Pages

Selasa, 16 Januari 2018

Bukan Diriku Tapi Allah (1)

Segera aku luruskan kaki. Benar-benar lelah. Padahal selama perjalanan di bus dari bandara Cairo ke syaqoh kami aku lebih banyak tidur. Beberapa kali berhenti untuk mengantar teman-teman yang lebih dahulu dilewati. Asrama Banin yang terletak di Hay Sadis (Distrik Enam), kemudian syaqoh teman-teman kami yang Banat di Bawabat. 

Sebenarnya namaku ada di rumah itu. Tapi, karena kawan terdekatku membujuk Ustadz yang menjemput kedatangan kami itu, akhirnya kami akan tinggal di satu rumah yang sama, dan itu rumah terakhir. Setelah kami turun dari bus yang sangat besar itu, kami istirahat sebentar dan makan malam di syaqoh Bawabat. Setelah itu diantar ke syaqoh kami, dengan sebuah mobil. Seharusnya yang akan tinggal di Syaqoh Gami enam Maba (Mhasiswa baru), tapi karena yang tiga sudah diambil kakak kelas mereka, akhirnya jumlah kami bersisa setengah. Semua itu diawali dengan perdebatan dan sedikit mistake communication. 

Kami benar-benar kaget, karena semua rumah bertingkat-tingkat. Tak ada yang hanya satu lantai. Untuk rumah Bawabat, mereka di lantai teratas. Lantai lima. Dan kami yang di Gami di lantai empat. Lelah karena safar dan kantuk itu membuat tangga yang harus kami naiki serasa mendaki gunung. Apalagi gelap. Itu sungguh sesuatu yang aneh bagi kami. 

Sampai di rumah,  empat ustadz yang mengantar kami ikut masuk ke dalam rumah. Dan itu sangat membuatku kaget. Karena aku fikir rumah itu benar-benar privasi untuk perempuan. Walaupun ada seorang kakak perempuan yang sudah tinggal disitu. Yang akan menemani kami nantinya. 

Aku tak peduli. Selain karena lelah dan mengantuk, aku juga benar-benar kurang suka dengan gurauan di antara mereka. Yang menurutku terlalu berlebihan dan tidak memahami batas pergaulan. Saat ditanya, hanya jawaban-jawaban singkat yang kuberikan. Benar saja kata ustadzah ku dulu saat memberi nasehat dan pesan. Bahwa masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) tak ada bedanya dengan mahasiswa di Indonesia. Walaupun yang mereka pelajari adalah Islam, tapi banyak yang belum mempraktekkan islam itu dalam kehidupannya. 

Sepuluh menit berlalu. Dan akhirnya mereka keluar. Usai itu kami mengobrol dengan kakak itu. Tak lama. Akhirnya aku dan dua temanku itu ke kamar. Mencari koper dan tas tas kami yang diantar lebih awal sebelum kami datang. Kami ingin segera tidur. Jam menunjukkan pukul 21.00. Artinya di Indonesia sudah lewat tengah malam, pukul 02.00. Setelah ke kamar mandi, dan sholat kami segera istirahat dengan kasur baru yang masih dibungkus plastik. 

Dari situ benar-benar mulai terasa rasa rindu dan asing. Aku sudah berada di negara yang berbeda. Benua yang berbeda. Dan menyeberangi samudra yang begitu luas.

Itu hari kamis.

Kami benar-benar dikejutkan dengan suara gonggongan anjing layaknya ayam jika di Indonesia. Membuat kami tidak bisa tidur dengan nyenyak. Beberapa kali terbangun. Kala itu tersadar dari tidur itu sangat berat bagiku. Karena aku akan menyadari jika aku sudah tak lagi di rumah. Tepatnya karena di tempat baru yang masih aneh. Dan mungkin karena mata kami masih "mata Indonesia", yang saat pukul 12.00 waktu Cairo, sedangkan di Indonesia sudah pukul lima pagi. Sehingga kami sering terbangun. Merasa jika sudah pagi.

Esoknya, hari Jumat nya kami hanya di rumah. Bermain handphone mengabari orangtua dan keluarga di rumah dengan wi-fi syaqoh.

Hari Sabtu kami diajak oleh kakak itu untuk membeli sayur- sayuran. Dan banyak hal yang kutemukan disana. Mulai bawang-bawang yang besar, sayur mayur yang segar-segar, dan tentunya semua murah.

Dan semua hal kami tanyakan kepada kakak itu. Saat membayar pun tak ada kata yang kami fahami kecuali beberapa angka, untuk menunjukkan harga. Itu pun sangat cepat diucapkan.

Singkatnya, mulai hari Ahad hingga sepuluh hari berikutnya kami menyibukkan diri mengikuti bimbel untuk tes Tahdid Mustawa (Penentuan Level) di Markaz Lughoh Syaikh Zaid. Beberapa lembaga banyak yang mengadakan. Mulai dari yang full tanpa berbayar sesikitpun, atau ada yang menggunakan biaya. Ada yang hanya satu kali pertemuan, ada pula yang paralel berturut turut hingga tiga hari. Semua itu pilihan kami. Karena jadwal tidak jarang bertabrkan. Dan keaktifan masing-masing dari kami adalah hal sangat menentukan. Mengapa? Karena kuota bimbel dan tryout itu hanya untuk bererapa ratus peserta. Sedangkan angkatan kami pada tahun ini mencapai 1550 an. Jadi hukum "siapa cepat dia dapat" sangatlah berlaku. Tepatnya "Siapa yang pasif tak kan beruntung".

Tak terasa sepuluh hari itu. Siap tidak siap kami harus menghadapi ujian Penentuan Level itu pada tanggal empat Oktober. Melihat kemampuanku di dalam tryout itu, sebenarnya aku merasa sangat belum siap. Soal-soal sangat sulit, terutama ilmu balaghoh yang sama sekali belum kudapatkan selama belajar di Indonesia.

Tawakkal pada Allah adalah ketenangan dari segalanya. Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus. Jangan sampai kita salah menempatkan peran Allah dalam segala harapan dan keinginan dalam hidup ini. Bukan usaha dulu kemudian tawakkal. Tawakkal dulu baru usaha. Dan tawakkal tak boleh lepas dan hilang selama perjalanan usaha kita atau saat usaha kita telah usai. Bukankah Allah berfirman ? "Fa idza 'azamta fa tawakkal 'alallah. Innallaha yuhibbul mutawakkilin".

"Jika kalian memeiliki tekad, maka berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berserah diri".

Ayat itu jelas memerintahkan kita agar selalu memulai segala tekad dengan pasrah, dan berserah diri kepada Allah, karena hanya Allah sebaik-baik pemilik rencana. Kemudian usaha dan sebab-sebab tercapainya keinginan itu harus dicari dan dilakukan semaksimal yang kita mampu.

Dan hari Rabu itu, kami harus bergerak lebih cepat. Kami berenam dan kakak kelas di rumah kami mengantar kami ke tampat itu. Dan saat itu adalah kali keduanya aku naik bus 80 coret. Dan baru kali itu pula, aku melihat bus diisi kebanyakan oleh muka-muka Indonesia.

 "Pasti mereka juga Maba", pikirku.

Beberapa dari kami ada yang masih memegang buku, atau ada yang memegang Al Quran. Beruntung kami mendapat tampat duduk, walau di kursi paling belakang. Setidaknya tidak kesulitan untuk membuka lembaran-lembaran catatan singkat selama bimbel. 

"Usaha terkahir", fikirku, walaupun tidak terlalu konsentrasi karena panas dan penuhnya bus itu. Ditambah lagi ramainya jalanan dan kendaraan di luar bus yang kami naiki.

Sekitar 30 menit perjalanan, kami sudah memasuki kawasan Al Azhar. Dan saat di belokan terakhir, bus itu tiba-tiba berhenti, seharusnya belok ke kanan sebelum sampai di Bab Ar-Rais (Pintu Utama) Al Azhar. Kami pun hampir semua turun. Berjalan sekitar 200 meter. Ternyata ada presiden Mesir yang sedang melakukan kunjungan ke Azhar. Sehingga jalan yang tepat sekali akan kami lalui harus ditutup. Pagi itu sudah terik. Walaupun bukan sedang musim panas, tapi sudah cukup membuat kami berkeringat sebelum ujian Tahdid Mustawa itu. 

Aku benar-benar terkejut, saat melihat mahasiwa dan mahasiswi baru itu. Aku yakin itu hanya dari Indonesia. Dan mereka semua adalah kawan-kawan angkatanku, yang bererapa bulan yang lalu sama-sama bersaing dalam tes penerimaan yang diadakan Kemenag.

Semua sudah berbaris rapi di depan gedung tempat tes Penentuan Level itu. Rupanya kami hampir terlambat. Dan kami tak boleh membawa apapun ke dalam ruangan itu selain alat tulis. 

"Ini tas nya ditaruh mana kak?",

"Disini aja"

"Aman kan?"

"Insya Allah aman. Banyak panitia yang jaga"

"Oh Iyaa kalau gitu ana nitip hape kak"

Ternyata semua telah ditentukan Qoah (kelas) untuk tes. Dan setiap qoah masuk secara bersama-sama. Dalam satu rombongan. Dan karena rombongan ku sudah masuk bererapa menit yang lalu, akhirnya aku harus masuk dengan Ulya, teman satu rumah, yang kebetulan kami di satu qoah. Qoah sadis (enam). Kami menberanikan diri, walau sedikit dapat marah oleh Ustadz yang berbadan tinggi itu. Entah marah atau tidak, baru kali itu kami mendapat teguran dari orang Mesir. Bapak-bapak yang mungkin sudah berkepala empat.

Kami tak tau harus masuk ruangan di sebelah mana dan lantai berapa. Kami hanya mengikuti langkah seorang Ustadz di depan kami. Ketika kami sudah naik ke lantai dua, tiba-tiba kami ditanya kembali.

"Fii ayyi qoah ya banat?" 

"Sadis ya ustadz"

"Sadis fi asfal laisa hena" (Enam di bawah bukan disini)

"Na'am"  hanya itu yang kami jawab.

Segera kami turun dan menyusuri lorong yang kanan dan kirinya penuh dengan pintu-pintu qoah. Satu persatu kami lihat angka yang tertulis di pintu-pintu itu. Dan akhirnya kami menemukan. Dan itu sudah kami lewati tadi. Tapi karena kami gugup dan mengekor ustadz itu, kami tak berfikir sedikitpun untuk mencari qoah di kanan kiri kami. Dan ternyata ustadz itu tak menyadari jika kami mengikuti beliau agar ditunjukkan qoah kami.

Kelas sudah hampir penuh. Tapi masih ada sekitar lima kursi yang kosong. Dan kami mencari kursi yang tertera di mejanya nama kami. Aku di kursi nomor dua dari depan. Sedangkan Ulya tiga kursi di belakangku. Kami masih satu baris. Dan tak banyak yang aku kenal disitu, kecuali tiga orang termasuk Ulya. Salah satunya adalah teman satu kampus dulu, dan satu lagi teman satu rombongan penerbangan. 

Sudah setengah jam lewat. Hampir pukul 09.00. Dan penguji pun belum datang. Ternyata tak ada bedanya dengan di Indonesia. Tetap menggunakan jam karet.

"Untung saja kami tidak terlalu pagi berangkatnya", fikirku setelah mengobrol dengan beberapa dari mereka. Ternyata mereka sampai di tempat itu sudah lebih dari satu jam. Hampir dua jam bahkan. Jauh lebih pagi dari kami. Dan yang menjadi masalah, kami sudah tak membawa apapun di tangan, melainkan pulpen. Tak ada buku atau Al Quran yang bisa kami baca. Yang biasa memainkan handphone pun menjadi tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya banyak dari kami yang mengobrol atau memilih memejamkan mata sambil menempelakan kepala di meja. Banyak juga yang masih terus berdiskusi, bertanya apapun yang bisa ditanyakan pada teman.

"Ah mungkin Allah masih memberiku kesempatan sekali lagi untuk berdoa", husnudzon saja fikirku. Dzikir dan doa satu-satunya yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti itu. Nampak sepele. Tapi berbekal tsiqoh billlah (yakin kepada Allah) semua akan tenang, tak tak akan ada yang sia-sia. Ada kekuatan di balik doa. Yakinlah itu.

Sekitar empat puluh lima menit aku disitu, akhirnya seorang perempuan berjubah. Jelas sekali dari raut mukanya adalah seorang guru.

"Kayfa hal ya banat?", (bagaimana kabarnya anak-anak?"

"Alhamdulliah bil khair"

Kami pun bahagia bercampur tegang. Sebentar lagi ujian yang sangat menentukan itu akan dimulai. Kami diberi kertas soal yang tak sedikit. Kurang lebih enam atau tujuh halaman. Sebelum aku yakin membuka kertas itu, kubaca doa sebagaimana doa pada setiap kali aku akan ujian. 

"Masya Allah, banyak banget. Baru kali ini aku ujian dengan soal bahasa Arab semua dan berlembar lembar seperti ini", kalaupun pernah sepertinya terkahir saat ujian paket kesetaraan SMA.

Dan benar saja kata kakak-kakak kelas yang pernah kutanya. Bahwa tes Tahdid Mustawa berkali-kali lipat lebih sulit dibanding soal tes Kemenag. Baik dari jumlah soalnya, jenis kosakatanya, susunan bahasanya, atau tema dan materinya. Tapi Alhamdulliah, dengan bimbel dan tryout yang kami ikuti beberapa hari sebelumnya sudah sedikit tergambar. Walau tetap saja banyak mufrodat (kosakata yang benar-benar baru aku lihat.

Kami dipanggil satu per satu untuk tes lisan. Dan itu yang lebih aku takuti. Karena aku menyadari kemampuan berbicaraku jauh lebih buruk daripada insya' (mengarang). Tapi tawakkal sajalah. Semoga tak sulit-sulit yang ditanyakan. Beberapa kali aku mendengar apa saja yang ditanyakan ustadzah itu kepada teman kami yang sedang maju. Ada yang mejawab panjang lebar layaknya berbicara dengan bahasa daerah. Dan tak jarang pula yang hanya menjawab ala kadarnya. Singkat. Atau bahkan apa yang ditanyakan ustadzah ia tak faham apa maksudnya. Jadi, jika ia hanya sebentar, hampir bisa dipastikan jika yang memberi pertanyaan sudah menyerah dengannya. Dan itu semakin membuatku takut.

Aku mendapat urutan sekitar nomor lima belas. Pertengahan dari seluruh jumlah yang ada dalam satu qoah itu. Dan Alhamdulliah ketika aku mendapat giliran tidak banyak dan tidak begitu sulit pertanyaan yang diberikan. Hanya ta'aruf (perkenalan), tentang keluarga, kemudian ditanya jumlah hafalan, dan terakhir diminta bercerita seputar perjalanan keberangkatanku ke Mesir.

Senin, 15 Januari 2018

Seandainya Bisa Dibeli atau Kembali

Wahai pemuda kaulah penentu masa depan ummat ini. Kau lah tombak yang menyelamatkan negeri ibu pertiwi. Kau harapan para tetua. Di pundak kita semua amanah umat ini kita pikul. Menuntut waktumu, fikiranmu, tenagamu, dan seluruh kemampuan, serta fisik mudamu. Tubuhmu terlalu kuat, lalu mengapa terlalu banyak untuk beristirahat? Kau terlalu tegar untuk keluhan yang tiada artinya, kau memiliki sejuta mimpi untuk jiwa yang mudah merasa puas, kau memiliki berbagai amanah untuk waktu yang habis demi pencitraan, kau terlalu cerdas untuk kebiasaan yang mudah terbawa arus yang buruk.

Sebenarnya lebih banyak yang bisa kau lakukan dari semua ini. Banyak yang kau hasilkan dari apa yang dapatkan saat ini. Saat perutmu terlalu penuh, maka saat itu pula kemampuan berfikirmu melemah, saat kau banyak mengeluh daripada bertindak saat itulah kekratifanmu kan pudar, saat kau lebih sering mencitrakan diri di akun akun mu, maka  kedekatanmu dengan Rabb akan semakin hilang. Ketika kau lebih senang menghabisakn uang orang tua untuk shopping dan fashion daripada bersedekah untuk jalan ilmu dan kepada para fakir. Ketika hari liburmu lebih banyak kau gunakan untuk bermain dan bersenang-senang dalam sosial media daripada beribadah dan mengisi majelis ilmu rumah-rumah Allah. Ketika waktu luangmu hanya habis untuk hal-hal mubah tak berpahala atau bahkan bermaksiat. Maka saat itulah terbuang waktu emasmu.

Saat malammu hanya habis untuk bersembunyi di dalan selimut, maka rahmat Nya di sepertiga malam terakhir tak lagi kau peroleh, dan berkah waktu untuk tilawah tak kan kau dapatkan. Waktu-waktu penuh syahdu bersama pemilik segala-Nya. Saat doa dan segala harapan dilangitkan akan didengar dan diijabah.  

Wahai pemuda, kau datang kemari membawa sederet harapan umat yang sangat panjang. Lalu, alasan apa yang membuat mu masih rela membuat waktu yang tak akan kembali? Bukankah semua akan dipertanyakan di hadapan-Nya?

Saat dzikir tak lagi terlisankan, saat rasa belas kasih kepada para fakir tak tertancapkan, saat bangun tidurmu tak memikirkan saudara di negeri sebelah, saat matamu tak meneteskan air mata, kulitmu tak bergetar saat membaca ayat-ayat Nya, yang penuh ancaman dan janji kenikmatan. Tidak kah ancaman itu kau takut kan dan kenikmatan itu kau harapkan?

Saat ilmu-ilmu yang kau pelajari tak semakin membuatmu tunduk malu dan hina di hadapan-Nya, tak membuatmu semakin haus dan haus, merasa tak memiliki apa-apa, saat ilmu itu tak semakin membuatmu rindu dengan Rasulullah.

Saat kesendirianmu tak membuatmu mengingat keagungan-Nya, menteskan airmata lantaran mengingat dosa-dosa. Layaknya gunung yang akan menimpa tubuh mungil kita. Kau justru habiskan dengan seseorang yang membuatmu nyaman dalam kemaksiatan. Berdua atau berkumpul bersama dengan yang Allah larang. 

Wahai pemuda, kita memiliki jumlah bulan yang sama dalam satu tahun. Kita memiliki hari yang sama dalam setiap bulan. Dan kita memiliki jam yang sama dalam satu hari. Tapi apa yang kita peroleh berupa pahala disisi-Nya, ilmu dari segala jerih payah dan usaha,  serta amal shalih yang bermanfaat bagi orang lain akan berbeda. Semua kembali kepada niat yang paling lembut nan kasat mata. Hanya Rabb dan dirimu saja yang tahu. Niat itulah yang membawa kita melangkah secepat kilat atau selambat siput. Sekencang badai atau hanya seperti angin di siang hari. 

Wahai pemuda, jika usiamu bertambah, pada hakikatnya masa hidupmu semakin berkurang. Amanah dan dosa kian bertambah. Namun ilmu dan amal tak ada peningkatan.

Ia sungguh mahal. Tak satupun ada yang bisa mengembalikan. Tak satupun ada yang mampu membeli. Maka abadikanlah ia dengan kebaikan yang berlipat. Yang akan tercatat saat nafas sudah tak berhembus lagi.

#MuhasabahDiri
#MuhasabahPemuda
#MuhasabahMasisir

Cairo, 15-1-2018

Sabtu, 13 Januari 2018

Mengikhlaskan, Memantaskan, Menghalalkan

Ketika rasa itu datang menghampiri kau tahu banyak hal yang bisa kau lakukan.  Tak ada penghalang untuk kau perbuat karena semua itu pilihan. Bagaimana perasaan itu kau kelola, kau arahkan, dan kau utarakan.

Tapi sungguh sang pemilik hatimu dan hatinya sudah mengatur semua saat rasa itu sudah tiba dan membuat hati gundah gulana. Tak tenang, gelisah dan resah. Dialah yang menciptakan hati beserta perasaan saling suka. Dan inilah naluri yang Allah ciptakan bagi manusia. Naluri saling mencintai dan menyayangi. Sayang dan cinta pada orang tua, saudara, atau lawan jenis, atau naluri ingin melestarikan keturunan.

Tak salah. Bukan dosa. Bukan juga sebuah kelainan. Semua itu wajar dan manusiawi. Tapi tak yakinkah kita jika Dia telah punya cara untuk mengutarakan rasa itu ? Sebagaimana saat kita ingin mengadu dan menangis dalam sujud. Bukankah itu adalah cara untuk memenuhi naluri beragama kita? Mengagungkan Sang Pencipta yang hanya kepada-Nya tempat bergantung.

Maka, dalam memenuhi naluri ini pun ada caranya. Cara yang Allah ajarkan dan wajib kita yakini dan amalkan. Yaitu menikah. Tidak ada jalan lain. Lalu bagaimana jika belum mampu? Karena merasa ilmu yang belum mencukupi, atau belum bisa memberi nafkah.

Banyak cara yang bisa ditempuh. Yang jelas bukan dengan mengumbar rasa kepada sosok yang belum halal. Mencoba mencari tahu tentang dirinya, browsing akun media sosial nya, atau mencari-cari celah untuk menghubunginya. Apalagi berani mengungkapan rasa itu dan mengajak ke jalan yang salah. Bertemu kemudian berkhalwat. Sungguh bisikkan setanlah yang saat itu sedang menguasai akalnya. Sehingga tanpa sadar langkahnya pun mengikuti hawa nafsu.

Jalan berikutnya adalah mempersiapkan. Dan ini jalan yang lebih baik, jika rasa itu sudah sangat sulit untuk dialihkan. Jika merasa belum siap, maka tak ada langkah lain selain mempersiapkan. Membaca buku  dan membekali diri dengan kajian-kajian yang memperkaya pengetahuan kita terkait pernikahan. Dan tak hanya berhenti disana. Karena amanah yang besar pun juga akan kita pikul, yaitu sebagai pengatur rumah tangga dan ibu para generasi masa depan islam. Ilmu dalam mendidik pun juga perlu dipelajari sejak saat ini. Merancang visi besar untuk generasi mulia pejuang Islam pun perkara penting yang perlu difikirkan.

Dan yang terakhir, mengalihkan dengan aktivitas positif. Rasulullah bersabda : "Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka hendaklah segera menikah, karena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan.

Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya ia bisa menjadi penawar nafsu."

Jelaslah bahwasannya Rasulullah pun memiliki tuntunan dalam perkara ini. Jika memang belum siap memilih jalan yang halal, maka dengan berpuasa seseorang akan dekat dengan Rabb-Nya. Ketika dekat, seharusnya dia akan meninggalkan segala maksiat, dan berlomba-lomba beramal, salah satunya menuntut ilmu untuk memantaskan dan mempersiapkan diri. Suatu saat jika Allah memang telah mengizinkan, maka mudah bagi-Nya untuk memberi jalan kepada siapapun yang Ia cintai. Maka menggapai cinta Allah adalah yang paling utama dan pertama.

Wahai pemuda, ikhlaskan siapapun itu karena Allah, pantaskan dirimu di hadapan pemilik hati dan kehidupan juga karena Allah, lalu jemputlah ia dengan jalan yang halal yang telah ditetapkan Allah.

Cairo, 13 Januari 2018

Penantian Yang Menentukan

Tidak bisa dipungkiri kita dilahirkan dan disekolahkan di zaman yg sistem pendidikannya tidak mendidik kita agar kelak menjadi ibu hebat dambaan keluarga, yang dibutuhkan ummat, dan menjadi tolak ukur maju atau mundur nya negara, tentunya dengan mengikuti panduan Al quran.

Dengan begitu kita perlu belajar banyak hal diluar kesibukan kuliah atau sekolah kita.

Maka, jangan ragu ragu dan berat langkah untuk terus belajar, mengkaji Islam dan mendatangi majelis majelis ilmu yang bisa memberi kita pemahaman islam secara kaffah, membuat kita semakin tersibukkan dalam kebaikan dan dakwah, sehingga hari-hari kita tidak tergerus oleh trend pemuda yang melenakan. Hanya bersenang-senang dan menghabiskan uang orang tua. Dan tidak berfikir panjang dengan apa yang dia pilih dan lakukan. Apalagi memikirkan umat dan generasi mendatang yang semua ada di tangan pemuda dan generasi sekarang. 

Kuliah. Tugas. Praktikum. Makalah. Hafalan. Pekerjaan yg tidak pernah ada habisnya. Tidak pernah ketemu ujungnya. Bertahun-tahun tanpa terasa. Hingga suatu saat nanti amanah besar menghampiri kita. Padahal belum ada ilmu dan perbekalan yang kita punya untuk mengemban amanah besar itu.

Hidup ini pilihan. Termasuk ketika ada waktu istirahat di tengah-tengah kesibukan kita. Apa yg kita lakukan sekarang tentu akan sangat menentukan. Apakah kita mau bersenang senang dengan teman-teman? Atau mau menggunakan waktu itu di bioskop untuk menikmati film terbaru? Atau justru berusaha menghibur diri bersama sosok yg tak halal?
Na'udzubillahi min dzalik.

Ketika kita memiliki cita-cita menjadi pendidik generasi Rabbani, maka tidak bisa tidak, kita harus menggunakan waktu sedikit yang menentukan itu untuk mempersiapkan.

Pada usia ini kita seharusnya kira perbanyak ilmu, salah satu nya dengan membaca buku. Tentunya bukan buku sembarang bacaan. Jadikan membaca sebagai habits kita, yang dengannya kita semakin haus ilmu.

Tak ada salahnya jika kita memulai untuk membaca buku terkait pendidikan Islam. Bagaimana mana sistem Islam mengatur pendidikan untuk generasi cemerlang pembangun peradaban Islam? Membaca sejarah bagaiman ibu Imam Syafi'i mendidik imam yang sampai saat ini tak tak kan habis jasa serta ilmu nya untuk umat islam. Ibu Shalahuddin al Ayyubi yang sejak sebelum menikah memiliki azzam yang kuat yaitu hanya akan menikah dengan laki-laki yang memiliki visi sama yaitu mendidik anaknya menjadi penakluk Andalusia. Ibu Imam Ahmad, ibu Muhammad Al Fatih, Fathimah putri Rasulullah, bunda Khadijah yang semuanya berhasil mencetak generasi milenial pembangun peradaban dengan hanya berpegang teguh pada apa yang Rasulullah ajarkan.

Jumat, 12 Januari 2018

Alhamdulillah 'ala Ni'matil Azhar

Entah mengapa selalu saja ada alasan untuk melangkah ke tempat itu. Setiap sianh, walau hanya satu kali setiap pekan. Walau harus sendiri, dan memang kesendirian bagiku jauh lebih menyenangkan. Karena Dia serasa lebih dekat. Walau harus menunggu bus bahkan hingga satu jam, karena enggannya sopir menjalankan bus karena jam jam itu memang tidak banyak penumpang. Mungkin karena mereka yang biasa memenuhi bus itu sedang sibuk dalam bangku kuliah, atau memadatkan pasar untuk jual beli, atau di sekolah-sekolah baik yang mengajar atau yang diajar. 

Bus merah itu lagi-lagi harus membuatku sabar. Terhembus angin musim dingin yang kian kencang. Menusuk tulang siapapun yang tak mau membungkus tubuh nya dengan pakaian tebal. 10 menit, sesekali aku menengok ke arah bus itu akan tiba. Sengaja tak mau terlalu sering atau bahkan terus terusan menatap arah itu, berharap segera muncul dari aspalan yang lebih tinggi dari tempat aku berdiri. Aku tau akan banyak mata yang memandang, walau aku tak memandang mereka. Para penumpang bus bus kecil, atau tremco, atau taxi dan mobil-mobil lainnya. Karena orang asing diman-mana akan menjadi pusat perhatian. Layaknya bule jika di negeri kita. Hanya aku seorang diri yang memakai jilbab dan khimar yang lebar. Jarang sekali aku menemukan perempuan. Sebenarnya aku menyadari sejak sebelum menyeberang jalan, jika hari itu adalah hari Ahad. Yang artinya sedang ada Suq Sayyarat. Pasar mobil. Itulah hari ketika mencari bus tak semudah hari biasanya. Apalagi suq di hari Jumat. Bus merah tak akan ditemukan kecuali pagi buta. Karena jalanan benar-benar penuh dengan mobil-mobil second yang dijual itu. Tapi entah tetap ada saja yang mendorong hati ini tetap dalam keinginan semula. Tetap melangkah dan tak kembali. Padahal jika aku menyerah dan pulang saja pun tak masalah. Masih banyak hal yang perlu kukerjakan. Masih banyak yang perlu kubaca dan hafal. "Lāhaula walla quwata illa billah", hanya berbekal itu aku yakin pasti Allah memberi jalan untuk niat yang baik ini insya Allah. Lagipula suq di hari Ahad tidak sepadat di hari Jumat. Jangankan bus besar, bus mini saja harus rela berdesak-desakkan lewat jalan tikus. Yang arah nya tak beraturan. 

Adzan Dzuhur telah usai. Waktu yang mustajab untuk memohonkan segala harapan. Dan benar saja, Allah tak pernah mengingkari janji-Nya. Barangsiapa bertawakkal pada-Nya maka Allah akan mencukupkan. Mungkin sekitar 15 menit aku berdiri, menahan angin yang semakin kencang dari segala arah, bus itu nampak, aku pun naik setelah sedikit melambaikan tangan. Tak seperti biasa, jam siang seperti ini biasanya bus jarang sekali penuh, bahkan kursinya pun kosong. Tapi ini tidak, dan aku pun harus berdiri. Niat untuk membaca ulang hafalan dengan duduk di kursi pun sirna. Tapi tak apa. Biarlah sekali-sekali aku mengalah. Selama ini mishriyin (orang mesir) lebih sering mengalah kepada kami. Sedangkan kami duduk nyaman menikmati perjalanan di atas kursi. 

Macet. Teriakkan antar pengendara pasti menghiasi siang yang terik itu. Saling berebut untuk mendapat jalan terlebih dahulu. Ternyata udara yang sejuk itu tak mempengaruhi suasana hati mereka. Tak apalah. Memang itu tabiat mereka. Mungkin aku saja yang belum biasa dan terlalu menyamakan dengan negeri sendiri.

Satu pemandangan yang kunantikan ku tiba. Nafura. Tempat itulah pertama kali aku mengenal dan dibantu oleh kakak perempuan yang sangat ramah. Yang jelas wafidat dari Indonesia. Dan ketika itu adalah haru pertama aku kuliah. Merasa anak kecil yang tak tau rumah induk. Saat itu hanya pasrah pada Allah saja yang menjadi andalanku. Setiap saat. Karena aku datang ke kuliah bersama teman-teman markaz yang tak ada satupun orang Indonesia. Kawan dari negeri melayu itu tak tinggal di distrik yang sama denganku. Dan aku tak tahu harus darimana aku menunggu bus.

Dan Allah mempertemuakanku dengan tiga akhwat berniqob.

"Kak, rumah nya mana?"

"Asher"

"Boleh bareng?"

"Iya boleh, ayo.."

"Alhamdulliah.."

Kami pun berkenalan. Aku menyampaikan bahwa aku adalah mahasiswi baru (maba) tahun 2017 ini. Dan baru kali itu aku kuliah. Kakak itu pun semakin antusias berbicara denganku, yang akhirnya aku meminta nomor headphone-nya. Dan mulai lah perjuanganku di bangku kuliah. Bersama kakak-kakak kelas yang tak seumuran denganku. 

Nafuro. Air yang muncul dari bangunan bulat yang indah. Dan sepertinya baru kali itu aku melihat airnya deras. Atau selama ini aku melihat saat airnya sedang surut. Di tempat itu memang tak pernah sepi. Mahasiswa dan mahasiswi yang menyebrang atau sedang menunggu bus untuk pulang.

Dan aku sudah dalam kondisi duduk di kursi single tepat di belakang sopir itu. Kanan, belakang, dan sekililngku penuh dengan laki-laki. 

"Ah, hari-hari imtihan (ujian). Pantas saja bus ini penuh. Mungkin mereka mendapat jadwal imtihan ba'da dzuhur".

Dan benar saja, saat sudah melewati gerbang Jamiah banin bus itu seketika longgar, aku pun bisa leluasa menengok, saat sebelumnya hanya bisa menatap jendela bus sebelah kiri. Bernafas pun terasa lega. 

Bus terus berjalan. Memutari area Jamiah al Azhar. Hingga akhirnya melewati Bab ar Rais (pintu utama). Dan inilah tempat kedua yang aku nantikan untuk melewatinya. Ketika bus memutar arah untuk ke arah Darosah, nampaklah besar, megah dan indah nya Bab ar Rais itu. Dan itu yang membuatku tak jarang menitikkan air mata. Sampai sekarang.

"Ya Rabb nikmat Mu mana lagi yang harus didustakan?", air mata ini terkadang tak kuat untuk ditahan.

Gerbang utama yang benar-benar tinggi, bertuliskan arab Jamiah Al Azhar. Yang nampak di belakangnya bangunan-bangunan kampus yang nampak rapi, walau tak berwarna-warni. Masjid Zahra' yang terletak di sebelah Markaz Lughoh. Lokasi pertama Al Azhar yang dulu aku datangi. Di sebelah nya bangunan yang lebih tinggi lagi tertulis "Kuliyatul Da'wah Islamiyah". Kemudian dibawahnya "Faculty Of Islamic Dakwah"

Semua itu sudah di depan mata. Tempat yang dahulu tak sedikitpun terbesit jika keinginanku Allah beri jalan. 

Bus terus berjalan, menembus siang sekaligus angin kencang, dan aku mulai merasa kantuk. Al Quran yang sejak tadi kubaca hampir terjatuh. Aku memutuskan untuk berhenti membaca. Memejamkan mata sebentar. Tapi tak lama aku melihat jembatan layang di depan sebelah kiri. Mengartikan bahwa bus ini akan berhenti. Dan tempat yang aku tuju sudah tiba. Satu jam perjalanan tidak terasa lama. Di mahathoh (halte) akhir semua penumpang pun bergegas keluar.

Aku sengaja keluar terakhir agar tidak perlu berdesakan dengan penumpang lain. Terutama laki-laki. Lagipula bus itu tidak langsung jalan. 

Di masjid seperti biasa. Antrian untuk setoran sudah ada. Dan kebanyakan mereka adalah pelajar dari Thailand dan Malaysia, beberapa mungkin dari Brunei. Yang memiliki wajah khas walaupun tak jauh beda dengan anak Indonesia. Pakaian mereka pun akan bisa kita bedakan jika sering bergaul atau setidaknya bertemu. Walaupun mereka menggunakan bahasa melayu, tapi tetap saja ada perbedaan dengan melayu Malaysia bagiku. Dan jika anak-anak Thailand itu bicara, dan aku tidak faham hanya bahasa Arab yang jadi andalan. Ya memang itu yang seharusnya kami gunakan dan kami latih.

Menunggu antrian di seorang Ustadzah, dan Syaikh Abdullah. Hingga hampir menjelang Ashar aku pun selesai untuk disima' di dua antrian itu. 

Usai sholat Ashar, aku memutuskan untuk langsung pulang walaupun berdiam diri di tempat yang indah itu selalu kunantikan. Tapi jika aku terlalu malam, nanti akan terjebak lagi dengan dingin yang semakin menusuk tulang.

Ternyata aku tidak langsung mendapat bus. Sambil menunggu di mahathoh, talkhis (rangkuman) kitab kembali lagi aku genggam. Membaca sedikit demi sedikit walaulun tidak terlalu konsentrasi. Sambil sesekali melihat arah dimana bus tiba. 

Masjid Ja'far bin Abi Thalib yang begitu indah, dan mewah. Nampak sekali bahwa mengartikan sebuah kenyamanan dan kenikmatan tersendiri berada di dalam itu. Entah itu bermunajat kepada Rabb, atau bersua bersama Al Quran atau belajar. Benar-benar syahdu dan selalu dirindu.

Sabtu, 06 Januari 2018

Tawakkal 'Alallah

Ketika kuliah belum bisa aku hadiri setiap hari, maka pilihan terakhir adalah aktif mengikuti bimbingan belajar. Tidak hanya senat fakultas yang mengadakan, jika kita aktif mencari bimbingan di tempat lain, ketertinggalan itu bisa dikejar. Walaupun apa yang di dapat di muhadhoroh (kuliah) akan jauh lebih baik dan maksimal. Langsung dari para pakar pada setiap bidangnya. Dan tentunya mereka para Duktur (dosen) Azhar tentu terjamin keilmuaanya. 

Hari Jumat. Seperti minggu-minggu sebelumnya, aku selalu bergabung dengan bimbel yang diadakan teman-teman dari negeri sebrang. Negeri pemilik kartun Upin dan Ipin. Salah satu kartun favorit anak kecil di Indonesia. Malaysia. Tepatnya Johor. Di salah satu sakan (asrama) mereka yang terletak di Rab'ah, tak jauh dari kampus banat. Hari Jumat. Hari yang berat bagi siapapun yang masih tak ada libur dari aktivitas belajar di luar rumah. Terutama mereka yang tinggal di Hay Asher (Distrik Sepuluh), karena Suq Sayyarat yang membuat jalan padat, sehingga banyak kendaraan yang lebih memilih tidak dijalankan. Lagipula itu hari libur nasional, yang semua kantor, sekolah, kampus tak ada yang masuk. Hari yang sunyi di jam-jam yang biasanya banyak orang memulai aktivitas. Dan menunggu bus kecil yang bagi kami bus dengan ongkos termahal pun tak mudah. Tiga Junaih (pound Mesir). Walau kalau dirupiahkan hanya sekitar 2500 saja. Tapi tetap saja akan terasa mahal bagi kantong mahasiswa rantau. Yang biasanya 3 Junaih itu bisa untuk dua kali naik bus merah.

"Tapi tak apalah", semua itu akan terasa ringan demi ilmu. 

Dan hari itu selesai bimbel, sekitar pukul 13.00 waktu Mesir, aku pun segera pulang. Naik bus dengan jenis yang sama, walau berbeda angka. Tapi yang jelas ke Hay Asher. 

Saat pertama masuk beberpa menit aku berdiri, karena sudah penuh. Dan tak lama aku bisa duduk. Menikmati perjalanan yang sejuk dan panas itu. Lagi-lagi tetap kitab yang harus buka. Lillah Insya Allah.

Ketika asthoh (sopir) itu memutuskan masuk lewat jalan dalam, penumpang pun mulai berkomentar. Walaupun aku tak paham semua perkataan mereka, yang jelas asthoh itu menjelaskan jika lewat jalan utama pasti ziham (macet). Dan pasti akan akan lama. Banyak yang kecewa, tapi semuanya menerima. Jika mau lebih cepat memang harus jalan itu yang dipilih, walau ketika nanti turun mungkin jadi berjalan lebih jauh dengan tempat yang kita tuju. Dan yang tak menerima keputusan itu pun hanya menelan ludah dengan sedikit kecewa.

Hingga ketika sudah masuk Bawabat (mungkin seperti salah satu Desa di Hay Asher), ada seorang pemuda yang minta untuk turun. Awalnya dia duduk tepat di depan ku. Dan dia tepat di belakang asthoh. Sebelum nya aku melihat mereka mengobrol akrab, tak ada nada tinggi atau emosi. Namun, entah kenapa ketika bus itu berhenti dan pemuda itu turun, tiba-tiba terjadi perdebatan antara dia dan asthoh. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku belum banyak memahaminya. Namun, aku menangkap sebuah kalimat yang disitu asthoh nya menyampaikan yang intinya "Aku tadi sudah bilang kalau Bawabat turun di sini, karena lewat dalam". 

Perdebatan itu panjang, tak berujung. Semakin keras. Saling menyentak. Dan tak ada yang mau mengalah. Semuanya saling menyalahkan. Aku hanya menghembuskan nafas panjang. Dan pemuda yang disampingku mungkin memahami keherananku dengan apa yang terjadi di hadapan semua penumpang itu. Sesekali aku tanpa sadar menggelengkan kepala. Tanda kesal dan heran.

Hingga akhirnya seorang perempuan berjilbab dan berkerudung mendekati mereka untuk melerai pertengkaran itu. Ia memengang pundak pemuda itu. Seorang ibu yang lembut.

"Kholas..kholas. tawakall 'alallah (sudah sudah..bertawakallah pada Allah)"

Tetap saja mereka adu mulut.

"Hadza yaumul jum'ah shoh? (Ini hari Jumat kan)", perempuan itu menambahkan nasehat nya. Mungkin semakin kesal. Dan akhirnya nasehat itu berhasil. Asthoh yang mungkin sudah hampir berumur itu mengalah. Dan mengakhiri pertengkarannya dengan berkata "Tawakkal 'alallah"..

"Alhamdulillah..", kataku dalam hati. 

Tidak berselang beberapa detik pemuda itu turun, tiba-tiba ada suara pukulan yang keras dari belakang bus itu. Ternyata pemuda itu memukul bagian belakangnya. Dan asthoh itu membiarkannya. Ia sudah menekan gas untuk berjalan lagi.

Bus itu belok ke arah kiri. Dan lagi-lagi terkena macet. Harus mengantri jalan, bergantian dari lawan arah. Tiba-tiba saat berjalan perlahan itu, kaca bus bagian depan, tepat di samping kiri asthoh dipukul keras dari luar. Kami semua terkejut. Bahkan aku mengira pukulan itu seperti lemparan batu. Seketika aku mengira bahwa itu adalah orang yang marah karena berebut jalan. 

"Mungkin sopir dari bus atau kendaraan lain. Yang tak rela mengalah demi bus yang kami naiki", pikir ku dalam hati.

Tapi tidak. Rupanya pemuda yang tadi. Ternyata dia belum puas. Seketika asthoh itu marah. Dan langsung mematikan mesin bus. Dia lompat tanpa berfikir panjang dari belakangnya. Padahal ada dua besi panjang melintang yang membatasi antara sopir dan penumpang-penumpang di belakangnya. Ia lompat dari atasnya.

"Allah.. Astagfirullah", kataku lirih "pasti ini akan terjadi yang lebih buruk dari yang tadi", aku hanya mengira. Kitab yang sejak tadi aku buka akhirnya pun aku tutup. Rasanya sudah tak bisa konsentrasi sedikit pun. Dan aku tak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di luar. Namun saat melihat seorang perempuan yang duduk di seberang kanan ku menutup mulut dan mukanya, nampak sangat terkejut dan takut, aku pun seketika menoleh keluar. Ternyata pemuda itu sudah ditahan beberapa laki-laki lain. Bahkan sopir taxi pun turun dari mobilnya hanya untuk memegang badan pemuda itu. Menahan dia agar tidak melakukan sesuatu kepada asthoh itu. Dan ternyata dia menggenggam pisau. Pisau kecil yang nampak runcing ujungnya. Dan saat ashtoh itu ingin memukulnya, pemuda yang lain pun menghalangi. Semua saling berteriak untuk membujuk mereka berdua. Ternyata perkelahian mereka jauh lebih dahsyat dari anak kecil yang berebut mainan dan tak mau ada yang mengalah. 

Aku semakin takut. Gemetaran. Dan hampir saja memutuskan untuk turun disitu. Daripada menunggu perkelahian itu yang entah hingga kapan berakhir. Tapi aku urungkan niat itu. Karena syaqoh kami masih cukup jauh dari situ. Setelah sekitar 10 menit, akhirnya berhenti. Walau adu mulut itu tak pernah berhenti. Asthoh segera menyalakan mesin. Tanpa ada basa-basi, atau kata maaf kepada kami para penumpang. Dan dari dalam bus, aku lihat pemuda itu dipeluk oleh laki-laki lain yang meredamkan amarahnya.

 "Alhamdulillah.."

Setelah bus berjalan sekitar lima menit, aku meminta untuk berhenti. Aku tak tau sebenarnya aku harus berhenti di simpangan gang ke berapa untuk tepat dengan syaqoh kami. Karena memang jarang melewati jalan itu apalagi berhenti disitu, aku pun salah. Terlalu awal aku berhenti. Tapi tak apa. Karena dari situ dan sejak itu, aku menjadi tau dimana seharusnya aku turun dari bus.

Satu hal yang membuatku takjub adalah ternyata salah satu meredamlan amarah diantara mereka dengan kalimat indah itu.

"Tawakkal 'alallah"..