Ini adalah
pertama kalinya aku merasakan apa yang namanya mudik. Ke sebuah Kota di ujung
Timur pulau Jawa. Kota yang berseberangan langsung dengan sebuah pulau kecil
yang sangat dikenal oleh wisatawan mancanegara. Banyuwangi.
Sebuah Kota dimana ayahku dilahirkan dan dibsarkan dalam keluarga yang sangat
sederhana. Disana sangat dikenal dengan hasil perkebunannya, seperti jeruk dan naga.
“Sekarang mbak sama ibu dulu yang
wudhu, ayah, mas dan adik jaga tas!”, kata ayah mengatur sebuah strategi agar
tas kami terjaga aman di mushola terminal Surabaya. Di terminal itu, pencurian
dan penjambretan menjadi hal yang biasa. Dan ayah ibuku pun pernah mengalaminya
sendiri, sehingga mereka pasti tak mau mengalami kejadian yang kedua kalinya.
“Ya”, kata ibuku.
“Disini kan bu?”, kataku sambil
menunjuk ke tempat wudhu yang tertutup
“Iya. Tapi ibu mau ke kamar mandi dulu”
Akhirnya,
setelah 16 jam perjalanan kami pun sampai di Banyuwangi. Jam masih menunjukkan
pukul 4 dini hari. Jalanan masih sangat sunyi. Hanya ada beberapa bus anatr
kota yang berukuran sangat besar yang sesekali melewati jalan itu.
Udara
masih sangat segar, dan belum ada polusi asap kendaraan yang akan membuat padat
jalanan. Saat itu, aku benar- benar merasakan bgaimana kondisi Banyuwangi yang
belum begitu padat oleh pemukiman. Umurku yang sudah 15 tahun , artinya sudah
lebih dari 12 tahun aku tidak menginjakkan kaki di Kota itu. Dan kalaupun sudah
ketika di usiaku yang mungkin baru 2 tahun itu, aku benar- benar sudah tak
mengingatnya sedikitpun.
Selama
5 hari disana, kami benar- benar memanfaatkan moment itu untuk mengelilingi
Banyuwangi, dan mendatangi satu per satu keluarga ayahku yang rasanya sangat
banyak sekali. Memang, kedua orangtua ayahku sudah tiada semua, tapi
silaturahmi memang tidak boleh terputus dan bahkan diajarkan oleh Baginda
Rasulullah SAW. Walaupun, tak ada keluarga yang kukenal satu pun, kecuali
keluarga kakak ayahku, namun aku benar- benar menikmati waktu- waktu itu.
Berkumpul bersama dengan keluarga yang terpisahkan karena jarak yang sangat
jauh.
Selain
bersilaturahmi, ayah juga berziarah ke kedua makan orang tuanya. Dan aku pun
juga sempat diajaknya jalan- jalan menyusuri sungai kanal, yang kata ayahku
buatan tangan orang Indonesia ketika Belanda masih menjajah puluhan atau
ratusan tahun silam. Sungai itu benar- benar membuatku kagum, karena panjangnya
hingga mencapai 40 kilometer, dan masih berkilo-kilo meter lagi cabang dari
sungai itu yang dialirkan ke sawah- sawah warga di Banyuwangi.
Lima
hari itu berjalan cukup cepat. Ketika kami berpamitan pulang, kami diberi 1
kardus penuh berisi jeruk Banyuwangi yang diapanen sendiri dari kebun pakdhe.
Juga bibit poho Naga yang kata ayahku akan ditanam di rumah nanti.
“Ayah,
yang ke terminal dulu siapa?”, tanya ibuku memastikan.
“Pakdhe nganter mbak dulu, ayah
nganter mas. Terus terakhir nganter ibu sama adik. Nanti habis balik kesini,
ayah dianter pakdhe ke terminal, biar motornya dibawa balik”, kata ayahku.
Dua
motor pun melaju, setelah aku dan adikku bersalaman kepada budheku. Pakdhe
memboncengku, dan ayah membonceng adik laki-lakiku. Masing- masing kami ada
yang membawa koper, tas dan kardus. Setelah kami berdua sudah berada di
terminal, bus- bus antar Kota satu per satu masuk, lalu menghilang setelah
penumpang memenuhi sebagian besar kursi di dalamnya. Kemudian bergantian dengan
bus lain yang berbeda tujuan. Dan kala itu, kami akan menaiki bus jurusan
Banyuwangi- Malang. Tak lama kami berdiri dambil menjaga semua barang, bus
jurusan Malang itu datang. Seorang kondektur bus itu berteriak- teriak
menawarkan pada para calon penumpang yang berdiri berjajar di sepanjang
terminal yang tidak begitu besar itu.
“Mau ke Malang dik?, ayo naik!”,
kondektur itu menanyai kami dengan nada tinggi sehingga membuat kami takut dan
bingung. Kami tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
“I..i, iya pak”, kataku terbata-
bata.
“Ayo naik!, ini bis Malang terakhir
lho!”, kata kondektur itu memaksa kami. Tanpa izin kami, kondektur itu tiba-
tiba mengambil koper dan kardus kami dan memasukkannnya ke dalam bagasi bus
itu. Kami benar- benar bingung ‘apa yang
harus kami lakukan?’
“Tapi kita belum bersama orangtua
kami pak. Mereka masih dijalan menuju kesini”, kata adikku mencoba mengeluarkan
argumen. Dengan berfikir cepat, ia segera merogoh hpnya dari saku kemudian
menelepon ibuku. Dia menangis karena takut dan benar- benar bingung. Begitu
juga aku. Aku pun juga berfikir, jika kami duluan, kami tak membawa uang cukup
untuk mebayar ongkos hingga Malang. Tapi jika tidak naik bis itu, artinya kami
harus pulang besok pagi, karena bus itu adalah bus jurusan Malang yang terakhir
di hari itu, fikirku.
Namun,
karena barang- barang kami sudah benar-benar tersimpan di dalam bagasi bus itu,
tak ada pilihan kecuali kami masuk ke dalam bus itu, kemudian berusaha untuk
meminta kepada sopir untuk tidak menjalankan bus itu terlebih dahulu. Ketakutan
dan keteganagan semakin menjadi- jadi, ketika kami tahu bahwa bus itu sama
sekali tidak mematikan mesinnya. Hanya beberapa menit setelah memastikan bus
itu sudah penuh dengan penumpang, maka ia akan melaju. Di sisi lain, orang-
orang di sekitar kami seakan menyaksikan kepanikan kami. Entah apa yang
dipikirkan dalam benak mereka. Merasa geram kepada kami, yang memperlama
keberangkatan bus itu, atau merasa kasihan karena kami benr- benar dipaksa oleh
kondektur.
Waktu
kurang lebih 15 menit itu terasa lebih dari 1 jam, karens begitu menegangkan.
Akhirnya ayahku datang. Ia menyuruh kami turun dari bus itu, kemudian ia
meminta kondektur untuk menurunkan semua barang kami dari bagasi. Ayahku pun
berkata tegas dan sedikit marah kepada kondektur itu.
“Kondektur kayak gitu tu biasa
nduk! Jangan mau dibohongi. Jam segini pasti masih ada 2 atau 3 bus lagi yang
ke Malang”, kata pakdheku memberi penjelasan usai kami turun dari bus itu.
“Iya. Namanya juga cari penumpang.
Sekarang cara seperti itu udah biasa dilakukan, walau membohongi calon penumpang”,
tambah ibuku.
“oh, gitu ya”, kataku, yang
kemudian aku dan adikku menimpali dengan anggukan keras.
Dari
sana aku tahu. Dalam menghadapi situasi apapun, janganlah kita panik. Jika
panik, biasanya akal kita justru tidak bisa berfikir secara rasional. Dan
jangan mudah pula tertipu kata orang lain yang belum kita kenal, apalagi daerah
tersebut masih sangat asing bagi kita. I hope can usefull for all of you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar