"Terlepas Apapun Harakah nya, kalau dia tulen mengenal pergerakan itu pasti ngga akan main-main belajar di Mesir".
Satu pelajaran berharga dari kawan yang sudah aku anggap bagai kakak. Benar. Betapa indahnya ukhuwah saat sama-sama berjuang di jalan-Nya untuk meraup ilmu. Menempuh jalan menuju surga yang penuh lika-liku. Tak perlu memandang latar belakang, harakah, organisasi atau kelompok. Kita berjalan dalam satu kalimat tauhid. Yang tak hanya menyatukan ummat Islam dari suatu Negeri, atau satu jenis kulit, atau rumpun, atau bahasa tertentu. Semua memiliki peran besar untuk masa depan ummat Islam.
Ukhuwah karena persatuan aqidah memang begitu indah. Suatu hari dalam sebuah daurah Ulumul Syar'iyah yang menghabiskan waktu liburan kami, dan hampir satu bulan penuh selama kami kuliah, kemudian ditutup dengan imtihan marhalah khorithoh itu, semakin mempererat pertemanan kami.
Hurun dan Kak Mutmainnah berasal dari Johor, Malaysia. Jannah yang sangat kental dengan bahasa Medan nya. Kak Firda yang sangat tulen dengan ajaran turun temurun dari keluarga serta lingkungan Nahdhatul Ulama. Orang Jawa Timur yang pasti tak jauh berbeda lingkungan hidup nya dengan diriku sejak pertama kali didengarkan.
Selama sekitar dua minggu, aku Hurun dan kakaknya, kak Mutmainnah, Jannah belajar bersama. Kami bergantian untuk saling mengunjungi tempat tinggal kami. Darrosah dan Sabi'. Sembilan maddah yang akan diujikan itu membuat kami tak bisa main-main. Apalagi terkadang kita tak hadir dalam muhadhoroh di ruwaq itu saat ada jadwal lain yang tak bisa ditinggalkan.
"Hari ini kita harus dapat lima maddah, minimal tiga"
Belajar yang kami mulai sejak pagi, ketika harus mengorbankan kuliah, hingga malam tiba. Jannah pun menginap di rumahku agar sejak pagi bisa segera kita mulai.
"Tak ada jam molor ya. Kalau mulainya kesiangan, nanti cuma bisa dapat sedikit"
Pagi yang sudah memasuki musim dingin itu, membuat pukul tujuh pagi, terbitnya matahari belum sempurna. Kabut dan dingin mulai memcekam.
"Maafkan kami semalam ambik makcik kat Airport. Kite orang tak bisa tidur tempat awak"
Malam itu, syaqoh ku yang sudah aku siapkan untuk tiga kawan yang akan menginap, ternyata yang dua membatalkan.
Salut. Walau mereka baru tiba dari bandara tengah malam, mereka sama sekali tidak melanggar perjanjian untuk datang pagi-pagi buta. Pukul delapan pagi kami sudah bisa memulai belajar. Sarapan nikmat bersama kitab Syarah Arba'in an-Nawawiyyah.
Sekitar sebelas hadits kami selesaikan sebelum sholat Dzuhur. Setelah sholat, dan makan, kami melanjutkan maddah Aqidah. Sebuah kitab tipis, Khulashotul Kalam Syarah Nudzum Aqidah 'Awwam karangan Syaikh Hisyam Kamil memang menjadi kitab favorit bagi Azhary yang baru saja memulai belajar dalam fan ilmu ini. Penjelasan yang tak serumit pada kitab-kitab Aqidah, yang lain membuat kita mudah untuk membaca, memahami dan saling memahamkan. Pembahasan terkait Ilahiyat (Tuhan), Nabawat (Nabi dan Rasul), serta Sam'iyat (perkara-perkara ghaib) yang dikupas secara detail serta ringkas membuat kita harus benar-benar harus fokus. Aku dan Hurun yang sudah mempelajari Ilahiyat secara mendalam di kampus, membuat membaca Khulashoh semacam itu sangat ringan. Kak Mutmainnah yang sudah menyelesaikan S1 nya pun merasa mudah saja untuk memahami. Sedangkan Jannah yang baru saja masuk jurusan Syariah Islamiyah merasa sedikit kesulitan karena materi yang masih cukup asing. Tapi kecerdasan nya menembus segala kesulitan yang ia hadapi.
Hingga adzan asar berkumandang, maddah kedua yang cukup menguras pikiran walaupun tidak banyak itu belum usai. Kami putuskan untuk sholat Ashar terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan hingga sekitar pukul setengah lima. Setelah maddah Aqidah, tanpa istirahat, kami lanjutkan ke maddah Ulumul Qur'an. Kali ini aku yang mendapat giliran untuk menjelaskan sebagimana kesepakatan kami sebelumnya. Kitab Itmam Dirayah Li Quraai Nuqayah yang berisi lebih dari sepuluh fan ilmu itu merupakan Khulashoh atau ringkasan kitab Turats karangan Imam Jalaluddin Abdurrahman Asy-Syuyuthi. Bahasanya yang cukup berat membuat kita tak akan mampu untuk memahami tanpa mendengarkan Syarah yang diberikan Syaikh Yasir Mursi. Bagaikan Imam Syuyuthi zaman now, yang seolah sudah menghafal isi kitab dan penjelasan nya diluar kepala. Jika mengandalkan kemampuan membaca ku yang masih pada batas kitab-kitab kontemporer, maka kitab ini tak akan mampu aku jelaskan. Pilihan bahasa yang sangat mendalam, tepat, dan cukup berat menjadikan penjelasan Syaikh Yasir begitu menarik dan menakjubkan.
Hingga Maghrib tiba, belum ada setengah muqaraar yang sudah kami pelajari bersama. Setelah kak Muthmainnah yang gugur dalam lelap ketika Hurun menjelaskan maddah Aqidah, sekarang Hurun pun gugur saat aku menjelaskan Ulumul Qur'an. Jannah pun menyusul saat adzan isya berkumandang, sedangkan aku masih terus melanjutkan syarah. Berat memang. Berjam-jam berkutat dengan kitab-kitab gundul, apalagi turats yang bahasanya cukup berat.
Tiga maddah yang tidak ringan pun menguras semua tenaga, fikiran. Hadits, Aqidah, dan Ulumul Qur'an. Hingga sekitar pukul delapan malam, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti. Hurun dan kakaknya yang tidak bisa menginap karena esoknya setelah shubuh ada dars tajwid dan tahsin Al Qur'an, akhirnya berpamitan untuk pulang. Sedangkan Jannah sudah nyenyak tertidur di atas shofa. Tak berkutik sedikit pun hingga kedua temannya pulang. Kitab yang kami pelajari diletakkan di atas mukanya menjadikan semakin lelap.
Itu ketiga kalinya kami belajar bersama. Pertemuan pertama juga kami belajar di rumah ku, untuk maddah Ushul Fiqh dengan kitab Itmam Dirayah Li Quraai Nuqayah dan Mustholah Hadits dengan kitab Minhatul Mugits Fii Mustholah Hadits, karya 'Allamah Hafidz Hasan Su'udi, salah seorang Ulama Azhar. Kitab yang sudah masyhur dikalangan pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan nya di pesantren ini sangat indah. Singkat, tapi berbobot. Padat juga berat. Walaupun kami belum menyelesaikan semua Mustholah, tapi syarah yang diberikan Syaikh Aiman Abdul Hajar sangatlah mendetail. Tidak kalah seru saat menjelaskan kitab Muqaddimah Ibnu Sholah yang jauh lebih berat. Sedangkan Ushul Fiqh yang sangat masih sangat asing bagi ku, penjelasan Syaikh Abu Yazid sangatlah berat. Apalagi terkadang masih bercampur dengan bahasa Amiyah, dengan gaya penjelasan yang cepat. Dan itu semakin membuat ku tertantang dan penasaran untuk semakin serius mempejarinya. Dengan bantuan Kak Mutmainnah yang sudah sangat memahami Ushul Fiqh dari kuliah, yang notabene selalu dipelajari di setiap tingkat, sudah tak asing lagi dengan semua Mustholah yang ada di dalamnya. Satu hal yang sangat aku kagumi dari kakak ini, semangat dan tawadhu nya dalam menuntut ilmu. Tak pernah merasa malu, gengsi, atau malas untuk belajar apalagi di Ruwaq Ulumu Syar'iyah yang rata-rata diikuti oleh orang-orang awam dari Mesir, atau Mahasiswa Mahasiswi Mesir yang tidak mengambil jurusan Dirasat Islamiyah, atau wafidin wafidat yang masih di tingkat satu atau belum masuk bangku kuliah. Kitab-kitab yang dipelajari nya pun memang untuk merhalah mubtadi', atau pemula, yang mungkin sudah pernah atau bahkan sering dikaji. Bukan halangan sama sekali untuk memulai atau mengulang kembali. Karena memang hakikat seorang yang berilmu itu akan semakin merunduk layaknya padi yang semakin terisi dengan biji beras nya. Semakin berat dan berisi semakin tunduk dan merasa tak memiliki apa-apa.
Pertemuan kedua, kami belajar di rumah Hurun dan Kak Mutmainnah di Hay Sabi'. Kali itu, hari Jum'at terjebak macet Suq Sayyarat, akhirnya ba'da Ashar kami baru mulai. Nahwu dengan Kitab Syarah Al Jurumiyah yang kali ini Jannah yang menjelaskan. Kemampuan nya dalam memahami Nahwu sangatlah aku kagumi. Pantas karena memang dia anak yang sangat berprestasi di Pesantren nya, yang masih pesantren tradisional di pelosok Medan sana. Walaupun baru sampai materi 'Alamat I'rab, tapi banyak hal baru yang aku dapatkan dari kitab karangan Syaikh Khalid Abdullah Al-Azhary. Setelah itu kami melanjutkan Sirah Nabawiyah dengan kitab Nurul 'Uyun Fii Talkhis Sirah Al-Amin Al-Ma'mun Shalallahu alaihi wasallam, karya Syaikh 'Allamah Syamsyuddin Abi 'Abdillah. Karena kitab ini aku beli dari cetakan terbaik, yaitu Darul Minhaj, pilihan beberapa kata yang cukup sulit di dalamnya membuatku betah membuka kamus berkali-kali. Sungguh indah, sedih, dan semakin rindu saat membaca Sirah Baginda ini.
Hingga tanggal 11 November tiba. Di tengah aktivitas kuliah, dan dars, serta daurah Kitab Asy-Syifa, selama satu minggu, dalam tiga hari yang masing-masing tiga maddah, imtihan pun dimulai dari pukul empat sore, hingga pukul tujuh malam. Istirahat saat sholat Maghrib saja. Masih ada dua maddah yang sama sekali belum kami murajaah bersama, yaitu Tafsir dengan Kitab Jalalain, dan Manhaj Azhary yang merupakan karya Syaikh Muhammad Abdul Shomad Al Muhanna. Ulumul Qur'an pun yang sebelumnya aku jelaskan belum usai.
Sekitar setengah jam sebelum ujian di dimulai, kami sudah datang. Kami berlima belajar bersama secara mendadak. Duduk di sebuah kursi memanjang, dan salah satu dari kami membacakan kitab atau teks rangkuman dengan suara yang sedikit lantang. Waktu beberapa menit itu membuat kami harus benar-benar fokus dan serius. Membaca semua muqaraar tanpa ada yang terlewat, saling membantu dan menambahi.
Satu Minggu, mulai dari hari Sabtu, Senin, dan Kamis itu terasa sangat cepat. Wafidat bisa dihitung dengan jari, dan mayoritas ada ibu-ibu juga mahasiswi dari kampus selain Azhar. Dalam daurah ini, walaupun soal ujian nya tidak sesulit ujian di kampus, tapi dari sana aku bisa tau betapa istiqomah itu sangat penting dan berat. Memuliakan ilmu yang mungkin nampak remeh adalah sesuatu kesalahan yang besar. Semangat belajar hanya karena nilai, ijazah atau gelar sesuatu yang salah kaprah. Sejak awal daurah, jumlah peserta yang sangat banyak di awal daurah, hingga kelas membludak dan duduk-duduk di lantai hingga berdiri, semakin berjalan semakin berguguran. Apalagi sejak kuliah sudah mulai aktif. Seolah-oleh menjadi penghalang untuk terus melanjutkan daurah yang istimewa ini. Tampaklah dari sana, siapa yang benar-benar belajar Lillahi ta'ala atau sekedar mengisi waktu luang, atau bahkan cuma ikut-ikutan.
Pertemanan kami semakin erat, dan aku melihat keseriusan berada pada teman-teman yang memang lahir dari orang tua yang serius dalam sebuah pergerakan. Memegang erat ajaran dan tempaan sebuah harakah yang entah aku sendiri tidak tahu. Namun, indahnya bersahabat karena ikatan aqidah itu sama sekali tak memandang dari mana harakah kita dan apa latar belakang kita. Iya, karena tujuan kita hanya satu. Menuntut ilmu Lillahi Ta'ala, dengan harapan besar kelak berguna untuk Islam dan Muslimin dimanapun berada.
Ini kisah ku di Ruwaq 'Ulumu Syar'iyah.
Next..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar