Hati ini terasa teriris. Mata ini tak sanggup menahan air mata. Hati ini selalu tak kuat melihat penderitaan dan kesengsaraan yang tak kunjung berubah. Para ibu berpakaian sempurna. Menutup aurat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menggendong bayi yang cantik dan lucu. Menbawa beberapa bungkus tisu yang di genggam dalam plastik hitam yang sudah lusuh. Pakaiannya yang hitam-hitam itu nampak berdebu. Angin yang menerbangkan butiran-butiran debu itulah yang menjadikan jilbab ibu itu kotor. Waktunya lebih banyak di jalanan. Mencari receh demi receh geneh untuk perutnya dan perut bayinya.
Aku hampir tak pernah berburuk sangka kepada mereka. Dan aku ingin sekali memberikan siapapun itu yang meminta-minta. Namun, tak mungkin jika semua yang meminta harus aku beri. Ketika aku tak mampu hanya doa lirih yang terbesit dalam dada. "Ya Allah mudahkanlah urusan ibu itu dan kekuarganya. Lapangkanlah rezekinya. Aku tak bisa memberi apa-apa, sedangkan Engkau Maha Kaya"
Mesir. Kau memperlihatkanku bahwa di negeri ini pun banyak sekali kemiskinan. Anak-anak yang masih kecil berumur mungkin 5 atau 6 tahun sudah harus menjelajahi bus demi bus untuk menjual tisu demi recehan yang bisa membantu kedua orangtua. Atau memberi sesuap untuk saudaranya. Anak berumur 10 tahun yang setiap pagi saat aku berangkat kuliah sudah berada di toko buah untuk menata buah-buahan itu. Hingga malam. Saat aku pulang, ia pun masih disana. Mereka tak mengenyam manisnya pendidikan. Hanya sesekali aku melihat mereka tertawa dan bermain dengan teman sebayanya yang sama-sama menjadi pekerja di tempat itu. Baju mereka lusuh, dan hampir tak terhitung berapa hari atau minggu mereka tak ganti.
Tak hanya anak kecil. Bapak-bapak tua yang sudah beruban pun banyak. Yang menggunakan tongkat atau kursi roda. Badan mereka membungkuk, tangannya menengadah. Tak sedikit yang tetap menawarkan tissue kepada siapapun yang melewatinya. Ada pula kakek yang berjualan jeruk nipis dalam plastik-plstik kecil. Duduk diatas alas plastik di pinggir jalan yang penuh debu. Aku bertemu dengannya setiap pagi. Dan hingga malam saat aku pulang, tak jarang masih berada di tempat yang sama. Kakek itu mungkin tak ingin meminta-minta, tapi ingin berusaha untuk mencukupi hidupnya dengan berjualan jeruk-jeruk kecil itu. Tangannya tak pernah menengadah untuk meminta. Pandangannya lurus ke jalan, tangannya nampak memegang tasbih. Kepalanya yang menggunakan sorban putih sudah lusuh itu terkadang menunduk. Tubuh kurusnya dibalut jubah putih yang sudah mulai berubah menjadi coklat.
Hampir setiap kali aku naik bus merah 80/ selalu bertemu dengan anak kecil yang mungkin berumur 9 atau 10 tahun. Mungkin sebesar adikku. Memberikan secarik kertas yang bertuliskan arab. Memohon bantuan untuk biaya pembelian obat untuk uminya atau saudaranya. Atau biaya untuk membayar igar sewa rumah mereka yang belum terbayarkan karena orangtuanya sakit sehingga tak bisa bekerja. Setiap kali aku mendapat kertas itu, tak perlu dibaca aku sudah hafal apa yang ia katakan dalam tulisan itu. Nenek-nenek yang membagikan kertas tebal yang bertuliskan "Adzkar Rasululullah" atau kumpulan dzikir-dzikir Rasulullah itu juga hampir setiap hari ketemui. Jalannya yang terseok-seok, pakainnya yang tak pernah ganti, dan wajah keriputnya membuatku selalu iba. Tapi ada daya.
Belum lagi di sepanjang jalan menuju gerbang Kampus banat (akhwat). Berjajar rapi beberapa penjual tisu, penjual permen, penjual pulsa, atau peminta-minta. Mulai dari kakek tua yang bungkuk dan tak mampu berjalan kecuali menggunakan tongkat, bapak tua yang menggunakan kursi roda karena kakinya lumpuh, ibu yang memangku bayi mungilnya, hingga anak kecil yang tampak sangat kotor. Mereka mungkin berumur 4 atau 5 tahun. Berjalan mondar-mandir menawarkan tisue kecil itu kepada mahasiswa dan mahasiswi. Berteriak sambil mendoakan "Tanjah Ya Rabb,
Tanjah Ya Rabb... ", (Semoga sukses Ya Rabb). Berharap belas kasihan dan kemurahan hati yang didoakannya.
Suatu saat pun aku pernah menemukan kakek tua yang tidur terlentang di atas tanah bersemen, menuju kampus. Padahal saat itu sudah masuk musim panas. Pukul 9 pagi seperti tengah siang di negeri kita. Tanpa alas apapun. Nampak begitu nyenyak karena kelelahannya. Di sekelilingnya terdapat makanan, dan botol minum. Dan aku yakin itu pemberian orang yang melewatinya.
Belum lagi pedagang asongan yang selalu ada jika kami naik bus besar. Jurusan manapun. Sedekat apapun. Mulai dari penjual sisir, penjual headset, sikat gigi, pulpen dan pensil, tas kain, coklat, cemiti, makanan ringan dan banyak lagi. Mereka tak pernah menjual dengan harga tinggi. Mereka hanya mengambil laba yang sangat sedikit. Berharap banyak yang tertarik.
Hanya doa. Allah yang Maha Kaya sebagai satu-satunya tempat mengadu. Memohon kepada-Nya agar melapangkan semua kesulitan orang-orang itu. Berharap dengan penuh ketundukkan agar segera mendatangkan janji-Nya. Mendatangkan pemimpin yang adil, yang mau berhukum dengan hukum-Nya. Yang tak pernah luput untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya.
Pemimpin adil. Aku rindu pemimpin layaknya Umar bin Khattab. Yang tak mampu tertidur sebelum memastikan bahwa rakyatnya tidak ada yang kelaparan. Umar bin Abdul Aziz yang hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan, sedangkan rakyatnya selalu merasa tercukupi dan sejahtera.
Iya. Dimanapun kita berada. Selama Islam belum menjadi landasan dan sistem hidup ini, sejatinya sama saja. Jika di negeri kita pengemis itu berpakaian compang camping, terbuka auratnya, bahkan tak sedikit orang gila yang telanjang. Bedanya disini, mereka menutup aurat, memakai jilbab dan kerudung, bahkan memakai niqob. Tapi tetaplah sama. Mereka juga miskin, kotor, kelaparan, dan banyak pula yang tak berpendidikan.
Selain doa tentu harus ada usaha lain yang lebih konkret. Da'wah. Tak ada kata lain. Walau hanya dengan goresan kata-kata sederhana, atau memberi nasehat dan memahamkan saudara juga teman kita sedikit demi sedikit. Da'wah lah yang akan mengembalikan kemuliaan Islam. Menjemput janji-Nya dengan memantaskan diri di hadapan-Nya. Menjalankan segala kewajiban dan amanah dengan kesungguhan.
Sungguh mereka hanya membutuhkan pemimpin adil, yang hanya akan ada jika Syariah Islam diterapkan dalam setaip hembus nafas kita.
Wallahua'lam bish Showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar