Segera aku luruskan kaki. Benar-benar lelah. Padahal selama perjalanan di bus dari bandara Cairo ke syaqoh kami aku lebih banyak tidur. Beberapa kali berhenti untuk mengantar teman-teman yang lebih dahulu dilewati. Asrama Banin yang terletak di Hay Sadis (Distrik Enam), kemudian syaqoh teman-teman kami yang Banat di Bawabat.
Sebenarnya namaku ada di rumah itu. Tapi, karena kawan terdekatku membujuk Ustadz yang menjemput kedatangan kami itu, akhirnya kami akan tinggal di satu rumah yang sama, dan itu rumah terakhir. Setelah kami turun dari bus yang sangat besar itu, kami istirahat sebentar dan makan malam di syaqoh Bawabat. Setelah itu diantar ke syaqoh kami, dengan sebuah mobil. Seharusnya yang akan tinggal di Syaqoh Gami enam Maba (Mhasiswa baru), tapi karena yang tiga sudah diambil kakak kelas mereka, akhirnya jumlah kami bersisa setengah. Semua itu diawali dengan perdebatan dan sedikit mistake communication.
Kami benar-benar kaget, karena semua rumah bertingkat-tingkat. Tak ada yang hanya satu lantai. Untuk rumah Bawabat, mereka di lantai teratas. Lantai lima. Dan kami yang di Gami di lantai empat. Lelah karena safar dan kantuk itu membuat tangga yang harus kami naiki serasa mendaki gunung. Apalagi gelap. Itu sungguh sesuatu yang aneh bagi kami.
Sampai di rumah, empat ustadz yang mengantar kami ikut masuk ke dalam rumah. Dan itu sangat membuatku kaget. Karena aku fikir rumah itu benar-benar privasi untuk perempuan. Walaupun ada seorang kakak perempuan yang sudah tinggal disitu. Yang akan menemani kami nantinya.
Aku tak peduli. Selain karena lelah dan mengantuk, aku juga benar-benar kurang suka dengan gurauan di antara mereka. Yang menurutku terlalu berlebihan dan tidak memahami batas pergaulan. Saat ditanya, hanya jawaban-jawaban singkat yang kuberikan. Benar saja kata ustadzah ku dulu saat memberi nasehat dan pesan. Bahwa masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) tak ada bedanya dengan mahasiswa di Indonesia. Walaupun yang mereka pelajari adalah Islam, tapi banyak yang belum mempraktekkan islam itu dalam kehidupannya.
Sepuluh menit berlalu. Dan akhirnya mereka keluar. Usai itu kami mengobrol dengan kakak itu. Tak lama. Akhirnya aku dan dua temanku itu ke kamar. Mencari koper dan tas tas kami yang diantar lebih awal sebelum kami datang. Kami ingin segera tidur. Jam menunjukkan pukul 21.00. Artinya di Indonesia sudah lewat tengah malam, pukul 02.00. Setelah ke kamar mandi, dan sholat kami segera istirahat dengan kasur baru yang masih dibungkus plastik.
Dari situ benar-benar mulai terasa rasa rindu dan asing. Aku sudah berada di negara yang berbeda. Benua yang berbeda. Dan menyeberangi samudra yang begitu luas.
Itu hari kamis.
Kami benar-benar dikejutkan dengan suara gonggongan anjing layaknya ayam jika di Indonesia. Membuat kami tidak bisa tidur dengan nyenyak. Beberapa kali terbangun. Kala itu tersadar dari tidur itu sangat berat bagiku. Karena aku akan menyadari jika aku sudah tak lagi di rumah. Tepatnya karena di tempat baru yang masih aneh. Dan mungkin karena mata kami masih "mata Indonesia", yang saat pukul 12.00 waktu Cairo, sedangkan di Indonesia sudah pukul lima pagi. Sehingga kami sering terbangun. Merasa jika sudah pagi.
Esoknya, hari Jumat nya kami hanya di rumah. Bermain handphone mengabari orangtua dan keluarga di rumah dengan wi-fi syaqoh.
Hari Sabtu kami diajak oleh kakak itu untuk membeli sayur- sayuran. Dan banyak hal yang kutemukan disana. Mulai bawang-bawang yang besar, sayur mayur yang segar-segar, dan tentunya semua murah.
Dan semua hal kami tanyakan kepada kakak itu. Saat membayar pun tak ada kata yang kami fahami kecuali beberapa angka, untuk menunjukkan harga. Itu pun sangat cepat diucapkan.
Singkatnya, mulai hari Ahad hingga sepuluh hari berikutnya kami menyibukkan diri mengikuti bimbel untuk tes Tahdid Mustawa (Penentuan Level) di Markaz Lughoh Syaikh Zaid. Beberapa lembaga banyak yang mengadakan. Mulai dari yang full tanpa berbayar sesikitpun, atau ada yang menggunakan biaya. Ada yang hanya satu kali pertemuan, ada pula yang paralel berturut turut hingga tiga hari. Semua itu pilihan kami. Karena jadwal tidak jarang bertabrkan. Dan keaktifan masing-masing dari kami adalah hal sangat menentukan. Mengapa? Karena kuota bimbel dan tryout itu hanya untuk bererapa ratus peserta. Sedangkan angkatan kami pada tahun ini mencapai 1550 an. Jadi hukum "siapa cepat dia dapat" sangatlah berlaku. Tepatnya "Siapa yang pasif tak kan beruntung".
Tak terasa sepuluh hari itu. Siap tidak siap kami harus menghadapi ujian Penentuan Level itu pada tanggal empat Oktober. Melihat kemampuanku di dalam tryout itu, sebenarnya aku merasa sangat belum siap. Soal-soal sangat sulit, terutama ilmu balaghoh yang sama sekali belum kudapatkan selama belajar di Indonesia.
Tawakkal pada Allah adalah ketenangan dari segalanya. Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus. Jangan sampai kita salah menempatkan peran Allah dalam segala harapan dan keinginan dalam hidup ini. Bukan usaha dulu kemudian tawakkal. Tawakkal dulu baru usaha. Dan tawakkal tak boleh lepas dan hilang selama perjalanan usaha kita atau saat usaha kita telah usai. Bukankah Allah berfirman ? "Fa idza 'azamta fa tawakkal 'alallah. Innallaha yuhibbul mutawakkilin".
"Jika kalian memeiliki tekad, maka berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berserah diri".
Ayat itu jelas memerintahkan kita agar selalu memulai segala tekad dengan pasrah, dan berserah diri kepada Allah, karena hanya Allah sebaik-baik pemilik rencana. Kemudian usaha dan sebab-sebab tercapainya keinginan itu harus dicari dan dilakukan semaksimal yang kita mampu.
Dan hari Rabu itu, kami harus bergerak lebih cepat. Kami berenam dan kakak kelas di rumah kami mengantar kami ke tampat itu. Dan saat itu adalah kali keduanya aku naik bus 80 coret. Dan baru kali itu pula, aku melihat bus diisi kebanyakan oleh muka-muka Indonesia.
"Pasti mereka juga Maba", pikirku.
Beberapa dari kami ada yang masih memegang buku, atau ada yang memegang Al Quran. Beruntung kami mendapat tampat duduk, walau di kursi paling belakang. Setidaknya tidak kesulitan untuk membuka lembaran-lembaran catatan singkat selama bimbel.
"Usaha terkahir", fikirku, walaupun tidak terlalu konsentrasi karena panas dan penuhnya bus itu. Ditambah lagi ramainya jalanan dan kendaraan di luar bus yang kami naiki.
Sekitar 30 menit perjalanan, kami sudah memasuki kawasan Al Azhar. Dan saat di belokan terakhir, bus itu tiba-tiba berhenti, seharusnya belok ke kanan sebelum sampai di Bab Ar-Rais (Pintu Utama) Al Azhar. Kami pun hampir semua turun. Berjalan sekitar 200 meter. Ternyata ada presiden Mesir yang sedang melakukan kunjungan ke Azhar. Sehingga jalan yang tepat sekali akan kami lalui harus ditutup. Pagi itu sudah terik. Walaupun bukan sedang musim panas, tapi sudah cukup membuat kami berkeringat sebelum ujian Tahdid Mustawa itu.
Aku benar-benar terkejut, saat melihat mahasiwa dan mahasiswi baru itu. Aku yakin itu hanya dari Indonesia. Dan mereka semua adalah kawan-kawan angkatanku, yang bererapa bulan yang lalu sama-sama bersaing dalam tes penerimaan yang diadakan Kemenag.
Semua sudah berbaris rapi di depan gedung tempat tes Penentuan Level itu. Rupanya kami hampir terlambat. Dan kami tak boleh membawa apapun ke dalam ruangan itu selain alat tulis.
"Ini tas nya ditaruh mana kak?",
"Disini aja"
"Aman kan?"
"Insya Allah aman. Banyak panitia yang jaga"
"Oh Iyaa kalau gitu ana nitip hape kak"
Ternyata semua telah ditentukan Qoah (kelas) untuk tes. Dan setiap qoah masuk secara bersama-sama. Dalam satu rombongan. Dan karena rombongan ku sudah masuk bererapa menit yang lalu, akhirnya aku harus masuk dengan Ulya, teman satu rumah, yang kebetulan kami di satu qoah. Qoah sadis (enam). Kami menberanikan diri, walau sedikit dapat marah oleh Ustadz yang berbadan tinggi itu. Entah marah atau tidak, baru kali itu kami mendapat teguran dari orang Mesir. Bapak-bapak yang mungkin sudah berkepala empat.
Kami tak tau harus masuk ruangan di sebelah mana dan lantai berapa. Kami hanya mengikuti langkah seorang Ustadz di depan kami. Ketika kami sudah naik ke lantai dua, tiba-tiba kami ditanya kembali.
"Fii ayyi qoah ya banat?"
"Sadis ya ustadz"
"Sadis fi asfal laisa hena" (Enam di bawah bukan disini)
"Na'am" hanya itu yang kami jawab.
Segera kami turun dan menyusuri lorong yang kanan dan kirinya penuh dengan pintu-pintu qoah. Satu persatu kami lihat angka yang tertulis di pintu-pintu itu. Dan akhirnya kami menemukan. Dan itu sudah kami lewati tadi. Tapi karena kami gugup dan mengekor ustadz itu, kami tak berfikir sedikitpun untuk mencari qoah di kanan kiri kami. Dan ternyata ustadz itu tak menyadari jika kami mengikuti beliau agar ditunjukkan qoah kami.
Kelas sudah hampir penuh. Tapi masih ada sekitar lima kursi yang kosong. Dan kami mencari kursi yang tertera di mejanya nama kami. Aku di kursi nomor dua dari depan. Sedangkan Ulya tiga kursi di belakangku. Kami masih satu baris. Dan tak banyak yang aku kenal disitu, kecuali tiga orang termasuk Ulya. Salah satunya adalah teman satu kampus dulu, dan satu lagi teman satu rombongan penerbangan.
Sudah setengah jam lewat. Hampir pukul 09.00. Dan penguji pun belum datang. Ternyata tak ada bedanya dengan di Indonesia. Tetap menggunakan jam karet.
"Untung saja kami tidak terlalu pagi berangkatnya", fikirku setelah mengobrol dengan beberapa dari mereka. Ternyata mereka sampai di tempat itu sudah lebih dari satu jam. Hampir dua jam bahkan. Jauh lebih pagi dari kami. Dan yang menjadi masalah, kami sudah tak membawa apapun di tangan, melainkan pulpen. Tak ada buku atau Al Quran yang bisa kami baca. Yang biasa memainkan handphone pun menjadi tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya banyak dari kami yang mengobrol atau memilih memejamkan mata sambil menempelakan kepala di meja. Banyak juga yang masih terus berdiskusi, bertanya apapun yang bisa ditanyakan pada teman.
"Ah mungkin Allah masih memberiku kesempatan sekali lagi untuk berdoa", husnudzon saja fikirku. Dzikir dan doa satu-satunya yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti itu. Nampak sepele. Tapi berbekal tsiqoh billlah (yakin kepada Allah) semua akan tenang, tak tak akan ada yang sia-sia. Ada kekuatan di balik doa. Yakinlah itu.
Sekitar empat puluh lima menit aku disitu, akhirnya seorang perempuan berjubah. Jelas sekali dari raut mukanya adalah seorang guru.
"Kayfa hal ya banat?", (bagaimana kabarnya anak-anak?"
"Alhamdulliah bil khair"
Kami pun bahagia bercampur tegang. Sebentar lagi ujian yang sangat menentukan itu akan dimulai. Kami diberi kertas soal yang tak sedikit. Kurang lebih enam atau tujuh halaman. Sebelum aku yakin membuka kertas itu, kubaca doa sebagaimana doa pada setiap kali aku akan ujian.
"Masya Allah, banyak banget. Baru kali ini aku ujian dengan soal bahasa Arab semua dan berlembar lembar seperti ini", kalaupun pernah sepertinya terkahir saat ujian paket kesetaraan SMA.
Dan benar saja kata kakak-kakak kelas yang pernah kutanya. Bahwa tes Tahdid Mustawa berkali-kali lipat lebih sulit dibanding soal tes Kemenag. Baik dari jumlah soalnya, jenis kosakatanya, susunan bahasanya, atau tema dan materinya. Tapi Alhamdulliah, dengan bimbel dan tryout yang kami ikuti beberapa hari sebelumnya sudah sedikit tergambar. Walau tetap saja banyak mufrodat (kosakata yang benar-benar baru aku lihat.
Kami dipanggil satu per satu untuk tes lisan. Dan itu yang lebih aku takuti. Karena aku menyadari kemampuan berbicaraku jauh lebih buruk daripada insya' (mengarang). Tapi tawakkal sajalah. Semoga tak sulit-sulit yang ditanyakan. Beberapa kali aku mendengar apa saja yang ditanyakan ustadzah itu kepada teman kami yang sedang maju. Ada yang mejawab panjang lebar layaknya berbicara dengan bahasa daerah. Dan tak jarang pula yang hanya menjawab ala kadarnya. Singkat. Atau bahkan apa yang ditanyakan ustadzah ia tak faham apa maksudnya. Jadi, jika ia hanya sebentar, hampir bisa dipastikan jika yang memberi pertanyaan sudah menyerah dengannya. Dan itu semakin membuatku takut.
Aku mendapat urutan sekitar nomor lima belas. Pertengahan dari seluruh jumlah yang ada dalam satu qoah itu. Dan Alhamdulliah ketika aku mendapat giliran tidak banyak dan tidak begitu sulit pertanyaan yang diberikan. Hanya ta'aruf (perkenalan), tentang keluarga, kemudian ditanya jumlah hafalan, dan terakhir diminta bercerita seputar perjalanan keberangkatanku ke Mesir.