“
Has, mau nggak temenin aku?”, tanya Vela suatu hari di salah satu kamar di Rumah
Tahfidz SMA putri. Hasna tidak mendengar suara itu. Ia sibuk membuka- buka
lembaran Al- Qur’an Juz 29.
“Has?”, kata Vela memanggilnya
lagi.
“Ha.. eh Vela, ada apa Vel?”,
akhirnya ia tersadar ketika sebuah lambaian tangan mengayun di depan mukanya.
Tangan Vela.
“Mau nggak temenin aku ambil
sesuatu?”
“Hm..ambil apa?”
“Ambil motor di stasiun
lempuyangan”
“Oh, kamu dipaketin motor dari
rumah? Alhamdulillah, nambah 1 motor lagi donk asrama ini nanti”
“Mau nggak? Kamu mau ujian
Tahfidz ya besok?”
“Hmm..ya, yuk gak apa-apa!”,
jawab Hasna mengiyakan ajakan itu.
Setelah
mereka berhasil meminjam motor salah satu Ustadzah, mereka pun pergi ke stasiun
Lempuyangan. Sesampai disana, Vela bingung dimana tempat mengambil motor itu
berada. Berkali-kali mereka menelepon bapak yang bertugas mengurusi pengiriman
paket motor itu dengan menggunakan HP Hasna, karena HP Vela sedang tidak ada
pulsa. ‘Nomor yang anda tuju tidak menjawab’. Berkali- kali suara itu
yang muncul dari Hpnya. Mereka pun semakin bingung. Hingga pada
panggilan yang ketujuh atau kedelapan, bapak itu pun mengangkat walau suara
diujung sana tidak terdengar begitu jelas. Ditambah suasana stasiun Lempuyangan
yang sangat ramai.
Tapi
untungnya pesan penting dari bapak itu tersampaikan pada kami. Intinya, bapak
itu meminta kami untuk ke stasiun Tugu, karena tempat pengambilan barang paket,
termasuk motor ada disana, bukan di Lempuyangan. Akhirnya setelah membayar
parkir, mereka pun memutuskan untuk langsung menuju stasiun Tugu.
“Kamu tahu kan Has jalannya?”
“Nggak tahu. Aku belum pernah
kesana. Hmm..gimana ya? Oh, aku tanyakan saja ke bapak itu”, kata Hasna memberi
solusi, kemudian ia menunjuk kepada seorang satpam yang berdiri di dekat pintu
keluar stasiun Lempuyangan. Dia mendekatinya, dan memberanikan diri untuk
bertanya. Walau tidak sepenuhnya terbayang, setidaknya ia berhasil memahami
rute yang harus mereka tempuh hingga sampai di stasiun Tugu.
Akhirnya
melajulah motor itu, dan Vela masih membonceng Hasna. Dengan pengetahuan geografinya,
ia gunakanlah hal itu untuk memberi pengarahan kepada Vela. Keduanya memang
bukan asli orang Yogyakarta, sehingga mereka belum tahu banyak jalan di Kota
itu. Sekitar 20 menit, akhirnya mereka sampai di stasiun Tugu, kemudian
mempakirkan motor. Walaupun sebelumnya mereka sudah dibuat beberapa kali salah
jalan dan salah sasaran. Jalanan yang sangat padat dan masih asing itu menambah
kebingungan mereka. Tapi, ternyata mereka salah.
“Vel, ternyata ini pintu Utara,
bukan Selatan. Tadi bapaknya bilang, kalau tempat pengambilan paket itu ada di
pintu stasiun sebelah Selatan”, jelas Hasna kepada Vela karena ia sudah
mendapat penjelasan dari bapak tadi.
“Terus gimana? Kita tanya siapa
ini?”
“Hmm, itu ada penjaga di tempat
pembayaran parkir”, ia menunjuk seorang perempuan berkerudung di dalam loket
pembayaran parkir. Hasna pun kembali bertanya. Ia diberi penjelasan rute menuju
pintu Selatan.
Perjalanan
dimulai kembali. Mereka keluar dari
tempat parkir itu setelah membayar parkir kedua kalinya dengan sia- sia. Dan,
untungnya tidak begitu jauh, dan rutenya tidak serumit yang tadi. Tidak sampai
10 menit akhirnya mereka sampai, dan kembali lagi memarkirkan motor. Dan mereka
pun langsung mencari nama dimana motor Vela dikirim memalui jasa pengiriman
itu. Setelah menemukan nama kantor yang dicari itu, mereka memastikan apakah
benar motor Vela berada di tempat itu. Dan ternyata Nihil. Belum ada tanda-
tanda sedikitpun. Kata penjaga kantor itu, mungkin sekitar 2 jam lagi akan
datang.
Subhanallah..ternyata
ada lagi tantangan yang harus mereka lalui hari itu. Akhirnya Vela mengajak
Hasna untuk ke Masjid karena adzan Asar sudah terdengar sejak tadi. Sebelumnya
mereka membeli minum di sebuah warung angkringan. Disana setelah sholat Asar
berjamaah, mereka membaca Al- Qur’an, dan tak lama Hasna tertidur di atas
sajadah semacam karpet di Masjid itu. Ia benar-benar kelelahan karena terik
matahari yang sangat menyengat itu.
“Has, bangun
yuk!, udah jam lima. Semoga motornya udah sampai”, kata Vela dengan sambil
membangunkan Hasna.
“Heeh, iya”. Mereka pun berjalan
dengan sisa tenaga yang ada. Menuju kantor yang tadi sudah mereka temukan.
Alhamdulillah, ternyata benar, motor Vela telah datang. Namun, sekitar 15 menit
mereka menunggu antrian karena banyak sekali orang yang juga mau mengambil atau
mengirim berbagai macam paket.
“Ini
kan motornya?”, akhirnya giliraan mereka datang. Semua kardus dan plastik yang
menyelimuti motor itu dilepas, dan setelah mendapat kunci dari petugasnya Vela
pun menyalakan motor itu. Uppss.. tidak bisa. Dan ternyata bensin di
dalam motor itu tak ada setetes pun sepertinya.
“Nanti beli bensin aja disana
mbak! Disana ada penjual eceran”, kata bapak petugas itu kepada mereka. “Kalau
motor yang dipaketin memang sengaja dikosongkan tangkinya dari bensin, biar
aman waktu dibawa kereta”
“Oh, gitu ya pak. Terimakasih
pak!”
Mereka
harus mengisi bensin di motor Vela.
“Has, aku baru inget. Uangku
tinggal dua ribu. Kamu bawa uang nggak?”, tanya Vela sambil menuntun motornya.
Sedangkan Hasna menaiki motor yang mereka pinjam dari Ustadzah dengan perlahan.
“Wah..iya? aku nggak bawa uang
sama sekali”
“Ya Allah, gimana ya? Wah, itu di
depan kita harus bayar parkir motor, lagi!”, kata Vela sambil menunjuk motor
yang dinaiki oleh Hasna. Ternyata Vela hanya membawa uang delapan ribu ketika
itu. Dua ribu pertama mereka gunakan untuk membayar parkir di stasiun
Lempuyangan. Dua ribu kedua mereka gunakan untuk membayar parkir di stasiun
Tugu di pintu Utara. Dua ribu ketiga mereka gunakan untuk membeli minum, karena
mereka benar- benar kehausan. Dan terakhir untuk membayar parkir kembali di
pintu Selatan stasiun Tugu itu. Dan, habislah uang mereka. Tak tersisa sepeser
pun.
“Heh..berarti tak ada cara lain kecuali kita
harus berhasil membujuk penjual bensin untuk memberikan bensin ke motor kamu.
Mungkin kita bisa meninggalkan barang jaminan”, kata Hasna mencoba berfikir
solutif. “Ya, semoga saja penjualnya berbaik hati dan kasihan pada kita”
“Iya, amin”
“Ya sudah, sekarang aku duluan,
mengecek penjual bensin itu ada di sebelah mana”, kata Hasna memberi usulan.
“Ok, tapi jangan tinggalin aku
lho!”
“Iya, tenang aja!”, kata Hasna,
yang kemudian menjalankan motornya. Ia enggan menyeberang, sehingga ia berjalan
menepi di sebelah kanan. Untung jalan besar itu tidak seramai biasanya. Hanya
sekitar 150 meter dari stasiun Tugu, ia pun menemukannya. Bapak itu sedang
membenahi sebuah motor milik seorang laki-laki yang duduk menunggu di sebuah
kursi. Selain bensin, bapak itu membuka bengkel.
Hasna
pun mematikan mesin motor yang dinaikinya, kemudian menunggu Vela yang sedang
menaiki motornya pelan-pelan. Rupanya ia memanfaatkan sisa-sisa terakhir bensin
di tangki motornya. Setelah Vela sampai, mereka pun berunding bagaimana cara
membujuk bapak itu agar mau membantu mereka. Laki-laki yang sedang menuggu
motornya yang sedang diperbaiki itu, sepertinya bertanya-tanya apa yang sedang
mereka lakukan. Entah tahu atau tidak, dan mereka sengaja menunggu laki-laki
itu pergi. Dan akhirnya, Hasna pun kembali memberanikan dirinya berbicara
kepada orang yang belum dikenal itu. Berusaha membujuk suatu hal yang belum
pernah sekalipun ia lakukan.
“Hmm, pak maaf. Jadi begini, kami
baru saja mengambil kiriman motor...dan bla..bla..bla”, ia menjelaskan
dengan wajah yang sedikit takut, karena bapak itu tak senyum atau merespon
sedikitpun. Sepertinya ia sudah tahu, kata-kata apa yang akan mereka katakan
pada intinya. “Jadi, jika kami meninggalkan jaminan bisa tidak pak? Dan yang
kami bawa saat ini hanya STNK.”
“Oh, kalau STNK tidak bisa mbak.
Saya maunya SIM atau KTP paling tidak”
“Aduh, kita kan belum punya semua
itu”, bisik Vela kepada Hasna.
“Hm, kami belum punya pak”, kata
Hasna kepada bapak itu sambil terus berfikir. “Apa ya Vel yang bisa dijadikan
jaminan selain itu?”, tanya Hasna meminta pendapat pada Vela. Dia pun terus
berfikir sambil menatap kedua motor yang terparkir di pinggir jalan itu.
Sepertinya
kala itu ada Malaikat yang membisiki untuk membantunya. Dia baru sadar jika
helm yang mereka bawa ada tiga. Dua yang mereka pakai dari rumah, dan satu lagi
paket yang menyatu di motor Vela.
“Hm, kalau..u, helm bisa pak?”,
kata Hasna sedikit terbata-bata karena takut dan malu.
“Oh, helm? Ya, bisa mbak!”
“Bisa pak?, Alhamdulillah,
akhirnya Vel”, kata Hasna pada Vela yang sejak tadi hanya diam.
“Baik pak, besok siang atau sore
kami kesini lagi ya pak. Karena kalau pagi kami masih sekolah. Kalau malam ini,
sudah tutup ya pak bengkelnya?”, kata Vela seperti sudah mendapat kekuatan
untuk kembali berbicara.
“Oh, iya mbak. Nggak apa-apa.
Besok sore aja”, kata bapak itu dengan ramah.
Akhirnya
mereka pun bisa pulang dengan tenang. Hari itu, cobaan Hasna dalam membantu
Vela memang berlipat-lipat, dan ada-ada saja. Walaupun keesokannya ia harus
menghadapi ujian Tahfidz Juz 29, ia tidak enggan membantu orang lain, tentunya
hanya karena-Nya. Dan dengan seizin Allah, ia pun dimudahkan dalam
menghadapi ujian itu, dan mendapat nilai yang sangat memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar