Pages

Rabu, 24 Januari 2024

Sultan Agung: Sang Pemimpin dan Pengobar Jihad di Bumi Mataram

Melahirkan generasi pejuang memerlukan kesungguhan, pengorbanan, juga metode yang tepat. Dengan belajar sejarah, kita akan mengerti bagaimana perjuangan, kesungguhan dan motode yang digunakan generasi dahulu dalam melahirkan para mujahid, pemimpin, juga alim ulama yang berpengaruh, serta memiliki peran dalam menjaga serta menyebarkan ajaran Islam.

Film “Sultan Agung” adalah salah satu film sejarah yang menggambarkan bagaimana Sultan itu dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan ditempa dengan berbagai macam pendidikan oleh guru- guru terbaik yang dipilihkan oleh orangtuanya, sehingga menjadikannya sosok pemimpin yang berilmu, memiliki keimanan yang kuat, kepribadian yang kokoh, dan mental baja sehingga mampu untuk memegang amanah kepemimpinan tersebut, serta memegang teguh kedaulatan Islam, dan bersikap tegas terhadap penjajah yang merupakan musuh Islam, dimana mereka mengancam kaum muslimin, kekuasaan serta kekayaan negerinya.

Terlepas dari ada tidaknya penggambaran yang mungkin kurang sesuai, atau penokohan yang kurang menampakkan ajaran Islam, tapi banyak hal yang bisa kita petik dari film sejarah ini. Terlepas dari sumber sejarah yang mungkin lebih utama dan lengkap dari film, yakni seperti buku, namun dari film berdurasi sekitar 2,5 jam ini kita bisa mengambil beberapa pelajran, diantaranya:

1.         Menghormati dan mematuhi guru adalah perkara penting. Tapi tidak boleh sampai melampui batas, seperti mentaqdiskan (mensucikan, sehingga menganggap guru tersebut tidak memiliki salah atau dosa apapun).

2.         Pendidikan yang baik biasanya diperoleh jauh dari pusat pemerintahan dan kekuasaan, dimana bisa belajar adab, kesederhanaan, bersosialisasi dan mengenal rakyat kecil, juga belajar ilmu- ilmu dasar yang harus dimiliki.

3.     Anak yang memiliki nasab yang baik harus dididik dengan penuh ke-tawadhu’an terhadap siapapun. Nasab tersebut tidak perlu disebut- sebut di hadapan anak dalam rangka untuk membanggakan diri, sehingga bisa menimbulkan kesombongan dan keangkuhan ketika bergaul dengan orang lain.

4.      Menjaga pergaulan harus ditanamkan sejak kecil, dan lebih ketat lagi ketika menjelang masa baligh, karena hal itu akan menyebabkan semakin berkobarnya gharizah nau’ jika hal itu terus dibiarkan.

5.     Ketika seseorang diberi amanah kepemimpinan, maka harus memandang amanah itu sebagai sebuah tanggung jawab yang besar yang akan ditanya oleh-Nya. Jika pada akhirnya harus mengambil amanah tersebut, maka harus difahami bahwa semua itu semata- mata tuk menjalankan perintah-Nya dan untuk menjaga penerapan Islam serta menjaga persatuan ummat agar tidak terpecah belah akibat adanya penjajahan.

6.   Merupakan suatu hal yang baik bagi seorang pemimpin adalah mendengarkan orang- orang yang memiliki pengalaman dalam menjalankan atau mengambil keputusan yang besar. Akan tetapi jangan sampai disetir dan dikendalikan, melainkan untuk menjadi pertimbangan.

7.     Mengusir penjajah adalah sebuah keharusan, bukan hanya dengan landasan cinta akan bangsa atau tanah air, namun adalah bagian dari perintah Islam untuk melakukan jihad difensif (difai), atau mempertahankan serangan musuh Islam dari luar, dimana serangan itu mengancam kedaulatan, keamanan, persatuan, dan kepemimpinan negeri Islam.  

8.   Jihad itu memperlukan persiapan, namun jumlah serta persenjataan yang tidak sebanding dengan musuh bukan menjadi suatu alasan untuk meninggalkan medan jihad.

9.     Ketaatan kepada pemimpin adalah perkara yang wajib, penting, juga menjadi kunci keberhasilan dan persatuan. Dan sebaliknya, jika tidak ada ketaatan maka yang terjadi akan memicu munculnya para pengkhianat, baik dengan niat yang benar ataupun salah, dimana hal itu bisa menimbulkan kelemahan dan terpecah belahnya barisan kaum muslimin.

10.    Seorang pemimpin harus mampu memiliki cara pandang yang jauh dan panjang, serta memiliki ketegasan tanpa mengabaikan adanya masukan. Namun harus dibarengi kesadaran yang penuh, sehingga tidak disetir oleh orang- orang yang ada di sekelilingnya.

11. Ketika kaum muslimin kalah dalam peperangan bukan berarti seorang pemimpin telah mengorbankan nyawa rakyatnya dalam pertempuran tersebut. Karena seorang muslim meyakini bahwa kematian dalam medan perang adalah sebuah kemuliaan, karena dengan syahid dia akan mendapatkan surga tanpa hisab. Dan akhir dari jihad tak lain adalah dengan menang dengan kemuliaan atau mati dalam kondisi syahid.

12. Seorang ibu memiliki pengaruh besar bagi anak-anaknya, mulai dari mendidik, meyakinkan, memotivasi, menanamkan visi, serta mendukung juga menasehatinya, terutama jika ia telah mendapatkan suatu amanah yang besar, yang semua itu akan menjadi ladang pahala baginya.

13.  Seorang pemimpin yang memiliki iman dan kecerdasan akan berusaha mepersatukan kekuatan kaum muslimin yang terpecah belah dan menyadarkan saudaranya agar tidak rela jika dipermainkan atau diperbudak oleh para penjajah

14.  Melawan para penjajah dengan keberanian akan menanamkan rasa takut kepada mereka, yang dampaknya tak hanya saat itu, tapi juga pada masa- masa atau generasi- generasi setelahnya.

15.    Seorang pemimpin juga harus memikirkan bagaimana membangun serta mempersiapkan generasi yang bisa melanjutkan estafet perjuangan dan kepemimpinan, baik itu dari anaknya sendiri atau dari generasi yang ada di dalam wilayah kepemimpinannya.

16.    Wilayah Nusantara adalah wilayah yang tidak terpisah dari kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah di tahun 1960 an. Dimana ketika itu dipimpin oleh Sulthan Orhan, yang kemudian mengakui kepemimpinan Sultan Agung untuk wilayah Mataram.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar