Pages

Sabtu, 20 April 2024

Ummu Ayyub Al-Anshariyyah, Penyambut Hijrah


            “Thala’al Badru ‘alaina..”, sambutan yang begitu meriah ketika sang baginda tiba bersama sahabat tercinta di sebuah kota yang telah lama merindukan sosok pemimpin yang dapat membimbing mereka menjadi manusia yang tidak lagi saling membenci dan membunuh nyawa. Nabi sebagai pembawa risalah yang menyelamatkan seluruh manusia dari kesesatan, dan pemimpin yang dapat memutuskan perkara dengan penuh keadilan.

            Para kaum anshar pun berebut untuk mengambil tali kekang unta beliau agar Nabi sudi untuk singgah dan tinggal di rumah mereka. Namun ada dua sosok, sepasang suami istri yang tidak rebut sebagaimana mereka, namun justru tanpa beliau minta mereka membawakan barang- barang Nabi dan sahabat tercinta, dengan niat tulus semata- mata berkhidmat kepadanya dengan penuh kerendahan dan adab.

Maka Nabi pun memberi keputusan bahwa al-kuswa (nama unta Nabi) lebih tahu. Beliau pun juga mengatakan: “Al hamlu ma’a rahilihi (barang itu pasti akan bersama yang membawanya)”, maka atas izin Allah swt unta beliau juga berhenti di rumah Abu Ayyub Al Anshari dan istrinya yaitu Ummu Ayyub Al-Anshariyah. Pilihan Allah swt sungguh bagian dari pemuliaan mereka, sekaligus mengajarkan kepada sahabat yang lain bagaimana seharusnya berkhidmat tetap harus dihiasi dengan adab yang baik.

Nabi pun tinggal di rumah mereka sembari menunggu proses dibangunnya rumah beliau di sisi masjid Nabawi. Karena rumah mereka terdiri dari dua lantai, maka Nabi dipersilahkan tinggal di lantai atas dari rumah beliau, namun beliau menolak lantaran akan ada tamu- tamu yang berdatangan, sehingga jika tinggal dibawah akan lebih memudahkan. Maka Abu Ayyub dan Ummu Ayyub pun menaati beliau semata- mata tuk menghormatinya. Pelayanan mereka tentu begitu luar biasa. Bahkan karena Ummu Ayub merasa kurang nyaman dan sopan berada di atas Nabi, setiap malam pun ia merasa sulit untuk memejamkan mata. Bahkan suatu saat ketika bejana yang berisi air di kamarnya tumpah, mereka pun meresap air tersebut agar tidak menetes ke lantai bawah sehingga mengenai Nabi dengan kain- kain selimut mereka hingga tak tersisa lagi.

Dengan berat hati Abu Ayyub pun menyampaikan kondisi istrinya yang tidak bisa tidur karena merasa kurang sopan kepada sang baginda, maka Nabi pun memutuskan untuk tinggal di atas. Sehingga ketika ada sahabat yang datang untuk menemui beliau, maka Ummu Ayub dengan suaminya akan berusaha mengatur kapan saja waktu Nabi bisa ditemui dan tidak. Bahkan Ummu Ayyub senantiasa menyiapkan ruangan dan jamuan terbaik bagi para tamu Nabi. Dengan seperti itu maka privasi Nabi lebih terjaga, dan tidak setiap saat beliau bisa didatangi para tamunya.

Ketika rumah sang baginda telah jadi pun, mereka tidak pernah memutus tali ukhuwah, dimana mereka sering berkunjung ke rumah baginda, bahkan Ummu Ayyub sering memberi makanan, hadiah berupa alat untuk berhias untuk para istri Nabi. Bahkan mereka juga menjalin persaudaraan dengan keluarga Nabi yang lainnya, dengan begitu hubungan mereka tetap erat.

Suatu ketika peristiwa terfitnahnya Aisyah dengan Sofwan bin Muattal yang Allah sebutkan di dalam surat An-Nisa menyebar ke seluruh penjuru Madinah, disebabkan oleh mulut kaum munafikin. Peristiwa tersebut disebut sebagai hadisul ifki. Banyak di antara kaum muslimin pun yang terbawa akan isu tersebut, namun tidak dengan Abu Ayyub dan Ummu Ayyub, dimana Allah swt memuji mereka di dalam surat An-Nur ayat 12 karena mereka adalah salah satu dari dua golongan yang berprasangka baik kepada saudara mereka yang seiman.

Adapun golongan yang lainnya adalah Umar bin Khattab, dimana ketika mendengar berita tersebut seketika ia mengatakan: “Subhanaka hadza buhtanun adzim (Mahasuci Engkau Ya Allah, sungguh ini adalah tuduhan yang besar(An-Nur ayat 16)

Abu Ayyub dan istrinya Allah beri usia yang panjang. Bahkan Abu Ayyub di usia nya yang sudah mencapai 83 tahun masih bergabung dengan pasukan yang akan menaklukkan konstatinopel yang kala itu dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah. Ketika anak, dan cucu beliau berusaha melarangnya karena usia dan fisiknya yang sudah lemah, bahkan sudah menggunakan tongkat, tetapi Abu Ayyub tetap teguh pendirian untuk bergabung dalam jihad. Maka ia pun menjawab dengan suatu ayat dimana ketika itu ia mendengar langsung dari friman Allah swt:“Berlarilah dalam kondisi ringan atau berat, dan berjihadlah di jalan Allah..”  karena begitu kuat tekadnya maka Abu Ayyub menarik pemahaman dari ayat itu bahwa tidak ada lagi udzur yang pantas dijadikan alasan untuk tidak bergabung dalam medan jihad.  

Maka Abu Ayub meminta kepada anaknya agar menguburkan jasadnya di tempat terdekat dengan benteng konstatiopel, yang tempat itu bisa dicapai oleh pasukan kaum muslimin. Ia ingin apabila suatu saat konstatinopel bisa tertaklukkan ia dapat mendengar gemuruh kaki kuda yang dinaiki dalam penaklukannya.

Di masa Muawiyah bin Yazid, suatu ketika Abu Ayyub yang memiliki hutang sebesar 20 dinar di masa. Ia pun pergi ke Iraq untuk meminta bantuan kepada sang khalifah, namun ternyata Muawiyah tidak bisa membantunya. Kemudian beliau berziarah ke rumah Abdullah bin Abbas, semata- mata untuk menjalin ukhuwah dengan kerabat Nabi. Setelah Ibnu Abbas mengetahui permasalahannya, maka beliau pun memberikan uang sebanyak 40 dinar beserta 20 budaknya untuk Abu Ayyub sebagai bentuk kasih sayang dan ingin membalas kebaikannya yang begitu banyak terhadap Rasulullah dan keluarga beliau. Abu Ayyub telah berusaha menolak namun tetap tidak bisa. Akhirnya ia memerdekakan beberpa budak yang diberikannya dengan niat agar pahalanya tetap mengalir kepada Ibnu Abbas juga Rasulullah saw.

Hikmah yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah:

1.    Berkhidmat kepada orang yang mulia harus tetap disertai dengan ketulusan dan adab yang benar

2.    Memuliakan orang yang Allah muliakan adalah dengan cara melayani, membantunya juga keluargnya, dan menyambung persaudaraan karena iman dengan keluarga dan kerabatnya.

3.    Tidak mudah termakan opini yang tersebar apabila yang menyebarkan adalah orang- orang yang tidak bisa dipercaya, dan harus senantiasa mengedankan husnudzon sesama muslim.

4.    Keyakinan akan janji Allah swt menjadikan seorang muslim akan berkorban semaksimal mungkin untuk menjemputnya.

Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar