Hari itu
tantangan datang kembali. Adventure ini tidak semua orang mampu menaklukannya.
Tidak semua pelajar SMAIT Alam itu yang sudah terlatih baik fisik maupun mental
itu mampu melewatinya. Adventure ini tak hanya membutuhkan kerja otot, atau
kerja fisik yang kuat. Adventure yang akan menghabiskan waktu sekitar 2 hari
ini benar-benar akan menguji mental, kepedulian dan kesabaran setiap murid
disana.
Jumlah
mereka hanya sekitar 12 orang. Kali ini agar lebih menantang, mereka dibagi menjadi
4 kelompok yang masing- masing berjumlah 3 murid.
“Anak-
anak, sepuluh menit lagi kita breafing!”, pekik salah satu guru mereka di teras
salah satu kelas. Guru yang sangat tegas itu biasa mereka panggil Pak Agus.
“Eh, kamu udah bawa jas hujan
belum?”, kata Fahmi kepada Zaid yang sejak tadi nampak santai.
“Jas hujan? Emang disuruh bawa
ya?”
“Kapan sih kita adventure nggak
disuruh bawa barang yang penting itu?”
“Tapi kan ini lagi musim panas..
berat-beratin tas aja!”
“Ahk, terserah kamu lah!”, kata
Fahmi sambil meninggalkan kamar mereka yang berada di lantai dua gedung sekolah
sekaligus asrama yang terdiri dari tiga lantai itu.
Suasana
di gedung itu tak jauh berbeda seperti biasanya. Suara guru mengajar di kelas-
kelas sore. Bunyi pesawat- pesawat TNI AU yang tak henti-hentinya menembus awan
diatas gedung yang tak sampai 2 kilometer dari pangkalan para TNI AU. Pesawat tempur mungkin.
Setelah
mengucapkan salam, Pak Agus memulai menjelaskan. “Saya akan membacakan
pembagian kelompok selama kalian melakukan longmarch ini. Kemudian saya akan
memberikan selembar kertas yang menjelaskan jalan yang harus kalian tempuh
hingga sampai di pantai Wedi Ombo, serta peraturan selama perjalannya”, kata
Pak Agus memulai breafing di sore yang matahari sudah hampir terbenam itu.
“Kelompok 1: Dika, Azzam, &
Irfan. Kelompok 2: Haidar, Anas, & Fatih. Kelompok 3: Zidny, Rizal, &
Farhan. Kelompok terakhir: Fahmi, Zaki , & Zaid”
“Oh my God,aku sama Zaid?”, bisik Fahmi pada Haidar yang duduk di
sebelahnya. Kemudian ia melirik ke arah Zaid yang duduk di barisan paling
depan.
“Ha.ha. nggak apa-apa. Kamu mesti
bisa”, kata Haidar mencoba menenangkan Fahmi yang sudah trauma dengan sifat
Zaid yang cukup sulit diatur dan diajak kerja sama.
“Baik. Kalian kan sudah paham.
Semua teman itu sama. Kalian bukan anak- anak lagi. Teman bukanlah persoalan
yang menjadi perselisihan lagi. Dan calon pemimpin yang hebat tak pernah
menjadikan permasalahan apapun menjadi penghalang untuk meraih kemenangan dan
kesuksesan ”, kata Pak Agus memberi pemahaman kepada ke 12 muridnya itu.
“Tuh..kan? Denger?”, kata Haidar
balik berbisik kepada Fahmi
“Hhh,iya”, timpal Fahmi sambil
melengoskan pandangan ke depan. Mengalihkan pembicaraan menghadap ke guru yang
masih terus menjelaskan di depan kelas.
“Baik. Ini saya bagikan kertas
penunjuk perjalanan. Nanti kalian akan didampingi oleh Pak Ahmad dan Pak Ihsan.
Kalian tidak boleh mengeluh kepada mereka atau meminta tolong kecuali teman di
kelompok kalian tiba- tiba pingsan”, lanjut Pak Agus sambil menyerahkan 4
lembar kertas yang tertera peta menuju pantai Wedi Ombo. Pantai yang menjadi
tujuan akhir longmarch ini.
“Longmarch ini akan kalian tempuh
dengan jarak sekitar 100 km”, kata Pak Agus dengan muka tanpa beban sedikitpun.
“Waw!”, serempak mereka seketika
merespon
“Masya Allah”, kata yang lain.
“Nanti kalian akan memulai perjalanan
dari sini. Kelompok kedua berangkat 15 menit setelah kelompok pertama sudah
berjalan. Dan seterusnya. Jadi nanti di akhir, jarak kebarangkatan kelompok
satu dengan kelompok empat sekitar 1 jam”
“Wah,kelompok
ku terakhir lagi!”, kata Fahmi mengeluh rendah, yang kemudian di dengar Haidar.
“Nggak apa- apa. Pasti ada
rencana lain yang sudah dirancang Pak Agus. Mana mungkin kelompok terakhir
disetting paling belakang agar kalah?”
“Hmmm, iya sih..”
“Nanti saya, Pak Ahmad dan Pak
Ihsan juga berjalan di sela-sela kalian. Tapi bukan berarti mendampingi kalian.
Kami hanya memastikan seluruh kelompok mengitu rute yang sudah diperintahkan.
Dan yang paling penting kalian pahami adalah ‘Longmarch ini bukan perlombaan untuk meraih juara satu. Akan tetapi,
ilmu yang terpenting yang harus kalian
dapatkan nanti adalah mental yang kuat pasti akan dapat mengalahkan otot yang
tampak jauh lebih bertenaga’. Maka, kalian tidak perlu saling ashobiyah
hanya dengan pembagian kelompok ini. Kalian juga tidak boleh mementingkan diri
kalian sendiri. Pemenang bukanlah yang sampai titik finish paling pertama,
yaitu di pantai Wedi Ombo. Namun, ia yang mampu membawa seluruh anggota
kelompoknya hingga titik finish longmarch ini dengan semangat dan keceriaan.
Tidak ada anggota yang sakit maupun tersakiti karena keterpaksaan. Ia lah yang
mampu memberi support kepada temannya, sehingga dapat meraih garis finish
bersama- sama. Faham?”, penjelasan Pak Agus benar- benar mengobarkan semangat
mereka.
“Faham pak”, balas mereka dengan
wajah yang sumringah.
“Dan terakhir. Perlu kalian
tancapkan dalam hati dan fikiran kalian ‘Sebaik-
baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain’. Bukan ia yang menang dengan perjuangannya
sendiri, tanpa mau tau bagaimana kondisi teman disebelahnya. Ok?”
“Baik pak”
Adzan
isya’ berkumandang, dan mereka pun menunaikan sholat berjamaah sebelum
perjalanan panjang itu dimulai. Setelah berdoa’a, kelompok pertama memulai
langkahnya.
“Dika, kamu paling belakang, aku
depan, dan Azzam tengah!”, perintah Irfan yang ditunjuk jadi ketua di kelompok
satu
“Ya”, jawab Dika dan Azzam.
“Nanti kalau diantara kita ada yang lelah,
sampaikan aja! Tidak perlu takut, malu atau sungkan. Justru jika nanti diantara
kita tidak tahu kondisi antara satu dengan yang lain, kelompok kita malah tidak
kompak. Ok!”
“Hm, ya kak”, kata Azzam dan Dika
yang mereka satu tahun dibawah usia Irfan.
“Oh ya, inget ya. Jangan terlalu
banyak minum! Nanti kita malah mudah lelah!”
“Hati- hati ya. Semoga kalian selalu dalam
lindungan Allah!”, suara teman- teman dari kelompok lain mengantarkan
keberangkatan mereka.
“Ya, doakan kami!”
Malam
itu telah dilahap dengan kegelapan, walau jalanan masih menggerutukan mesin-
mesin dan klakson- klakson kendaraan, yang kian hari kian padat. 15 menit, 30
menit, dan 45 menit berlalu, akhirnya kelompok terakhir pun melangkahkan kaki
mengikuti jejaj kelompok- kelompok berikutnya.
Suara-
suara kendaraan itu semakin menghilang ketika mereka sudah memasuki dataran
tinggi di daerah Gunungkidul. Suara kodok, jangkrik, dan angin malam yang
berhembus menemani nafas mereka yang semakin tersengal-sengal karena medan yang
terus menanjak tanpa tahu diri.
“Ih, kamu lama itu! Dikit- dikit
istirahat. Hh..Udah tau kita kelompok terakhir. Jangankan bisa menyalip
kelompok pertama, hh..hh..kita sampai pantainya saja kalau kamu kayak gini
terus kapan sampainya?”, kata Fahmi dengan sedikit emosi ketika mereka
istirahat di pinggir jalan. Nafasnya tersengal-sengal
“Ini kan nanjak terus! Cape
tau!”, kata Zaid mendesah
“Sudah, jangan bertengkar.
Perjalanan ita masih sangat jauh. Ini belum ada apa- apa. Mungkin baru 6 km
kita berjalan. Masih ada 94 km lagi yang harus kita lewati. Kalau kalian
bertengkar terus, kapan sampainya? ”
“Tapi kak, kita sudah ketinggalan
jauh banget sama kelompok 3. Apalagi kelompok 1? Kita baru jalan 6 kilometer,
tapi karena dia kita udah berapa kali berhenti
buat istirahat?”, kata Fahmi menimpali dan masih terus menyalahkan Zaid.
Zaid hanya terdiam sambil menunduk. Bukan karena takut atau merasa bersalah.
Dia memang orang yang memiliki tipe sangat cuek. Dikatakan apapun dia tak kan
merasa bersalah.
“Sudah lah! yuk kita lanjutkan!”,
ajak Zaki sambil menarik tangan Zaid “Ayo Zaid, kamu pasti kuat!”. Mereka
kembali melangkahkan kaki, setelah sekian kali beristirahat. Zaki tidak henti-
hentinya memberi semangat pada kedua temannya itu.
“Kamu
kambuh ya asmanya?”, tanya Haidar yang melihat Fatih terjongkok beberapa menit
setelah ia berhasil menyusulnya dari belakang.
“Iya. Nih, kita kasih oksigen
aja!”, kata Anas yang sudah mendudukkan Fatih dipinggir jalan. Di atas
rerumputan yang tumbuh cukup subur.
“Kak, gimana kalau kita cari
tempat yang bisa untuk istirahat Fatih? Misal gubuk, atau Mushola kalau kita
melihatnya di pinggir jalan?”, kata Haidar memberi usulan kepada Anas.
“Hm, ide bagus. Ya tunggu biar
Fatih udak agak kuat. Biar bisa jalan”
“Ya
sudahlah! jika kalian ingin istirahat terus. Aku cape nunggu kalian. Aku jalan
duluan. Perjalanan kita kurang 10 kilometer lagi!”, bentak Irfan kepada Dika
dan Azzam.
“Kita cape kak! Kakiku
pegel-pegel. Lagipula belum ada kelompok yang bisa menyalip kita!”
“Ok. Aku akan jalan dulu, &
kalian nanti nyusul”, kata Irfan sambil menggendong tasnya dan melangkahkan
kaki dengan bersungut-sungut. Emosinya sudah semakin memuncak. Perjalanan jauh
itu memang menguji kesabaran dan kekuatan mental mereka.
Tiba-tiba
kelompok kedua yang terdiri dari Haidar, Anas, & Fatih berpapasan dengan
Dika dan Azzam yang baru saja beranjak, dan akan melanjutkan perjalanan
menyusul Irfan yang entah sudah sejauh mana.
“Kok kalian cuma berdua? Kak
Irfan kemana?”, kata Haidar
“Udah duluan, katanya cape
nungguin kita. Ya sudah, kita biarkan saja”, kata Azzam menjelaskan.
“Lho, kok gitu sih?”
Setelah
kejadian itu, akhirnya kelompok dua pun berhasil menyusul kelompok pertama.
Perjalanan aspal yang di kanan kiri penuh dengan hutan dan perkebunan itu masih
menyisakan sekitar 8 kilometer lagi yang harus mereka tempuh. Artinya sekitar 2
jam lagi, mereka bisa mendengar desiran ombak pantai yang akan memberi kelegaan
kepada mereka. Fatih yang sesekali asmanya kambuh itu tak menghalangi mereka
untuk terus maju melangkah, walau sesekali mereka harus melayani satu temannya
itu untuk beristirahat dan menghirup oksigen dari tabung yang mereka bawa.
Zaid.
Seorang murid yang sejak dulu dikenal sangat sulit diatur dan sangat cuek.
Banyak sekali teman-teman yang tidak menyukainya. Dan di adventure kali ini
pun, ia kembali lagi membuat ulah dengan teman-temannya. Zaki, murid kelas 11
yang sekelompok dengan Zaid berusaha membujuk dan terus menyemangatinya agar
langkah mereka tak berhenti hanya karena dia. Sedangkan Fahmi yang punya ego
cukup tinggi, membuat Zaki benar-benar mengeluarkan tenaga untuk mengahadapi
kedua adik kelasnya tersebut.
“Udah ah, aku duluan aja kak!
Kalau kita menunggu Zaid terus gini, aku yakin kita nggak akan nyampe dengan
waktu yang sudah disediakan. Terserah kak Zaki mau bareng aku, atau tungguin
kita”, kata Fahmi kembali menggerutu.
“Ok. Zaid dengerin aku! Kamu tau
kan? kalau kamu itu sebenarnya kuat. Udah berapa kali kita jalan seperti ini
walau belum sejauh jarak ini. Sudah berapa kali juga kita mendaki bukit &
gunung? Tantangan ini nggak boleh buat kamu terhenti! Lakukan yang terbaik!
Perjalanan yang belum kita tempuh tidak sejauh dari sekolah hingga kamu duduk
disini. Artinya kita semua bisa! Dan aku juga yakin, kamu pasti juga tahu,
semakin banyak kita istirahat, semakin mudah pula badan kita kelelahan”, Zaid
hanya menundukkan kepalanya, walau sebenarnya ia mendengar nasehat Zaki. “Kamu
dengar kan?”
“Iya”, kata Zaid dengan lemas.
Nasehat
itu berkali-kali Zaki bisikkan ke telinga Zaid. Dia tak lelah-lelahnya
memberikan semangat kepadanya. Dan semua itu membuahkan hasil yang nyata.
Sekitar 1 jam mereka berjalan, mereka berhasil menyusul kelompok 3 yang mereka
temui sedang beristirahat di sebuah gubug. Jam menunjukkan puku 02.30, dan
ketika itu suara ombak sudah mulai terdengar oleh keompok 4. Mereka terus
berjalan berbaris dengan langkah yang semakin gontai, tapi tak ingin untuk
berhenti.
“Ya Allah, Alhamdulillah,
ombaknya udah terdengar”, kata Zaki sengaja berteriak untuk menyemangati kedua
temannya. Tak ada sautan sedikitpun. Sekitar dua jam mereka berjalan lagi,
mereka menemukan kelompok 1 sedang duduk berjajar di rerumputan. Mereka sedang
memejamkan mata sejenak, sambil bersandar pada tas yang mereka gendong dengan
posisi sedikit berbaring. Dan mereka pun seketika terbanugun ketika cahaya
senter dari kelompok 4 itu mengibas muka Irfan.
“Wah, udah sampai. Kalian
kelompok 4 kan?”, tanya Irfan memastikan
“Iya. Duluan ya!”, kata Zaki
menjawab karena kedua teman yang berjalan di depannya sama sekali tidak memberi
tanda apapun untuk mau berbicara sejak tadi.
“Hm..iya”
Suara
ombak semakin terdengar keras. Dan kelompok 2 sudah berhasil menginjakkan kaki
mereka di pasir putih yang terhampar nan luas itu. Mereka bersujud seketika.
Tak ada yang dapat mereka katakan selain rasa syukur karena Allah membantu
mereka, walaupun Fatih berkali-kali membuat kedua temannya harus menunggunya
untuk menghirup tabung berisi oksigen. Setengah jam kemudian, kelompok 4 sudah
berada di puncak jalan aspal. Satu turunan terakhir, mereka akan menyusul kelompok
2. Menginjak pasir putih dan berbaring diatasnya menikmati bintang-bintang disepertiga
malam terakhir.
“Ya Allah, itu pantainya!”, Zaid
berteriak. Akhirnya dia mau mebuka
mulutnya. Wajahnya benar-benar seperti anak kecil yang bertemu orang tuanya
setelah berpisah beberapa jam di dalam mall. “Itu pantainya kak Zaki! Kita
sudah sampai!” Dia kembali berteriak sambil menunjukkan telunjuknya dan
menghadap ke Zaki yang berjalan tepat dibelakangnya.
“Iya Zaid. Alhamdulillah, kita
sudah sampai!”, kata Zaki dengan tenang. Mereka bertiga benar-benar berlari
sekencang-kencangnya. Menggunkan sis-sisa tenaga mereka yang sudah benar- benar
terkuras habis. “Pantai Wedi Ombo”. Tulisan
di atas kayu yang berdiri besar diatas tiang besi didekat tempat parkir.
Setelah mereka benar-benar berada diatas pasir pantai itu, Zaid melemparkan
tasnya, dan bersujud. Dia benar- benar seperti mendapat medali emas kala itu.
Ternyata,
selama mereka berjalan. Secara diam-diam, ketiga guru mereka mengawasi setiap
beberapa kilometer. Menyaksikan bagaiamana mereka bekerja sama dalam kelompok,
dan apa yang mereka lakukan selama di perjalanan.
Usai
mereka menikmati sarapan bersama di pantai itu, mereka diberi kejutan oleh para
guru mereka. Diberi sebuah syal yang yang bertulisakan “Longmarch to Wedi Ombo Beach, 5 Januari 2014”. Selain itu juga
diumumkan siapakah pemenangnya. Dan hasilnya, kelompok yang menang adalah
kelompok 2, sedangkan murid yang mendapat penghargaan secara individu adalah
Zaki.
Subhanallah.. inilah sebuah kisah nyata yang
menyampaikan pesan kepada kita bahwa pemenang adalah bukan mereka yang hanya
memiliki fisik kuat. Akan tetapi mereka yang memiliki mental pantang menyerah
dan senantiasa membagikan mental hebat itu kepada orang lain.