Entah mengapa selalu saja ada alasan untuk melangkah ke tempat itu. Setiap sianh, walau hanya satu kali setiap pekan. Walau harus sendiri, dan memang kesendirian bagiku jauh lebih menyenangkan. Karena Dia serasa lebih dekat. Walau harus menunggu bus bahkan hingga satu jam, karena enggannya sopir menjalankan bus karena jam jam itu memang tidak banyak penumpang. Mungkin karena mereka yang biasa memenuhi bus itu sedang sibuk dalam bangku kuliah, atau memadatkan pasar untuk jual beli, atau di sekolah-sekolah baik yang mengajar atau yang diajar.
Bus merah itu lagi-lagi harus membuatku sabar. Terhembus angin musim dingin yang kian kencang. Menusuk tulang siapapun yang tak mau membungkus tubuh nya dengan pakaian tebal. 10 menit, sesekali aku menengok ke arah bus itu akan tiba. Sengaja tak mau terlalu sering atau bahkan terus terusan menatap arah itu, berharap segera muncul dari aspalan yang lebih tinggi dari tempat aku berdiri. Aku tau akan banyak mata yang memandang, walau aku tak memandang mereka. Para penumpang bus bus kecil, atau tremco, atau taxi dan mobil-mobil lainnya. Karena orang asing diman-mana akan menjadi pusat perhatian. Layaknya bule jika di negeri kita. Hanya aku seorang diri yang memakai jilbab dan khimar yang lebar. Jarang sekali aku menemukan perempuan. Sebenarnya aku menyadari sejak sebelum menyeberang jalan, jika hari itu adalah hari Ahad. Yang artinya sedang ada Suq Sayyarat. Pasar mobil. Itulah hari ketika mencari bus tak semudah hari biasanya. Apalagi suq di hari Jumat. Bus merah tak akan ditemukan kecuali pagi buta. Karena jalanan benar-benar penuh dengan mobil-mobil second yang dijual itu. Tapi entah tetap ada saja yang mendorong hati ini tetap dalam keinginan semula. Tetap melangkah dan tak kembali. Padahal jika aku menyerah dan pulang saja pun tak masalah. Masih banyak hal yang perlu kukerjakan. Masih banyak yang perlu kubaca dan hafal. "Lāhaula walla quwata illa billah", hanya berbekal itu aku yakin pasti Allah memberi jalan untuk niat yang baik ini insya Allah. Lagipula suq di hari Ahad tidak sepadat di hari Jumat. Jangankan bus besar, bus mini saja harus rela berdesak-desakkan lewat jalan tikus. Yang arah nya tak beraturan.
Adzan Dzuhur telah usai. Waktu yang mustajab untuk memohonkan segala harapan. Dan benar saja, Allah tak pernah mengingkari janji-Nya. Barangsiapa bertawakkal pada-Nya maka Allah akan mencukupkan. Mungkin sekitar 15 menit aku berdiri, menahan angin yang semakin kencang dari segala arah, bus itu nampak, aku pun naik setelah sedikit melambaikan tangan. Tak seperti biasa, jam siang seperti ini biasanya bus jarang sekali penuh, bahkan kursinya pun kosong. Tapi ini tidak, dan aku pun harus berdiri. Niat untuk membaca ulang hafalan dengan duduk di kursi pun sirna. Tapi tak apa. Biarlah sekali-sekali aku mengalah. Selama ini mishriyin (orang mesir) lebih sering mengalah kepada kami. Sedangkan kami duduk nyaman menikmati perjalanan di atas kursi.
Macet. Teriakkan antar pengendara pasti menghiasi siang yang terik itu. Saling berebut untuk mendapat jalan terlebih dahulu. Ternyata udara yang sejuk itu tak mempengaruhi suasana hati mereka. Tak apalah. Memang itu tabiat mereka. Mungkin aku saja yang belum biasa dan terlalu menyamakan dengan negeri sendiri.
Satu pemandangan yang kunantikan ku tiba. Nafura. Tempat itulah pertama kali aku mengenal dan dibantu oleh kakak perempuan yang sangat ramah. Yang jelas wafidat dari Indonesia. Dan ketika itu adalah haru pertama aku kuliah. Merasa anak kecil yang tak tau rumah induk. Saat itu hanya pasrah pada Allah saja yang menjadi andalanku. Setiap saat. Karena aku datang ke kuliah bersama teman-teman markaz yang tak ada satupun orang Indonesia. Kawan dari negeri melayu itu tak tinggal di distrik yang sama denganku. Dan aku tak tahu harus darimana aku menunggu bus.
Dan Allah mempertemuakanku dengan tiga akhwat berniqob.
"Kak, rumah nya mana?"
"Asher"
"Boleh bareng?"
"Iya boleh, ayo.."
"Alhamdulliah.."
Kami pun berkenalan. Aku menyampaikan bahwa aku adalah mahasiswi baru (maba) tahun 2017 ini. Dan baru kali itu aku kuliah. Kakak itu pun semakin antusias berbicara denganku, yang akhirnya aku meminta nomor headphone-nya. Dan mulai lah perjuanganku di bangku kuliah. Bersama kakak-kakak kelas yang tak seumuran denganku.
Nafuro. Air yang muncul dari bangunan bulat yang indah. Dan sepertinya baru kali itu aku melihat airnya deras. Atau selama ini aku melihat saat airnya sedang surut. Di tempat itu memang tak pernah sepi. Mahasiswa dan mahasiswi yang menyebrang atau sedang menunggu bus untuk pulang.
Dan aku sudah dalam kondisi duduk di kursi single tepat di belakang sopir itu. Kanan, belakang, dan sekililngku penuh dengan laki-laki.
"Ah, hari-hari imtihan (ujian). Pantas saja bus ini penuh. Mungkin mereka mendapat jadwal imtihan ba'da dzuhur".
Dan benar saja, saat sudah melewati gerbang Jamiah banin bus itu seketika longgar, aku pun bisa leluasa menengok, saat sebelumnya hanya bisa menatap jendela bus sebelah kiri. Bernafas pun terasa lega.
Bus terus berjalan. Memutari area Jamiah al Azhar. Hingga akhirnya melewati Bab ar Rais (pintu utama). Dan inilah tempat kedua yang aku nantikan untuk melewatinya. Ketika bus memutar arah untuk ke arah Darosah, nampaklah besar, megah dan indah nya Bab ar Rais itu. Dan itu yang membuatku tak jarang menitikkan air mata. Sampai sekarang.
"Ya Rabb nikmat Mu mana lagi yang harus didustakan?", air mata ini terkadang tak kuat untuk ditahan.
Gerbang utama yang benar-benar tinggi, bertuliskan arab Jamiah Al Azhar. Yang nampak di belakangnya bangunan-bangunan kampus yang nampak rapi, walau tak berwarna-warni. Masjid Zahra' yang terletak di sebelah Markaz Lughoh. Lokasi pertama Al Azhar yang dulu aku datangi. Di sebelah nya bangunan yang lebih tinggi lagi tertulis "Kuliyatul Da'wah Islamiyah". Kemudian dibawahnya "Faculty Of Islamic Dakwah"
Semua itu sudah di depan mata. Tempat yang dahulu tak sedikitpun terbesit jika keinginanku Allah beri jalan.
Bus terus berjalan, menembus siang sekaligus angin kencang, dan aku mulai merasa kantuk. Al Quran yang sejak tadi kubaca hampir terjatuh. Aku memutuskan untuk berhenti membaca. Memejamkan mata sebentar. Tapi tak lama aku melihat jembatan layang di depan sebelah kiri. Mengartikan bahwa bus ini akan berhenti. Dan tempat yang aku tuju sudah tiba. Satu jam perjalanan tidak terasa lama. Di mahathoh (halte) akhir semua penumpang pun bergegas keluar.
Aku sengaja keluar terakhir agar tidak perlu berdesakan dengan penumpang lain. Terutama laki-laki. Lagipula bus itu tidak langsung jalan.
Di masjid seperti biasa. Antrian untuk setoran sudah ada. Dan kebanyakan mereka adalah pelajar dari Thailand dan Malaysia, beberapa mungkin dari Brunei. Yang memiliki wajah khas walaupun tak jauh beda dengan anak Indonesia. Pakaian mereka pun akan bisa kita bedakan jika sering bergaul atau setidaknya bertemu. Walaupun mereka menggunakan bahasa melayu, tapi tetap saja ada perbedaan dengan melayu Malaysia bagiku. Dan jika anak-anak Thailand itu bicara, dan aku tidak faham hanya bahasa Arab yang jadi andalan. Ya memang itu yang seharusnya kami gunakan dan kami latih.
Menunggu antrian di seorang Ustadzah, dan Syaikh Abdullah. Hingga hampir menjelang Ashar aku pun selesai untuk disima' di dua antrian itu.
Usai sholat Ashar, aku memutuskan untuk langsung pulang walaupun berdiam diri di tempat yang indah itu selalu kunantikan. Tapi jika aku terlalu malam, nanti akan terjebak lagi dengan dingin yang semakin menusuk tulang.
Ternyata aku tidak langsung mendapat bus. Sambil menunggu di mahathoh, talkhis (rangkuman) kitab kembali lagi aku genggam. Membaca sedikit demi sedikit walaulun tidak terlalu konsentrasi. Sambil sesekali melihat arah dimana bus tiba.
Masjid Ja'far bin Abi Thalib yang begitu indah, dan mewah. Nampak sekali bahwa mengartikan sebuah kenyamanan dan kenikmatan tersendiri berada di dalam itu. Entah itu bermunajat kepada Rabb, atau bersua bersama Al Quran atau belajar. Benar-benar syahdu dan selalu dirindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar