Ketika kuliah belum bisa aku hadiri setiap hari, maka pilihan terakhir adalah aktif mengikuti bimbingan belajar. Tidak hanya senat fakultas yang mengadakan, jika kita aktif mencari bimbingan di tempat lain, ketertinggalan itu bisa dikejar. Walaupun apa yang di dapat di muhadhoroh (kuliah) akan jauh lebih baik dan maksimal. Langsung dari para pakar pada setiap bidangnya. Dan tentunya mereka para Duktur (dosen) Azhar tentu terjamin keilmuaanya.
Hari Jumat. Seperti minggu-minggu sebelumnya, aku selalu bergabung dengan bimbel yang diadakan teman-teman dari negeri sebrang. Negeri pemilik kartun Upin dan Ipin. Salah satu kartun favorit anak kecil di Indonesia. Malaysia. Tepatnya Johor. Di salah satu sakan (asrama) mereka yang terletak di Rab'ah, tak jauh dari kampus banat. Hari Jumat. Hari yang berat bagi siapapun yang masih tak ada libur dari aktivitas belajar di luar rumah. Terutama mereka yang tinggal di Hay Asher (Distrik Sepuluh), karena Suq Sayyarat yang membuat jalan padat, sehingga banyak kendaraan yang lebih memilih tidak dijalankan. Lagipula itu hari libur nasional, yang semua kantor, sekolah, kampus tak ada yang masuk. Hari yang sunyi di jam-jam yang biasanya banyak orang memulai aktivitas. Dan menunggu bus kecil yang bagi kami bus dengan ongkos termahal pun tak mudah. Tiga Junaih (pound Mesir). Walau kalau dirupiahkan hanya sekitar 2500 saja. Tapi tetap saja akan terasa mahal bagi kantong mahasiswa rantau. Yang biasanya 3 Junaih itu bisa untuk dua kali naik bus merah.
"Tapi tak apalah", semua itu akan terasa ringan demi ilmu.
Dan hari itu selesai bimbel, sekitar pukul 13.00 waktu Mesir, aku pun segera pulang. Naik bus dengan jenis yang sama, walau berbeda angka. Tapi yang jelas ke Hay Asher.
Saat pertama masuk beberpa menit aku berdiri, karena sudah penuh. Dan tak lama aku bisa duduk. Menikmati perjalanan yang sejuk dan panas itu. Lagi-lagi tetap kitab yang harus buka. Lillah Insya Allah.
Ketika asthoh (sopir) itu memutuskan masuk lewat jalan dalam, penumpang pun mulai berkomentar. Walaupun aku tak paham semua perkataan mereka, yang jelas asthoh itu menjelaskan jika lewat jalan utama pasti ziham (macet). Dan pasti akan akan lama. Banyak yang kecewa, tapi semuanya menerima. Jika mau lebih cepat memang harus jalan itu yang dipilih, walau ketika nanti turun mungkin jadi berjalan lebih jauh dengan tempat yang kita tuju. Dan yang tak menerima keputusan itu pun hanya menelan ludah dengan sedikit kecewa.
Hingga ketika sudah masuk Bawabat (mungkin seperti salah satu Desa di Hay Asher), ada seorang pemuda yang minta untuk turun. Awalnya dia duduk tepat di depan ku. Dan dia tepat di belakang asthoh. Sebelum nya aku melihat mereka mengobrol akrab, tak ada nada tinggi atau emosi. Namun, entah kenapa ketika bus itu berhenti dan pemuda itu turun, tiba-tiba terjadi perdebatan antara dia dan asthoh. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku belum banyak memahaminya. Namun, aku menangkap sebuah kalimat yang disitu asthoh nya menyampaikan yang intinya "Aku tadi sudah bilang kalau Bawabat turun di sini, karena lewat dalam".
Perdebatan itu panjang, tak berujung. Semakin keras. Saling menyentak. Dan tak ada yang mau mengalah. Semuanya saling menyalahkan. Aku hanya menghembuskan nafas panjang. Dan pemuda yang disampingku mungkin memahami keherananku dengan apa yang terjadi di hadapan semua penumpang itu. Sesekali aku tanpa sadar menggelengkan kepala. Tanda kesal dan heran.
Hingga akhirnya seorang perempuan berjilbab dan berkerudung mendekati mereka untuk melerai pertengkaran itu. Ia memengang pundak pemuda itu. Seorang ibu yang lembut.
"Kholas..kholas. tawakall 'alallah (sudah sudah..bertawakallah pada Allah)"
Tetap saja mereka adu mulut.
"Hadza yaumul jum'ah shoh? (Ini hari Jumat kan)", perempuan itu menambahkan nasehat nya. Mungkin semakin kesal. Dan akhirnya nasehat itu berhasil. Asthoh yang mungkin sudah hampir berumur itu mengalah. Dan mengakhiri pertengkarannya dengan berkata "Tawakkal 'alallah"..
"Alhamdulillah..", kataku dalam hati.
Tidak berselang beberapa detik pemuda itu turun, tiba-tiba ada suara pukulan yang keras dari belakang bus itu. Ternyata pemuda itu memukul bagian belakangnya. Dan asthoh itu membiarkannya. Ia sudah menekan gas untuk berjalan lagi.
Bus itu belok ke arah kiri. Dan lagi-lagi terkena macet. Harus mengantri jalan, bergantian dari lawan arah. Tiba-tiba saat berjalan perlahan itu, kaca bus bagian depan, tepat di samping kiri asthoh dipukul keras dari luar. Kami semua terkejut. Bahkan aku mengira pukulan itu seperti lemparan batu. Seketika aku mengira bahwa itu adalah orang yang marah karena berebut jalan.
"Mungkin sopir dari bus atau kendaraan lain. Yang tak rela mengalah demi bus yang kami naiki", pikir ku dalam hati.
Tapi tidak. Rupanya pemuda yang tadi. Ternyata dia belum puas. Seketika asthoh itu marah. Dan langsung mematikan mesin bus. Dia lompat tanpa berfikir panjang dari belakangnya. Padahal ada dua besi panjang melintang yang membatasi antara sopir dan penumpang-penumpang di belakangnya. Ia lompat dari atasnya.
"Allah.. Astagfirullah", kataku lirih "pasti ini akan terjadi yang lebih buruk dari yang tadi", aku hanya mengira. Kitab yang sejak tadi aku buka akhirnya pun aku tutup. Rasanya sudah tak bisa konsentrasi sedikit pun. Dan aku tak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di luar. Namun saat melihat seorang perempuan yang duduk di seberang kanan ku menutup mulut dan mukanya, nampak sangat terkejut dan takut, aku pun seketika menoleh keluar. Ternyata pemuda itu sudah ditahan beberapa laki-laki lain. Bahkan sopir taxi pun turun dari mobilnya hanya untuk memegang badan pemuda itu. Menahan dia agar tidak melakukan sesuatu kepada asthoh itu. Dan ternyata dia menggenggam pisau. Pisau kecil yang nampak runcing ujungnya. Dan saat ashtoh itu ingin memukulnya, pemuda yang lain pun menghalangi. Semua saling berteriak untuk membujuk mereka berdua. Ternyata perkelahian mereka jauh lebih dahsyat dari anak kecil yang berebut mainan dan tak mau ada yang mengalah.
Aku semakin takut. Gemetaran. Dan hampir saja memutuskan untuk turun disitu. Daripada menunggu perkelahian itu yang entah hingga kapan berakhir. Tapi aku urungkan niat itu. Karena syaqoh kami masih cukup jauh dari situ. Setelah sekitar 10 menit, akhirnya berhenti. Walau adu mulut itu tak pernah berhenti. Asthoh segera menyalakan mesin. Tanpa ada basa-basi, atau kata maaf kepada kami para penumpang. Dan dari dalam bus, aku lihat pemuda itu dipeluk oleh laki-laki lain yang meredamkan amarahnya.
"Alhamdulillah.."
Setelah bus berjalan sekitar lima menit, aku meminta untuk berhenti. Aku tak tau sebenarnya aku harus berhenti di simpangan gang ke berapa untuk tepat dengan syaqoh kami. Karena memang jarang melewati jalan itu apalagi berhenti disitu, aku pun salah. Terlalu awal aku berhenti. Tapi tak apa. Karena dari situ dan sejak itu, aku menjadi tau dimana seharusnya aku turun dari bus.
Satu hal yang membuatku takjub adalah ternyata salah satu meredamlan amarah diantara mereka dengan kalimat indah itu.
"Tawakkal 'alallah"..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar