Januari 2016
"Amalia.. aku ingin bicara sebentar sama kamu", suatu siang saat aku berada di asramanya aku sengaja ingin menyampaikan sesuatu rencana yang sengaja kusembunyikan dari teman-teman. Hanya dua teman terdekatku yang tau. Azra dan Azizah. Dua teman yang bagiku paling bisa diajak serius. Kami selalu bersaing dalam belajar, tapi selalu sependapat dan sangat dekat dalam hal yang lain. Punya visi yang sama dan selalu bisa diajak untuk diskusi. Kritis tapi selalu punya solusi. Dan ini yang ketiga. Walaupun sepertinya bukan yang terkahir.
Aku tinggal di asrama yang paling jauh dari empat asrama pesantren kami. Pesantren? Sepertinya sulit untuk disebut pesantren. Tapi kami mengenalnya dengan kata itu. Nama yang tertera atau setidaknya dikenal juga Pesantren. Entahlah. Sekolah unik kami memang tak mudah untuk dimasukkan ke jenis apapun sekolah yang pernah kutahu. Sekolah yang dikenal kebanyakan orang.
"Ada apa Sal?",
"Hmm.. penting mel"
"Mau sekarang?"
"Terserah.. lebih cepat lebih baik. Hehe..", kataku sambil menyandarkan kepala dipintu kamarnya. "Tapi jangan disini..", asrama itu sedang sepi memang. Adik-adik kelas sedang ada pelajaran di Masjid. Tapi tetap saja, jika orang lain mendengar atau tiba-tiba mereka datang apa yang masih kurahsiakan itu bisa saja terbuka.
"Sini Salsa... di gudang aja yuk", dia berjalan ke arah garasi rumah yang bagian dalamnya tersambung dengan ruangan kecil. Sebenaranya lebih cocok untuk dijadikan kamar. Tapi karena santri di asrama ini sudah cukup dengan empat kamar yang ada di dalam rumah ini, maka mereka menjadikan ruangan yang diluar itu untuk gudang. Lagipula mereka membutuhkan tempat untuk menyimpan koper dan tas-tas besar mereka yang biasa dipakai kegiatan outdoor atau saat mereka pulang kampung. Dan gudang yang penuh dengan koper dan tas-tas hanya tersisa beberapa kotak ubin yang disanalah kami duduk.
"Oke.."
Sudah menjadi kebaisaan kami, para santri duduk di tempat itu untuk saling berbagi cerita yang rahasia. Atau menikmati makan berdua. Atau dengan beberapa teman terdekat. Berantakannya ruangan itu tak kan mampu mengusik kebahagiaan kami untuk berbagi kisah. Mencurahkan apa dipendam kepada kawan yang terpecaya.
"Amel..."
"Iya..cepetan cerita"
"Ih..tapi aku malu"
"Jangan malu... bikin penasaran aja. Cepetan sal", sepertinya dia sudah tak sabar.,
"Tapi janji ya jangan kasih tau siapa-siapa. Baru Azra sama Azizah yang tau. Dan kamu.."
"Iya. Aku jaga pasti.."
"Amel.. aku mau pindah"
"Haaaa? Pindah? Kemana?", raut mukanya penuh eksperesi yang sangat tak percaya.
"Aku pengen masuk pondok tahfidz mel.. aku pengen nambah hafalan dan fokus murajaah nya .." aku tertunduk dan sesekali menatap wajahnya
"Mau ikut..", tiba-tiba doa memotong kata-kataku yang belum tuntas
"aku merasa disini hafalanku kacau.. yang lama ngga terjaga juga ngga nambah-nambah hafalan baru.." aku lanjutkan kalimat ku yang terpotong.
"Ih.. Salsa..aku juga gitu. Kamu tau ngga beberapa hari ini aku juga mikirin itu terus lho.. aku juga kepikirian pengen pindah tapi ngga tau kemana"
"Hmm.. iya kah?"
"Iya. Aku mau ikut kamu.."
"Ya Allah.. ayo kalau mau. Alhamdulliah biar aku ada temennya"
@@@
Rancana kami untuk survey tempat itu benar-benar kami sembunyikan. Setelah meminta izin kepada Abah pondok, kami bersiap-siap membawa pakaian dan bekal seperlunya. Aku naik motor dengan Amah Yana yang satu asrama denganku menuju asrama yang terdekat dengan jalan raya menuju Solo. Dan Amalia dari asramanya berjalan mendekati kami yang sudah menunggu diluar.
"Ayo.. cepetan Ammah. Aku tadi diem-diem biar ngga ada yang tau"
"Ngga ketauan siapa pun mi?", tanyaku heran. "Terus gimana tas mu?.."
"Iya tadi aku beres-beres di gudang. Jadi biar ngga ada yang lihat. Kalau di kamar nanti ketauan kalau aku mau pergi jauh"
Kami naik bus menuju jurusan Surabaya. Dan kami turun di Madiun untuk mengambil arah ke Malang. Beberapa kali turun untuk ganti bus. Dan perjalanan kami menghabiskan waktu sekitar 12 jam hingga terminal Malang. Untuk terkahir kalinya kami naik bus kecil ke arah Dampit sekitar 1 jam. Pukul sembilan pagi kami sampai di Dampit dan turun di depan Masjid Jami' sesuai saran Ustadz. Sekitar 10 menit menunggu akhirnya kami dijemput dengan sebuah andong. Di dalam andong itu ada seorang ibu bersama dua anak kecil laki-laki. Salah satunya sedang menyusu. Beliau adalah istri Ustadznya. Kami berkenalan dan berbincang dengan beliau, walau tidak banyak.
Sekitar sepuluh menit untuk sampai di rumah beliau. Rumah itu di desa yang masih sangat sejuk. Walau kanan kiri sudah padat dengan rumah, tapi udara pagi tetap segar karena pepohonan tetap dibiarkan menghiasi. Memberi oksigen kepada semua makhluq hidup sejak pagi hari. Rumah beliau sederhana tapi bersih dan rapi. Di depannya terdapat warung kecil. Isinya seperti toko-toko kecil pada umumnya. Mie instant, minyak, sabun, jajanan anak-anak, dan beberapa kenutuhan kecil rumahan yang sangat penting bagi penduduk desa yang tak terbiasa dan tak mengandalkan mall-mall besar layaknya di kota.
Kami turun dan disambut dengan seorang nenek yang masih nampak belum terlalu tua.
Kemudian kami dipersilahkan duduk di ruang tamu yang terdapat beberapa kursi kayu khas zaman dahulu. Dengan meja kaca yang tak begitu besar. Rumah itu mengingatkanku pada rumah kakung dan uti ku saat sebelum rumah mereka direnovasi. Beberapa mesin jahit ada di ruangan itu. Tapi herannya tak nampak banyak kain yang berceceran layaknya tukang jahit pada umumnya. Tak lama mengobrol kami dipersilahkan masuk ke sebuah kamar yang paling dekat dengan rumah itu.
"Ukhti, tidurnya disini bertiga ngga apa-apa ya?", kata ustadzah.
"Iya Ustadzah. Alhamdulliah. Sangat cukup"
"Itu nanti kasur yang dibawah itu ditarik keluar", beliau menunjuk springbed yang berukuran sedang itu.
"Iya ustadzah, Jazakillah"
"Sekarang istirahat dulu saja ya. Kalau mau mandi silahkan. Habis itu sarapan"
"Iya ustadzah..", Akhrinya kami bisa membaringkan badan setelah belasan jam duduk di bus, dioper-oper berkali kali. Kasur itu kami tarik. Dan hanya membutuhkan beberapa menit saja Amalia sudah terlelap.
Sepertinya dia belum pernah melakukan perjalanan sepanjang ini dengan bus. Asap, panas, dan bau yang semerbak dilengkapi para pengamen, pengemis dan perokok yang benar-benar menambah letihnya perjalanan.
Siang itu setelah kami mandi dan mandi waktu kami benar-benar untuk mengobrol dan saling mengenal. Uti atau ibu Ustadzah itu sangat ramah dan mudah sekali untul akrab dengan kami.
Siang itu sedikit mendung, tapi rencana Ustadz kami tetap akan dilaksakan. Kami akan ke lereng gunung semeru dengan tiga motor. Aku dan Amalia duduk dibelakangku, Amah Yana sendiri dan Ustadz Sofyan dengan Ustadz Herman dengan satu motor yang lain. Perjalanan sekitar satu jam. Melewati pemukiman yang semakin ke atas semakin jarang ada rumah. Semakin menanjak semakin dingin udaranya. Dan semakin menanjak semakin tak karuan pula jalan berlubangnya. Gerimis pun turun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar