Pages

Minggu, 21 April 2024

Sutayta Al-Mahamili dan Maryam Al-Asturlabi, Pelopor Sains

 

            Sutayta lahir dan tumbuh di masa keemasan Islam, yakni di masa Harun Ar-Rasyid dimana ketika itu banyak ilmuwan dan ulama besar lahir. Ia lahir dan dibesarkan dari keluarga ulama yang sangat memperhatikan pendidikan, dan tidak membeda- bedakan pendidikan yang diberikan untuk anak- anak laki-laki juga perempuan, juga tidak mendikotomi ilmu agama dan ilmu pengetahuan, walaupun di masa itu pendikotomian terhadap ilmu sudah mulai muncul.

            Para ahli sejarah seperti Khatib al Baghdadi, Imam Ibnu Katsir, Ibnu Jauzi, Imam Adz-Dzahabi di dalam kitab mereka, memuji Sutayta sebagai seorang ahli ilmu faraid (waris), ahli dan pelopor matematika dari kalangan perempuan, yang kemudian menjadi rujukan para qadhi, mufti dan hakim di masanya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan.

            Ia menjadi sosok yang mengembangkan ilmu pengetahuan di Baghdad yang menjadi pusat peradaban Islam kala itu, dimana disana terdapat Baitul Hikmah, sebuah perpustakaan yang juga menjadi pusat diskusi para ulama dan ilmuwan dari berbagai penjuru.

            Dari keluarga yang benar- benar memahami inegritas antara ilmu dunia dan ilmu agama, dimana keduanya bisa bermanfaat hingga akhirat maka ia terus terdorong untuk mengembangkan kemampuannya dalam perhitungan. Maka dari penguasaannya terhadap ilmu faraid, ia pun terus mengembangkan hingga menjadi seorang ahli matematika, yang mencetuskan berbagai rumus ilmu matematika yang sangat berguna hingga hari ini di berbagai bidang ilmu terapan, mulai dari arsitekstur, teknik sipil, astronomi, perhitungan musim, pertanian, ilmu pelayaran dan hingga navigasi.

Ia juga mengembangkan ilmu ukur bidang dan ilmu ukur ruang atau volume, yang dengan ilmu itu ia bisa menentukan kapasitas orang dalam sebuah ruangan di dalam gedung, istana, juga masjid. Ia juga mengembangkan ilmu akustika, yang berkaitan dengan kubah masjid, yang dengannya suara seorang khatib, imam, atau pengajar yang ada di dalam masjid yang besar tetap bisa terdengar dengan jelas dan baik ke seluruh penjuru ruangan tanpa menggunakan mikrofon. Semua itu tentu menggunakan perhitungan yang akurat. Bahkan dikisahkan, di Masjid Jami’ Al Manshur di Baghdad, ketika Imam Syafii mengisi sebuah majelis yang dihadiri 50.000 orang, maka semua yang hadir bisa mendengar dengan baik.

            Selain Sutayta, terdapat seorang ilmuwan sains dari kalangan perempuan yang juga memiliki kontribusi besar dalam sejarah dunia, yang ilmunya dimanfaatkan oleh seluruh umat di berbagai penjuru, bahkan dari kalangan orang-orang Barat. Perempuan tersebut adalah Maryam Al-Ijili Al-Asturlabi yang mendapat julukan tersebut karena ia menjadi penemu asturlab. Sebuah benda berbentuk lingkaran yang dituliskan angka- angka, peta langit dan peta bumi, yang penggunaannya dengan cara memproyeksikan dengan bintang di langit, sehingga dari sana bisa mengetahui arah dan jarak ke sebuah wilayah. Alat ini sangat bermanfaat bagi para kafilah yang melewati padang pasir atau lautan dimana mereka tidak bisa mengandalkan tanda- tanda alam.

            Maryam Al-Ijili juga pernah dipanggil oleh Saifu Daulah, seorang penguasa di Aleppo untuk mengajar disana. Dari penemuannya ini juga, maka lahirlah penemuan- penemuan lain seperti observatorium atau teropong besar untuk melihat bintang- bintang langit, yang pertama kali diinisasi oleh Sulthan Ulubeg salah satu penguasa di wilayah Uzbekistan yang berhasil membuat peta langit belahan Utara ke Selatan, dimana apabila alat tersebut ditambahkan dengan astorlab, maka akan menjadi semakin akurat dan besar kebermanfatannya.

            Dari astorlab ini juga, para pelaut yang melakukan perdagangan ke berbagai belahan bumi juga sangat terbantu, seperti yang terjadi pada abad ke 11 dan 12 dimana para pelaut muslim sampai ke wilayah Nusantara, seperti Tidore, Ternate, Maluku, Makassar, Lombok, Pantai Aceh dan lain-lainya. Bahkan seorang pelaut Belanda bernama Corles de Houtmen yang mencapai laut di Banten pada tahun 1596 M, menyewa seorang navigator muslim dari Madagaskar agar bisa menejalskan arah untuk mencapai Banten tanpa melewati jalur laut Jazirah Arab, yang mana saat itu sudah dikuasai Portugis. Dengan bantuan alat tersebut dan arahan dari navigator yang dibayar sangat mahal itu, ia bisa menentukan arah dan jarak hingga bisa sampai di Banten dengan akurat, tanpa sedikitpun tersesat ke pulau lainnya.  

            Terlepas dari adanya penjajahan di masa itu, maka kita tahu bahwa alat ini begitu besar manfaatnya bagi umat manusia, yang dengannya seluruh dunia dari Timur hingga Barat bisa terkoneksi dengan mudah.

            Wallahu a’lam bish showab.

 

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar