Pages

Sabtu, 20 April 2024

Ummu Aiman, Pengasuh Rasulullah


            Ummu Aiman memiliki nama asli Barakah binti Tsa’labiyah al-Habasyiyah, seorang budak dari Habasyah yang dibeli oleh Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Nabi Muhammad untuk menjadi pembantu Sayyidah Aminah, yang senantiasa mengikutinya kemana ia pergi. Termasuk ketika Rasulullah pergi ke Madinah bersama ibundanya untuk berziarah ke makam ayahnya, dimana ketika pulang ibundanya wafat di Abwa.


Muhammad yang telah menjadi yatim piatu pun tetap mendapatkan curahan kasih sayang yang besar, baik dari kakeknya, Abdul Muthalib juga Ummu Aiman sang pengasuh beliau. Ia pun terus merawat, membimbing, dan memperhatikan kebutuhan Muhammad, sangat dekat dengan beliau, bahkan sering berbagi cerita dan bercanda, dimana Rasulullah pernah mengatakan tentangnya: “Hiya ummi ba’da ummi (ia ibuku setelah ibuku)”  

            Setelah Rasulullah menikah dengan Khadijah maka beliau meminta Ummu Aiman untuk menikah karena ia tidak lagi membutuhkan pengurusannya. Maka ia pun menikah dengan Ubaid bin Zaid yang darinya melahirkan seorang putra bernama Aiman bin Ubaid, yang dari sini ia mendapat kuniyah Ummu Aiman.

            Ketika Muhammad diutus maka Ummu Aiman termasuk yang awal beriman. Dan karena ia berpisah dengan suaminya, maka ia mengurus anaknya sendiri. Aiman dididik dengan sangat baik dalam ketaatan kepada-Nya, sehingga nantinya ia menjadi mujahid di dalam perang Khaibar dan gugur sebagi syahid di perang tersebut. Karena ibundanya telah menjanda, sebagi bentuk perhatian Rasul, maka beliau mengatakan kepada para sahabat: “Barangsiapa yang ingin menikah dengan salah seorang penghuni surga, maka menikahlah dengan Ummu Aiman”.

Maka Zaid bin Haritsah pun meminangnya. Zaid adalah anak angkat Rasulullah yang dahulu merupakan budak Khadijah yang telah dimerdekakan. Sekalipun usia antara Ummu Aiman dan Zaid sangat jauh, bahkan selisihnya dua generasi, namun mereka hidup dengan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Ummu Aiman melahirkan seorang putra bernama Usamah bin Zaid, yang ketika  Rasulullah wafat ia berusia 18 tahun.

            Ketika telah hijrah di Madinah, karena suatu hikmah syariat, dan juga kondisi Ummu Aiman yang semakin tua, maka Rasulullah pun menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab. Namun atas ketetapan Allah swt, pernikahan mereka tidak bertahan karena adanya perbedaan strata yang jauh, juga karena tujuan pen-syariatan yang begitu penting. Kemudian Zaid pun menceraikan dan Rasulullah pun menikahi Zainab atas perintah-Nya. Dalam segala kondisi itu Ummu Aiman benar- benar ridho dan lapang atas segala ketetapan dan perintah-Nya.

            Saat perang Mu’tah, Zaid ditunjuk Rasulullah sebagai panglima dan gugur didalamnya. Ummu Aiman pun menerima hal itu dengan penuh keridhaan, ketabahan, bahkan bangga karena suaminya Allah pilih sebagai syahid.

Ummu Aiman pun terus mendidik putranya Usamah bin Zaid, hingga menjadi sosok mujahid yang tangguh, yang akhirnya Rasulullah pilih untuk menjadi panglima penaklukkan Romawi (wilayah Syam) yang memimpin 30 ribu pasukan, bahkan di dalamnya ada Umar bin Khattab dan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ini adalah bagian dari kemuliaannya, padahal ketika itu ia masih berusia 18 tahun.

Ketika Rasulullah saw wafat para sahabat tentu banyak yang bersedih, maka suatu ketika, Abu Bakar yang telah melanjutkan kepemimpinan negara, mengajak beberapa sahabat untuk berkunjung ke rumah Ummu Aiman, dalam rangka meminta nasehat. Mereka pun melihat Ummu Aiman menangis, sehingga mereka pun menasehatinya agar tidak menangisi wafatnya beliau. Maka Ummu Aiman pun menjelaskan bahwa tangisannya bukan karena wafatnya baginda, karena sungguh beliau sudah berada di tempat yang jauh lebih baik daripada ketika beliau bersama mereka. Namun ia menangis karena wahyu telah terputus, sehingga Allah swt tidak lagi memberi teguran, bimbingan dan arahan langsung kepada mereka apabila mereka salah.

Di masa Umar bin Khattab, putranya Usamah bin Zaid dimuliakan dengan tunjangan 10 ribu dinar, sedangkan putranya Abdullah bin Umar hanya mendapatkan 8 ribu dinar. Maka  putranya pun mengadu, karena ia dan Usamah memiliki kedekatan, juga secara usia, kontribusi yang sama dalam peperangan, juga terhadap negara, baik di masa Abu Bakar ataupun Umar, termasuk ketika di masa Rasulullah mereka pun bermulazamah bersama. Maka Umar pun menyadarkannya bahwa Usamah dan ayahnya, Zaid bin Haritsah adalah orang yang lebih dekat dan dicintai oleh Rasul daripada dirinya dan Umar.

Ummu Aiman berusia sangat panjang, dimana ia wafat ketika masa awal pemerintahan Utsman bin Affan atau 10 hari setelah wafatnya Umar bin Khattab. Di kala wafatnya itu Ummu Aiman menangis, padahal tidak ketika wafatnya Abu Bakar. Maka ketika ditanya, Ummu Aiman pun menjawab, bahwa Umar adalah penjaga terkahir pintu kaum muslimin. Maka apabila Umar wafat, maka pintu itu akan jebol, sehingga ia khawatir akan terjadi berbagi fitnah di tengah kaum muslimin.

Begitulah Ummu Aiman, sosok ibu dan istri yang hebat, yang dari pendambingan, ketataan, dan didikannya, lahirlah pahlawan- pahlawan luar biasa. Mulai dari Rasulullah saw sendiri, Aiman bin Ubaid, Zaid bin Haritsah dan juga Usamah bin Zaid. Dan begitulah sosok yang begitu bersih hatinya sehingga memiliki bashiroh yang tajam dan kuat.

Wallahu a’lam bish showab.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar