rumah, dan semua itu dia niatkan untuk berkhidmat pada Islam dan kaum muslimin.

            Adapun dalam kepemimpinan, maka Islam melarang perempuan untuk memegang kepemimpinan yang memegang kebijakan. Hal itu berdasarkan hadits Nabi yang telah beliau tuturkan, dimana hal itu pasti memiliki hikmah yang besar, karena memang Allah sudah memberikan kelebihan kepada laki- laki yang bisa memikul kewajiban besar tersebut.

            Perempuan sangatlah dimuliakan di dalam Islam. Ketika ia menjadi seorang anak, maka Rasulullah bersabda bahwa siapa yang membesarkan dan mendidik anak perempuannya dua atau tiga maka baginya surga. Ketika perempuan menjadi istri, maka Rasulullah bersabda bahwa laki- laki yang terbaik adalah yang paling baik terhadap istrinya. Ketika perempuan menjadi seorang ibu, maka maka Rasulullah memerintahkan kepada anaknya untuk bebakti kepada ibunya tiga kali lipat dari ke ayahnya. Tentu karena Allah swt telah memberikan kewajiban besar kepada ibu, yang tidak akan mampu tuk dijalankan oleh ayah, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui.

            Dalam urusan rumahtangga, ketika Allah menwajibkan suami tuk memberi nafkah, termasuk di dalamnya memberi makan dan pakaian, maka terdapat ulama yang berpendapat bahwa kesempurnaan memberi nafkah tak hanya memberi uang, namun juga hingga menyediakan makanan, dan menyuapkannya. Begitu pula kewajiban memberikan pakaian, juga termasuk memakaikannya.

            Ketika Islam menetapkan warisan bagi laki- laki 2 kali lipat dari perempuan, maka hal itu karena laki- laki memiliki peran yang berbeda dimana ia harus memberi mahar dan nafkah. Adapun dalam karir, maka Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja, namun Islam menekankan bahwa perempuan memiliki tiga kewajiban yang itu harus benar- benar diperhatikan, yaitu mengandung, melahirkan, menyusui, yang mana semua itu menjadi ladang pahala yang setara seperti jihad fi sabilillah.

            Maka, apabila feminisme dihadapkan dengan peradaban barat, maka hal itu menjadi relevan, namun jika dihadapkan dengan Islam, maka hal itu menjadi sesuatu yang tidak masuk akal karena Islam tanpa feminisme pun sudah sangat jauh memuliakan perempuan.

            Sehingga ketika Kartini, Ratu Ageng Tegalrejo, dan Tengku Fakinah, dan tokoh- tokoh Muslimah Nusantara dan lainnya yang memiliki peran besar bagi perjuangan juga pemberian hak bagi para wanita, maka bukan karena untuk melawan budaya Nusantara atau jawa, karena di Nusantara sendiri telah mengenal Islam sejak lama. Akan tetapi yang mereka lakukan adalah dalam rangka untuk melawan budaya Barat yang telah tersebarkan.

Wallahu a’lam bish showab.

Agar Bidadari Cemburu Padamu (Bagian 1): Allah Sebaik- baik Pemberi Kasih Sayang


            Banyak muslimah merasa insecure karena fisik, penghasilan yang belum mapan, prestasi yang biasa saja, atau jodoh yang tak kunjung datang sedangkan usia terus bertambah tanpa terasa. Padahal semua hal itu termasuk perkara yang diluar kuasanya sebagai manusia, perkara yang pada dasarnya tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya.

Maka agar tidak menjadi sebab yang membuatnya insecure, sudah seharusnya ia mengingat kembali betapa berlimpahnya nikmat yang sudah Allah swt berikan, dimana dengan rasa syukur itu ia akan senantiasa merasa bahagia. Rasulullah pernah mengingatkan kita: “Barangsiapa di antara kalian yang memasuki waktu pagi dalam kondisi sehat badannya, hatinya aman dan tentram, serta memiliki makanan untuk hari tersebut, maka seakan-akan dia memperoleh dunia dan seisinya”. Allah pun juga telah berfirman: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nahl: 18)

Kemuliaan seorang muslimah tidak diukur dari bagaimana fisiknya, karena Allah swt senantiasa melihat dari hati dan amalnya sebagaimana sabda baginda. Begitu juga bukan dinilai dari kemapanan materi dan pekerjaannya, karena pada dasarnya rezeki itu adalah yang bisa dinikmati dan didapatkan dari sumber yang diridhai-Nya. Begitu juga karena prestasinya, karena setiap manusia pasti Allah beri potensi istimewa yang terkadang ia belum menyadari bahkan tak dimiliki oleh selain dirinya. Begitu juga jodoh, karena nyatanya dua perempuan mulia yang Allah muliakan di dalam Al-Quran, yakni Maryam dan Asiyah binti Muzahim kemuliaannya bukanlah karena pasangannya. Maryam, seorang wanita sholihah, ahli ibadah, yang sangat menjaga kehormatannya, sangatlah ditinggikan kedudukannya meski ia tak menikah hingga akhir hayatnya. Bahkan karena kesuciannya, ia Allah pilih untuk memegang amanah besar, dimana dari rahimnya lahir sosok yang akan menyampaikan risalah Rab-Nya. Begitu pula Asiyah yang berada disisi sosok lelaki yang kejam, zalim, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan bagi seluruh manusia. Namun ia Allah tinggikan, semata- mata karena ketaatannya pada Rab-Nya, keteguhannya dalam memegang dan menyampaikan kebenaran hingga akhir hidupnya.

Oleh karena itu perempuan di dunia yang menjadikan bidadari surga cemburu padanya adalah perempuan yang shalihah, taat, serta yakin akan janji-Nya, dekat dengan Rabb-Nya, tunduk atas perintah-Nya, sabar atas segala ujian, teguh dalam kebenaran hingga khir hayatnya. Sama sekali bukan karena fisiknya, materi, prestasi ataupun sosok yang mendampingi hidupnya.

Wallahu a’lam bish showab

Selasa, 23 April 2024

Nyai Walidah, Kebangkitan Kaum ‘Aisyah

 

            Nyai Walidah adalah sosok yang memiliki peran besar dalam membina, dan mendidik para muslimah di masanya. Lahir dan besar di daerah Kauman Yogyakarta, yang merupakan putri dari Kyai Muhammad Fadhil seorang penghulu dan penasehat kraton Yogyakarta. Kemudian ia dinikahkan dengan sepupunya, Kyai Ahmad Dahlan yang merupakan putra dari kakak ayahnya, seorang penghulu kraton juga khatib di Masjid Gede Kauman, yang bernama Khatib Abu Bakar. Kala itu penghulu adalah jabatan yang memiliki tugas untuk dalam urusan keagamaan di keraton. Dari nasab keduanya, mereka adalah keturunan para ulama dan bangsawan yang juga tersambung dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.

            Setelah menikah, ia dan suaminya membuat berbagai macam pengajian, dimana Kyai Ahmad Dahlan sendiri mendirikan berbagai kelompok pengajian dan di berbagai tempat dengan nama yang berbeda- beda, seperi kajian wal fajri, wal ‘ashri di Wirobrajan, al- ikhwan, juga Al-Ma’un di Kauman. Adapun Nyai Ahmad Dahlan atau Nyai Walidah membuat pengajian khusus ibu- ibu yang dinamakan Sopo Tresno, yang tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di Solo, Pekalongan, juga Surabaya, dimana sesekali Kyai Ahmad Dahlan mengisi dalam pengajian tersebut.

            Pada tahun 1912, Muhammadiyah berdiri, dan pada tahun 1915 Nyai Ahmad Dahlan mengusulkan kepada suaminya agar mendirikan organisasi khusus untuk perempuan. Kemudian atas nama pengajian Sopo Tresno, -karena ketika itu masih dalam penjajahan-, maka ia pun mengajukan proposal perizinan kepada pemerintahan kolonial Belanda untuk mendirikan organisasi khusus perempuan yang kemudian dinamakan dengan Aisiyah, yang dinisbatkan kepada ibunda Aisyah binti Abu Bakar, yang identik dengan ilmunya yang sangat luas. Dengan harapan organiasasi ini dapat mendidik para muslimah untuk menjadi sosok yang hebat tak hanya dalam peran domestik, namun juga memiliki keilmuan yang mumpuni.

            Pada tahun 1917, Aisiyah dimasukkan dalam organisasi Muhammadiyah, bahkan pada tahun 1923 pun ketika suaminya wafat, Aisiyah terus berkembang pesat. Sehingga dari sana para pengurus Muhammadiyah dari kaum laki- laki tidak perlu lagi untuk mengurus kaum ibu dalam aktivitas organisasinya.

            Pada tahun 1926, diadakan sebuah kongres Muhammadiyah, dimana Nyai Walidah sebagai ketuanya. Selain menjabat sebagai pengurus pusat Aisiyah, ia juga sebagai ketua hobestur Muhammadiyah. Bahkan selain aktif mengurus Aisiyah, ia juga berperan dalam pembinaan kepanduan putri di Hizbul Waton.

            Melalui Aisiyah ini, Nyai Ahmad Dahlan juga berusaha agar dapat membentengi akidah muslimah- muslimah, agar mereka dapat membentengi akidah suami mereka agar tidak melakukan ritual seikerei, yaitu ritual penyembahan dengan ruku dan sujud kepada kaisar dan dewa matahari yang disembah oleh orang Jepang setiap kali matahari terbit, sebagaimana diperintahkan oleh kolonial Jepang kepada setiap rakyat Indonesia yang bekerja di kantor kedinasan mereka.

            Ia juga sosok yang terus mendukung perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, dimana ia menghimbau berbagai cabang Aisiyah di seluruh Nusantara, untuk mendirikan dan mengontrol dapur- dapur umum sebagai bentuk pelayanan terhadap para pejuang. 

            Selain itu di masa revolusi fisik, -dimana ketika itu terjadi rekrutmen TKR (Tentara Keamanan Rakyat)-, ia pun mendorong para aktivis Muhammadiyah untuk masuk ke dinas militer, tanpa melupakan dirinya sebagai kader Muhammadiyah. Bahkan ia juga dijadikan juru bicara Muhammadiyah oleh Jendral Sudirman ketika merekrut para tantara tersebut, karena Jendral Sudirman juga salah satu kader Muhammadiyah dan kader Hizbul Waton yang juga dekat dengan suaminya.

            Pada tahun 1946, ia wafat dan disholatkan di Masjid Sudir Kauman, dimana ketika wafatnya banyak orang yang melayatnya bahkan alun- alun pun meluber. Ia juga dilayat oleh Mr. Aka Pring Gudito dan Menteri Agama HM Rashidi  sebagai perwakilan dari RI. Pada tahun 1971 pun, Presiden Soekarno mengeluarkan SK Presiden pengangkatan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Begitulah sosok Nyai Ahmad Dahlan, sosok ‘alimah, mualimah, daiyah, dan mujahidah yang memiliki visi besar dalam perjuangan, pendidik, dan mengkader umat.

Wallahu a’alam bish showab.

Tengku Fakinah, ‘Alimah Pendidik Para Mujahidah


            Istilah “Tengku” di dalam Aceh adalah julukan bagi seorang ‘alim atau ‘alimah. Tengku Fakinah adalah putri dari seorang ulama, juga keturunan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Tengku Muhammad Sa’ad, yang merupakan keturunan dari Datuk Mahmud, seorang mufti di Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Syah. Di usia mudanya, Tengku Fakinah sudah aktif dalam pengajaran di dayah (pesantren) yang didirikan oleh ayahnya, karena penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu seperti akidah, fiqh, nahwu, shorof, juga hadits.

Ia pun dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang ulama yang juga diminta mengajar disana. Pada tahun 1873 hingga 1879, suaminya terpanggil untuk ikut dalam barisan para mujahid melawan Belanda, yang kala itu sudah mulai masuk ke Kutaraja atau Banda Aceh bersama para panglima, juga kemudian diikuti oleh para santrinya. Suaminya juga mempertahankan wilayah Ulele, hingga akhirnya gugur syahid di sana.

Setelah wafatnya, Tengku Fakinah tetap terus melanjutkan perjuangannya. Ia mendirikan badan amal perempuan, yang memiliki beberapa divisi. Diantaranya adalah divisi perhimpunan, dimana kegiatannya menghimpun uang orang- orang kaya dalam rangka mengajak mereka membayar zakat, juga infaq fi sabilillah, setelah  memahamkan mereka akan kewajiban zakat dan jihad dengan harta, sembari memberi hadiah kepada mereka berupa mushaf al-Quran yang merupakan hasil karya tangan. Terdapat juga divisi logistik, dimana tugasnya membeli kain juga berbagai bahan makanan, seperti beras, daging, ikan, yang nantinya diolah menjadi makanan yang kering dan awet dalam waktu bertahun- tahun, untuk keperluan jihad. Selain itu juga ada divisi pembangunan benteng- benteng, yang terdiri dari perempuan- perempuan yang ahli dalam perancangan. Benteng itu dibuat untuk menjadi kubu- kubu pertahanan dari penjajah Belanda dengan bahan- bahan sederhana, seperti kayu, tanah liat, dan bambu.

Ketika ia harus banyak berunding dengan para panglima, tokoh, dan ulama terkait strategi dan perang, maka ia pun disarankan untuk menikah. Maka ia pun menikah dengan Tengku Nyak Badai, seorang ulama juga mujahid yang memiliki visi yang sama dengannya. Hingga ketika benteng cetwe dihancurkan Belanda, maka ia pun harus mundur ke arah Selatan, di arah Gayo. Disana ia memiliki murid yang sangat terkenal yaitu Cut Nyak Dien, istri dari Tengku Umar. Di masa itu, Tengku Fakinah dan suaminya bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lain, hingga suaminya kembali gugur. Ia tetap terus melanjutkan perjuangannya, termasuk yang paling penting menjadi distributor harta infaq dari orang- orang kaya untuk keperluan jihad, dengan berbagai kebutuhannya.

Suatu ketika ia mendengar Tengku Umar telah menyerah kepada Belanda, bahkan ia diberi sejumlah pasukan dari Belanda dan rumahnya juga telah dijaga oleh para tantara Belanda. Tengku Umar juga akan menyerang markaz- markaz para pejuang dari orang Aceh. Maka Tengku Fakinah pun mengirimkan tiga murid perempuannya untuk bertemu dengan Cut Nyak Dien agar mengingatkan kembali suaminya akan kewajiban jihad. Ia pun mengerimkan sejumlah hadiah kepada Cut Nyak Dien. Tengku Fakinah menulis sebuah surat agar ia menyampaikan kepada suaminya, bahwa apabila suaminya ingin melakukan serangan, hendaknya menghadap kepada pasukan inong balle terlebih dahulu, agar mereka tau mana yang lebih kuat, apakah perwira dari Belanda atau para janda syuhada’. Membaca surat itu maka Cut Nyak Dien pun menangis, dan menjawab suratnya dengan mengirim sejumlah hadiah mahal, berupa emas, kain- kain dan perhiasan untuk disumbangkan dalam jihad. Ia mengatakan kepada Tengku Fakinah bahwa hatinya tidak akan berubah, namun suaminya memiliki suatu pemikiran yang itu adalah bagian dari strategi. Dari jawaban tersebut Tengku Fakinah menjadi lebih tenang, karena pada akhirnya memang apa yang dilakukan oleh Tengku Umar adalah dalam rangka untuk mensiasati pasukan Belanda dan mengambil senjata- senjata yang dimiliki oleh Belanda.

Ketika Belanda terus menyerang benteng- benteng pertahanan bahkan hingga menjarah rumah Tengku Fakinah dan mengambil harta- harta infak untuk jihad, ia pun terus bergerilya ke daerah pedalaman, hingga ke sebuah benteng bernama benteng Anak Galung, yang dipimpin oleh Tengku Cik Ditiro, seorang ulama dan panglima, yang memimpin pasukan yang terdiri dari para ulama dan santri, dimana mereka sudah diambil sumpah untuk terus bertahan dan melawan hingga syahid. Pasukan ini yang menurut Belanda sangat sulit untuk dikalahkan, tidak seperti pasukan lain yang apabila terus- menerus digempur, maka mereka akan menyerah. Tengku Cik Ditiro pun gugur karena diracun oleh salah seorang santrinya yang berkhianat dengan memberikan racun kepadanya.

Namun, dengan tertembusnya benteng tersebut, Tengku Fakinah pun melanjutkan gerilya ke wilayah Gayelues di Selatan Aceh. Ketika Aceh sudah semakin dikuasai oleh Belanda dan pemimpinnya yaitu Sultan Muhammad Daud Syah telah ditangkap, maka ia pun diminta oleh seorang panglima untuk kembali ke kota Aceh untuk mengajarkan berbagai ilmu agama di masyarakat, tepatnya di sebuah wilayah khusus yang diminta oleh panglima tersebut kepada Belanda dalam rangka mengajarkan agama. Ia pun kembali, mengajar dan menjadi pimpinan di sebuah dayah (pesantren) yang dari sana meskipun penjajahan belum usai, namun ia benar- benar mendedikasikan dirinya untuk terus menyebarkan dan memahamkan ilmu kepada masyarakat. 

Pada tahun 1915, Tengku Fakihah hendak melakukan haji, maka ia pun menikah dengan Tengku Ibrahim agar memiliki mahrom. Selama 3 tahun lebih, di tanah haram ia belajar berbagai ilmu, dan bahkan menamatkan hafalan Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Suaminya pun wafat dan dimakamkan disana, kemudian ia pulang dan pada tahun 1919 ia wafat pada usia 75 tahun.

Begitulah sosok Tengku Fakihah, seorang mujahidah, dan ‘alimah yang mengajarkan kita bahwa jihad harus terus dilakukan bagaimana pun kondisinya, baik dengan fisik, harta maupun ilmu. Ia tak hanya mewariskan darah perjuangan, namun juga ilmu yang begitu luas kepada para murid dan pejuang di masanya.

            Wallahu a’lam bish showab.

Ratu Agung Tegalrejo, Pendidik Diponegoro


            Ratu Ageng memiliki nama asli Niken Lara Yuati adalah salah satu putri dari seorang ulama besar yang bernama Kyai Ageng Derpo Yudo, yang memiliki perguruan agama di daerah Perdikan Majajati atau Sragen. Ia juga masih memiliki darah keturunan dari sultan Ampel, sultan Bugis, dan juga sultan Bima.

Sejak kecil ia dididik oleh ayahnya dengan agama yang kuat, juga dengan kemampuan perang, hingga ia memiliki kemampuan memanah, berkuda, menggunakan tombak, pistol dan lain sebainya. Pada akhirnya ia dinikahi oleh Pangeran Mangkubumi, putra dari sultan Mataram, yang ketika itu kekuasannya mencakup wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia tak hanya sosok yang cerdas dan sholihah, namun memiliki keilmuan yang begitu luas.

            Ketika mertuanya, yaitu Sultan Mataram wafat, maka kakak iparnya menggantikan posisi, dimana suaminya pun mendapatkan jabatan yang tinggi di sisi kakaknya. Namun karena melihat kebijakan kakaknya banyak berpihak kepada VOC Belanda maka ia pun banyak mengkritiknya, seperti kebijakan penguasaan Belanda atas wilayah pesisir Mataram dari wilayah Tegal hingga Banyuwangi dengan harga yang sangat murah, juga kepatuhannya terhadap kehendak VOC agar rakyat Mataram memberikan sekitar 180.000 ton beras setiap tahunnya.

            Suatu ketika Pangeran Mangkubumi mengundurkan diri dari jabatannya di kraton melihat sikap para pejabat yang begitu buruk kepadanya karena ketegasannya melawan kebijakan sultan, dan juga keloyalannya terhadap Belanda. Maka ia meminta izin kakaknya untuk melakukan pemberontakan dan juga perlawanan terhadap Belanda. Pada tahun 1746 hingga tahun 1755 ia terus bergerilya dalam perlawanan memimpin pasukkannya melawan Belanda, mulai dari wilayah Nganjuk, Ponorogo Kediri, Blitar, kemudian ke timur ke arah Madiun, Demak, Blora, dan ke barat menuju wilayah Kedu, Bagelen, Kebumen, Banyumas. Keberhasilan pun banyak diraih olehnya, termasuk berhasil membunuh salah satu Gubernur Jendral bernama Baron van Imhoff setelah dikepung di bentengnya di Ungaran, Semarang. Ia juga berhasil membunuh salah satu panglima musuh yang bernama Mayor de Klerk.

            Dalam masa 9 tahun inilah istrinya, Ratu Ageng senantiasa berada di sisinya, juga ikut melakukan serangan dengan mengangkat berbagai senjata. Namun, karena serangan yang dilakukan oleh pasukan pangeran Mangkubumi semakin membuat musuh gentar, maka Belanda pun meminta Syaikh Ibrahim salah satu tokoh besar dari Turki Utsmani untuk membujuk pangeran Mangkubumi agar mau menerima perjanjian damai, yang kemudian dinamakan perjanjian giyanti. Maka, perjanjian itu diterima dengan syarat wilayahnya dibagi menjadi dua, yang barat yaitu di Yogyakarta menjadi wilayah kekuasannya yang kemudian ia menjadi Sultan Hamengkubuwono I, -dimana ia benar- benar independent tidak sama sekali dikuasai-, dan yang kedua wilayah yang barat di daerah Surakarta yang kemudian dipimpin oleh keponakannya yaitu Pakubuwono III.

            Setelah ia memimpin Yogyakarta, mereka memiliki putra yang bernama Raden Masundoro, yang kelak akan menjadi Sultan Hamengkubuwono II. Di dalam pemerintahan suaminya, Ratu Agung membentuk pasukan Bergodo Langan Kusumo, kelompok pasukan kawal sultan yang isinya dari perempuan. Pasukan ini telah dilatih oleh Ratu Agung agar memiliki kemampuan seperti dirinya, pandai berkuda dan menggunakan berbagai senjata. Oleh karena itu, ketika salah satu gubernur jenderal Belanda Prancis yang bernama Herman William Daendels datang kesana sangat terkejut melihat kemampuan perempuan-perempuan Jawa yang begitu luar biasa dan sangat jauh berbeda dengan para wanita di Eropa. Di masa ini pula kesultnan Mataram mengalami puncak kejayaan, sehingga dinamakan masa keemasan kedua setelah masa Sultan Agung.

            Di dalam salah satu perpusatakaan British terdapat suatu karya besar dari luar Eropa yang tebalnya mencapai 3040 halaman, yang dinamakan Serak Menak Amir Hamzah, dimana penulisnya itu mengatakan bahwa karangan itu ditulis, didektekan, diarahkan dan dipersembahkan kepada Ratu Ageng. Karangan ini berisi kisah Hamzah bin Abdul Muthalib meskipun juga ditambah dengan karangan fiksi. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah penginisasi dan pemberi arahan penulisan karangan tersebut ketika ia berada di Tegalrejo.

            Ketika masa kepemimpinan putranya, Hamengkubuwono II banyak kebijakan yang kurang sesuai, menindas rakyat, bahkan beberapa sikap yang melanggar syariat, seperti sangat berambisi dalam melakukan pembangunan benteng- benteng kraton yang berlebihan, juga pabrik- pabrik senjata seperti meriam dan messiu dengan menaikkan pajak yang sangat tinggi kepada rakyat, sehingga rakyat banyak yang mengalami tekanan. Maka pada tahun 1792 setelah wafat suaminya, ia memutuskan untuk meninggalkan kraton dan membersamai cicitnya yaitu Ratir Mas Muthahar, yang lahir di keraton pada tahun 1785, yang kelak menjadi Pangeran Diponegoro. Dimana kelahirannya ketika itu, suaminya pernah berpesan agar mendidik anak tersebut sebaik-baiknya karena ia punya firasat bahwa dari dirinya lah kerusakan yang terjadi pada musuh mereka yaitu Belanda akan jauh lebih besar.

Sosoknya yang tak hanya seorang pejuang, dan mujahid yang pandai berperang, namun juga seorang intelektual, serta sangat peduli dengan literasi dan pendidikan keluarganya, Sehingga ia memiliki peran yang sangat besar dalam menanamkan teladan para pahlawan, seperti Hamzan bin Abdul Muthalib, juga Umar bin Khattab.

            Ia mendidik Pangeran Dipenogero juga murid- muridnya di Tegalrejo, sejak kecil dengan dua prinsip, yang pertama adalah hidup dengan sedehrana, dimana ia dijauhkan dari kehidupan kraton yang mewah dan glamor, juga dilibatkan dalam kegiatan masyarakat, juga bertani, hingga memanen, sehingga membentuk pribadinya menjadi sosok yang memiliki kepedulian. Yang kedua, mendidik dengan agama, dimana ia mendatangkan berbagai ulama dari berbagai penjuru, untuk mendidik para santri juga mayarakat disana untuk mempelajari berabagai ilmu agama.

Hal ini yang menjadikan Diponegoro menjadi sosok yang dekat dengan ulama serta punya jaringan dengan berbagai pesatren dan perguruan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain itu, ia juga memiliki pribadi yang sangat luar biasa dalam melakukan perjuangan perlawanan kepada Belanda dalam waktu bertahun- tahun. Ia lah sosok yang mengobarkan perang sabil di seluruh penjuru Jawa yang membuat perlawanan kepada VOC jauh lebih besar dari yang dilakukan oleh kakek buyutnya,

            Ratu Ageng juga sosok yang punya peran besar di masyarakat di Tegalrejo, dimana saat itu bisa menaungi 3000 petani di Tegalrejo, juga bisa memberangkatkan ulama- ulama untuk pergi haji, yang kala itu haji menjadi perkara yang sangat sulit dan mahal.

            Begitulah sosok Ratu Ageng Tegalrejo, yang telah menanamkan sentuhan keagamaan, intelektual, juga perjuangan kepada sosok Diponegoro yang kemudian memiliki peran beasar bagi umat Islam di Nusantara.

Pangeran Diponegoro pernah mengisahkan bahwa Ratu Ageng sangat menyukai kitab Taqrib dalam ilmu fiqh, kitab Tuhfah dalam ilmu tasawuf, juga kitab Tajusalatin dan Sulalatusalatin untuk ilmu kepemerintahan, yang semua kitab itu diajarkan kepada Dipenegroro kecil. Ia juga mengenalkan sejumlah ulama dari berbagai penjuru agar kelak ia terkoneksi dan memiliki realasi ketika berjuang di berbagai wilayah. Ia juga tetap menghubungkannya dengan keraton, sehingga ia sangat dipercaya oleh sultan juga para pejabat sehigga mereka pun banyak yang mendatangi Diponegoro di rumahnya untuk berunding masalah kesultanan. Bahkan ketika salah satu dari Sri Sultan Hamengkubowono diangkat namun usianya masih kecil, maka ia diangkat menjadi wali untuk membantunya.

Wallahu a’lam bish showab.