Pembukaan
Ketika Khalifah Umar bin Khattab menentukan awal
penanggalan tahun bagi kaum muslimin dengan hijrahnya Rasulullah saw ke
Madinah, tak lain dan tak bukan sebab di masa itulah kondisi kaum muslimin
sangatlah berubah dari fase sebelumnya di Makkah. Di mana ketika di Makkah
mereka direndahkan, diancam, disiksa, dikriminilasisasi, diusir, bahkan dibunuh
hanya karena memegang kalimat tauhid, menjalankan perintah agamanya, dan
menyampaikan kebenaran yang diyakininya. Tiga belas tahun lamanya mereka
menanggung dengan penuh kesabaran dan keteguhan namun tidak memiliki kekuatan
untuk melawan dan melindungi diri mereka serta agamanya. Maka ketika telah
turun perintah, Rasulullah saw dan kaum muslimin pun hijrah, dimana persitiwa itu
menjadi pemisah antara dua fase yang berbeda, dimana Islam memiliki kekuasaan
yang menjaga. Oleh karenanya peristiwa itu disebut oleh Umar bin Khattab: dzuhurul
Islam wa i’zazul muslimin (Kemenangan Islam dan kemuliaan bagi kaum
muslimin)
Peristiwa Baiat Aqabah
kedua menjadi saksi, dimana sejak itu Rasalullah saw telah diangkat menjadi
pemimpin negara bagi penduduk di Madinah. Dimana para pemuka kabilah, yang
sekaligus para panglima perang yang telah membaiat Rasulullah saw sebagai bentuk
penyerahan kekuasaan, perlindungan dan keloyalitasan mereka yang tak akan
memihak kepada siapapun selain pada Islam dan Rasul-Nya. Rasulullah saw menjadi
kepala negara mereka selama 10 tahun yang kemudian kepemimpinan itu dilanjutkan
oleh para sahabat, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, juga khalifah- khalifah setelahnya selama 13 abad lamanya. Hingga
akhirnya kekuasaan Islam yang telah menyatukan seluruh negeri kaum Muslimin itu
lenyap, sehingga tidak ada lagi kekuasaan, perlindungan, keamanan, dan
kemuliaan bagi umat ini.
Kekuasaan dan Penguasa Kaum Muslimin Hari Ini
Adapu kekuasaan hari
ini banyak sekali kita dapati kejanggalan, dan kezaliman. Kezaliman itu
bermuara pada perpolitikan para oligarki yang menjadikan sekuler dan liberal
sebagai asasnya. Dengan itu mereka melakukan segala cara untuk meraih
kekuasaan, dan mempertahankannya. Seorang pemikir bernama Hedrick Smith
mengatakan dalam bukunya: “Unsur terpenting politik Amerika adalah money, money
dan money”. Indonesia sebagaimana Amerika yang merupakan negara demokrasi pun
demikian pula adanya. Maka tak heran jika seorang tokoh politik yang mengatakan
“Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu untuk membayar itu”.
Fakta membuktikkan hal itu, dimana biaya yang harus
dikeluarkan oleh para calon penguasa tidaklah sedikit. Roharmuzy mengatakan bahwa
untuk menjadi anggota DPR membutuhkan dana sebesar 10- 14 milyar. Muhaimin
Iskandar juga megatakan untuk menjadi walikota Jakarta membutuhkan dana hingga
40 milyar. Sedangkan gaji mereka pun ketika sudah menjabat tidak akan mencapai
angka tersebut. Maka jelas, jika para calon bukan berlatar belakang pengusaha
pasti akan disokong oleh para investor dan kapitalis. Uang benar- benar penentu
untuk meraih kekesuaan.
Pork Barrel Politic
Di dalam demokrasi ada strategi politik yang disebut
dengan Pork Barrel Politic. Suatu strategi politik dengan cara membuat berbagai
program dalam pemerintah dengan menggunakan dana APBN, dalam rangka untuk
mendapatkan kepoluleran di tengan rakyat, demi kepentingan dirinya, partainya,
atau orang yang didukungnya sehingga masyarakat akan memilih siapa yang
dipilihnya. Program real ini bisa berbentuk Bansos (Bantuan Sosial) atau pembangunan
infrastruktur seperti transportasi umum, jalan, dan yang lainnya. Pork Barrel
ini tidak hanya terjadi di pusat, namun juga tingkat provinsi hingga daerah.
Hal ini mengakibatkan adanya populisme dan terbentuknya manipulasi opini
public.
Ketika sejumlah koalisi
besar menguasai jabatan mulai dari presiden, Menteri, DPR, MPR, maka pengaruh
mereka untuk menetapkan kebijakan termasuk penetapan UU sangatlah signifikan. Maka
lahirlah berbagai Undang-Undang yang disahkan mengundang kontroversi lantaran
nampak untuk memuluskan agenda para oligarki dan investor, seperti revisi UU
Minerba No.3 tahun 2020, revisi UU KPK No.19 tahun 2019, UU Perppu Covid No.1
tahun 2020, UU Omnibus Law no.11 tahun 2020 dan lain sebagainya. Inilah yang
dinamakan populis otoriter, dimana kepopularitas penguasa lantaran gaya
kampanyenya yang nampak menarik, dan program- program yang menunjukkan kepeduliannyanya
terhadap rakyat, kendali penuh terhadap para perancang UU seperti para anggota
legislatif, termasuk bentuk otoriter terhadap kelompok kritis di tengan rakyat -yang
lagi- lagi dengan perumusan UU-, penguasa pun dapat dengan mudah menetapkan kebijakan
yang menguntungkan kapitalis, investor dan oligarki yang merupakan sekelompok
kecil yang memiliki kendali terhadap politik, hukum dan ekonomi.
Populis otoriter adalah perkara yang sangat
berbahaya bagi kita semua, karena dengan itu para penguasa mampu mengendalikan
tiga komponen penting, yaitu rakyat yang mendukungnya karena kepoluritasannya,
para pejabat negara pemegang kebijakan (baik yudikatif, eksekutif, legislative,
juga apparat keamanan) yang dikendalikannya dengan give and take, juga ormas
yang ditekan daya kritisnya dengan UU, maka ia akan terus mampu mengendalikan
perpolitikan dalam jangka waktu panjang dalam periode sebanyak- banyaknya.
Semuanya itu untuk melayani oligarki, kapitalis, dan investor.
Maka jika hari ini rakyat
merasa baik- baik saja, karena bisa makan, sekolah, memiliki tempat tinggal,
mendapat keamanan, bisa beribadah tanpa ada halangan, sungguh ini menjadi tugas
besar bagi kita untuk melakukan tasqiful ummah (pembinaan kepada umat).
Karena berbagai kemudahan yang sudah memuaskan bagi mereka lantaran
membandingkan dengan kondisi di orde lama. Akan tetapi bagi orang- orang yang
mau berfikir mendalam maka akan menemukan bahwa di balik semua kemudahan ini
ada banyak perkara yang perlu dicermati, dikritisi dan diperbaiki. Apakah
rakyat rela ketika jalan tol dibangun sehingga mempercepat perjalanan, namun
nyatanya semua itu harus dibayar dengan pajak? Apakah rakyat rela mendapat
bansos 600 ribu rupiah dan sejumlah sembako dalam beberapa waktu sedangkan
bergunung- gunung emas diambil para kapitalis karena UU yang dilegalkan
penguasa? Apakah rakyat rela mendapat pendidikan yang gratis namun pendidikan itu
membodohi mereka agar tidak kritis terhadap para penjajah, kapitalis, oligarki,
dan investor yang terus meraup SDA-nya?
Jika umat ini tidak sekedar melihat yang nampak di
permukaan saja, maka umat akan sadar bahwa kita memiliki problem besar yang
harus difahami akar problem tersebut, seperti apa standarisasi yang benar dalam
pengurusan umat baik dari aspek pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan lain
sebagainya. Dengan adanya pembinaan maka umat akan sadar bahwa tidak ada
standarisasi yang lebih baik dan manusiawi selain yang bersumber dari Islam.
Hukum adalah Produk Kekuasaan
Kerusakan yang terjadi di dalam sistem demokrasi sekuler
merupakan kerusakan dari akar. Pada awalnya demokrasi ingin berusaha untuk
mengkritik sistem Kerajaan yang menjadikan pembuat dan pelaksana hukum dipegang
oleh para penguasa saja, agar menjadi dua hal yang dipisahkan. Maka dibuatlah lembaga
legislatif sebagai pembuat hukum dan lembaga eksekutif sebagai penegak dan
pelaksana hukum.
Akan tetapi nyatanya
semua itu gagal, karena pada faktanya anggota legislatif dan eksekutif adalah
pilihan rakyat dimana rakyat memilih orang- orang yang sama, yang punya
kepentingan sama, dari partai yang sama. Anggota legislatif pun dibayar oleh
eksekutif. Maka dari itu, hukum yang dirancang oleh lembaga legislatif pun bisa
dipesan dan dikontrol oleh lembaga eksekutif seusai keinginan dan kepentingan mereka.
Maka jelas hukum itu dibuat karena keinginan penguasa, bukan diangkatnya
penguasa dalam rangka menjalankan hukum.
Hari ini bisa kita lihat hukum dibuat untuk melakukan
legitimasi dan melindungi serta menjaga kepentingan agar tetap berjalan mulus sesuai
harapan. Di dalam negara kekuasaan yang terjadi seperti hari ini ada tiga yang
mereka pegang: ambilah hukum yang berguna untuk kekuasaan, dan rubahlah hukum
yang menghalangi kekuasaan, dan buatlah hukum untuk memuluskan kepentingan
kekuasaan.
Inilah yang menjadi
pembeda antara sistem demokrasi dengan sistem Islam yakni khilafah. Di dalam
demokrasi siyadah wa sulthah (kedaulatan atau pembuat hukum dan
kekuasaan) milik umat, walau faktanya adalah milik oligarki, investor dan
kapitalis. Sedangkan di dalam Khilafah siyadah (kedaulatan) itu milik
syari’ (Allah swt dan Rasul-Nya), sedangkan sulthah (kekuasaan) itu
milik umat, yakni penguasa atau Khalifah adalah pilihan umat. Maka penguasa di
dalam Islam itu tidak memiliki wewenang untuk membuat hukum, karena tugasnya
adalah munafidz ahkam (pelaksana hukum) saja.
Sistem demokrasi yang berlandaskanan
sekulerisme, maka hukum yang dibuat adalah berlandaskan hawa nafsu. Sedangkan di dalam banyak ayat,
Al-quran menggambarkan bahwa hawa nafsu itu pasti bertentangan dengan al-
haq (kebenaran) sebagaimana di dalam surat Al- Mu’minun ayat 71. Maka, selama
tidak menggunakan sistem yang sudah diwariskan oleh Rasulullah saw dimana
semuanya itu dilandaskan oleh wahyu, maka sudah pasti sistem itu hanya
dilandasi dengan hawa nafsu manusia. Sedangkan hawa nafsu itu jika diikuti maka
akan menimbulkan kerusakan di bumi dan langit serta semua yang ada disana.
Antara Pragmatisme Politisi dan Apatisme Masyarakat
Faktor terbesar yang menjadikan perubahan hari ini
terasa begitu berat adalah adanya politisi yang pragmatis dan masyarakat yang
apatis. Ketika para politisi hari ini
memberikan bantuan sosial,
membangun berbagai sarana dan fasilitas yang penuh dengan kemewahan masyarakat
pun terpana dan tersandra. Hal itu tak lain karena: pertama, merosotnya taraf
berfikir mereka yang menjadikan kebahagiaan hanya sekedar beruba fisik dan terpenuhinya
kebutuhan perut. Kedua adalah sudah begitu jauhnya pelayanan penguasa untuk masyarakat
dari standar kelayakan, sehingga ketika diberi bantuan yang tak seberapa
menjadi sesuatu yang nampak begitu berharga. Padahal sejatinya penguasa yang
memiliki power dan wewenang, sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya bisa
memberi jauh dari apa yang mereka tunjukkan sekarang.
Para penguasa yang
pragmatis ini pun ketika memberikan bantuan dan membangun fasilitas fisik untuk
rakyat pun bukan tanpa tujuan, karena bagi mereka politik itu transaksional.
Semua itu mereka lakukan tak lain untuk mencari muka agar rakyat terus berada
di pihaknya dan mendukung siapapun yang didukungnya.
Hijrah: Langkah Perubahan
Hijrah secara bahasa bermakna at-tarku (meninggalkan),
dimana para ulama mendefinisikan dengan tarki authan (meniggalkan tanah
air) yakni intiqal min dar kufr ila dar islam (berpindah dari negeri
kufur menuju negeri Islam), atau ada juga yang mendifiniskan hujran itsm wa ‘udwan
(meninggalkan dosa dan permusuhan),
atau ada yang mengatakan al muhajir man hajara ma nahallah ‘anhu (orang
yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang)
Perubahan harus didasarkan pada kesadaran dan
dilandasi dengan keimanan. Karena hanya dengan itulah maka sesorang yang hijrah
akan istiqomah dan teguh memegang kebenaran.
Oleh karena itu ketika kita ingin mengajak umat ini
untuk berubah maka umat ini harus disadarkan terlebih dahulu. Bagaikan orang
yang sakit, jika ia tidak sadar bahwa dia sedang sakit maka ia tak akan
berusaha mencari dokter dan meminta obat. Penyadaran umat secara keseluruhan
memang perkara yang mustahil, akan tetapi perubahan umat agar mereka mau
menegakkan Islam perkara yang sangat mungkin diwujudkan.
Penyadaran itu harus dimulai dari tiga hal, yaitu adanya
pembinaan masyarakat dari berbagai kalangannya, suatu kelompok atau partai yang
senantiasa menjadi motor penggerak, dan para tokoh yang senantiasa ada silih
berganti di tengah masyarakat.
Hijrah juga itu harus senantiasa dilandasi oleh
keimanan, yakni ketika Allah swt dijadikan sebagai satu- satunya alasan dan
tujuan, kecintaan kepada-Nya jauh lebih besar daripada apa yang dimiliki, dan ketika
loyalitas hanya kepada Allah swt saja. Dengan begitu segala resiko, kesulitan,
tantangan dan pengorbanan dalam hijrah itu akan terasa nikmat dan ringan,
karena dengan itu seorang yang beriman akan semakin dekat dengan ridho-Nya.
Rasa takut kepada apapun kepada selain-Nya juga akan mudah untuk dilawan. Allah
swt pun akan ganti dengan kelapangan dan keberlimpahan sebagaimana di dalam
An-Nisa ayat 100.
Oleh karena itu jika
jangan sampai para pemilik kekuasaan hari ini yang kelak akan Allah swt mintai
pertanggungjawaban akan mendapatkan penyesalan karena siksa-Nya di neraka,
lantaran mereka tidak mau melakukan hijrah dengan berbagai alasan yang
dibuat-buatnya, sebagaimana yang Allah swt jelaskan di dalam surat An-Nisa ayat
97.
Maka perubahan itu harus kita mulai dengan senantiasa
menjadikan Rasulullah saw sebagai teladan. Dimana kekuasaan yang beliau bangun
berawal dari hijrahnya mereka dari suatu tempat dan keluarga yang sangat mereka
cintai. Akan tetapi karena keyakinan akan pertolongan-Nya, dan negara itu
dibangun semata- mata karena perintah-Nya, maka dengan itu Allah swt
mengokohkan kekuasaan itu bahkan dapat menaklukkan Persia dan Romawi dimana
merupakan imperium terbesar kala itu. Negara yang dibangun ini menjadi
peradaban terbaik, terbesar, terkuat, terlama dan menjadi adidaya, bukan karena
semata- mata bangunan fisik atau kemewahannya, akan tetapi karena pemikiran
yang cemerlang yang dimiliki oleh para pemimpin juga rakyat yang dipimpinnya.
Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk terus
berdakwah di tengah umat dengan memaparkan kerusakan yang sudah nyata yang
semua itu adalah akibat dari kemaksiatan yang terus dilakukan oleh manusia hari
ini. Kemaksiatan berupa meninggalkan kewajiban dari-Nya dan terus melakukan
perkara yang dilarang-Nya. Kemaksiatan yang terus dilakukan secara komunal dan
struktural, sehingga dampaknya pun dirasakan secara komunal.
Wallahu a’lam bish showab.