Pukul sembilan lebih kami baru sampai terminal Kabupaten Malang. Darisana Kamu mencari bus jurusan Tulungagung. Perjalanan ke kota itulah yang sangat lama. Ditambah macet dan berhenti-berhenti di beberapa terminal. Sampai di terminal Tulungagung sudah hampir pukul dua siang. Selama perjalanan aku tidak putus komunikasi dengan ayah atau ibuku. Itu memang perjalanan pertamaku menjelajahi Jawa Timur yang bagiku sangat rumit tranportasinya. Untuk sampai di sebuah tempat harus berkali-kali ganti bus. Mustahil hanya sekali kecuali naik jasa travel atau mobil pribadi.
Aku sudah semakin khawatir. Perjalanan dari Tulungagung ke Trenggalek paling cepat setengah jam. Itu kalau tak berhenti-berhenti- berhenti. Sedangkan bus Trenggalek menuju Pacitan paling terkahir puul dua siang. Tepat beberapa menit kami turun dari bus di terminal Trenggalek, adzan Ashar berkumandang.
"Amalia... udah ashar. Ya Allah terus gimana ya?"
"Iya.."
"Kata ayahku terakhir bus dari sini ke Pacitan jam dua", kataku lesu, "Tapi kita tunggu aja ya. Siapa tau masih ada..."
"Iya Sal, kita tunggu aja ya.."
Sampai hampir satu jam menunggu bus, semakin tidak ada tanda-tanda akan datang bus yang ke arah Pacitan. Disana banyak para petugas keamanan yang memang ada di terminal-terminal bus. Tiba-tiba salah satu dari mereka mendekati kami.
"Mbae badhe teng pundi?", bapak berseragam abu-abu seperti satpam itu menanyai kami dengan bahasa Jawa yang sangat halus.
"Mau ke Lorog, pak. Sudah ngga ada ya pak bus nya?", tanyaku memastikan.
"Nggih mba. Terkahir nggih wau Jam kaleh.."
"Oh ngaten pak", harapan kami sudah semakin sirna. Info dari petugas keamanan pasti tak diragukan lagi. "Amalia.. gimana ya?", bapak itu nampak memikirkan jalan keluar untuk kami. Beliau masih berdiri tegak di hadapan kami. "Gini aja mba. Tak anter ke depan MTs disana biasanya banyak mobil-mobil yang ke Panggul. Nanti njenengan naik itu aja"
"Oh dimana pak MTs nya?"
"Ayo saya antar naik mobil", ajak bapak itu sambil melambaikan tangan menuju pos tempat mereka berjaga. Sebuah mobil berwarna hitam yang masih nampak bagus itu ber-plat merah, yang artinya bukan mobil miliki pribadi.
"Sal...beneran?", tanya Amalia setengah tak percaya. "Baik banget bapaknya"
"Iya, bismillah aja. Masalahnya handphone ku udah drop juga". Tanpa rasa curiga atau takut kami ikut bapak itu menuju dekat arah keluar terminal yang tak terlalu lebar itu. Menuju mobil yang bapak itu sudah berdiri di dekat pintunya. Kami masuk di bagian belakang, dan tak sampai 10 menit bapak itu menghentikan mobilnya setelah perempatan lampu merah. Sebelum turun, kami dijelaskan bahwa beberapa mobil yang berada di depan kami itu semacam bus namun lebih seperti mobil panjang yang hanya bia dimasuki sekitar 15 orang penumpang. Beliau kemudian keluar dan memanggil salah satu dari sopir mobil itu, dan sepertinya menyampaikan apa yang kami alami.
Setelah kami turun, aku segera menghubungi ibuku agar tidak khawatir. Aku menyampaikan jika kami sudah dibantu oleh bapak petugas keamanan di terminal Trenggalek itu. Kami akan naik mobil carry yang besar itu.
"Coba nak ibu telpon, kira-kira kalau minta antar sampai Lorog biayanya berapa..", mobil itu memang bukan jurusan Lorog, tapi hanya sampai Kecamatan Panggul yang merupakan kecamatan paling timur sebelum masuk Kabupaten Pacitan.
Setelah aku menyampaikan kepada sopir angkutan itu, akhirnya orang itu mau untuk meluangkan waktunya untuk berbicara dengan ibuku. Lagipula penumpang mobul itu baru kami berdua dan seorang laki-laki yang baru saja datang. Jadi tak akan mungkin jalan, sebelum penuh. Para sopir itu masih menikmati makan mereka, sambil ngobrol dan tentu dilengkapi dengan rokok. Setelah beberapa menit berbincang, bapak itu memberikan handphone kecilku kepadaku. Ibuki berkata jika intinya angkutan itu terlalu mahal jika minta untuk mengantar kami hingga Lorog, yang jaraknya sekitar satu jam dari Panggul, tujuan terkahir angkutan itu. Sekitar 300 ribu rupiah.
"Wah.. itu udah tiga berapa kali lipat biaya naik travel dari Malang ke Pacitan"
"Iya nak.. udah kalian tenang aja. Ibu carikan solusi lain", ibuku menenangkan.
"Iya bu. Gimana ya enaknya?"
"Gini aja nanti sampai Panggul bisa nunut travel dari Surabaya yang ke arah Lorog. Atau ngga ada, nanti ibu jemput, sama minta tolong Bulik, biar dua motor"
"Ya Allah.. malem-malem bu. Jangan..."
"Ya gimana lagi. Coba ibu fikirian solusi lain", jelasnya dengan tenang. "Mbak jangan putus komunikasi ya.. nanti dikabari lagi." Hari itu ayah ku memang sedang tidak di rumah, jadi hanya ibuki saja yang bisa mencari jalan keluar.
Sekitar dua jam kami berada di tempat itu. Kami berkali-kali mondar mandir masuk keluar MTs yang tepat mobil-mobil angkutan itu berjajar di halamannya. Kami sholat ashar di Masjid itu secara bergantian untuk menjaga tas kami di dalam mobil. Kemudian mencharge handphone yang tak akan lama lagi mati. Sekitar pukul 5 sore, akhirnya penumpang sudah penuh, dan sopir pun memutuskan untuk jalan.
Sejak tadi gerimis belum berhenti. Hingga gas dijalankan, dan kami meninggalkan Kota itu masih saja menguasai jalananan yang kaman kiri nya masih rindang dengan pepohonan besar. Tak lama dari itu, adzan maghrib dikumandangkan. Kami segera menguatkan sholat jama' ta'khir dengan isya'. Satu per satu penumpang mulai turun. Semakin berkurang, hingga saat sampai Kecamatan Panggul, tepatnya di sebuah masjid yang disana dulu dulu sangat serinh beristirahat saat melalukan perjalanan ke Tulungagung bersama ibuku saat ada agenda dakwah. Bulan sering. Tapi selalu dalam setiap pekan. Kebiasaan yang tak pernah terlupakan. Saat aku menangis karena panasnya udara matahari siang di dalam ditambah pengapnya bus ke kecil, juga berhenti untuk menunggu penumpang yang terlalu lama. Pasti aku meminta turun untuk membeli sesuatu. Dan terkadang duduk menunggu di teras masjid. Ya Rabb..masih teringat dengan rapi kisah itu dalam benakku. Keikhlasan ibuku dalam berjuang di jalan-Nya itulah yang selalu membekas kuat.
Akhirnya kami dijemput oleh pakdhe dan budheku yang kebetulan memiliki mobil pribadi. Tak lama setelah sholat dan istirahat sejenak, beliau sudah sampai di depan Masjid. Dua anak budeku dibawa, yang paling kecil dan yang diatasnya. Perjalanan kami memakan waktu sekitar dua jam. Melewati hutan-hutan yang sangat gelap, tanjakan dan turunan yang cukup tajam, tak banyak lampu yang menerangi jalan apalagi pemukiman.
Budhe yang merupakan kakak sepupu ibuku ini mengajak kami mengobrol dan bercerita tentang banyak hal. Anak beliau yang paling besar masih berumur kelas empat SD tapi sudah memiliki hafalan Al Quran yang banyak sejak masuk di sebuah pesantren di Sukoharjo.
"Tau Ma'had Abubakar nduk?"
"Dimana budhe?", tanyaku
"Di Solo. Mbak Ulfa keponakan pakdhe itu ada disana. Bentar lagi lulus kayaknya.."
"Belum tau Budhe. Ma'had apa itu?"
"Itu Ma'had bahasa Arab ndhuk, tapi ada tahfidz nya. Disana itu katanya bagus belajarnya"
"Oh saya tahunya yang di Jogja Budhe. Kayaknya sama ya..?"
Seketika aku penasaran dengan Ma'had itu. Aku sampai saat itu masih bertanya-bertanya dan mencari-cari sekolah yang sesuai aku inginkan. Lebih tepatnya yang aku butuhkan. Banyak ilmu Islam yang belum aku pelajari. Dan tentunya masih sangat sedikit bekal bahasa Arab yang mampu mengantarkan untuk memahami semua ilmu itu.
Tak terasa kami terlelap. Karena lelah dan memang sudah larut malam. Amalia sejak tadi sudah tak sadarkan diri. Ketika sudah sampai halaman rumah, Budhe ku membangunkan kami. Aku merasa bersalah karena tadi kami masih asyik berbincang, tapi karena sudah tak tahan menahan kantuk, akhirnya aku menyerah dan tak sadarkan diri.
Ibuku sudah menyambut. Senyumnya selalu merindukan. Setelah mobil, seketika aku bersalaman dan aku peluk. Kami mengeluarkan tas dari mobil, dan tak lama Budhe dan pakdhe langsung berpamitan.
Di rumah ku kami menginap tiga hari. Karena tidak ada ayah ku maka Amalia bisa lebih leluasa untuk berada di dalam rumah. Kami kembali ke pondok untuk melanjutkan pelajaran seperti biasa. Sekitar satu bulan lagi kami akan menghadapi UAS semester dua kelas 11. Mungkin itu UAS terakhir.
Ini kali ketiga aku naik travel bersama teman satu pondok Karena main ke rumahku. Aku tahu perjalanan itu sudah banyak menghabiskan biaya. Dan aku tak tak tahu apakah keduaadalah orangtuaku sedang dalam keadaan lapang atau tidak. Mereka selalu menutupi hal itu. Selama apa yang aku inginkan adalah sebuah kebaikan, pasti selalu didukung tak Pernah ada larangan.
Di rumah ku kami bercerita semua hasil survey kita. Dengan penuh keyakinan dan tekad yang semakin bulat, aku sudah tak sabar ingin segera pindah. Setelah mengikuti Ujian Akhir Semester tulis, seperti biasa kami akan melanjutkan Ujian praktek yang kala itu diadakan di Purwakerto Jawa Tengah.
Ujian kala itu aku dan teman-teman satu angkatan menjadi penanggung jawab, karena posisi kami sebagai pengurus Haiah Tholabah (OSIS). Sedangkan kakak kelas kami sudah tidak ada amanah lagi. Kegiatan itu tak hanya menguras tenaga. Tapi fikiran juga pun harus terus dituntut agar kegiatan kami berjalan tanpa harus meminta uang dari pondok kami. Beberapa bulan sebelum kegiatan itu, kami harus membuat proposal pengajuan dana. Survey tempat, kebutuhan konsumsi, transportasi, penginapan, dan semua tempat yang akan kami jadikan penelitian benar-benar harus dipastikan secara merinci.
Bagian bendahara pada saat itu menjadi salah satu tugasku. Mengatur uang yang tak sedikit untuk pengeluaran yang sangat banyak. Management kami benar-benar harus tepat. Dan baru kali itu aku memegang tanggung jawab untuk memegang uang sebanyak belasan bahkan puluhan juta.
Lelah. Dan sebenaranya aku sudah bosan dengan kegiatan semacam itu. Memang banyak sekali pengalaman baru yang tak kan tergantikan di sekolah lain. Tapi aku tahu bahwa jauh lebih banyak ilmu yang juga sangat penting yang smakin kutinggalkan. Dan aku semakin tertinggal. Namun, karena aku yakin bahwa itu terkahir kalinya aku mengikuti kegiatan semacam itu, maka dengan berlapang hati aku laksankan dengan maksimal. Memberi usaha yang terbaik. Angkatan kami benar-benar memegang semua tanggung jawab dan tugas, terutama teknis pada kegiatan itu. Para ustadz yang biasanya mengatur itu semua nampak lebih santai, dan kami yang lebih bergerak ke berbagai tempat, juga diskusi dalam forum untuk membahas segala masalah yang muncul di tengah-tengah kegiatan.
Kesempatan itu tak hanya amanah terakhir bagi ku, tapi itu adalah kegiatan outdoor ku yang terakhir dari sekian banyak kegiatan yang pernah kuiikuti selama itu. Aku manfaatkan kesempatan itu untuk benar-benar bersama teman-teman yang aku yakin nanti akan tak mudah lagi untuk bertemu apalagi menjelajah alam bersama.
Singkatnya sekitar tanggal 20 bulan kedua tahun 2015 itu setelah kegiatan kami, kami kembali ke Jogjakarta. Dalam gerimis dan gelapnya malam, kami para panitia pulang terakhir. Dengan truk yang tertutup dengan terpal biru itu, kami tetap terkena percikan hujan. Kami merapat, mendekap, dan rasanya ingin segera istirahat dari kelelahan. Dengan sisa-sisa tenaga itu, kami masih tetap tersenyum dan bercanda menikmati perjalanan yang cukup panjang. Sekitar lima jam. Berselimutkan jaket, kami saling merapat untuk mendapat kehangatan.
Sekitar pukul 3 dini hari kami sampai pondok dengan selamat. Semua barang-barang diturunkan dari truk, dan kami beristirahat sebelum pulang ke kampung halaman masing-masing.