Kini sudah tak ada satupun rumah. Ini sudah memasuki kawasan hutan, dengan jurang di sebelah kiri dan tebing di sebelah kanan. Benar-benar rimbun dan sejuk. Jalannya semakin menyempit. Untung saja selama kami di Jogja sudah beberapa kali melewati medan seekstrem ini. Jadi tidak begitu kaget dan takut. Hujan semakin deras. Dan yang paling aku takuti adalah jalan menjadi licin karena air. Amalia terus menyemangatiku dan selalu memberi arahan dan kode agar aku selalu hati-hati dan tenang.
Setelah tebing dan jalan yang terjal itu, akhirnya kami sampai di jalanan yang luas dan bertanah. Menjadi lembek karena hujan yang turun. Seperti lumpur. Tapi disana sudah banyak rumah-rumah yang nampak. Dan sudah beberapa kali kami melihat gereja. Benar kata Ustadz ketika kami berbincang tadi. Bahwa di lokasi itu mayoritas beragama Kristen sekitar 85% penduduknya. Perbandingan antara masjid dan gereja pun satu banding lima.
Akhirnya kami sampai di sebuah Masjid yang tidak begitu besar. Halamannya cukup luas dengan net yang terpasang di tengah-tengahnya. Kami memakirkan motor dan segera masuk ke dalam ruangan masjid itu. Masjid itu terdiri dari tiga ruangan. Sebelah kanan adalah perpustakaan dengan satu rak besar penuh dengan buku dan Al Quran. Ruangan tengah adalah tempat imam dan jamaah laki-laki. Sedangakan bagian ruangan kiri adalah tempat perempuan. Ketiga ruangan itu dipisahkan dengan tembok dengan tiga jendela panjang yang tembus pandang pada setiap dindingnya. Masjid itu sangat bersih. Tidak ada benda-benda atau buku atau Quran yang biasanya mengisi sudut-sudut ruangan masjid, apalagi sampah. Karpet hijau yang hangat memnuhi semua lantai di dalam tiga ruangan itu.
Kami masuk di ruangan sebelah kanan. Disana kami mendapat cerita perjuangan dua Ustadz kami selama berdakwah di lingkungan yang mayoritas Kristen itu. Sudah lima tahun lebih beliau tinggal disitu dengan segala peristiwa, keguncangan, dan keinginan menyerah yang selalu terkubur lagi. Ustadz Herman yang tinggal di Masjid itu adalah Da'i yang dikirim dari sebuah Organisasi Islam untuk mendidik masyarakat Muslim yang sangat jauh pemahaman Islamnya. Beliau pun membuka Tempat Pendidikan Al Quran (TPQ) yang akhrinya menjadi pusat utama belajar Al Quran bagi anak-anak kecil disana. Orangtua mereka yang awwam dengan Islam, jangankan untuk mengajari mereka pun belum bisa membaca. Selain membuat TPQ, beliau juga menbangun Taman Kanak-Kanak (TK) yang ternyata ada beberapa non Islam yang ingin belajar disitu juga. Dan akhirnya diperbolehkan. Masjid ini menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak di lingkungan tersebut. Tak hanya yang Muslim, banyak anak non Muslim yang sering ikut-ikutan dalam majelis belajar tersebut walaupun mereka dilarang. Bukan karena tidak ingin mengajari, tapi orangtua mereka lah yang selalu bersikap waspada agar anak mereka tidak perlu dituruti jika ingin ikut bergabung.
Bahkan banyak dari mereka yang sering ingin ikut sholat berjamaah bersama anak-anak yang belajar di TPQ. Tapi karena anak-anak non muslim itu tidak boleh masuk ke dalam masjid, akhirnya mereka mengikuti dari teras rumah. Anak anak berusia delapan atau sembilan pasti belum paham agama mereka, cara ibadah agama mereka, apalagi agama orang lain. Mereka hanya mengikuti apa yang dilihat dan apa yang menarik bagi mereka. Sehingga gerakan sholat itu mereka ikuti lengkap dengan suara takbir. Sungguh sesuatu yang ganjil tapi itulah yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
Masjid itu selalu dikumandangkan adzan, iqomah oleh Ustadz Herman pada setiap waktu sholat. Namun karena sedikitnya penduduk yang Muslim ditambah lagi kesibukan mereka dengan pekerjaan, maka hanya beliau seorang diri yang melaksanakan sholat disitu. Menjadi muadzin, imam sekaligus makmum. Masjid itu hanya ramai pagi dan sore harinya. Ustadz Herman yang begitu ulet, sabar, dan senang dengan anak-anak membuat semakin banyak yang ingin belajar di tempat itu. Namun pada masa-masa terbangunnya itu, tak sedikit pula yang menghalang-halangi kesuksesan dakwah itu. Mulai dari fitnah fitnah hingga rencana pembakaran masjid kecil itu.
Kami benar-benar tertegun dengan perjuangan dua Ustadz kami itu. Begitu sabar dan istiqomah. Bertahun-tahun tak hanya hidup dengan segala kesusahan dan keterbatasan. Sulit terjangkau dari berbagai kebutuhan, hingga ditekan, dihina dan dikucilkan oleh masyarakat setempat. Lima tahun perjuangan awal itu dengan segala keguncangan dan penderitaan membuahkan hasil yang saat itu kami rasakan. Sudah tak ada lagi halangan yang berarti sehingga beliau-beliau berani mendirikan tempat untuk Griya Quran di lingkungan minoritas muslim itu.
Dalam obrolan itu ada seorang laki-laki yang duduk sedikit bersembunyi di belakang Ustadz Herman. Setengah tubuhnya tertutupi dengan rak buku. Kami mengira beliau juga salah satu Ustadz disana.
"Ini santri saya, yang belum lama juga ada disini", beliau sedikit mengenalkan anak itu kepada kami. Kepalanya tertunduk terus sejak kami masuk dan duduk di ruangan itu.
Setelah sekitar satu jam kami mengobrol, bertanya-tanya dan mendapat info yang sangat banyak tentang sejarah Masjid itu, akhrinya kami diajak untuk keluar. Melihat ruangan belakang yang akan digunakan untuk Griya Quran dan selama ini juga digunakan untuk TK. Gerimis masih saja turun, membasahi halaman masjid yang sudah tersemen itu, sehingga tidak terlalu menggenang dengan air kecuali pada bagian yang berlubang.
"Amalia... ayo kita keluar. Lihat gedung yang di belakang"
"Eh.. iya. Ayo", eksperesi dia sangat kaget "aku ngantuk banget Sal. Ngga kuat nahan.."
"Hehe.. pantesan tadi diem aja. Biasanya kamu suka nanya-nanya"
"Iya ih, aku jadi ngga nyimak penjelasan Ustadznya.."
Gedung belakang itu terdiri dari tiga ruangan, yang setiap ruangannya memiliki luas yang sama. Terasnya cukup lebar, dan memanjang dari ruangan paling kanan hingga ruangan yang tengah. Ruangan yang ujung kanan penuh dengan kertas warna warni yang menempel dan menggantung di atap-atapnya, jendela, juga dindingnya. Ruangan di sebelah kirinya nampak kosong tak banyak barang. Sedangkan yang paling kiri masih belum berkeramik. Masih berlantaikan tanah, walau jendela dan pintunya sudah sempurna. Halamannya begitu luas. Ada dua pohon talok disana, yang tidak terlalu tinggi tapi rimbun. Adapula pohon mangga, dan rerumputan yang tidak begitu subur.
Di halaman itu pula terdapat beberapa permainan anak-anak. Bisa dipastikan bahwa ruangan paling kanan itu adalah untuk TK. Ada sekitar lima permainan di halaman itu. Halaman itu nampak terawat karena sampah-sampah dedaunan yang kering tidak banyak berserakan.
Kami sempat masuk sebentar ke dalam dua ruangan yang sudah berubin itu. Aku membayangkan enaknya menghafal di tempat yang sejuk itu. Bisa duduk di teras, di bawah pohon atau di ayunan anak-anak TK yang juga bisa dijadikan untuk orang dewasa.
Matahari menyinari tempat itu tanpa ada pengahalang. Rumah-rumah warga nampak dari halaman gedung ini. Posisi tempat itu yang lebih tinggi membuat bisa melihat jalanan menuju lereng itu. Beberapa pegununagan pun nampak dari tempat itu.
"Nanti akan dibuatkan kamar mandi di dalam sana Ustadzah", Ustadz itu menunjuk ruangan paling ujung yang masih berlantaikan tanah.
"Oh iya ustadz", jawab Ammah Yana, "Jadi tidak perlu ke depan ya?"
"Iya. Karena terlalu jauh. Santri akhwat nanti pasti sulit"
"Betul Ustadz.."
"Tapi disini harus siap dengan susahnya air ya. Biasanya setiap pagi pasati mati. Nyala sekitar jam 10", Ustadz Herman menambahkan.
"Tapi tenang karena kita punya penampung air", tambah Ustadz Sufyan.
Sore itu, kami turun dari lereng sebelum gelap. Hujan semakin deras, maka kami harus menggunakan jas hujan. Jika menunggu reda, pasti akan semakin larut malam, sedangkan jalan sudah semakin licin, becek dan yang pasti semakin gelap. Perjalanan sekitar satu jam itu cukup menegangkan bagiku, karena harus terus menginjak rem karena jalan turun yang cukup curam.
Sebelum maghrib kami sudah sampai. Keesokan harinya Amah Yana pulang ke Jogja, sedangkan aku dan Amalia masih di rumah itu untuk menginap semalam lagi. Kami berencana untuk mampir terlebih dahulu ke rumahku di ujung Barat Provinsi Jawa Timur. Pacitan. Bukan kota kelahiranku, tapi kota yang membesarkanku.
"Nak, besok berangkatnya pagi pagi banget ya.. Biar sampai Trenggalek tidak kesorean", ibuku sudah mengirim pesan itu sejak malam itu "Hati-hati ya sayang"
"Iya bu.. Insya Allah. Bus Trenggalek-PacitanTrenggalek biasanya sampe jam berapa terkahir?"
"Jam 2 siang nak. Kata ayah jam 7 pagi paling tidak sudah mulai gerak dari Dampit ya.."
"Oke. Insya Allah"
"Yasaraallah Umuraak"
Aku menyampaikan hal itu kepada Amalia dan Ustadz kami. Pagi harinya kami bersiap-siap. Namun karena posisi kami tamu, maka tidak bisa sekehendak kami untuk pergi segera. Sedangkan tuan rumah harus menyiapkan makan dan lain sebagainya. Bahkan kami diberi perbekalan untuk perjalanan. Kami pun diantar sampai tempat naik bus menuju Kabupaten Malang.
"Nak ini sudah berangkat?.. Hati hati ya. Dijaga barangnya. Kalau ngantuk dipastikan semua barang pentingnya sudah masuk tas."
"Belum bu..Ini sebentar lagi"
"Lho kok belum? Sudah hampir jam delapan"
"Iya bu. Sebentar lagi. Doakan saja kami..", jawabku singkat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar