Pages

Jumat, 05 Juni 2015

Sebaik- Baik Manusia


Hari itu tantangan datang kembali. Adventure ini tidak semua orang mampu menaklukannya. Tidak semua pelajar SMAIT Alam itu yang sudah terlatih baik fisik maupun mental itu mampu melewatinya. Adventure ini tak hanya membutuhkan kerja otot, atau kerja fisik yang kuat. Adventure yang akan menghabiskan waktu sekitar 2 hari ini benar-benar akan menguji mental, kepedulian dan kesabaran setiap murid disana.
                Jumlah mereka hanya sekitar 12 orang. Kali ini agar lebih menantang, mereka dibagi menjadi 4 kelompok yang masing- masing berjumlah 3 murid. 
 


                “Anak- anak, sepuluh menit lagi kita breafing!”, pekik salah satu guru mereka di teras salah satu kelas. Guru yang sangat tegas itu biasa mereka panggil Pak Agus.
“Eh, kamu udah bawa jas hujan belum?”, kata Fahmi kepada Zaid yang sejak tadi nampak santai.
“Jas hujan? Emang disuruh bawa ya?”
“Kapan sih kita adventure nggak disuruh bawa barang yang penting itu?”
“Tapi kan ini lagi musim panas.. berat-beratin tas aja!”
“Ahk, terserah kamu lah!”, kata Fahmi sambil meninggalkan kamar mereka yang berada di lantai dua gedung sekolah sekaligus asrama yang terdiri dari tiga lantai itu.
                Suasana di gedung itu tak jauh berbeda seperti biasanya. Suara guru mengajar di kelas- kelas sore. Bunyi pesawat- pesawat TNI AU yang tak henti-hentinya menembus awan diatas gedung yang tak sampai 2 kilometer dari pangkalan para TNI AU.  Pesawat tempur mungkin.
Setelah mengucapkan salam, Pak Agus memulai menjelaskan. “Saya akan membacakan pembagian kelompok selama kalian melakukan longmarch ini. Kemudian saya akan memberikan selembar kertas yang menjelaskan jalan yang harus kalian tempuh hingga sampai di pantai Wedi Ombo, serta peraturan selama perjalannya”, kata Pak Agus memulai breafing di sore yang matahari sudah hampir terbenam itu.
“Kelompok 1: Dika, Azzam, & Irfan. Kelompok 2: Haidar, Anas, & Fatih. Kelompok 3: Zidny, Rizal, & Farhan. Kelompok terakhir: Fahmi, Zaki , & Zaid”
Oh my God,aku sama Zaid?”, bisik Fahmi pada Haidar yang duduk di sebelahnya. Kemudian ia melirik ke arah Zaid yang duduk di barisan paling depan.
“Ha.ha. nggak apa-apa. Kamu mesti bisa”, kata Haidar mencoba menenangkan Fahmi yang sudah trauma dengan sifat Zaid yang cukup sulit diatur dan diajak kerja sama.
“Baik. Kalian kan sudah paham. Semua teman itu sama. Kalian bukan anak- anak lagi. Teman bukanlah persoalan yang menjadi perselisihan lagi. Dan calon pemimpin yang hebat tak pernah menjadikan permasalahan apapun menjadi penghalang untuk meraih kemenangan dan kesuksesan ”, kata Pak Agus memberi pemahaman kepada ke 12 muridnya itu.
“Tuh..kan? Denger?”, kata Haidar balik berbisik kepada Fahmi
“Hhh,iya”, timpal Fahmi sambil melengoskan pandangan ke depan. Mengalihkan pembicaraan menghadap ke guru yang masih terus menjelaskan di depan kelas.
“Baik. Ini saya bagikan kertas penunjuk perjalanan. Nanti kalian akan didampingi oleh Pak Ahmad dan Pak Ihsan. Kalian tidak boleh mengeluh kepada mereka atau meminta tolong kecuali teman di kelompok kalian tiba- tiba pingsan”, lanjut Pak Agus sambil menyerahkan 4 lembar kertas yang tertera peta menuju pantai Wedi Ombo. Pantai yang menjadi tujuan akhir longmarch ini.
“Longmarch ini akan kalian tempuh dengan jarak sekitar 100 km”, kata Pak Agus dengan muka tanpa beban sedikitpun.
“Waw!”, serempak mereka seketika merespon
“Masya Allah”, kata yang lain.
“Nanti kalian akan memulai perjalanan dari sini. Kelompok kedua berangkat 15 menit setelah kelompok pertama sudah berjalan. Dan seterusnya. Jadi nanti di akhir, jarak kebarangkatan kelompok satu dengan kelompok empat sekitar 1 jam”
“Wah,kelompok ku terakhir lagi!”, kata Fahmi mengeluh rendah, yang kemudian di dengar Haidar.
“Nggak apa- apa. Pasti ada rencana lain yang sudah dirancang Pak Agus. Mana mungkin kelompok terakhir disetting paling belakang agar kalah?”
“Hmmm, iya sih..”
“Nanti saya, Pak Ahmad dan Pak Ihsan juga berjalan di sela-sela kalian. Tapi bukan berarti mendampingi kalian. Kami hanya memastikan seluruh kelompok mengitu rute yang sudah diperintahkan. Dan yang paling penting kalian pahami adalah ‘Longmarch ini bukan perlombaan untuk meraih juara satu. Akan tetapi, ilmu  yang terpenting yang harus kalian dapatkan nanti adalah mental yang kuat pasti akan dapat mengalahkan otot yang tampak jauh lebih bertenaga’. Maka, kalian tidak perlu saling ashobiyah hanya dengan pembagian kelompok ini. Kalian juga tidak boleh mementingkan diri kalian sendiri. Pemenang bukanlah yang sampai titik finish paling pertama, yaitu di pantai Wedi Ombo. Namun, ia yang mampu membawa seluruh anggota kelompoknya hingga titik finish longmarch ini dengan semangat dan keceriaan. Tidak ada anggota yang sakit maupun tersakiti karena keterpaksaan. Ia lah yang mampu memberi support kepada temannya, sehingga dapat meraih garis finish bersama- sama. Faham?”, penjelasan Pak Agus benar- benar mengobarkan semangat mereka.
“Faham pak”, balas mereka dengan wajah yang sumringah.
“Dan terakhir. Perlu kalian tancapkan dalam hati dan fikiran kalian ‘Sebaik- baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain’.  Bukan ia yang menang dengan perjuangannya sendiri, tanpa mau tau bagaimana kondisi teman disebelahnya. Ok?”
“Baik pak”  

                Adzan isya’ berkumandang, dan mereka pun menunaikan sholat berjamaah sebelum perjalanan panjang itu dimulai. Setelah berdoa’a, kelompok pertama memulai langkahnya.
“Dika, kamu paling belakang, aku depan, dan Azzam tengah!”, perintah Irfan yang ditunjuk jadi ketua di kelompok satu
“Ya”, jawab Dika dan Azzam.
 “Nanti kalau diantara kita ada yang lelah, sampaikan aja! Tidak perlu takut, malu atau sungkan. Justru jika nanti diantara kita tidak tahu kondisi antara satu dengan yang lain, kelompok kita malah tidak kompak. Ok!”
“Hm, ya kak”, kata Azzam dan Dika yang mereka satu tahun dibawah usia Irfan.
“Oh ya, inget ya. Jangan terlalu banyak minum! Nanti kita malah mudah lelah!”
 “Hati- hati ya. Semoga kalian selalu dalam lindungan Allah!”, suara teman- teman dari kelompok lain mengantarkan keberangkatan mereka.
“Ya, doakan kami!”
                Malam itu telah dilahap dengan kegelapan, walau jalanan masih menggerutukan mesin- mesin dan klakson- klakson kendaraan, yang kian hari kian padat. 15 menit, 30 menit, dan 45 menit berlalu, akhirnya kelompok terakhir pun melangkahkan kaki mengikuti jejaj kelompok- kelompok berikutnya.
                Suara- suara kendaraan itu semakin menghilang ketika mereka sudah memasuki dataran tinggi di daerah Gunungkidul. Suara kodok, jangkrik, dan angin malam yang berhembus menemani nafas mereka yang semakin tersengal-sengal karena medan yang terus menanjak tanpa tahu diri.
“Ih, kamu lama itu! Dikit- dikit istirahat. Hh..Udah tau kita kelompok terakhir. Jangankan bisa menyalip kelompok pertama, hh..hh..kita sampai pantainya saja kalau kamu kayak gini terus kapan sampainya?”, kata Fahmi dengan sedikit emosi ketika mereka istirahat di pinggir jalan. Nafasnya tersengal-sengal
“Ini kan nanjak terus! Cape tau!”, kata Zaid mendesah
“Sudah, jangan bertengkar. Perjalanan ita masih sangat jauh. Ini belum ada apa- apa. Mungkin baru 6 km kita berjalan. Masih ada 94 km lagi yang harus kita lewati. Kalau kalian bertengkar terus, kapan sampainya? ”
“Tapi kak, kita sudah ketinggalan jauh banget sama kelompok 3. Apalagi kelompok 1? Kita baru jalan 6 kilometer, tapi karena dia kita udah berapa kali berhenti  buat istirahat?”, kata Fahmi menimpali dan masih terus menyalahkan Zaid. Zaid hanya terdiam sambil menunduk. Bukan karena takut atau merasa bersalah. Dia memang orang yang memiliki tipe sangat cuek. Dikatakan apapun dia tak kan merasa bersalah.
“Sudah lah! yuk kita lanjutkan!”, ajak Zaki sambil menarik tangan Zaid “Ayo Zaid, kamu pasti kuat!”. Mereka kembali melangkahkan kaki, setelah sekian kali beristirahat. Zaki tidak henti- hentinya memberi semangat pada kedua temannya itu.



                “Kamu kambuh ya asmanya?”, tanya Haidar yang melihat Fatih terjongkok beberapa menit setelah ia berhasil menyusulnya dari belakang.
“Iya. Nih, kita kasih oksigen aja!”, kata Anas yang sudah mendudukkan Fatih dipinggir jalan. Di atas rerumputan yang tumbuh cukup subur.
“Kak, gimana kalau kita cari tempat yang bisa untuk istirahat Fatih? Misal gubuk, atau Mushola kalau kita melihatnya di pinggir jalan?”, kata Haidar memberi usulan kepada Anas.
“Hm, ide bagus. Ya tunggu biar Fatih udak agak kuat. Biar bisa jalan”



                “Ya sudahlah! jika kalian ingin istirahat terus. Aku cape nunggu kalian. Aku jalan duluan. Perjalanan kita kurang 10 kilometer lagi!”, bentak Irfan kepada Dika dan Azzam.
“Kita cape kak! Kakiku pegel-pegel. Lagipula belum ada kelompok yang bisa menyalip kita!”
“Ok. Aku akan jalan dulu, & kalian nanti nyusul”, kata Irfan sambil menggendong tasnya dan melangkahkan kaki dengan bersungut-sungut. Emosinya sudah semakin memuncak. Perjalanan jauh itu memang menguji kesabaran dan kekuatan mental mereka.
                Tiba-tiba kelompok kedua yang terdiri dari Haidar, Anas, & Fatih berpapasan dengan Dika dan Azzam yang baru saja beranjak, dan akan melanjutkan perjalanan menyusul Irfan yang entah sudah sejauh mana.
“Kok kalian cuma berdua? Kak Irfan kemana?”, kata Haidar
“Udah duluan, katanya cape nungguin kita. Ya sudah, kita biarkan saja”, kata Azzam menjelaskan.
“Lho, kok gitu sih?”
                Setelah kejadian itu, akhirnya kelompok dua pun berhasil menyusul kelompok pertama. Perjalanan aspal yang di kanan kiri penuh dengan hutan dan perkebunan itu masih menyisakan sekitar 8 kilometer lagi yang harus mereka tempuh. Artinya sekitar 2 jam lagi, mereka bisa mendengar desiran ombak pantai yang akan memberi kelegaan kepada mereka. Fatih yang sesekali asmanya kambuh itu tak menghalangi mereka untuk terus maju melangkah, walau sesekali mereka harus melayani satu temannya itu untuk beristirahat dan menghirup oksigen dari tabung yang mereka bawa.



                Zaid. Seorang murid yang sejak dulu dikenal sangat sulit diatur dan sangat cuek. Banyak sekali teman-teman yang tidak menyukainya. Dan di adventure kali ini pun, ia kembali lagi membuat ulah dengan teman-temannya. Zaki, murid kelas 11 yang sekelompok dengan Zaid berusaha membujuk dan terus menyemangatinya agar langkah mereka tak berhenti hanya karena dia. Sedangkan Fahmi yang punya ego cukup tinggi, membuat Zaki benar-benar mengeluarkan tenaga untuk mengahadapi kedua adik kelasnya tersebut.
“Udah ah, aku duluan aja kak! Kalau kita menunggu Zaid terus gini, aku yakin kita nggak akan nyampe dengan waktu yang sudah disediakan. Terserah kak Zaki mau bareng aku, atau tungguin kita”, kata Fahmi kembali menggerutu.
“Ok. Zaid dengerin aku! Kamu tau kan? kalau kamu itu sebenarnya kuat. Udah berapa kali kita jalan seperti ini walau belum sejauh jarak ini. Sudah berapa kali juga kita mendaki bukit & gunung? Tantangan ini nggak boleh buat kamu terhenti! Lakukan yang terbaik! Perjalanan yang belum kita tempuh tidak sejauh dari sekolah hingga kamu duduk disini. Artinya kita semua bisa! Dan aku juga yakin, kamu pasti juga tahu, semakin banyak kita istirahat, semakin mudah pula badan kita kelelahan”, Zaid hanya menundukkan kepalanya, walau sebenarnya ia mendengar nasehat Zaki. “Kamu dengar kan?”
“Iya”, kata Zaid dengan lemas.
                Nasehat itu berkali-kali Zaki bisikkan ke telinga Zaid. Dia tak lelah-lelahnya memberikan semangat kepadanya. Dan semua itu membuahkan hasil yang nyata. Sekitar 1 jam mereka berjalan, mereka berhasil menyusul kelompok 3 yang mereka temui sedang beristirahat di sebuah gubug. Jam menunjukkan puku 02.30, dan ketika itu suara ombak sudah mulai terdengar oleh keompok 4. Mereka terus berjalan berbaris dengan langkah yang semakin gontai, tapi tak ingin untuk berhenti.
“Ya Allah, Alhamdulillah, ombaknya udah terdengar”, kata Zaki sengaja berteriak untuk menyemangati kedua temannya. Tak ada sautan sedikitpun. Sekitar dua jam mereka berjalan lagi, mereka menemukan kelompok 1 sedang duduk berjajar di rerumputan. Mereka sedang memejamkan mata sejenak, sambil bersandar pada tas yang mereka gendong dengan posisi sedikit berbaring. Dan mereka pun seketika terbanugun ketika cahaya senter dari kelompok 4 itu mengibas muka Irfan.
“Wah, udah sampai. Kalian kelompok 4 kan?”, tanya Irfan memastikan
“Iya. Duluan ya!”, kata Zaki menjawab karena kedua teman yang berjalan di depannya sama sekali tidak memberi tanda apapun untuk mau berbicara sejak tadi.
“Hm..iya”
                Suara ombak semakin terdengar keras. Dan kelompok 2 sudah berhasil menginjakkan kaki mereka di pasir putih yang terhampar nan luas itu. Mereka bersujud seketika. Tak ada yang dapat mereka katakan selain rasa syukur karena Allah membantu mereka, walaupun Fatih berkali-kali membuat kedua temannya harus menunggunya untuk menghirup tabung berisi oksigen. Setengah jam kemudian, kelompok 4 sudah berada di puncak jalan aspal. Satu turunan terakhir, mereka akan menyusul kelompok 2. Menginjak pasir putih dan berbaring diatasnya menikmati bintang-bintang disepertiga malam terakhir.
“Ya Allah, itu pantainya!”, Zaid berteriak. Akhirnya dia mau mebuka mulutnya. Wajahnya benar-benar seperti anak kecil yang bertemu orang tuanya setelah berpisah beberapa jam di dalam mall. “Itu pantainya kak Zaki! Kita sudah sampai!” Dia kembali berteriak sambil menunjukkan telunjuknya dan menghadap ke Zaki yang berjalan tepat dibelakangnya.
“Iya Zaid. Alhamdulillah, kita sudah sampai!”, kata Zaki dengan tenang. Mereka bertiga benar-benar berlari sekencang-kencangnya. Menggunkan sis-sisa tenaga mereka yang sudah benar- benar terkuras habis. “Pantai Wedi Ombo”. Tulisan di atas kayu yang berdiri besar diatas tiang besi didekat tempat parkir. Setelah mereka benar-benar berada diatas pasir pantai itu, Zaid melemparkan tasnya, dan bersujud. Dia benar- benar seperti mendapat medali emas kala itu.
                Ternyata, selama mereka berjalan. Secara diam-diam, ketiga guru mereka mengawasi setiap beberapa kilometer. Menyaksikan bagaiamana mereka bekerja sama dalam kelompok, dan apa yang mereka lakukan selama di perjalanan.
               
                Usai mereka menikmati sarapan bersama di pantai itu, mereka diberi kejutan oleh para guru mereka. Diberi sebuah syal yang yang bertulisakan “Longmarch to Wedi Ombo Beach, 5 Januari 2014”. Selain itu juga diumumkan siapakah pemenangnya. Dan hasilnya, kelompok yang menang adalah kelompok 2, sedangkan murid yang mendapat penghargaan secara individu adalah Zaki.
                Subhanallah.. inilah sebuah kisah nyata yang menyampaikan pesan kepada kita bahwa pemenang adalah bukan mereka yang hanya memiliki fisik kuat. Akan tetapi mereka yang memiliki mental pantang menyerah dan senantiasa membagikan mental hebat itu kepada orang lain.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar