Pages

Jumat, 05 Juni 2015

Tangis Karena Kepanikan


            Ini adalah pertama kalinya aku merasakan apa yang namanya mudik. Ke sebuah Kota di ujung Timur pulau Jawa. Kota yang berseberangan langsung dengan sebuah pulau kecil yang sangat dikenal oleh wisatawan mancanegara. Banyuwangi. Sebuah Kota dimana ayahku dilahirkan dan dibsarkan dalam keluarga yang sangat sederhana. Disana sangat dikenal dengan hasil perkebunannya, seperti jeruk dan naga.
“Sekarang mbak sama ibu dulu yang wudhu, ayah, mas dan adik jaga tas!”, kata ayah mengatur sebuah strategi agar tas kami terjaga aman di mushola terminal Surabaya. Di terminal itu, pencurian dan penjambretan menjadi hal yang biasa. Dan ayah ibuku pun pernah mengalaminya sendiri, sehingga mereka pasti tak mau mengalami kejadian yang kedua kalinya.
“Ya”, kata ibuku.
“Disini kan bu?”, kataku sambil menunjuk ke tempat wudhu yang tertutup
“Iya. Tapi ibu mau ke kamar mandi dulu”


            Akhirnya, setelah 16 jam perjalanan kami pun sampai di Banyuwangi. Jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari. Jalanan masih sangat sunyi. Hanya ada beberapa bus anatr kota yang berukuran sangat besar yang sesekali melewati jalan itu.
            Udara masih sangat segar, dan belum ada polusi asap kendaraan yang akan membuat padat jalanan. Saat itu, aku benar- benar merasakan bgaimana kondisi Banyuwangi yang belum begitu padat oleh pemukiman. Umurku yang sudah 15 tahun , artinya sudah lebih dari 12 tahun aku tidak menginjakkan kaki di Kota itu. Dan kalaupun sudah ketika di usiaku yang mungkin baru 2 tahun itu, aku benar- benar sudah tak mengingatnya sedikitpun.
            Selama 5 hari disana, kami benar- benar memanfaatkan moment itu untuk mengelilingi Banyuwangi, dan mendatangi satu per satu keluarga ayahku yang rasanya sangat banyak sekali. Memang, kedua orangtua ayahku sudah tiada semua, tapi silaturahmi memang tidak boleh terputus dan bahkan diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW. Walaupun, tak ada keluarga yang kukenal satu pun, kecuali keluarga kakak ayahku, namun aku benar- benar menikmati waktu- waktu itu. Berkumpul bersama dengan keluarga yang terpisahkan karena jarak yang sangat jauh.
            Selain bersilaturahmi, ayah juga berziarah ke kedua makan orang tuanya. Dan aku pun juga sempat diajaknya jalan- jalan menyusuri sungai kanal, yang kata ayahku buatan tangan orang Indonesia ketika Belanda masih menjajah puluhan atau ratusan tahun silam. Sungai itu benar- benar membuatku kagum, karena panjangnya hingga mencapai 40 kilometer, dan masih berkilo-kilo meter lagi cabang dari sungai itu yang dialirkan ke sawah- sawah warga di Banyuwangi.
            Lima hari itu berjalan cukup cepat. Ketika kami berpamitan pulang, kami diberi 1 kardus penuh berisi jeruk Banyuwangi yang diapanen sendiri dari kebun pakdhe. Juga bibit poho Naga yang kata ayahku akan ditanam di rumah nanti.   
 


            “Ayah, yang ke terminal dulu siapa?”, tanya ibuku memastikan.
“Pakdhe nganter mbak dulu, ayah nganter mas. Terus terakhir nganter ibu sama adik. Nanti habis balik kesini, ayah dianter pakdhe ke terminal, biar motornya dibawa balik”, kata ayahku.
            Dua motor pun melaju, setelah aku dan adikku bersalaman kepada budheku. Pakdhe memboncengku, dan ayah membonceng adik laki-lakiku. Masing- masing kami ada yang membawa koper, tas dan kardus. Setelah kami berdua sudah berada di terminal, bus- bus antar Kota satu per satu masuk, lalu menghilang setelah penumpang memenuhi sebagian besar kursi di dalamnya. Kemudian bergantian dengan bus lain yang berbeda tujuan. Dan kala itu, kami akan menaiki bus jurusan Banyuwangi- Malang. Tak lama kami berdiri dambil menjaga semua barang, bus jurusan Malang itu datang. Seorang kondektur bus itu berteriak- teriak menawarkan pada para calon penumpang yang berdiri berjajar di sepanjang terminal yang tidak begitu besar itu.
“Mau ke Malang dik?, ayo naik!”, kondektur itu menanyai kami dengan nada tinggi sehingga membuat kami takut dan bingung. Kami tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
“I..i, iya pak”, kataku terbata- bata.
“Ayo naik!, ini bis Malang terakhir lho!”, kata kondektur itu memaksa kami. Tanpa izin kami, kondektur itu tiba- tiba mengambil koper dan kardus kami dan memasukkannnya ke dalam bagasi bus itu. Kami benar- benar bingung ‘apa yang harus kami lakukan?’
“Tapi kita belum bersama orangtua kami pak. Mereka masih dijalan menuju kesini”, kata adikku mencoba mengeluarkan argumen. Dengan berfikir cepat, ia segera merogoh hpnya dari saku kemudian menelepon ibuku. Dia menangis karena takut dan benar- benar bingung. Begitu juga aku. Aku pun juga berfikir, jika kami duluan, kami tak membawa uang cukup untuk mebayar ongkos hingga Malang. Tapi jika tidak naik bis itu, artinya kami harus pulang besok pagi, karena bus itu adalah bus jurusan Malang yang terakhir di hari itu, fikirku.
            Namun, karena barang- barang kami sudah benar-benar tersimpan di dalam bagasi bus itu, tak ada pilihan kecuali kami masuk ke dalam bus itu, kemudian berusaha untuk meminta kepada sopir untuk tidak menjalankan bus itu terlebih dahulu. Ketakutan dan keteganagan semakin menjadi- jadi, ketika kami tahu bahwa bus itu sama sekali tidak mematikan mesinnya. Hanya beberapa menit setelah memastikan bus itu sudah penuh dengan penumpang, maka ia akan melaju. Di sisi lain, orang- orang di sekitar kami seakan menyaksikan kepanikan kami. Entah apa yang dipikirkan dalam benak mereka. Merasa geram kepada kami, yang memperlama keberangkatan bus itu, atau merasa kasihan karena kami benr- benar dipaksa oleh kondektur.
            Waktu kurang lebih 15 menit itu terasa lebih dari 1 jam, karens begitu menegangkan. Akhirnya ayahku datang. Ia menyuruh kami turun dari bus itu, kemudian ia meminta kondektur untuk menurunkan semua barang kami dari bagasi. Ayahku pun berkata tegas dan sedikit marah kepada kondektur itu.
“Kondektur kayak gitu tu biasa nduk! Jangan mau dibohongi. Jam segini pasti masih ada 2 atau 3 bus lagi yang ke Malang”, kata pakdheku memberi penjelasan usai kami turun dari bus itu.
“Iya. Namanya juga cari penumpang. Sekarang cara seperti itu udah biasa dilakukan, walau membohongi calon penumpang”, tambah ibuku.
“oh, gitu ya”, kataku, yang kemudian aku dan adikku menimpali dengan anggukan keras.
            Dari sana aku tahu. Dalam menghadapi situasi apapun, janganlah kita panik. Jika panik, biasanya akal kita justru tidak bisa berfikir secara rasional. Dan jangan mudah pula tertipu kata orang lain yang belum kita kenal, apalagi daerah tersebut masih sangat asing bagi kita. I hope can usefull for all of you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar