Pages

Jumat, 25 Mei 2018

Sholat Jalan Maksiat Jalan

"Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar" (Qs. Al-'ankabut : 45).

Khusyuk dalam sholat bukanlah perkara yang mudah. Tidak semua orang mampu. Terkadang orang meneteskan air mata dalam bacaan sholat karena memang ia faham apa yang sedang ia baca. Namun kebanyakan orang menangis dalam sholat nya bukan karena takut kepada Allah, atau sedang mengingat dosa nya yang banyak, juga bukan pula karena rasa takut nya jika itu sujud terakhir yang ia laksanakan dihadapan Allah. Tangisan itu karena ada masalah yang sedang dialami. Bukannya salah, namun seharusnya hal ini menjadi muhasabah. Apakah kita mengingat Allah hingga berjatuhan buliran kesedihan itu saat ketika ditimpa kesedihan dan cobaan?

Lalu, di saat ujian itu sirna, nafas terasa berhembus tanpa halangan, senyum terurai di setiap kegiatan, sholat pun hanya menjadi formalitas, kebiasaan, rutinitas sehari lima kali. Sholat bukanlah kebutuhan kita lagi.

Lalu, sudah seberapa yakin sholat kita diterima jika khusyuk saja tidak?

Kekhusyukkan saat kita bermunajat kepada- Nya bisa kita lihat, pertama apakah dalam setiap gerakkan dan bacaan kita sudah mampu menghayati, atau hanya dibaca karena telah hafal di luar kepala.

Kedua, apakah dalam sholat kita melupakan segala urusan dunia kita? Urusan yang senantiasa mengejar tanpa henti, sehingga saat bertemu dan berbicara dengan Rabb kita menjadi lupa. 

Dan yang terakhir, sebagaimana yang Allah katakan : "Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar" (Qs. Al-'ankabut : 45). Kita harus pandai menilai bagaiamana kondisi sholat kita selama ini? Seberapa pengaruh sholat kita dalam keseharian kira? Jangan sampai sholat hanya rutinitas atau formalitas saja karena kita muslim dan telah baligh. Tapi apa yang kita perbuat dan aktivitas kita di luar sholat tak sedikitpun menggambarkan efek dari sholat kita yang 17 rakaat tiap harinya. Belum lagi jika ditambah sholat sholat sunnah.

Tak sedikit pula, diantara kita yang masih berani melakukan maksiat. Sholat jalan, pacaran mengiringi. Sholat terus, ghibah pun tak pernah berhenti. Gunjing sana gunjing sini. Atau bahkan aurat tak ditutup kecuali saat bersujud di hadapan Rabb saja. Sholat jalan, umbar foto narsis di berbagai media juga dilakukan setiap hari.

Khusyuk tidaknya sholat kita bisa dilihat efeknya di hari-hari kita. Apakah waktu kita hanya dihabiskan untuk yang bermanfaat, atau disisipi satu dua maksiat. Baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Jika kita fikirkan, bagaimana mungkin seseorang ketika sholat yaitu waktu dimana benar-benar berbicara dengan Allah saja kita merasa Allah tak melihat kita, apalagi jika diluar sholat dia pasti akan merasa Allah semakin jauh.

Wallahu a'lam bish Showab

Mengejar Keberuntungan

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman" (Qs. Al Mu'minun : 1)

Pernahkah saat kita melihat berbagai amalan orang lain kemudian terbesit rasa iri? Ketika teman kita senantiasa panjang dalam sujudnya, tak pernah sholat melainkan tepat setelah adzan berkumandang, tak pernah berhenti melakukan shaum sunah, infaq pun selalu banyak, atau ia begitu hebat dalam berdakwah. Pengorbanannya tak terhitung.

Atau saat membaca sirah Nabi dan para sahabat. Sungguh mata kita tak kuasa mengucurkan air lantaran rindu dan malu. Ketika Rasulullah sudah menyebutkan dalam hadits akan janji dan kabar gembira untuk para sahabat yang amat dicinta. Surga sudah menantikan kehadiran mereka. Para malaikat akan menyambut dengan suka ria. Kabar gembira yang tak akan mampu dikalahkan oleh sebesar apapun kenikmatan dunia. Namun, para sahabat pun tetap selalu menangis dalam sujud mereka. Tetap takut, dan tak sedikit pun bangga dengan kabar bahagia itu. Mereka tetap merendah dan merasa hina di hadapan Allah. Sebesar apapun pengorbanan jiwa, harta, dan apapun yang dimilikinya.

Lalu bagaimana kita? Manusia biasa. Yang tak pernah Rasulullah temui. Kita tak hidup bersamanya. Apalagi mendapat janji yang seolah sudah di depan mata. Kerinduan akan kampung yang sebenarnya seakan sirna. Putus asa. Tak pantas diri ini menggapainya. Mengingat amalan kita hanya biasa-biasa saja.

Rasulullah pernah bersabda : "Sesungguhnya telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat; barang siapa yang mengamalkannya, niscaya ia masuk surga. Kemudian Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) hingga akhir ayat kesembelian". Apa isi ayat tersebut?

"Yaitu orang-orang yang khusyu' dalam sholatnya" (Al Mu’minun: 2) 

Khusyuk dalam sholat adalah perkara yang sangat berat. Saat bayang-bayang pekerjaan terus mengikuti, kita pasti akan berat untuk berlama-lama bermunajat kepada-Nya. Menghayati setiap makna bacaan sholat yang luar biasa. Membaca ayat tentang hari kiamat kemudian meneteslah air mata. Mendengarkan bacaan imam saat membaca ayat mengenai neraka kemudian terjatuhlah bulir-bulir yang hangat itu ke atas sajadah kita. Atau saat kabar gembira mengenai apa saja yang ada di jannah sedang dibaca. Semakin rindu, tak kuasa membayangkannya. Kemudian saat ruku, i'tidal, sujud dan semua gerakan kita mengetahui artinya. Dan kala sujud terkahir pun, kita menyampaikan segala harapan. Mengadu atas segala kesedihan.

"Dan orang-orang dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna."(Al Mu’minun: 3)  Ini adalah suatu perkara yang cukup sulit pula. Dan pemuda sering terjebak di dalamnya. Terlena dengan berbagai fasilitas dan teknologi. Menghabiskan hari-hari dengan canda tawa. Berkelana kesana kemari tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Atau menghabiskan masa penantian di atas jalan kemaksiatan. Juga mencari hiburan secara berlebihan. Lupa akan hakikat kehidupan dan penciptaan. Seolah-seolah kematian hanya tiba saat telah lanjut usia. Perbincangan dan perbuatan yang sia-sia memang nampak membahagiakan. Sedangkan kebaikan yang dilakukan secara terus menerus memang sangat berat serta melelahkan. Bosan. Dan akan semakin sering terasingkan.

"Dan orang-orang yang menunaikan zakat".(Al Mu’minun: 4) Kewajiban ini jika kita amalkan tentu memiliki banyak manfaat. Selain untuk membersihkan harta yang kita miliki, pelaksanaan zakat juga akan memberikan kemudahan dan meringankan orang kurang mampu dalam memenuhi makanan pokok mereka.

"dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (Al Mu’minun: 5-7)

Menjaga kemaluan adalah dengan cara menjauhkan segala perbuatan yang menjerumuskan pada kemaksiatan besar, yaitu berzina. Hal yang terpenting adalah dengan menutup aurat secara sempurna saat kita keluar rumah. Jika perempuan maka harus dengan khimar yang menutupi hingga dada dan jilbab yang menggurung semua anggota badannya kecuali telapak tangan dan muka. Selain itu baik laki-laki maupun perempuan hendaknya senantiasa menjaga pandangan dimanapun ketika pada kondisi harus bertemu atau berpapasan. Juga yang senantiasa berhati-hati dengan budaya yang sekarang sudah merajalela, yaitu liwath, atau yang lebih dikenal dengan homoseksual.

"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikul­nya) dan janjinya.".(Al Mu’minun: 8)

Orang yang beruntung pun juga harus memiliki sifat yang amanah, yaitu apabila ia diberi kepercayaan dalam memegang suatu jabatan, tugas, atau suatu tanggungjawab maka ia akan berusaha sepenuhnya untuk menjalankan amanah itu dengan baik, tidak mencari-cari alasan untuk menelantarkan amanah yang telah dipikulkan. Sehingga orang yang memberikan amanah kepadanya akan merasa puas dengan pekerjaan yang telah dilakukan. Begitu pula jika ia berjanji atau melakuan sebuah transaksi dengan orang lain, seperti pinjam meminjam, jual- beli, hutang-piutang, dan semacamnya, maka ia akan benar-benar menjaga, menepati, dan berhati- hati. Dan ini berkebalikan dengan sikap orang munafik sebagaimana yang Rasulullah katakan : "Ciri orang munafik ada tiga : Apabila berbicara ia berdusta,  apabila berjanji ia ingkar, dan apabila dipercaya ia berkhianat"

"dan orang-orang yang memelihara salatnya". (Al Mu’minun: 9)

Ini adalah ciri-ciri orang yang beruntung yang terakhir yang disebutkan di dalam surah al-Mukminun. Memelihara sholat adalah saat kita senantiasa menjaga sholat kita dan tak pernah lalai sedikitpun, juga selalu melaksanakannya di awal waktu, tidak menunda dengan alasan pekerjaan yang bisa dihentikan. Saat adzan terdengar, kaki tak berat untuk segera menyambut panggilan Allah. Dan ini tidaklah mudah, apalagi bagi pemuda yang disibukkan dengan amalan yang sering bertabrakan dengan jadwal waktu sholat tiba. Padahal Ibnu Mas'ud pernah bertanya; "Wahai Rasulullah amal apakah yang paling disukai oleh Allah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Mengerjakan salat di dalam waktunya."Saya bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Saya bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, "Berjihad pada jalan Allah.”

Dalam surah ini pula Allah menyampaikan tentang ciri-ciri orang yang beruntung dengan diawali dengan sholat dan diakhiri pula dengan sholat. Hal ini menunjukkan keutamaan sholat diatas amalan-amalan yang lain.

Bahkan ketika Aisyah Radhiyallahu 'Anhā ditanya oleh beberapa sahabat : 'Bagaimanakah akhlak Rasulullah Saw.'?" Aisyah r.a. menjawab: Akhlak Rasulullah Saw. adalah Al-Qur'an. Kemudian Aisyah r.a. membaca firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) sampai dengan firman-Nya: dan orang-orang yang memelihara salatnya. (Al Mu’minun: 9) Kemudian Aisyah r.a. berkata, "Demikianlah akhlak Rasulullah Saw."

Dan pada ayat berikutnya, Allah memberikan sebuah janji kepada orang mukmin yang mau mengamalkan hal-hal diatas sehingga mendapat predikat orang yang beruntung :

"Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya" (Al Mu’minun: 10-11)

Dan surga firdaus adalah surga yang tertinggi yang pasti tak ada satu pun dari kita yang tak menginginkannya. Dan dalam mengamalkan semua hal di atas bukanlah perkara ringan.

Ketika harus senantiasa menjaga sholat tepat waktu, dab khusyuk dalam setiap gerakkan. Saat kita harus menjaga pandangan ketika aurat bertebaran dimana-mana. Saat kewajiban dan amanah banyak, namun kita harus melaksanakan semuanya.

Semoga kita tergolong dalam orang-orang yang beruntung, yang pantas mewarisi surga firdaus.

Wallahualam bish Showab

Rabu, 23 Mei 2018

Selangkah Bersamanya#3

Pukul sembilan lebih kami baru sampai terminal Kabupaten Malang. Darisana Kamu mencari bus jurusan Tulungagung. Perjalanan ke kota itulah yang sangat lama. Ditambah macet dan berhenti-berhenti di beberapa terminal. Sampai di terminal Tulungagung sudah hampir pukul dua siang. Selama perjalanan aku tidak putus komunikasi dengan ayah atau ibuku. Itu memang perjalanan pertamaku menjelajahi Jawa Timur yang bagiku sangat rumit tranportasinya. Untuk sampai di sebuah tempat harus berkali-kali ganti bus. Mustahil hanya sekali kecuali naik jasa travel atau mobil pribadi. 

Aku sudah semakin khawatir. Perjalanan dari Tulungagung ke Trenggalek paling cepat setengah jam. Itu kalau tak berhenti-berhenti- berhenti. Sedangkan bus Trenggalek menuju Pacitan paling terkahir puul dua siang. Tepat beberapa menit kami turun dari bus di terminal Trenggalek, adzan Ashar berkumandang.

"Amalia... udah ashar. Ya Allah terus gimana ya?"

"Iya.."

"Kata ayahku terakhir bus dari sini ke Pacitan jam dua", kataku lesu, "Tapi kita tunggu aja ya. Siapa tau masih ada..."

"Iya Sal, kita tunggu aja ya.."

Sampai hampir satu jam menunggu bus, semakin tidak ada tanda-tanda akan datang bus yang ke arah Pacitan. Disana banyak para petugas keamanan yang memang ada di terminal-terminal bus. Tiba-tiba salah satu dari mereka mendekati kami. 

"Mbae badhe teng pundi?", bapak berseragam abu-abu seperti satpam itu menanyai kami dengan bahasa Jawa yang sangat halus.

"Mau ke Lorog, pak. Sudah ngga ada ya pak bus nya?", tanyaku memastikan.

"Nggih mba. Terkahir nggih wau Jam kaleh.."

"Oh ngaten pak", harapan kami sudah semakin sirna. Info dari petugas keamanan pasti tak diragukan lagi. "Amalia.. gimana ya?", bapak itu nampak memikirkan jalan keluar untuk kami. Beliau masih berdiri tegak di hadapan kami. "Gini aja mba. Tak anter ke depan MTs disana biasanya banyak mobil-mobil yang ke Panggul. Nanti njenengan naik itu aja"

"Oh dimana pak MTs nya?"

"Ayo saya antar naik mobil", ajak bapak itu sambil melambaikan tangan menuju pos tempat mereka berjaga. Sebuah mobil berwarna hitam yang masih nampak bagus itu ber-plat merah, yang artinya bukan mobil miliki pribadi. 

"Sal...beneran?", tanya Amalia setengah tak percaya. "Baik banget bapaknya"

"Iya, bismillah aja. Masalahnya handphone ku udah drop juga". Tanpa rasa curiga atau takut kami ikut bapak itu menuju dekat arah keluar terminal yang tak terlalu lebar itu. Menuju mobil yang bapak itu sudah berdiri di dekat pintunya. Kami masuk di bagian belakang, dan tak sampai 10 menit bapak itu menghentikan mobilnya setelah perempatan lampu merah. Sebelum turun, kami dijelaskan bahwa beberapa mobil yang berada di depan kami itu semacam bus namun lebih seperti mobil panjang yang hanya bia dimasuki sekitar 15 orang penumpang. Beliau kemudian keluar dan memanggil salah satu dari sopir mobil itu, dan sepertinya menyampaikan apa yang kami alami.

Setelah kami turun, aku segera menghubungi ibuku agar tidak khawatir. Aku menyampaikan jika kami sudah dibantu oleh bapak petugas keamanan di terminal Trenggalek itu. Kami akan naik mobil carry yang besar itu. 

"Coba nak ibu telpon, kira-kira kalau minta antar sampai Lorog biayanya berapa..", mobil itu memang bukan jurusan Lorog, tapi hanya sampai Kecamatan Panggul yang merupakan kecamatan paling timur sebelum masuk Kabupaten Pacitan.

Setelah aku menyampaikan kepada sopir angkutan itu, akhirnya orang itu mau untuk meluangkan waktunya untuk berbicara dengan ibuku. Lagipula penumpang mobul itu baru kami berdua dan seorang laki-laki yang baru saja datang. Jadi tak akan mungkin jalan, sebelum penuh. Para sopir itu masih menikmati makan mereka, sambil ngobrol dan tentu dilengkapi dengan rokok. Setelah beberapa menit berbincang, bapak itu memberikan handphone kecilku kepadaku. Ibuki berkata jika intinya angkutan itu terlalu mahal jika minta untuk mengantar kami hingga Lorog, yang jaraknya sekitar satu jam dari Panggul, tujuan terkahir angkutan itu. Sekitar 300 ribu rupiah. 

"Wah..  itu udah tiga berapa kali lipat biaya naik travel dari Malang ke Pacitan"

"Iya nak.. udah kalian tenang aja. Ibu carikan solusi lain", ibuku menenangkan.

"Iya bu. Gimana ya enaknya?"

"Gini aja nanti sampai Panggul bisa nunut travel dari Surabaya yang ke arah Lorog. Atau  ngga ada, nanti ibu jemput, sama minta tolong Bulik, biar dua motor"

"Ya Allah.. malem-malem bu. Jangan..."

"Ya gimana lagi. Coba ibu fikirian solusi lain", jelasnya dengan tenang. "Mbak jangan putus komunikasi ya.. nanti dikabari lagi." Hari itu ayah ku memang sedang tidak di rumah, jadi hanya ibuki saja yang bisa mencari jalan keluar.

 Sekitar dua jam kami berada di tempat itu. Kami berkali-kali mondar mandir masuk keluar MTs yang tepat mobil-mobil angkutan itu berjajar di halamannya. Kami sholat ashar di Masjid itu secara bergantian untuk menjaga tas kami di dalam mobil. Kemudian mencharge handphone yang tak akan lama lagi mati. Sekitar pukul 5 sore, akhirnya penumpang sudah penuh, dan sopir pun memutuskan untuk jalan.

Sejak tadi gerimis belum berhenti. Hingga gas dijalankan, dan kami meninggalkan Kota itu masih saja menguasai jalananan yang kaman kiri nya masih rindang dengan pepohonan besar. Tak lama dari itu, adzan maghrib dikumandangkan. Kami segera menguatkan sholat jama' ta'khir dengan isya'. Satu per satu penumpang mulai turun. Semakin berkurang, hingga saat sampai Kecamatan Panggul, tepatnya di sebuah masjid yang disana dulu dulu sangat serinh beristirahat saat melalukan perjalanan ke Tulungagung bersama ibuku saat ada agenda dakwah. Bulan sering. Tapi selalu dalam setiap pekan. Kebiasaan yang tak pernah terlupakan. Saat aku menangis karena panasnya udara matahari siang di dalam ditambah pengapnya bus ke kecil, juga berhenti untuk menunggu penumpang yang terlalu lama. Pasti aku meminta turun untuk membeli sesuatu. Dan terkadang duduk menunggu di teras masjid. Ya Rabb..masih teringat dengan rapi kisah itu dalam benakku. Keikhlasan ibuku dalam berjuang di jalan-Nya itulah yang selalu membekas kuat.

Akhirnya kami dijemput oleh pakdhe dan budheku yang kebetulan memiliki mobil pribadi. Tak lama setelah sholat dan istirahat sejenak, beliau sudah sampai di depan Masjid. Dua anak budeku dibawa, yang paling kecil dan yang diatasnya. Perjalanan kami memakan waktu sekitar dua jam. Melewati hutan-hutan yang sangat gelap, tanjakan dan turunan yang cukup tajam, tak banyak lampu yang menerangi jalan apalagi pemukiman. 

Budhe yang merupakan kakak sepupu ibuku ini mengajak kami mengobrol dan bercerita tentang banyak hal. Anak beliau yang paling besar masih berumur kelas empat SD tapi sudah memiliki hafalan Al Quran yang banyak sejak masuk di sebuah pesantren di Sukoharjo.

"Tau Ma'had Abubakar nduk?"

"Dimana budhe?", tanyaku

"Di Solo. Mbak Ulfa keponakan pakdhe itu ada disana. Bentar lagi lulus kayaknya.."

"Belum tau Budhe. Ma'had apa itu?"

"Itu Ma'had bahasa Arab ndhuk, tapi ada tahfidz nya. Disana itu katanya bagus belajarnya"

"Oh saya tahunya yang di Jogja Budhe. Kayaknya sama ya..?"

Seketika aku penasaran dengan Ma'had itu. Aku sampai saat itu masih bertanya-bertanya dan mencari-cari sekolah yang sesuai aku inginkan. Lebih tepatnya yang aku butuhkan. Banyak ilmu Islam yang belum aku pelajari. Dan tentunya masih sangat sedikit bekal bahasa Arab yang mampu mengantarkan untuk memahami semua ilmu itu. 

Tak terasa kami terlelap. Karena lelah dan memang sudah larut malam. Amalia sejak tadi sudah tak sadarkan diri. Ketika sudah sampai halaman rumah, Budhe ku membangunkan kami. Aku merasa bersalah karena tadi kami masih asyik berbincang, tapi karena sudah tak tahan menahan kantuk, akhirnya aku menyerah dan tak sadarkan diri.

Ibuku sudah menyambut. Senyumnya selalu merindukan. Setelah mobil, seketika aku bersalaman dan aku peluk. Kami mengeluarkan tas dari mobil, dan tak lama Budhe dan pakdhe langsung berpamitan.

Di rumah ku kami menginap tiga hari. Karena tidak ada ayah ku maka Amalia bisa lebih leluasa untuk berada di dalam rumah. Kami kembali ke pondok untuk melanjutkan pelajaran seperti biasa. Sekitar satu bulan lagi kami akan menghadapi UAS semester dua kelas 11. Mungkin itu UAS terakhir.

Ini kali ketiga aku naik travel bersama teman satu pondok Karena main ke rumahku. Aku tahu perjalanan itu sudah banyak menghabiskan biaya. Dan aku tak tak tahu apakah keduaadalah orangtuaku sedang dalam keadaan lapang atau tidak. Mereka selalu menutupi hal itu. Selama apa yang aku inginkan adalah sebuah kebaikan, pasti selalu didukung tak Pernah ada larangan.

Di rumah ku kami bercerita semua hasil survey kita. Dengan penuh keyakinan dan tekad yang semakin bulat, aku sudah tak sabar ingin segera pindah. Setelah mengikuti Ujian Akhir Semester tulis, seperti biasa kami akan melanjutkan Ujian praktek yang kala itu diadakan di Purwakerto Jawa Tengah.

Ujian kala itu aku dan teman-teman satu angkatan menjadi penanggung jawab, karena posisi kami sebagai pengurus Haiah Tholabah (OSIS). Sedangkan kakak kelas kami sudah tidak ada amanah lagi. Kegiatan itu tak hanya menguras tenaga. Tapi fikiran juga pun harus terus dituntut agar kegiatan kami berjalan tanpa harus meminta uang dari pondok kami. Beberapa bulan sebelum kegiatan itu, kami harus membuat proposal pengajuan dana. Survey tempat, kebutuhan konsumsi, transportasi, penginapan, dan semua tempat yang akan kami jadikan penelitian benar-benar harus dipastikan secara merinci.

Bagian bendahara pada saat itu menjadi salah satu tugasku. Mengatur uang yang tak sedikit untuk pengeluaran yang sangat banyak. Management kami benar-benar harus tepat. Dan baru kali itu aku memegang tanggung jawab untuk memegang uang sebanyak belasan bahkan puluhan juta.

Lelah. Dan sebenaranya aku sudah bosan dengan kegiatan semacam itu. Memang banyak sekali pengalaman baru yang tak kan tergantikan di sekolah lain. Tapi aku tahu bahwa jauh lebih banyak ilmu yang juga sangat penting yang smakin kutinggalkan. Dan aku semakin tertinggal. Namun, karena aku yakin bahwa itu terkahir kalinya aku mengikuti kegiatan semacam itu, maka dengan berlapang hati aku laksankan dengan maksimal. Memberi usaha yang terbaik. Angkatan kami benar-benar memegang semua tanggung jawab dan tugas, terutama teknis pada kegiatan itu. Para ustadz yang biasanya mengatur itu semua nampak lebih santai, dan kami yang lebih bergerak ke berbagai tempat, juga diskusi dalam forum untuk membahas segala masalah yang muncul di tengah-tengah kegiatan.

Kesempatan itu tak hanya amanah terakhir bagi ku, tapi itu adalah kegiatan outdoor ku yang terakhir dari sekian banyak kegiatan yang pernah kuiikuti selama itu. Aku manfaatkan kesempatan itu untuk benar-benar bersama teman-teman yang aku yakin nanti akan tak mudah lagi untuk bertemu apalagi menjelajah alam bersama.

Singkatnya sekitar tanggal 20 bulan kedua tahun 2015 itu setelah kegiatan kami, kami kembali ke Jogjakarta. Dalam gerimis dan gelapnya malam, kami para panitia pulang terakhir. Dengan truk yang tertutup dengan terpal biru itu, kami tetap terkena percikan hujan. Kami merapat, mendekap, dan rasanya ingin segera istirahat dari kelelahan. Dengan sisa-sisa tenaga itu, kami masih tetap tersenyum dan bercanda menikmati perjalanan yang cukup panjang. Sekitar lima jam. Berselimutkan jaket, kami saling merapat untuk mendapat kehangatan.

Sekitar pukul 3 dini hari kami sampai pondok dengan selamat. Semua barang-barang diturunkan dari truk, dan kami beristirahat sebelum pulang ke kampung halaman masing-masing.

Kamis, 10 Mei 2018

Selangkah Bersamanya#2

Kini sudah tak ada satupun rumah. Ini sudah memasuki kawasan hutan, dengan jurang di sebelah kiri dan tebing di sebelah kanan. Benar-benar rimbun dan sejuk. Jalannya semakin menyempit. Untung saja selama kami di Jogja sudah beberapa kali melewati medan seekstrem ini. Jadi tidak begitu kaget dan takut. Hujan semakin deras. Dan yang paling aku takuti adalah jalan menjadi licin karena air. Amalia terus menyemangatiku dan selalu memberi arahan dan kode agar aku selalu hati-hati dan tenang.

Setelah tebing dan jalan yang terjal itu, akhirnya kami sampai di jalanan yang luas dan bertanah. Menjadi lembek karena hujan yang turun. Seperti lumpur. Tapi disana sudah banyak rumah-rumah yang nampak. Dan sudah beberapa kali kami melihat gereja. Benar kata Ustadz ketika kami berbincang tadi. Bahwa di lokasi itu mayoritas beragama Kristen sekitar 85% penduduknya. Perbandingan antara masjid dan gereja pun satu banding lima.

Akhirnya kami sampai di sebuah Masjid yang tidak begitu besar. Halamannya cukup luas dengan net yang terpasang di tengah-tengahnya. Kami memakirkan motor dan segera masuk ke dalam ruangan masjid itu. Masjid itu terdiri dari tiga ruangan. Sebelah kanan adalah perpustakaan dengan satu rak besar penuh dengan buku dan Al Quran. Ruangan tengah adalah tempat imam dan jamaah laki-laki. Sedangakan bagian ruangan kiri adalah tempat perempuan. Ketiga ruangan itu dipisahkan dengan tembok dengan tiga jendela panjang yang tembus pandang pada setiap dindingnya. Masjid itu sangat bersih. Tidak ada benda-benda atau buku atau Quran yang biasanya mengisi sudut-sudut ruangan masjid, apalagi sampah. Karpet hijau yang hangat memnuhi semua lantai di dalam tiga ruangan itu.

Kami masuk di ruangan sebelah kanan. Disana kami mendapat cerita perjuangan dua Ustadz kami selama berdakwah di lingkungan yang mayoritas Kristen itu. Sudah lima tahun lebih beliau tinggal disitu dengan segala peristiwa, keguncangan, dan keinginan menyerah yang selalu terkubur lagi. Ustadz Herman yang tinggal di Masjid itu adalah Da'i yang dikirim dari sebuah Organisasi Islam untuk mendidik masyarakat Muslim yang sangat jauh pemahaman Islamnya. Beliau pun membuka Tempat Pendidikan Al Quran (TPQ) yang akhrinya menjadi pusat utama belajar Al Quran bagi anak-anak kecil disana. Orangtua mereka yang awwam dengan Islam, jangankan untuk mengajari mereka pun belum bisa membaca. Selain membuat TPQ, beliau juga menbangun Taman Kanak-Kanak (TK) yang ternyata ada beberapa non Islam yang ingin belajar disitu juga. Dan akhirnya diperbolehkan. Masjid ini menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak di lingkungan tersebut. Tak hanya yang Muslim, banyak anak non Muslim yang sering ikut-ikutan dalam majelis belajar tersebut walaupun mereka dilarang. Bukan karena tidak ingin mengajari, tapi orangtua mereka lah yang selalu bersikap waspada agar anak mereka tidak perlu dituruti jika ingin ikut bergabung. 

Bahkan banyak dari mereka yang sering ingin ikut sholat berjamaah bersama anak-anak yang belajar di TPQ. Tapi karena anak-anak non muslim itu tidak boleh masuk ke dalam masjid, akhirnya mereka mengikuti dari teras rumah. Anak anak berusia delapan atau sembilan pasti belum paham agama mereka, cara ibadah agama mereka, apalagi agama orang lain. Mereka hanya mengikuti apa yang dilihat dan apa yang menarik bagi mereka. Sehingga gerakan sholat itu mereka ikuti lengkap dengan suara takbir. Sungguh sesuatu yang ganjil tapi itulah yang terjadi beberapa tahun yang lalu.

Masjid itu selalu dikumandangkan adzan, iqomah oleh Ustadz Herman pada setiap waktu sholat. Namun karena sedikitnya penduduk yang Muslim ditambah lagi kesibukan mereka dengan pekerjaan, maka hanya beliau seorang diri yang melaksanakan sholat disitu. Menjadi muadzin, imam sekaligus makmum. Masjid itu hanya ramai pagi dan sore harinya. Ustadz Herman yang begitu ulet, sabar, dan senang dengan anak-anak membuat semakin banyak yang ingin belajar di tempat itu. Namun pada masa-masa terbangunnya itu, tak sedikit pula yang menghalang-halangi kesuksesan dakwah itu. Mulai dari fitnah fitnah hingga rencana pembakaran masjid kecil itu. 

Kami benar-benar tertegun dengan perjuangan dua Ustadz kami itu. Begitu sabar dan istiqomah. Bertahun-tahun tak hanya hidup dengan segala kesusahan dan keterbatasan. Sulit terjangkau dari berbagai kebutuhan, hingga ditekan, dihina dan dikucilkan oleh masyarakat setempat. Lima tahun perjuangan awal itu dengan segala keguncangan dan penderitaan membuahkan hasil yang saat itu kami rasakan. Sudah tak ada lagi halangan yang berarti sehingga beliau-beliau berani mendirikan tempat untuk Griya Quran di lingkungan minoritas muslim itu. 

Dalam obrolan itu ada seorang laki-laki yang duduk sedikit bersembunyi di belakang Ustadz Herman. Setengah tubuhnya tertutupi dengan rak buku. Kami mengira beliau juga salah satu Ustadz disana. 

"Ini santri saya, yang belum lama juga ada disini", beliau sedikit mengenalkan anak itu kepada kami. Kepalanya tertunduk terus sejak kami masuk dan duduk di ruangan itu.

Setelah sekitar satu jam kami mengobrol, bertanya-tanya dan mendapat info yang sangat banyak tentang sejarah Masjid itu, akhrinya kami diajak untuk keluar. Melihat ruangan belakang yang akan digunakan untuk Griya Quran dan selama ini juga digunakan untuk TK. Gerimis masih saja turun, membasahi halaman masjid yang sudah tersemen itu, sehingga tidak terlalu menggenang dengan air kecuali pada bagian yang berlubang.

"Amalia... ayo kita keluar. Lihat gedung yang di belakang"

"Eh.. iya. Ayo", eksperesi dia sangat kaget "aku ngantuk banget Sal. Ngga kuat nahan.."

"Hehe.. pantesan tadi diem aja. Biasanya kamu suka nanya-nanya"

"Iya ih, aku jadi ngga nyimak penjelasan Ustadznya.."

Gedung belakang itu terdiri dari tiga ruangan, yang setiap ruangannya memiliki luas yang sama. Terasnya cukup lebar, dan memanjang dari ruangan paling kanan hingga ruangan yang tengah. Ruangan yang ujung kanan penuh dengan kertas warna warni yang menempel dan menggantung di atap-atapnya, jendela, juga dindingnya. Ruangan di sebelah kirinya nampak kosong tak banyak barang. Sedangkan yang paling kiri masih belum berkeramik. Masih berlantaikan tanah, walau jendela dan pintunya sudah sempurna. Halamannya begitu luas. Ada dua pohon talok disana, yang tidak terlalu tinggi tapi rimbun. Adapula pohon mangga, dan rerumputan yang tidak begitu subur. 

Di halaman itu pula terdapat beberapa permainan anak-anak. Bisa dipastikan bahwa ruangan paling kanan itu adalah untuk TK. Ada sekitar lima permainan di halaman itu. Halaman itu nampak terawat karena sampah-sampah dedaunan yang kering tidak banyak berserakan.

Kami sempat masuk sebentar ke dalam dua ruangan yang sudah berubin itu. Aku membayangkan enaknya menghafal di tempat yang sejuk itu. Bisa duduk di teras, di bawah pohon atau di ayunan anak-anak TK yang juga bisa dijadikan untuk orang dewasa. 

Matahari menyinari tempat itu tanpa ada pengahalang. Rumah-rumah warga nampak dari halaman gedung ini. Posisi tempat itu yang lebih tinggi membuat bisa melihat jalanan menuju lereng itu. Beberapa pegununagan pun nampak dari tempat itu.  

"Nanti akan dibuatkan kamar mandi di dalam sana Ustadzah", Ustadz itu menunjuk ruangan paling ujung yang masih berlantaikan tanah. 

"Oh iya ustadz", jawab Ammah Yana, "Jadi tidak perlu ke depan ya?"

"Iya. Karena terlalu jauh. Santri akhwat nanti pasti sulit"

"Betul Ustadz.."

"Tapi disini harus siap dengan susahnya air ya. Biasanya setiap pagi pasati mati. Nyala sekitar jam 10", Ustadz Herman menambahkan.

"Tapi tenang karena kita punya penampung air", tambah Ustadz Sufyan.

Sore itu, kami turun dari lereng sebelum gelap. Hujan semakin deras, maka kami harus menggunakan jas hujan. Jika menunggu reda, pasti akan semakin larut malam, sedangkan jalan sudah semakin licin, becek dan yang pasti semakin gelap. Perjalanan sekitar satu jam itu cukup menegangkan bagiku, karena harus terus menginjak rem karena jalan turun yang cukup curam.

Sebelum maghrib kami sudah sampai. Keesokan harinya Amah Yana pulang ke Jogja, sedangkan aku dan Amalia masih di rumah itu untuk menginap semalam lagi. Kami berencana untuk mampir terlebih dahulu ke rumahku di ujung Barat Provinsi Jawa Timur. Pacitan. Bukan kota kelahiranku, tapi kota yang membesarkanku. 

"Nak, besok berangkatnya pagi pagi banget ya.. Biar sampai Trenggalek tidak kesorean", ibuku sudah mengirim pesan itu sejak malam itu "Hati-hati ya sayang"

"Iya bu.. Insya Allah. Bus Trenggalek-PacitanTrenggalek biasanya sampe jam berapa terkahir?"

"Jam 2 siang nak. Kata ayah jam 7 pagi paling tidak sudah mulai gerak dari Dampit ya.."

"Oke. Insya Allah"

"Yasaraallah Umuraak"

Aku menyampaikan hal itu kepada Amalia dan Ustadz kami. Pagi harinya kami bersiap-siap. Namun karena posisi kami tamu, maka tidak bisa sekehendak kami untuk pergi segera. Sedangkan tuan rumah harus menyiapkan makan dan lain sebagainya. Bahkan kami diberi perbekalan untuk perjalanan. Kami pun diantar sampai tempat naik bus menuju Kabupaten Malang.

"Nak ini sudah berangkat?.. Hati hati ya. Dijaga barangnya. Kalau ngantuk dipastikan semua barang pentingnya sudah masuk tas."

"Belum bu..Ini sebentar lagi"

"Lho kok belum? Sudah hampir jam delapan"

"Iya bu. Sebentar lagi. Doakan saja kami..", jawabku singkat

Senin, 07 Mei 2018

Selangkah Bersamanya#1

Januari 2016

"Amalia.. aku ingin bicara sebentar sama kamu", suatu siang saat aku berada di asramanya aku sengaja ingin menyampaikan sesuatu rencana yang sengaja kusembunyikan dari teman-teman. Hanya dua teman terdekatku yang tau. Azra dan Azizah. Dua teman yang bagiku paling bisa diajak serius. Kami selalu bersaing dalam belajar, tapi selalu sependapat dan sangat dekat dalam hal yang lain. Punya visi yang sama dan selalu bisa diajak untuk diskusi. Kritis tapi selalu punya solusi. Dan ini yang ketiga. Walaupun sepertinya bukan yang terkahir.

Aku tinggal di asrama yang paling jauh dari empat asrama pesantren kami. Pesantren? Sepertinya sulit untuk disebut pesantren. Tapi kami mengenalnya dengan kata itu. Nama yang tertera atau setidaknya dikenal juga Pesantren. Entahlah. Sekolah unik kami memang tak mudah untuk dimasukkan ke jenis apapun sekolah yang pernah kutahu. Sekolah yang dikenal kebanyakan orang.

"Ada apa Sal?", 

"Hmm.. penting mel"

"Mau sekarang?"

"Terserah.. lebih cepat lebih baik. Hehe..", kataku sambil menyandarkan kepala dipintu kamarnya. "Tapi jangan disini..", asrama itu sedang sepi memang. Adik-adik kelas sedang ada pelajaran di Masjid. Tapi tetap saja, jika orang lain mendengar atau tiba-tiba mereka datang apa yang masih kurahsiakan itu bisa saja terbuka. 

"Sini Salsa... di gudang aja yuk", dia berjalan ke arah garasi rumah yang bagian dalamnya tersambung dengan ruangan kecil. Sebenaranya lebih cocok untuk dijadikan kamar. Tapi karena santri di asrama ini sudah cukup dengan empat kamar yang ada di dalam rumah ini, maka mereka menjadikan ruangan yang diluar itu untuk gudang. Lagipula mereka membutuhkan tempat untuk menyimpan koper dan tas-tas besar mereka yang biasa dipakai kegiatan outdoor atau saat mereka pulang kampung. Dan gudang yang penuh dengan koper dan tas-tas hanya tersisa beberapa kotak ubin yang disanalah kami duduk.

"Oke.."

Sudah menjadi kebaisaan kami, para santri duduk di tempat itu untuk saling berbagi cerita yang rahasia. Atau menikmati makan berdua. Atau dengan beberapa teman terdekat. Berantakannya ruangan itu tak kan mampu mengusik kebahagiaan kami untuk berbagi kisah. Mencurahkan apa dipendam kepada kawan yang terpecaya.

"Amel..."

"Iya..cepetan cerita"

"Ih..tapi aku malu"

"Jangan malu... bikin penasaran aja. Cepetan sal", sepertinya dia sudah tak sabar.,

"Tapi janji ya jangan kasih tau siapa-siapa. Baru Azra sama Azizah yang tau. Dan kamu.."

"Iya. Aku jaga pasti.."

"Amel.. aku mau pindah"

"Haaaa? Pindah? Kemana?", raut mukanya penuh eksperesi yang sangat tak percaya.

"Aku pengen masuk pondok tahfidz mel.. aku pengen nambah hafalan dan fokus murajaah nya .." aku tertunduk dan sesekali menatap wajahnya

"Mau ikut..", tiba-tiba doa memotong kata-kataku yang belum tuntas

"aku merasa disini hafalanku kacau.. yang lama ngga terjaga juga ngga nambah-nambah hafalan baru.." aku lanjutkan kalimat ku yang terpotong.

"Ih.. Salsa..aku juga gitu. Kamu tau ngga beberapa hari ini aku juga mikirin itu terus lho.. aku juga kepikirian pengen pindah tapi ngga tau kemana"

"Hmm.. iya kah?"

"Iya. Aku mau ikut kamu.."

"Ya Allah.. ayo kalau mau. Alhamdulliah biar aku ada temennya"

                                @@@

Rancana kami untuk survey tempat itu benar-benar kami sembunyikan. Setelah meminta izin kepada Abah pondok, kami bersiap-siap membawa pakaian dan bekal seperlunya. Aku naik motor dengan Amah Yana yang satu asrama denganku menuju asrama yang terdekat dengan jalan raya menuju Solo. Dan Amalia dari asramanya berjalan mendekati kami yang sudah menunggu diluar. 

"Ayo.. cepetan Ammah. Aku tadi diem-diem biar ngga ada yang tau"

"Ngga ketauan siapa pun mi?", tanyaku heran. "Terus gimana tas mu?.."

"Iya tadi aku beres-beres di gudang. Jadi biar ngga ada yang lihat. Kalau di kamar nanti ketauan kalau aku mau pergi jauh"

Kami naik bus menuju jurusan Surabaya. Dan kami turun di Madiun untuk mengambil arah ke Malang. Beberapa kali turun untuk ganti bus. Dan perjalanan kami menghabiskan waktu sekitar 12 jam hingga terminal Malang. Untuk terkahir kalinya kami naik bus kecil ke arah Dampit sekitar 1 jam. Pukul sembilan pagi kami sampai di Dampit dan turun di depan Masjid Jami' sesuai saran Ustadz. Sekitar 10 menit menunggu akhirnya kami dijemput dengan sebuah andong. Di dalam andong itu ada seorang ibu bersama dua anak kecil laki-laki. Salah satunya sedang menyusu. Beliau adalah istri Ustadznya. Kami berkenalan dan berbincang dengan beliau, walau tidak banyak.

Sekitar sepuluh menit untuk sampai di rumah beliau. Rumah itu di desa yang masih sangat sejuk. Walau kanan kiri sudah padat dengan rumah, tapi udara pagi tetap segar karena pepohonan tetap dibiarkan menghiasi. Memberi oksigen kepada semua makhluq hidup sejak pagi hari. Rumah beliau sederhana tapi bersih dan rapi. Di depannya terdapat warung kecil. Isinya seperti toko-toko kecil pada umumnya. Mie instant, minyak, sabun, jajanan anak-anak, dan beberapa kenutuhan kecil rumahan yang sangat penting bagi penduduk desa yang tak terbiasa dan tak mengandalkan mall-mall besar layaknya di kota.

Kami turun dan disambut dengan seorang nenek yang masih nampak belum terlalu tua. 

Kemudian kami dipersilahkan duduk di ruang tamu yang terdapat beberapa kursi kayu khas zaman dahulu. Dengan meja kaca yang tak begitu besar. Rumah itu mengingatkanku pada rumah kakung dan uti ku saat sebelum rumah mereka direnovasi. Beberapa mesin jahit ada di ruangan itu. Tapi herannya tak nampak banyak kain yang berceceran layaknya tukang jahit pada umumnya. Tak lama mengobrol kami dipersilahkan masuk ke sebuah kamar yang paling dekat dengan rumah itu.

"Ukhti, tidurnya disini bertiga ngga apa-apa ya?", kata ustadzah.

"Iya Ustadzah. Alhamdulliah. Sangat cukup"

"Itu nanti kasur yang dibawah itu ditarik keluar", beliau menunjuk springbed yang berukuran sedang itu.

"Iya ustadzah, Jazakillah"

"Sekarang istirahat dulu saja ya. Kalau mau mandi silahkan. Habis itu sarapan"

"Iya ustadzah..", Akhrinya kami bisa membaringkan badan setelah belasan jam duduk di bus, dioper-oper berkali kali. Kasur itu kami tarik. Dan hanya membutuhkan beberapa menit saja Amalia sudah terlelap. 

Sepertinya dia belum pernah melakukan perjalanan sepanjang ini dengan bus. Asap, panas, dan bau yang semerbak dilengkapi para pengamen, pengemis dan perokok yang benar-benar menambah letihnya perjalanan.

Siang itu setelah kami mandi dan mandi waktu kami benar-benar untuk mengobrol dan saling mengenal. Uti atau ibu Ustadzah itu sangat ramah dan mudah sekali untul akrab dengan kami.

Siang itu sedikit mendung, tapi rencana Ustadz kami tetap akan dilaksakan. Kami akan ke lereng gunung semeru dengan tiga motor. Aku dan Amalia duduk dibelakangku, Amah Yana sendiri dan Ustadz Sofyan dengan Ustadz Herman dengan satu motor yang lain. Perjalanan sekitar satu jam. Melewati pemukiman yang semakin ke atas semakin jarang ada rumah. Semakin menanjak semakin dingin udaranya. Dan semakin menanjak semakin tak karuan pula jalan berlubangnya. Gerimis pun turun