Pages

Jumat, 05 Juni 2015

Menolong Karena-Nya


                “ Has, mau nggak temenin aku?”, tanya Vela suatu hari di salah satu kamar di Rumah Tahfidz SMA putri. Hasna tidak mendengar suara itu. Ia sibuk membuka- buka lembaran Al- Qur’an Juz 29.
“Has?”, kata Vela memanggilnya lagi.
“Ha.. eh Vela, ada apa Vel?”, akhirnya ia tersadar ketika sebuah lambaian tangan mengayun di depan mukanya. Tangan Vela.
“Mau nggak temenin aku ambil sesuatu?”
“Hm..ambil apa?”
“Ambil motor di stasiun lempuyangan”
“Oh, kamu dipaketin motor dari rumah? Alhamdulillah, nambah 1 motor lagi donk asrama ini nanti”
“Mau nggak? Kamu mau ujian Tahfidz ya besok?”
“Hmm..ya, yuk gak apa-apa!”, jawab Hasna mengiyakan ajakan itu.
                Setelah mereka berhasil meminjam motor salah satu Ustadzah, mereka pun pergi ke stasiun Lempuyangan. Sesampai disana, Vela bingung dimana tempat mengambil motor itu berada. Berkali-kali mereka menelepon bapak yang bertugas mengurusi pengiriman paket motor itu dengan menggunakan HP Hasna, karena HP Vela sedang tidak ada pulsa. ‘Nomor yang anda tuju tidak menjawab’. Berkali- kali suara itu yang muncul dari Hpnya. Mereka pun semakin bingung. Hingga pada panggilan yang ketujuh atau kedelapan, bapak itu pun mengangkat walau suara diujung sana tidak terdengar begitu jelas. Ditambah suasana stasiun Lempuyangan yang sangat ramai.
                Tapi untungnya pesan penting dari bapak itu tersampaikan pada kami. Intinya, bapak itu meminta kami untuk ke stasiun Tugu, karena tempat pengambilan barang paket, termasuk motor ada disana, bukan di Lempuyangan. Akhirnya setelah membayar parkir, mereka pun memutuskan untuk langsung menuju stasiun Tugu.
“Kamu tahu kan Has jalannya?”
“Nggak tahu. Aku belum pernah kesana. Hmm..gimana ya? Oh, aku tanyakan saja ke bapak itu”, kata Hasna memberi solusi, kemudian ia menunjuk kepada seorang satpam yang berdiri di dekat pintu keluar stasiun Lempuyangan. Dia mendekatinya, dan memberanikan diri untuk bertanya. Walau tidak sepenuhnya terbayang, setidaknya ia berhasil memahami rute yang harus mereka tempuh hingga sampai di stasiun Tugu.
                Akhirnya melajulah motor itu, dan Vela masih membonceng Hasna. Dengan pengetahuan geografinya, ia gunakanlah hal itu untuk memberi pengarahan kepada Vela. Keduanya memang bukan asli orang Yogyakarta, sehingga mereka belum tahu banyak jalan di Kota itu. Sekitar 20 menit, akhirnya mereka sampai di stasiun Tugu, kemudian mempakirkan motor. Walaupun sebelumnya mereka sudah dibuat beberapa kali salah jalan dan salah sasaran. Jalanan yang sangat padat dan masih asing itu menambah kebingungan mereka. Tapi, ternyata mereka salah.
“Vel, ternyata ini pintu Utara, bukan Selatan. Tadi bapaknya bilang, kalau tempat pengambilan paket itu ada di pintu stasiun sebelah Selatan”, jelas Hasna kepada Vela karena ia sudah mendapat penjelasan dari bapak tadi.
“Terus gimana? Kita tanya siapa ini?”
“Hmm, itu ada penjaga di tempat pembayaran parkir”, ia menunjuk seorang perempuan berkerudung di dalam loket pembayaran parkir. Hasna pun kembali bertanya. Ia diberi penjelasan rute menuju pintu Selatan.
                Perjalanan dimulai kembali. Mereka  keluar dari tempat parkir itu setelah membayar parkir kedua kalinya dengan sia- sia. Dan, untungnya tidak begitu jauh, dan rutenya tidak serumit yang tadi. Tidak sampai 10 menit akhirnya mereka sampai, dan kembali lagi memarkirkan motor. Dan mereka pun langsung mencari nama dimana motor Vela dikirim memalui jasa pengiriman itu. Setelah menemukan nama kantor yang dicari itu, mereka memastikan apakah benar motor Vela berada di tempat itu. Dan ternyata Nihil. Belum ada tanda- tanda sedikitpun. Kata penjaga kantor itu, mungkin sekitar 2 jam lagi akan datang.
Subhanallah..ternyata ada lagi tantangan yang harus mereka lalui hari itu. Akhirnya Vela mengajak Hasna untuk ke Masjid karena adzan Asar sudah terdengar sejak tadi. Sebelumnya mereka membeli minum di sebuah warung angkringan. Disana setelah sholat Asar berjamaah, mereka membaca Al- Qur’an, dan tak lama Hasna tertidur di atas sajadah semacam karpet di Masjid itu. Ia benar-benar kelelahan karena terik matahari yang sangat menyengat itu.
“Has, bangun yuk!, udah jam lima. Semoga motornya udah sampai”, kata Vela dengan sambil membangunkan Hasna.
“Heeh, iya”. Mereka pun berjalan dengan sisa tenaga yang ada. Menuju kantor yang tadi sudah mereka temukan. Alhamdulillah, ternyata benar, motor Vela telah datang. Namun, sekitar 15 menit mereka menunggu antrian karena banyak sekali orang yang juga mau mengambil atau mengirim berbagai macam paket.
                “Ini kan motornya?”, akhirnya giliraan mereka datang. Semua kardus dan plastik yang menyelimuti motor itu dilepas, dan setelah mendapat kunci dari petugasnya Vela pun menyalakan motor itu. Uppss.. tidak bisa. Dan ternyata bensin di dalam motor itu tak ada setetes pun sepertinya.
“Nanti beli bensin aja disana mbak! Disana ada penjual eceran”, kata bapak petugas itu kepada mereka. “Kalau motor yang dipaketin memang sengaja dikosongkan tangkinya dari bensin, biar aman waktu dibawa kereta”
“Oh, gitu ya pak. Terimakasih pak!”
                Mereka harus mengisi bensin di motor Vela.
“Has, aku baru inget. Uangku tinggal dua ribu. Kamu bawa uang nggak?”, tanya Vela sambil menuntun motornya. Sedangkan Hasna menaiki motor yang mereka pinjam dari Ustadzah dengan perlahan.
“Wah..iya? aku nggak bawa uang sama sekali”
“Ya Allah, gimana ya? Wah, itu di depan kita harus bayar parkir motor, lagi!”, kata Vela sambil menunjuk motor yang dinaiki oleh Hasna. Ternyata Vela hanya membawa uang delapan ribu ketika itu. Dua ribu pertama mereka gunakan untuk membayar parkir di stasiun Lempuyangan. Dua ribu kedua mereka gunakan untuk membayar parkir di stasiun Tugu di pintu Utara. Dua ribu ketiga mereka gunakan untuk membeli minum, karena mereka benar- benar kehausan. Dan terakhir untuk membayar parkir kembali di pintu Selatan stasiun Tugu itu. Dan, habislah uang mereka. Tak tersisa sepeser pun.
 “Heh..berarti tak ada cara lain kecuali kita harus berhasil membujuk penjual bensin untuk memberikan bensin ke motor kamu. Mungkin kita bisa meninggalkan barang jaminan”, kata Hasna mencoba berfikir solutif. “Ya, semoga saja penjualnya berbaik hati dan kasihan pada kita”
“Iya, amin”
“Ya sudah, sekarang aku duluan, mengecek penjual bensin itu ada di sebelah mana”, kata Hasna memberi usulan.
“Ok, tapi jangan tinggalin aku lho!”
“Iya, tenang aja!”, kata Hasna, yang kemudian menjalankan motornya. Ia enggan menyeberang, sehingga ia berjalan menepi di sebelah kanan. Untung jalan besar itu tidak seramai biasanya. Hanya sekitar 150 meter dari stasiun Tugu, ia pun menemukannya. Bapak itu sedang membenahi sebuah motor milik seorang laki-laki yang duduk menunggu di sebuah kursi. Selain bensin, bapak itu membuka bengkel.
                Hasna pun mematikan mesin motor yang dinaikinya, kemudian menunggu Vela yang sedang menaiki motornya pelan-pelan. Rupanya ia memanfaatkan sisa-sisa terakhir bensin di tangki motornya. Setelah Vela sampai, mereka pun berunding bagaimana cara membujuk bapak itu agar mau membantu mereka. Laki-laki yang sedang menuggu motornya yang sedang diperbaiki itu, sepertinya bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan. Entah tahu atau tidak, dan mereka sengaja menunggu laki-laki itu pergi. Dan akhirnya, Hasna pun kembali memberanikan dirinya berbicara kepada orang yang belum dikenal itu. Berusaha membujuk suatu hal yang belum pernah sekalipun ia lakukan.
“Hmm, pak maaf. Jadi begini, kami baru saja mengambil kiriman motor...dan bla..bla..bla”, ia menjelaskan dengan wajah yang sedikit takut, karena bapak itu tak senyum atau merespon sedikitpun. Sepertinya ia sudah tahu, kata-kata apa yang akan mereka katakan pada intinya. “Jadi, jika kami meninggalkan jaminan bisa tidak pak? Dan yang kami bawa saat ini hanya STNK.”
“Oh, kalau STNK tidak bisa mbak. Saya maunya SIM atau KTP paling tidak”
“Aduh, kita kan belum punya semua itu”, bisik Vela kepada Hasna.
“Hm, kami belum punya pak”, kata Hasna kepada bapak itu sambil terus berfikir. “Apa ya Vel yang bisa dijadikan jaminan selain itu?”, tanya Hasna meminta pendapat pada Vela. Dia pun terus berfikir sambil menatap kedua motor yang terparkir di pinggir jalan itu.
                Sepertinya kala itu ada Malaikat yang membisiki untuk membantunya. Dia baru sadar jika helm yang mereka bawa ada tiga. Dua yang mereka pakai dari rumah, dan satu lagi paket yang menyatu di motor Vela.
“Hm, kalau..u, helm bisa pak?”, kata Hasna sedikit terbata-bata karena takut dan malu.
“Oh, helm? Ya, bisa mbak!”
“Bisa pak?, Alhamdulillah, akhirnya Vel”, kata Hasna pada Vela yang sejak tadi hanya diam.
“Baik pak, besok siang atau sore kami kesini lagi ya pak. Karena kalau pagi kami masih sekolah. Kalau malam ini, sudah tutup ya pak bengkelnya?”, kata Vela seperti sudah mendapat kekuatan untuk kembali berbicara.
“Oh, iya mbak. Nggak apa-apa. Besok sore aja”, kata bapak itu dengan ramah.
                Akhirnya mereka pun bisa pulang dengan tenang. Hari itu, cobaan Hasna dalam membantu Vela memang berlipat-lipat, dan ada-ada saja. Walaupun keesokannya ia harus menghadapi ujian Tahfidz Juz 29, ia tidak enggan membantu orang lain, tentunya hanya karena-Nya. Dan dengan seizin Allah, ia pun dimudahkan dalam menghadapi ujian itu, dan mendapat nilai yang sangat memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar