Pages

Kamis, 19 Januari 2017

Benahi Niat

Banyak alasan dan motivasi yang membuat kita masih terus bertahan dalam langkah kehidupan. Seberat apapun tantangan, setinggi apapun cobaan, dan sederas apapun air mata. Semua orang pasti maunya bahagia. Terlepas bagaimana bentuk kebahagian itu. Dan tak bisa dipungkiri semua tetap lah ingin menapaki perjalanan hidup dengan senyuman dan kenikmatan. Rasa nyaman dan tenang.

Semua itu kan diraih kecuali berawal dari kesadaran untuk apa ia hidup, dan apa yang ia ingin raih. Tujuan itulah yang akan mengantarkan pada kepercayaan dalam melangkah.

"Sesungguhnya perbuatan itu dilihat dari niatnya". Sebagai Muslim yang beriman kepada Rasul-Nya tentu kita harus mengamalkan hadits yang merupakan perkataan Baginda yang mulia.

Dan syarat diterimanya amal di sisi Allah adalah niat yang benar karena Allah, dan cara yang sesuai dengan syariat Allah. Tak hanya dalam sujud dan ruku' di lima waktu setiap harinya. Bukan pula hanya dalam menjalankan rukun islam yang lima.

Beruntunglah bagi yang telah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditakutkan. Karena ia tak kan menyia-nyiakan amalan, sekecil apa pun. "Dan  barangsiapa melakuan perbuatan (baik) seberat biji zarrah pun, maka ia akan melihat balasannya"

Sungguh sayang amat sayang, jika sudah sejauh ini kaki melangkah, sudah banyak tangan ini terulur untuk sedekah, pengorbanan ini untuk dakwah, perjuangan dalam menuntut ilmu hingga berpeluh atau bahkan berdarah, namun dua syarat utama tak ada.

Jikalau caranya sudah sesuai tuntunan, tapi hati ini jauh lebih sering terbesit dengan niat-niat yang salah. Yang mampu menggugurkan segala pahala yang diharapkan. Yang dapat  menghapuskan segala kebaikan. Yang sewaktu-waktu juga mendatangkan kekecewaan. Dan tanpa sadar mengundang penyesalan.

Sungguh niat lillahi ta'ala itu tak gampang. Bukanlah Dia selalu mengawasi kita?
Bukannya kita Dia lebih dekat dari urat leher kita?

Benahi niat. Luruskan apa yang menjadi syarat utama semua amalan diterima dan yang kelak mejadi bekal di hari penggiringan.

Jangan sampai kita belajar karena demi kedudukan di dunia. Atau harta banyak yang diimpikan. Jangan sampai sholat, puasa sunnah dan semua ibadah nafilah hanya untuk mencari pujian. Jangan pula kita langkahkan kaki dalam dakwah karena ingin dikenal diantara manusia karena merasa lebih hebat dan mulia di hadapan-Nya dengan perkataan dan tulisan yang mampu mengguncang.
Cukuplah Lillahi Ta'ala.

Eratkan

Tak perlu jauh-jauh. Karena aku sedang mengagumimu kawan. Karena aku sedang menegur diri ini. Untuk mensyukuri nikmat Allah yang sungguh istimewa. Nikmat yang tak hanya terasa indah dalam kehidupan yg sempit ini, tapi kan menjadi nikmat karena kelak kau dapat menjadi penolong ku untuk masuk ke alam yang hanya hanya kaki dan tangan yg bersaksi. Dan mulut hanya berdiam diri.

Sungguh, saat ku pandang wajahmu ada sejuta ketenangan di sana. Saat kulirik senyummu kudapati apa itu arti keikhlasan. Kala kubicara denganmu kutemukan betapa indahnya nasehat.

Lisan mu hanya berbicara ayat Quran. Air wudhu menjadi cara mu untuk berdandan. Sujud mu seakan kau tahu jika itu sebuah penutupan.

Aku pun tersentak saat tanpa sengaja kulihat sebuah coretan. _'Teruslah melangkah. Jangan pernah berhenti seberat apa pun tantangan. Kecuali memang Allah yang menghentikan._

Ku teringat sebuah perkataan Sang Baginda : _"Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-gerinya teringat mati.”_

Dan itulah engkau kawan. Tiada kenikmatan setelah Iman dan Islam selain sahabat yg senantiasa mengingatkan dalam ketaatan. Maka pegang eratlah ia, jangan pernah kau lepaskan.
Karena mendapatkannya sangat sulit daripada melepaskan.

Matahari dan Bumi

Terkadang kita perlu meneladani matahari dan bumi. Mereka tetap saling mencintai, dan memberi manfaat walaupun harus saling menjauh. Kita di perantauan ini bagaikan matahari. Dan orang-orang yang kita rindukan nun jauh disana adalah bumi.

Saat rindu menyesakkan dada. Saat air mata menggoreskan kenangan. Hanya Allah lah tempat mengadu dan menangis. Karena Dialah Dzat yang cinta kita harus menjadi nomor pertama kepada-Nya. Karena Dialah Rabb yang pandai membolak-balikkan hati hamba-nya.

"Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya" (QS. At-Taubah :24)

Mengingat nasehat Imam Syafi'i, bahwa perantauan lah yang membuat kita semakin kuat, taat, dan dekat dengan-Nya selama Al Quran menjadi pedoman.

"Sesungguhnya air yg tenang dan tidak mengalir akan membusuk dan mjd mati. Seekor singa di hutan hanya dpt menerkam mangsanya setelah ia keluar dr sarangnya. Anak panah tdk akan mengenai sasaran jika tdk dilepaskan" (Imam Syafi'i).

Merantaulah kawan.

Permainan Catur

Saat kita ingin bermain catur pastilah kita sudah punya ilmu bagaimana cara bermainnya dan apa saja peraturan mainnya.

Bayangkan, jika kita punya cara main sendiri. Dan lawan pun punya aturan sendiri. Kita ingin kuda kita berjalan dengan bentuk huruf "R". Sedangkan lawan maunya dengan huruf "K". Begitu juga dengan aturan-aturan lain yang kita buat sendiri.

Besar kemungkinan, permainan ini tidak ada pemenangnya. Jangankan pemenang, mungkin kita dan lawan tak kan selesai beradu argumen hingga akhirnya permaianan pun tak kunjung dimulai.

Yang seharusnya memikirkan taktik untuk meraih kemenangan, ini malah lelah hanya karena saling menyalahkan.

Padahal si pembuat catur tidak membuatnya agar pemainnya berdebat terkait mana aturan main yang lebih tepat. Ia pasti membuatnya sudah seperangkat dengan tata cara bertanding. Sehingga catur tak menjadi sia-sia karena ia dibuat memang untuk mengasah kecerdasan otak dan ketajaman berstrategi. Bukankah begitu?

Itulah hidup ini.

Terlau sombong kita jika berani membuat aturan tentang kehidupan ini dengan tangan-tangan lemah dan kemampuan yang terbatas.

Padahal Sang Khaliq telah menciptakan kita sebagai manusia, kehidupan dan alam semesta pun sudah lengkap dengan aturan yang terbaik untuk ciptaan-Nya.

Ia bukan hanya Al-Khaliq, namun juga Al-Mudabbir (Maha Pengatur).

Dan beginilah kondisi kita, kehidupan kita, masyarakat kita, negara kita, dan saudara-saudara kita nun jauh disana.

Sengsara, penuh derita, peperangan tak kunjung mereda, penjajahan tak ada ujungnya. Dan sejuta kerusakan telah nampak di depan mata.

Beginilah ketika kita, manusia yang lemah ini berani mengatur hidupnya sendiri. Semua punya prinsip dan cara sendiri. Sedangkan pemilik kita dan lahan kehidupan kita dianggap tak bersuara.

Padahal sudah jelas jika kita dan lawan bermain catur dengan aturan yang sama, semua akan terasa indah. Asyik. Berkesan. Tidak menjadi gelap dan tak jelas. Karena kita sama-sama menggunakan aturan sang pembuat catur. 

Masa Depan

Hari demi hari kita lalui dengan tawa bahagia bersama kawan-kawan. Menghabiskan masa muda jauh di perantauan. Menghilangkan kepenatan tugas yang tak pernah mereda. Bangun di kala masih petang dan pulang di saat orang sudah terlelap bersama mimpi yg indah. Menghadap laptop, kertas, buku, dan jurnal-jurnal yang menuntut untuk kita pahami dan dihafalkan.

Hingga tiba suatu masa ujian. Dan tak terasa gelar sarjana pun didapatkan. Bertahun-tahun itu berjalan dengan peluh perjuangan. Hingga suatu penyesalan datang bersama keharuan dan tangisan.

Saat Ia menjemput tanpa ada penundaan. Apalagi penawaran. Semua terasa menyesakkan. Karena semua perjuangan berpeluh itu tak kan berati di sisi Tuhan, melainkan dengan _iman dan amalan_ yang dapat terabadikan. Kenangan yang membawa dalam kebahagiaan yang terelakkan. Karena itulah arti perjuangan.

_"Wahai orang-orang yang beriman, Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yg telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan Bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yg kamu kerjakan"_ *(Al-Hasyr : 18)*

Masa depan itu bukan hanya yang kita impikan di dunia. Karena hidup ini hanya tempat peristirahatan bagi kita sebagai musafir. Seperti sesaat di pagi atau sore hari.

Untuk masa depan dunia kita rela berkorban mati matian dengan harta, waktu, tenaga, pikiran, bahkan rela tidak tidur semalaman.

Tapi untuk masa depan akhirat?

Semua Itu Pilihan

Semua itu pilihan. Kala handphone tak lagi hanya berfungsi sebagai alat komunikasi. Ia sangat pandai, bisa menjadi sarana dalam berbagi hal. Mulai dari membangunkan dari mimpi, sarana menambah ilmu pengetahuan, dan cocok sekali sebagai alat penghibur diri.
Ia banyak membawa orang menuju sebuah kebaikan, tapi tak sedikit yang justru terjerumuskan.

Namun, semua tetap pilihan. Apakah kau menggunakan-nya untuk mendengar lagu-lagu yang melupakan diri dari Allah. Atau justru kau jadikan sarana untuk menambah dan menjaga hafalan Quran.

Semua itu pilihan. Apakah kau menyibukkan untuk berchatting ria dengan sahabat jauh yang bahkan tak kau kenal di dunia nyata. Atau kau memilih mengobrol dan mendengar kisah  teman terdekat yang ada di sisimu. Mencoba peduli dengan keluh kesahnya.

Semua itu pilihan. Apakah kau memilih membaca obrolan di group whatsapp yang tiada ujungnya, atau mencermati ayat-ayat Nya yang keindahannya tiada duanya.

Semua itu pilihan. Apakah kau memilih berselancar di dinding facebook atau google, atau menjelajah di alam Sang Khaliq sembari mentadabburi ciptaa-Nya.

Semua itu pilihan. Apakah kau menghibur diri di tengah-tengah kesibukan dengan bermain game terbaru, atau kau hubungi ayah ibu untuk memperhatikannya sekaligus melepas rindu.

Semua itu pilihan. Apakah kau lebih suka membaca status galau, hoax bahkan spam atau kau baca buku-buku yang akan menempamu menjadi sosok yang berilmu.

Semua itu pilihan. Yang pasti, kau dan aku punya waktu yang sama dalam setiap tahun, bulan, minggu, hari, dan jam. Kau dan aku pun punya kewajiban karena Rabb kita pun satu.

Kewajiban itu banyak, namun waktu itu sungguh terbatas. Semua itu pilihan. Apakah kau dan aku mau berusaha melaksanakan semua kewajiban itu, atau dipilih saja mana yang kau dan aku suka.

"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi ilmu & agama), rukuk, sujud, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman"
(QS. At-Taubah : 112)

Ulul Albab

Tiada yang patut untuk lebih dicintai dari segalanya kecuali Dia. Tiada yang pantas diingat setiap saat kecuali Dia. Tiada tempat bergantung yang menjanjikan kecuali Dia. Tiada yang perlu dikejar kecuali Dia.

Ketika hati sudah terpaut dengan-Nya, semua akan berasa mudah. Saat cobaan tiba ia akan tertunduk dan tersujud pasrah di hadapan-Nya.
Saat nikmat menghampiri ia tak kuasa menahan air mata syukur. Tetap tertunduk dan tersungkur. Tidak ada rasa ujub apalagi takabbur.

Tetap istiqomah dalam amalan ringan yang tampak sepele padahal berdampak besar.

Tatkala dhuha membantunya dalam meraih cita. Tatkala tahajjud membuatnya tenang. Ketika terjaga dalam wudhu membuatnya lebih bahagia. Ketika dzikir pagi dan petang melindunginya dari mara bahaya. Ketika hafalan Quran memudahkannya dalam memahami berbagai pelajaran. Saat istighfar membimbingnya untuk ingat akan kematian. Dan tatkala dakwah menolongnya dari segala kesusahan.

Merekalah ulul albab. Yang senantiasa mengingat Sang Pencipta alam dan kehidupan di kala tawa maupun tangisan. Di kala sempit maupun lapang.

Ali Imran : 190-191

Kamis, 05 Januari 2017

Harga Diri Pemuda

Harga diri pemuda Muslim bukan dilihat dari kecantikan atau ketampanannya. Bukan juga dari kedudukan orang tuanya. Bukan juga seberapa banyak teman bergaulnya. Bukan pula dilihat dari merk-merk baju, tas, dan sepatunya. Apalagi dilihat dari pasangan yang biasa disebut pacar.

Pemuda Muslim bukanlah sosok yang mudah terbawa arus budaya hedonis, sekuleris, dan individualis. Yang membuatnya tak tau arah dan tujuan penciptaan.

Imam Syafi'i pernah berkata : _"Demi Allah, hakikat pemuda adalah dengan ilmu dan taqwa. Bila keduanya tidak ada, maka tidak ada harga diri baginya"_

Ilmu yang dimaksud juga pasti mengarahkan untuk meningkatkan keimanan kepada Allah. Baik ilmu dunia ataupun akhirat. Bukan menjauhkan, atau bahkan melupakan Allah.

Imam Syafii juga menasehati kita : _"Siapa yang tidak mencintai ilmu (Agama), maka tidak akan kebaikan untuknya"_

Lalu, bagaimana pengertian taqwa itu ?
Ali bin Abi Thalib
berkat : _"Taqwa : Takut kepada Rabb yang Maha Agung, menjalankan Al Quran yang diturunkan Allah, Ridha meski terhadap yang sedikit, dan bersiap menghadapi Hari Penggiringan"_

Sudahkah kita berilmu dan bertaqwa?