Seorang
perempuan yang memiliki pertalian dengan sejumlah Khalifah, bahkan dua belas
diantaranya mahram baginya. Dua belas khalifah tersebut adalah, kakeknya yaitu
Marwan bin Al hakam, ayahnya yaitu Abdul Malik bin Marwan, suaminya Umar bin
Abdul Aziz, dua kakaknya yaitu Walid bin Abdul Malik dan Sulaiman bin Abdul
Aziz, dan dua adiknya yaitu, Yazid bin Walid, Hisyam dan Yazid.
Ayahnya
Abdul Malik bin Marwan adalah seorang Khalifah yang shalih, faqih fi diin, dan
berhasil mempersatukan kaum muslimin antara Hijaz dengan Iraq yang sempat
terpecah. Di masanya bahkan juga terjadi renovasi besar- besaran terhadap tiga
masjid suci kaum Muslimin yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil
Aqsha.
Fathimah
lahir di pusat kekhilafahan yang ketika itu di kota Damaskus, Suriah. Kala
kepemimpinan ayahnya, Abdul Aziz yang merupakan paman kandung dari ayahnya
diletakkan di Mesir dengan tujuan menghindari adanya perselisihan. Abdul Aziz
memiliki putra bernama Umar bin Abdul Aziz. Ketika ayahnya wafat di Mesir maka
Umar dibawa ke Madinah untuk diasuh oleh paman jauhnya yaitu Salim bin Abdullah
bin Umar bin Khattab, saudara dari pihak ibunya yaitu Ummu Ashim binti Asim bin
Umar bin Khattab. Sebagaimana yang kita sering dengar bahwa ibu Umar bin Abdul
Aziz adalah keturunan dari putra Umar bin Khattab dengan seorang perempuan
penjual susu yang jujur dalam berdagang.
Fathimah
binti Abdil Malik yang merupakan putri kesayangan ayahnya itu dinikahkan dengan
Umar bin Abdul Aziz yang merupakan sepupunya sendiri. Pada awalnya Umar ingin
menolak karena ia merasa khawatir akan sikap keluara Fathimah, karena dahulu
keluargnya pernah diasingkan oleh keluarga ayah Fathimah. Namun setelah
mengetahui bahwa Fathimah adalah sosok yang baik, sholihah, cerdas, dan
berakhlak baik, juga cantik, maka ia pun mengambil keputusan untuk menikahinya.
Adapun
Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang sangat berwibawa, dan sangat
memperhatikan penampilan. Oleh karena ketika di Madinah ia menjadi sosok pemuda
yang disegani dan ditiru oleh pemuda- pemuda lainnya. Walau demekian ia adalah
sosok yang sangat taat, faqih, bahkan Anas bin Malik mengatakan bahwa tidak ada
sosok yang memiliki kemiripan dengan Rasulullah dalam sholat melibihi Umar,
kecuali pakaiannya, lantaran terlalu mewah.
Akan
tetapi setelah menikah dengan Fathimah ia berusaha merubah dirinya dengan hidup
lebih sederhana dan zuhud. Fathimah pun walaupun lahir dan besar di istana, ia
juga mengikuti suaminya untuk hidup lebih sederhana. Pernikahan mereka pun
begitu bahagia. Kemudian ia diangkat Khalifah untuk menjadi wali di Madinah.
Selama masa pemeritanhannya di Madinah, ia sangat memperhatikan pengurusan
orang- orang yang datang untuk ibadah, dan berziarah kepada Rasulullah, dimana
sejak tinggal di Mesir, Umar bin Abdul Aziz sangat menginginkan posisi
tersebut.
Ketika
Khalifah Abdul Malik bin Marwan wafat kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh
anaknya, yang merupakan kakak dari Fathimah, yaitu Walid bin Abdul Malik, maka
ketika itu Umar diperintahkan untuk menghukum seorang ulama yang mengkritik
pengasa dengan dua balok es batu yang ketika itu sedang musim dingin hingga
akhirnya ulama tersebut wafat. Sejak saat itu Umar menyesal, sehingga setiap
sholat ia selalu memohon ampun kepada Allah akan hal itu. Pada masa tersebut
juga Umar dipecat dari jabatannya lantaran aduan wali Iraq yaitu al- Hajaj bin
Yusuf yang dilarang Umar untuk melewati Madinah. Di masa itu, Umar melihat
kezaliman terjadi dimana- mana, sehingga ia berdoa agar bisa menjadi seorang Khalifah.
Kemudian di masa Sulaiman bin Abdul Malik,
adik Walid bin Abdil Malik, Umar bin Abdul Aziz dijadikan penasehat baginya.
Akan tetapi dari seluruh nasehat- nasehat yang diberikannya tidak banyak yang
dapat terealisasi, lantaran banyak diantara para pejabat negara yang saat itu
tidak memiliki visi yang sama untuk mewujudkan keadlian di tengah rakyatnya,
seperti wali Mesir dan Yaman, yang saat itu dikenal dengan kezaliman, sehingga
Umar merasa sedih, dan bersalah. Akan tetapi Fathimah sebagai seorang istri
yang cerdas dan sholihah terus berusaha menguatkannya, membesarkan hatinya bahwa
ia telah menjalankan kewajibannya untuk menyampaikan kebenaran.
Ketika Sulaiman sakit dan mendekati
ajalnya, ia meminta nasehat dari ulama besar bernama Roja’ bin Haywah. Ulama
itu menasehati, agar hisabnya di akhirat kelak menjadi lebih ringan, maka
hendaklah ia mengangkat Khalifah bukan dari anaknya atau adik- adiknya, namun mengangkat
Umar bin Abdul Aziz yang merupakan adik iparnya. Sulaiman bin Abdul Malik pun
mengambil nasehatnya, namun agar tidak terjadi perselisihan dengan kedua
adiknya, yaitu Yazid bin Abdul Malik dan Hisyam bin Abdul Malik, maka ia pun
mewasiatkan mereka setelah kepemimpinan Umar bi Abdul Aziz usai setelah
wafatnya.
Umar bin Abdul Aziz pun dibaiat di masjid
Damaskus, walau sebenarnya Umar masih ragu, dan tidak meminta itu kepada umat,
namun justru umat semakin yakin akan sosoknya. Maka setelah itu Umar mengurus
jenazah Sulaiman hingga kelelahan. Ketika ia pulang dan berniat untuk
istirahat, putranya yang bernama Abdul Malik bin Umar, yang masih kecil
bertanya kepada sang ayah mengapa ia beristirhat, padahal banyak urusan umat
yang belum terselesaikan, dan kaum yang masih terzalimi. Umar pun menjawab
bahwa ia akan mengurus esok setelah beristirahat. Putranya pun mengatakan: “Wahai
ayahku, jika ayah tidur apakah ayah bisa menjaim bisa bangun lagi?”, maka
Umar segera bangkit, ia pun bersyukur memiliki putra yang dapat mengingatkannya
tuk bertaqwa pada Allah swt. Sejak itu Umar nyaris tidak pernah istirahat untuk
menjalankan tanggung jawabnya mengurus negara dan umat.
Pada suatu malam Umar melihat istrinya
menggunakan kalung yang indah, dengan berlian besar dan warna yang begitu
indah, yang merupakan hadiah dari ayahnya. Maka Umar mengatakan: “Wahai
Fathimah, sungguh dimasa ayahmu menjadi Khalifah banyak kaum muslimin yang
miskin, dizalimi, haknya dirampas, maka apakah kamu ridho jika kalung itu
dikembalikan ke baitu mal?”, maka tanpa berfikir lama Fathimah pun
mengatakan: “jika ini menjadi syarat agar aku tetap bisa mendampingi Amirul
mu’minin, sungguh aku akan melakukannya”.
Rumah tangga mereka begitu romantis, akan
tetapi bukan berarti tanpa ujian. Dimana ketika di Madinah, mereka memilki
budak perempuan yang sangat cantik, sehingga Umar pun menyukainya, dan meminta
izin kepada Fathimah untuk menikahinya. Namun Fathimah tidak mengizinkannya.
Namun ketika kondisi kesehatan fisik Umar semakin buruk lantaran beban amanah
yang dipikulnya dan kurangnya makan, minum, dan istirahat, Fathimah pun ingin
memberi hadiah yang dengan itu ia berharap kondisi suaminya semakin baik. Maka
ia pun meminta Umar untuk menikahi budak yang dicintainya. Namun setelah Umar
memanggil budak itu, ia malah menikahkannya dengan seorang pria yang shalih. Budak
perempuan heran dan bertanya kepada Khalifah alasan dari keputusannya itu. Maka
Umar pun menjawab bahwa ia khawatir tidak dapat membahagiakannya karena kondisi
saat itu sudah berbeda dengan kondisinya ketika berbahagia bersama Fathimah. Dengan
menikahkannya dengan seorang laki- laki yang shalih, ia berharap budak itu bisa
lebih bahagia, walaupun saat itu Umar masih sangat mencintai budak perempuan
tersebut.
Suatu ketika Fathimah pernah menggambarkan suaminya,
“Memang ada orang- orang yang mereka ahli sholat, shodaqoh, yang dengan itu
mereka bisa masuk surga-Nya, akan tetapi aku bersumpah atas nama Allah tidak
pernah aku melihat sosok yang memiliki rasa takut yang begitu besar kepada-Nya
lebih dari Umar bin Abdul Aziz, dimana setiap kali ia mendengar ayat Al Quran
tentang kepemimpinan, tentang pertanggungjawaban, surga dan neraka, kecuali ia
akan menggigil seperti burung dilandai badai, kemudian ia pingsan dan menangis”
Rasa takut Umar bin Abdul Aziz pun juga nampak
ketika setiap malam ia begadang untuk mengurus urusan rakyatnya, dan ia
menggunakan lampu yang merupakan fasilitas negara. Maka jika lampu tersebut
tidak lagi digunakan untuk urusan negara maka ia akan mematikannya. Begitu pula
ketika ada rakyatnya yang datang di malam hari, maka ia akan ditanya: “Apakah
yang diadukan masalah pribadi atau masalah negara”, jika masalah pribadi maka
Umar akan mendengar dan menanggapinya tanpa menggunakan lampu tersebut.
Rasa takutnya juga membuat Umar benar-
benar hidup sangat sederhana selama ia menjabat jadi penguasa dan khalifah. Suatu
ketika disaat menjelang kematian Umar bin Abdul Aziz, Umar menghitung harta
yang dimiliknya, maka setiap putrinya hanya akan mendapat 8 dirham. Maka
Maslamah bin Abdul Malik, adik bungsu Fathimah -yang merupakan pengusaha kaya
yang tidak sama sekali mengingunkan tuk jadi penguasa-, yang kala itu berada
disamping Umar mengungkapkan keprihatinannya dan anak-anaknya, lantaran dahulu
Abdul Malik ketika meninggalkan putra dan putrinya masing- masing mendapat
harta 40 juta dinar. Karena keprihatinan itu Maslamah ingin memberikan sejumlah
harta kepada putri- putri Umar, namun Umar menolak, dan dengan penuh keyakinan
ia mengatakan bahwa putri- putrinya telah ia titipkan kepada Dzat yang jauh
lebih kaya dari dirinya, yaitu Allah swt.
Fathimah sosok pendamping khalifah terbaik
di masa Umayyah, masa keemasan dan kejayaan Islam, dimana di saat itu tidak ada orang yang mau
menerima zakat, keberkahan dan keadilan pun tersebar, bahkan serigala pun tidak
mau memangsa domba- domba.
Ia juga ibu suri yang menjadi rujukan bagi
para Khalifah berikutnya, baik itu adik-adiknya, juga para keponakannya. Hal
itu menunjukkan kecerdasan, kepedulian, kebijakan, serta rasa percaya yang
begitu besar yang telah diberikan keluarga Khalifah terhadap dirinya.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa:
1. Seorang
perempuan sholihah, cerdas akan senantiasa berusaha untuk mendampingi suaminya
dalam ketaatan dan perjuangan, juga menjalankan amanah- amanah besar di tengah
umat, serta mendidik putra putrinya agar menjadi sosok yang bertaqwa,
menegakkan amar ma’ruf nahi munka, serta hidup sederhana meskipun mereka dari
kalangan terpandang. Selain itu juga berusaha mengambil peran untuk menegakkan
amar maruf kepada orang- orang di sekitarnya, sekalipun mereka adalah para
penguasa.
2. Kehidupan
para penguasa di dalam Islam memang tidak seharusnya dengan penuh kemewahan
yang berelebihan sehingga memalingkan ia dari tanggung jawabnya, silau terhadap
dunia, juga tidak memiliki keprihatinan kepada rakyatnya
3. Sosok
pemimpin yang bertaqwa, adil, faqih fi diin tentu sangat dibutuhkan oleh umat,
dan tak akan lahir kecuali dari ibu, juga keluarga yang mendidiknya, juga
pasangan yang taat senantiasa mendampinginya untuk menjalankan amanah besar
tersebut.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar