Minggu, 03 Januari 2016
Mereka Berhasil Memanusiakan-ku
Tak ada yang patut ku kisahkan di dalam goresan kecil ini. Tak ada yang mampu ku lukiskan di atas kertas putih ini. Tak ada yang patut di ketahui banyak orang atas peristiwa nyata ini. Semua itu tak mungkin ku lakukan, melainkan dorongan kuat yang menggerakkan jemariku untuk mengetik dengan tulus, fikiranku untuk merangkai kata-kata dengan fokus, dan waktu tengah malamku hingga tulisan ini tuntas.
Apakah dorongan itu? Karena mereka telah memanusiakan-ku. Mereka adalah para guru hebat yang telah merubah sosok manusia yang hanya secara biologis ini menjadi manusia yang benar-benar manusia. Berprinsip, berideologi, berkepribadian, berprestasi, berbakat, dan tentunya berpendidikan.
Apakah mereka adalah orang-orang hebat yang bergelar panjang? Apakah mereka yang memakai seragam rapi nan gagah? Apakah mereka yang sangat dihargai sehingga memperoleh gaji besar? Atau, apakah mereka yang sangat cepat dalam mengejar materi di kelas?
Aku rasa, jika pertanyaannya semacam itu, maka jawabannya hanya satu. Bukan. Bukan itu orang yang kusebut telah ‘memanusiakan-ku’.
Tentu, kalian sudah faham bahwa yang dinamakan ‘guru’ adalah orang yang mengajarkan kebaikan dan ilmu baru kepada kita. Maka, dapat dipastikan semua yang pernah lahir dari rahim seorang wanita, maka wanita itu lah yang menjadi guru pertama dan utama bagi yang dilahirkan. Itu hukum alam. Itu takdir yang pasti dirasakan oleh siapapun yang hidup di muka bumi ini. Apakah ibu yang kumaksud telah ‘memanusiakan-ku’? Bukan.
Tanpa maksud merendahkan peran wanita hebat bagai malaikat itu. Namun, kali ini aku hanya ingin bercerita makhluq hebat lain yang pernah kutemui. Dan mereka tetaplah guru. Mereka pun mengajariku di kelas. Dan mereka pun yang kutemui setiap harinya.
Kisah ini mulai ku alami sejak aku lulus dari Sekolah Dasar. Kemudian aku memasuki lembaga lain yang memiliki konsep belajar yang tak pernah kutemui di tempat lain, apalagi kurasakan sebelumnya. Sejak usia SMP sebenarnya aku sudah berada pada lingkaran itu. Lingkaran yang membuatku saat ini mampu bercerita. Di usia SMA ku ini, aku baru saja menyadari dan dapat membahasakannya dalam rangkaian kata ini.
Aku bersekolah di sebuah Home Schooling berbasis Pendidikan Islam. Dan karena namanya Home Schooling, di sekolah ini kami sama sekali tidak menggunakan sistem pendidikan yang ada pada sekolah-sekolah pada umumnya. Kami tidak hanya belajar di dalam kelas. Materi pembelajaran kami pun tidak secepat materi pembelajaran di sekolah lain, yang pada umumnya kerja target kurikulum. Sekolah kami juga tak sedikitpun terkesan mewah, walaupun namanya Home Schooling. Disana, kami justru menemukan banyak ilmu baru, pemahaman baru, pola berfikir Islam yang benar, juga ratusan pengalaman yang tak pernah terlupakan.
Maka, dari sanalah aku dapat mengerti hakikat kehidupan, dan tentunya hakikat kehidupan dalam Islam. Dan dari sana pula, aku merasakan adanya guru hebat memang sangat mempengaruhi banyak hal pada diriku saat ini.
Dan merekalah. Di tangan mereka, saat ini aku dapat membanggakan kedua orang tuaku dalam berbagai bidang. Membanggakan bukan dalam artian aku menjadi bintang kelas atau nilai raporku selalu di atas 90. Bukan juga karena aku dikenal banyak orang karena kerap mengikuti olimpiade fisika ataupun matematika.
Namun, kebanggaan itu karena dengan dorongan tangan-tangan merekalah aku mau menghafal Al-Qur’an dengan ikhlas dan semangat. Karena teladan mereka pula, aku bisa bersikap dewasa dan patuh kepada orang tua dan segala kondisi mereka. Karena jasa mereka, aku pun lebih mencintai berpetualang di alam, daripada berselancar di dunia maya. Karena didikkan mereka pula, aku tak pernah takut untuk memulai membuka obrolan dengan orang lain yang belum ku kenal, walaupun kebiasaan yang satu ini sudah mulai ditinggalkan para generasi zaman sekarang. Dan terakhir, mereka pun juga berhasil memberi umpan baik kepadaku. Umpan yang memancingku untuk banyak menyukai berbagai disiplin ilmu dan giat mempelajarinya dan terus menggalinya. Semangat yang mereka munculkan benar-benar sudah tertancap di dalam hatiku.
Dan itulah yang kusebut-sebut, mereka berhasil ‘memanusiakan-ku’. Karena mereka yang menjadikan diriku yang sebenarnya. Mereka yang berhasil menemukan bakat dan jati diriku, tanpa harus terpengaruh dan tak percaya diri. Dan semua itu juga terjadi pada seluruh kawan di sekolahku. Aku yakin, mereka pun juga telah menemukan diri mereka yang sebenarnya.
Kawan, apa arti menuntut ilmu menurut kalian? Menurutku menuntut ilmu bukanlah suatu proses yang ditujukan agar kita dapat menhafal berbagai disiplin ilmu. Bukan pula agar kita lanyah dan akrab dengan berbagai bentuk dan jenis soal-soal. Bukan juga untuk mengejar nilai, dan mendapatkan surat pernyataan lulus berupa selembar kertas yang sering kita kenal sebagai ‘ijazah’.
Bagiku, menuntut ilmu lebih dari itu semua. Ia merupakan perkara yang sangat penting dan tak mungkin dihindari dalam hidup kita. Banyak hal yang tak dapat kita selesaikan sebelum menuntut ilmu. Banyak permasalahan yang tak kita ketahui solusinya tanpa melakukan kegiatan yang sangat penting itu. Karena, memang hakikat menunt ilmu adalah untuk ‘menyelesaikan permasalahan’.
Mengapa aku bisa berpikir seperti itu? Itulah peran guru hebat. Ia yang membuat pola berfikirku berjalan dengan benar. Mereka yang memberiku pengetahuan baru, hingga pengetahuan itu benar-benar dapat kurasakan dalam setiap langkahku menggali ilmu. Setiap kali aku belajar, aku tak pernah berharap mendapat nilai tinggi yang akan membuatku dipuji atau dikenal, karena memang tak ada yang memotivasiku menuntut ilmu karena satu alasan itu.
Dengan begitu, proses belajarku terasa lebih tenang, nyaman, maksimal, dan nampak hasilnya. Dan rasa banggaku muncul ketika aku dapat menemukan passion atau bakatku. Dengan itulah aku dan seluruh kawan di sekolah dapat diakui dan dihargai oleh guru dan adik-adik kelas kami. Karena tak satu pun dari kami yang tidak memiliki dan menguasai suatu bidang. Sekali lagi, bukan karena nilai yang tinggi di kelas. Dan benar saja, menuntut ilmu hanya demi ‘selembar ijazah’ memang tidak ada artinya. Di tahap pertama, inilah yang kukatakan : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’.
Kawan, dimanakah kalian biasa belajar? Menurutku, belajar tidak harus di dalam kelas atau di sekolah. Banyak hal yang dapat kita temukan, kita simpulkan, dan kita ambil manfaat di dunia luar sana. Tidak hanya di dalam kelas dan di dalam tumpukan buku-buku pelajaran. Belajar dapat kita lakukan dengan masyarakat atau bersama alam.
Mengapa aku dapat menyimpulkan perkara semacam itu? Itulah peran guru yang bermutu. Mereka mengajari kami untuk belajar di alam. Belajar bersama tumbuhan tumbuhan-tumbuhan liar, dan hewan-hewan unik yang kami temukan di berbagai tempat. Kami mengidentifikasi anatomi luarnya dengan melihatnya secara langsung. Kami ukir pula pengalaman-pengalaman menjelajah. Memasuki hutan yang penuh nyamuk, mendaki bukit yang dingin, menyusuri pantai yang terjal dan berkarang.
Banyak pula praktikum yang diajarkan kepada kami agar kami dapat mengindra secara langsung kejadian-kejadian sains termasuk praktek perhitungannya menggunakan rumus-rumus. Memahami konsep fotosintesis pada tumbuhan dengan memanfaatkan mika berwarna-warni sebagai gambaran daun yang memiliki banyak variasi warna, tumbuhan air, ruangan gelap dan halaman yang terkena sinar matahari secara langsung, dalam praktikum pelajaran Biology-Tumbuhan (Botany). Dari sana kami dapat menyimpulkan bahwa warna daun dan adanya sinar matahari dapat mempengaruhi oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis.
Kami pun juga dapat memahami bahaya merokok terhadap paru-paru secara langsung dari mereka. Dengan membuat simulasi pada alat dan bahan sederhana. Botol plastik sebagai tubuh manusia, air yang dimasukkan ke dalam botol sebagai penghisap rokok yang ditancapkan ditutup botol. Kemudian tisu bersih sebagai paru-paru yang nanti akan berubah menjadi kuning, coklat, hitam, bahkan tampak seperti terbakar setelah praktikum menunjukkan bahwa proses penghisapan rokok itu berhasil. Itu diajarkan kepada kami dalam praktikum Biologi-Manusia (Human-Body).
Mereka mengajari kami belajar dimanapun kami berada. Mereka melatih kami untuk berani membuka relasi dengan orang lain. Baik orang yang bergelar tinggi maupun masyarakat biasa. Baik di daerah perkotaan, pedesaan, maupun pegunungan. Mulai dari yang sudah memiliki banyak ilmu karena usia mereka, maupun yang masih berusia seperti kami. Dengan begitu kami bisa menggali pengetahuan dan informasi baru yang tidak akan kami temukan di buku-buku pelajaran. Dari sana pula, kami dapat mengetahui permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dan dari sana pula, mereka melatih kami untuk memberikan solusi terhadap permasalahan masyarakat itu. Tentu, dengan harapan besar. Ketika kami besar nanti, kami akan terbiasa terjun, peduli, dan dapat menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Impian hebat bukan? Di tahap kedua ini, inilah yang kukatakan kembali : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’.
Kawan, bagaimana perasaan kalian ketika libur sekolah tiba? Kebanyakan pasti akan mengatakan itu adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Liburan sekolah seolah waktu kita dapat bersenang-senang. Waktu dimana semua beban serasa terbang tak tersisa. Waktu dimana kita tak pernah lagi dikejar tugas dan soal setiap hari dan setiap malam. Dan kata ‘belajar’ seolah terlupakan.
Tidak. Sekarang aku sudah membuang teori liburan seperti itu. Namun, bukan berarti aku tidak suka dengan liburan sekolah. Bukan berarti aku lebih mencintai bersama teman-teman dan guru, daripada berkumpul bersama keluargaku. Liburan sekolah tetaplah menjadi hari-hari yang sangat kunantikan, apalagi sejak aku merantau sekolah di luar Kota, bahkan luar Provinsi yang cukup jauh dari tempat keluargaku berada. Bagiku, libur sekolah adalah waktu dimana aku tetap belajar. Belajar di tempat dan suasana yang berbeda. Belajar bersama orang-orang yang berbeda, dan mereka juga tak kalah ku kagumi.
Mengapa aku bisa berteori seperti itu? Lagi-lagi, karena insan yang kita sebut guru itu adalah sosok yang mencerdaskan. Mereka mendidik kami agar menjadikan hari-hari libur itu tetap bermakna. Libur yang mereka ajarkan kepada kami adalah waktu belajar bersama orang tua dan keluarga. Bukan waktu untuk melampiaskan segala kepenatan saat berada di sekolah, karena kami pun tak pernah merasa hari-hari kami di sekolah terasa penat.
Mereka memberi pemahaman kepada kami, bahwa belajar tidak harus ketika waktu aktif sekolah. Dan mereka pun menanamkan kepada kami, bahwa belajar pun juga tidak harus bersama mereka. Orang-orang di sekitar kami, termasuk saudara juga orang tua juga dapat kita jadikan guru, walau mungkin profesi mereka hanya seorang pedagang atau bahkan tukang becak sekalipun. Mereka tetaplah sosok teladan yang dapat kita contoh kehebatan dan sifat positifnya. Di tahap ketiga ini, inilah yang kutulis kembali untuk mereka : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’.
Kawan, bagaimana pendapatmu tentang guru hebat? Bagi banyak orang, guru yang hebat adalah mereka yang bergelar tinggi, berseragam dinas, bergaji besar, dan sangat ditakuti banyak orang karena ilmunya yang seolah tidak ada yang patut menandinginya.
Tidak. Sekarang, aku sudah mampu merubah cara pandangku. Menurutku, guru hebat adalah mereka yang tetap menunjukkan kesederhanannya dalam setiap kali bertemu kami. Mereka yang tidak terlalu membanggakan gelar panjangnya dan ilmu tingginya. Mereka yang tetap merendahkan hati, walaupun jelas-jelas kami tak dapat dibandingkan dengan mereka di sisi manapun. Demi mendidik generasi calon pemimpin bangsa di masa depan, mereka juga tidak mengharapkan gaji besar. Tak lebih hanya untuk dapat makan dan hidup sederhana. Dari keihklasannya itu pula, tak sekalipun mereka mengharapkan kehormatan di mata sosial. Baik, dari para orang tua kami, masyarakat, keluarga dan saudara mereka, juga dari kami.
Di tahap terakhir ini, aku sebut kembali : ‘mereka telah berhasil memanusiakan-ku’. Mereka tak pernah mengajarkan hal itu kepada kami dengan perkataan. Namun, teladan spesial itu mereka salurkan melalui perilaku mereka di hadapan kami.
Kawan, itulah mereka. Guru yang tak hanya sekedar pengajar, namun juga pendidik. Semoga cita-cita mereka segera berubah menjadi kenyataan. Menjadikan kami sebagai kader pemimpin, ilmuwan, ulama, politisi serta negarawan yang senantiasa peduli dengan urusan Ummat manusia dan memegang erat Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar