#Rihlah_6
Sebuah perjalanan tafakur. Sebelum menghadapi ujian semester dua. Aku hanya meniatkan untuk menuntut ilmu dengan melihat apa yang Allah hamparkan di bumi para nabi ini. Aku hanya ingin memecut diriku dengan mentadabburi alam ini. Untuk belajar, lillahi ta'ala. Bukan untuk senang-senang atau cari-cari kesempatan. Jika memang ada keinginan bertemu atau mengobrol dengan laki-laki mudah saja kesempatan rihlah seperti ini. Tapi tidak, apa yang aku lakukan harus menambah ilmu serta iman.
Bismillah. Berangkat dari Hay Asher setelah berkumpul di depan Kusyari Syaikh (rumah makan) kami menuju Ramsis dengan naik tremco.
"Kam wahid ya ashtoh?", salah satu kakak pantia bertanya.
"Arba'ah"
"Arba'ah? Laisa tstatsah wa nush?"
"Laa.. arbaah kulla wahdah"
"Mesyi.." berhubung sudah siang, dan kami harus segera berkumpul di Ramsis untuk naik metro (kereta) menuju Madinah Futhath, kami mengalah yang penting segera sampai. Tidak ingin debat
Sekitar setengah jam perjalanan, kami sampai di Ramsis, berkumpul di sebuah tanah lapang yang banyak orang berkumpul, bercanda, berjualan, dan duduk bersantai-santai. Hari itu hari libur Nasional. Jadi semua keluar untuk berkumpul serta bermain. Kami terpisah antara laki-laki dan perempuan walapun hanya beberapa meter saja. Tapi tak ada komunikasi sedikitpun. Aku dan dua temanku sengaja menyendiri, untuk menghindari ikhtilat. Dua teman yang sebenarnya juga belum lama kenal, tapi karena sudah faham jadi mudah saja untuk diajak berhati-hati. Teman-teman banyak yang foto selfie dengan berbagai gaya. Sedangkan banyak laki-laki yang bisa melihat tanpa penghalang sesikitpun.
Setelah semua bekumpul, kami diberi makan, tiket metro, intruksi, dan modul sebagai ma'lumat tempat-tempat yang akan kita kunjungi. Pertama kawasan Margirgis yang disana terdapat Nilometer, Masjid Amru Bin Ash, Gereja Margirgis, Gereja Gantung, Synagog Ben Ezra. Terkahir di kawasan El Ma'adi kita akan ke sungai nil untuk naik kapal saat sunset.
Kami menuju stasiun ash-Shuhada yang tak jauh dari tempat kami berkumpul. Kami menggunakan salah satu tiket dari tiga tiket yang sudah dibagi panitia. Setiap tiket itu akan berfungsi untuk masuk di stasiun keberangkatan dan untuk keluar stasiun tujuan. Dengam konsep seperti itu keamanan pasti terjaga ketat. Dan tiket kertas kecil itu harus kami jaga selama perjalanan. Sampai di stasis Al-Marjijis (El Margirgis) yaitu stasiun yang ketujuh dari Ash-Shuhada' kami turun, kami turun dan berjalan menuju Nilometer. Belum lama kami berjalan hamparan sungai Nil sudah berada di hadapan kami. Sungai itu. Tempat nabi Allah yang berkali-kali disebut dalam Al Quran dihanyutkan saat masih bayi.
Aku ambil gambar dua kali disitu. Sungai Nil dan sebuah menara mirip kubah yang bergaya ukiran. Unik walau sepertinya tidak terlalu terawat. Nilometer pun sudah nampak. Bangunan kerucut yang dibawahnya kotak, dan dalam seperti sumur. Kami masuk bergantian. Disana kami mendapat penjelasan siapa yang membuat, apa fungsinya, dan bagaimana penggunaannya. Gaet yang menjelaskan berbahasa Fushah walau sedikit bercampur amiah. Banyak hal yang kudapatkan, apalagi sebelumnya sudah sedikit mendapat ma'lumat yang dalam modul rihlah itu.
Nilometer adalah sebuah bangunan yang berfungsi untuk mengukur deras air nil yang ada. Ia terletak di tengah-tengah sungai Nil yang tak jauh dari jalan besar. Bangunan yang mirip sumur besar dan luas ini memiliki sebuah tiang besar di tengahnya. Tiang tersebut memiliki 19 ruas, yang masing-masing ruasnya setara dengan satu hasta. Kedalamannya sekitar tiga lantai, yang pada lantai terbawah terdapat sebuah jendela yang bisa dibuka, untuk masuknya air Nil. Jika air yang masuk tersebut mencapai sekitar 14 hasta, maka itu pertanda bahwa air Nil sedang deras dan siaga kebanjiran. Sedangakan normal nya adalah angka 11 ruas. Jika hanya mencapai 8 ruas, maka itu menunjukkan bisa mendekati kekeringan.
Nilometer ini dibangun oleh Ahmad bin Muhamad Al Hasib pada tahun 861 Masehi pada zaman ke khilafahan Abasiyah, oleh seorang arsitektur bernama Abu Al-Abbas Ahmad Al Fargani dari Turkistan. Seorang ahli astronomi atau disebut ahli nujum. Walau pun sebelumnya sudah ada sejak zaman Umayyah namun mengalami kerusakan dan kehancuran karena banjir besar.
Nilometer ini memang sudah tak difungsikan lagi, namun hal ini menunjukkan bahwa sejak Islam masuk di dalam Negeri ini, Nilometer ini menjadi bukti bahwa teknologi pengairan dan pengendali banjir sudah sangat maju.
Kemudian kami menapaki tangga turun untuk bisa mengetahui kedalamannya. Berdebu dan tak ada pegangan sedikitpun. Jika tak berhati-hati bisa terpeleset kebawah.
Dan yang menurutku menarik adalah atap kerucut itu. Walaupun dari luar nampak biasa saja, tapi di dalamnya sangat indah. Penuh ukiran unik yang dengan warna berkilau mirip emas.
Setelah itu kami keluar dan beristirahat sampai menunggu waktu sholat dzuhur. Untuk dokumentasi, semua berfoto bersama. Tapi aku menghindar, cari-cari alasan agar tidak ikut foto bersama. Bagaimana mungkin disana banyak ikhwan, artinya jika aku ikut bisa jatuh pada ikhtilat. Usai foto, aku dan tiga teman baruku mencari tempat yang nyaman, tak panas, dan jauh dari banin. Kami mengambil sebuah tempat di atas rerumputan. Tepat di bawah pohon yang cukup rindang. Disana kami bercerita dan saling berkenalan. Dan karena panitia menyarankan kita untuk makan, akhirnya kami makan walau belum lapar dan belum waktu makan siang. Karena setelah itu kami akan keliling ke semua tempat yang menjadi tujuan. Sehingga kemungkinan besar tidak lagi bertemu waktu untuk istirahat apalagi makan.
Usai sholat Jumat, kami berkumpul kembali untuk breafing. Kami dibagi menjadi empat kelompok. Yang setiap kelompok terdapat satu ketua dan satu kakak panitia. Dari empat tempat yang akan dituju, maka keempat kelompok tersebut diacak untuk bergiliran mendatangi tempat tersebut. Dan aku mendapat kelompok keempat, walaupun pada akhirnya aku mengikuti kelompok ketiga, karena ketiga teman ku disitu.
Masjid Amru bin Ash
Pertama kami ke Masjid Amru bin Ash. Masjid tertua di Mesir dan di Afrika. Desain masjid itu tak berbeda jauh dengan Masjid Azhar. Dari depan nampak seperti benteng. Bangunan itu berbentuk persegi, yang semua sisinya adalah ruangan sholat. Untuk sayyidat (perempuan) berada di sebelah kiri dengan ditutup hijab kayu tinggi. Dan di tengahnya terdapat halaman luas, yang terbuka tanpa atap. Tepat di tengah halaman itu terdapat kubah yang dibawahnya menampung air untuk berwudhu juga bisa untuk menghilangkan dahaga.
Masjid Amru bis Ash ini didirikan oleh Amr bin Ash saat pertama kali menaklukkan Mesir di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menjadikan Kota Fusthat yang pertama didirikan itu sebagai ibukota Mesir. Pada saat ini bangunan asli Masjid sudah tidak dipakai, karena mengalami berbagai perluasan dan renovasi. Masjid ini memiliki peran yang besar pada masa Islam. Sebelum Azhar berdiri pada masa Fathimiyah, masjid ini menjadi pusat ilmu yang disanalah para imam dan ulama mencurahkan ilmu mereka kepada para muridnya. Salah satunya adalah Imam Syafi'i. Setelah menyebarkan madzahbnya di Iraq, beliau pergi ke Fusthat untuk mengajar serta menyebarkan madzab nya di Kota ini.
Terdapat kisah menarik yang ada dibalik pembangunan masjid ini. Pada awal pembangunannya, rumah Amr bin Ash sebagai tanah yang akan dijadikan masjid berdampingan dengan rumah seorang nenek tua beragama Yahudi. Kemudian beliau meminta nenek itu agar mau memberikan tanah rumahnya untuk dijadikan masjid, namun nenek tersebut menolak dan Amr bin Ash pun marah. Maka, tanpa ragu nenek itu pergi ke Madinah untuk melaporkan tindakan gubernur Mesir ini kepada sang Khalifah. Setelah melaporkannya maka Umar meminta sebuah tulang dan dia menggoreskan sebuah garis di atas tulang tersebut dengan pedangnya yang tajam. Kemudian ia memerintahkan kepada nenek tersebut agar memberikan tulang itu kepada Amr bin Ash.
Saat menerima pesan itu seketika beliau terkejut, dan menangis. Maka beliau pun memerintahkan para sahabat untuk menghentikan pembangunan masjid itu. Dan ia meminta maaf kepada sang nenek tua. Ia pun bertanya apa yang terjadi padanya. Maka ketika tau bahwa maksud dari goresan pada tulang itu adalah sebuah peringatan keras untuk Amr bin Ash, bahwa nyawa nya akan habis di tangan Khalifah jika ia berbuat seperti itu, maka nenek tersebut sangat kagum dan heran dengan kebijakan sang Khalifah. Kebijakan yang sangat adil walau ia bukan seorang Muslim. Akhirnya ia rela menyerahkan tanah rumahnya untuk membangun masjid.
Hal ini hanyalah salah satu bukti keadilan Islam dalam mengurus rakyatnya. Selama ia tunduk pada Daulah, maka apapun agamanya, maka akan dijaga dan dihormati. Mendapatkan hak yang sama tanpa ada pemaksaan untuk masuk Islam.
Setelah dari Masjid ini, kami terpecah menjadi beberapa kelompok yang kemudian untuk mendatangi Gereja Margirgis, Gereja gantung dan Synagog Ben Ezra. Gereja Margirgis ini adalah tempat ibadah umat Kristen Katholik. Disana juga terdapat museum, dan sudah sejak lama dijadikan objek wisata tanpa dipungut biaya sedikitpun. Namun, karena masih digunakan untuk beribadah hingga saat ini, aku tidak terlalu masuk ke ruangan ibadah nya. Aku hanya masuk ke museum dan menunggu dr teman-teman di luar. Jangankan untuk berfoto, atau mengambil gambar ruangannya, untuk melangkah masuk saja aku sudah tak tenang. Walaupun hari itu tak banyak yang beribadah, tapi tetap saja jika memasukinya adalah perkara yang dilarang dalam Islam, maka tak perlu ada penyesalan atau rasa penasaran untuk memasukinya.
Gereja ini cukup besar dengan dengan anak tangga yang cukup banyak. Jika tak ada salib diatasnya lebih mirip dengan masjid yang berkubah dengan menara yang menjulang di sebelah kirinya. Berwarna putih dengan patung besar yang berada di depannya.
Setelah itu kami ke Gereja Gantung atau dalam bahasa arab El-Mu'alaqoh yang artinya tergantung atau melayang. Hal ini dikarenakan bangunannya tidak diatas pondasi layaknya bangunan pada umumnya, namun ia berada di atas benteng Babilonia. Gereja ini adalah gereja Kristen Koptik yang cukup terkenal di Mesir, karena Kristen Koptik adalah agama mayoritas penduduk Mesir ketika kaum Muslimin belum menaklukkan dan menyebarkan dakwah di negeri ini. Ia juga punya makna-makna lain, yaitu Gereja Sitt Mariam, atau St. Mary.
Lagi-lagi, karena masih digunakan untuk beribadah, aku memutuskan untuk tidak masuk ke dalan ruang ini untuk ibadah. Aku berdiri di lorong dan halamannya saja. Melihat figura-figura yang dipajang. Koleksi-koleksi buku dan aksesoris umat Kristen yang dijual. Figura-figura foto itu rupanya para nabi menurut keyakinan mereka. Juga puluhan atau bahkan ratusan pendeta pun terpampang fotonya sejak berabad-abad yang lalu. Dalam satu figura bisa terdapat puluhan foto pendeta dan itu dalam satu abad saja. Ketika aku asik membaca tulisan-tulisan arab pada pajangan-pajangan itu, tiba-tiba aku mendengar orang berbicara dengan bahasa indonesia.
"Yang disana itu para pendeta pada tahun sekian... sekian.."
Aku kaget seketika. Aku yakin jika itu teman-teman yang sudah keluar. Tapi setelah aku lihat ke belakang, ternyata orang Mesir yang sedang menjelaskan ibu-ibu dan bapak-bapak berwajah asia setengah china. Mereka pun saling bersaut-sautan dengan bahasa indonesia khas Jakarta. Pada awalnya aku mengira mereka dari China atau Thailand, tapi percakapan mereka tak sedikitpun menampakkan bahasa Melayu. Aku benar-benar faham apa yang mereka katakan.
Mereka rombongan yang cukup banyak. Aku bisa menyimpulkan bahwa mereka adalah para penganut Kristen dari Negeri kami. Yang sedang berlibur ke Mesir mungkin, dan mengunjungi tempat bersejarah. Beberapa dari mereka melihatku keheranan. Hanya aku sendiri yang menggunakan pakaian lengkap penutup aurat, karena di sekitarku tak ada yang Muslim. Aku berlagak tak peduli dan pura-pura sibuk membolak-balik ensiklopedi yang ada di galeri tersebut. Berharap teman-teman segera keluar dan pergi dari tempat itu. Sekitar lima belas menit akhirnya mereka keluar bergerombol. Kami segera keluar dari keramaian itu. Belum puas ternyata. Masih banyak yang ingin berfoto di tempat itu.
Terkahir kami mengunjungi Synagog Ben Ezra. Sebuah tempat peribadahan orang Yahudi yang sudah tak lagi dipakai. Jauh lebih kecil dari kedua gereja sebelumnya, dan letaknya sangat di dalam. Harus melewati gank-gank kecil, toko-toko. Tempat ini lebih ketat, terdapat beberapa polisi yang menjaga dan kami dilarang mengambil gambar sedikitpun.
Karena penganut Yahudi sudah tak ada lagi di dalam negeri ini, maka sudah lama pula tempat itu hanya dijadikan objek wisata. Mereka diusir dari negeri ini, sehingga yang masih tetap menganut agama tersebut harus sembunyi-sembunyi.
Ada satu hal yang menarik dari tempat itu. Tepat di belakang bangunan Synagog ini, terdapat sebuah sumur yang disanalah bayi Musa disembunyikan oleh ibunya saat tentara Fir'aun sedang melacak penduduk Mesir yang memilki bayi laki-laki agar diserahkan dan dibunuh. Setelah tentara itu pergi, maka dengan ilham dari Allah ibu Musa meletakkan bayi itu ke dalan sebuah kotak dan menghanyutkannya di sungai Nil.
Setelah adzan Ashar berkumandang, kami melanjutkan perjalanan ke El-Ma'adi, tempat pusat Nil yang dijadikan objek kunjungan. Kami kembali ke stasiun El-Margigis mengambil arah yang berseberangan dari tempat kami turun. Ada tiga stasiun yang kami lewati, hingga sampai di El-Ma'adi. Maka total sepuluh stasiun yang sudah kami lalui sepanjang hari itu. Beruntung sekali metro itu benar-benar dipisah antara penumpang laki-laki dan perempuan. Jadi, sepenuh apapun metro itu, walau berdesak-desakkan kemungkinan pelecehan layaknya di kendaraan lain sangat kecil. Tapi anehnya penjual masih boleh masuk ke dalam kendaraan yang cukup mewah dibandingkan bus merah favorit mahasiwa Indonesia. Mulai dari penjual pensil, alat pengupas kulit buah, penjual permen, kaos kaki, hingga tas plastik pun ada. Dan banyak dari mereka laki-laki.
Sekitar 16.30 kami sampai di stasiun El-Ma'adi. Karena kami ketinggalan rombongan pertama, maka tidak ada satupun panitia yang ada dibayar rombongan kami. Syukurnya kami tak semua perempuan, ada beberapa laki-laki walaupun semua adalah maba. Dengan mengira-mengira, beberapa kali salah jalan, dan bertanya, akhirnya ditemukan jalannya. Kami ke masjid terlebih dahulu untuk sholat Ashar.
Dari masjid itu kami berjalan lagi sekitar sepuluh menit menuju sungai Nil.
"Subahanallah..ini ternyata sungai dimana nabi Musa dihanyutkan", fikirku. Keindahannya semakin terlihat saat senja seperti itu. Beberapa macam perahu berada disana, walau masih bisa dihitung jari. Mulai yang berlantai dua untuk para pariwisata, atau perahu kayu yang menggunakan mesin, juga ada yang masih menggunakan kain sebagai layar. Kami menyewa empat perahu, yang masing-masing bermuat untuk sekitar 20 orang.
"Alhamdulillah..banin disini semua maba", bisikku dalam hati. Tak banyak bicara, mengajak ngobrol, apalagi bercanda yang berakhir banyak buat gombalan. Aku pun tak banyak bicara. Aku hanya melihat matahari yang semakin hilang sinarnya dan bolanya. Di barat sana. Angin tak terlalu kencang. Dan kebanyakan dari teman-teman sibuk dengan handphone mereka. Buat siaran langsung di instragam, foto selfie atau sekedar ambil gambar pemandangan. Aku sengaja menyimpan handphone di dalam tas. Ingin menikmati dan memikirkan apa yang kulihat.
Aku hanya berharap. Perjalanan itu tak hanya mengusir rasa penat di Kairo, aku ingin mendapatkan ilmu juga menambah keimanan dengan melihat ciptaan-Nya. Niat itu Allah kabulkan. Beruntung empat perahu yang kami sewa berjalan bersamaan. Sedangkan perahu yang tepat berada di samping perahu yang kami naiki ada seorang kakak senior yang sangat berpengalaman dan bercerita banyak hal tentang Islam dan Mesir. Beliau menjelaskan tentang Piramyda dan Firaun, para Nabi yang pernah menginjakkan kaki di Mesir, Sinai, Luxor, Dymiat, Fusthat, Matruh Siwa, Alexandria, Gaza, dan kondisi kaum Muslimin disana. Satu hal yang sangat kuingat dan berbekas itu ketika beliau menjelaskan Gaza dan Masjidil Aqsha.
"Ketika saya pergi ke Gaza tahun 2013 untuk memberi bantuan, saya bertanya kepada salah satu warga Gaza. Mengapa hingga saat ini hanya Gaza yang tak pernah berhasil ditaklukkan oleh Yahudi can para zionis. Mereka hanya menjawab "Ujibu da'wata da'i idza da'aan....."
"Gaza itu bagian dari kita. Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha adalah milik kita, kaum Muslimin. Maka ketika Masjidil Aqsha diusik, maka seharusnya kita merasa terganggu juga.."
Kata-kata itu menusuk. Sungguh tak kuat menahan airmata. Tak terasa langit sudah gelap. Hampir pukul tujuh malam. Artinya kami harus segera menepi, karena aqad kami hanya sampai pukul tujuh malam. Beliau menutup kisah itu dengan sebuah kalimat "Semoga pertemuan kita tak berhenti disini. Semoga Allah mengumpulkan kita lagi di surga"
Ya Rabb..
Dua perahu kami hingga mendarat tak berpisah, sehingga penjelasan beliau tak terpotong. Kami yang berada di dua perahu itu layakanya menyimak dongeng dari seorang ahli pendongeng. Banyak yang bertanya dan semakin penasaran. Sedangkan dua perahu yang lain memsihkan diri untuk menuju ke tepi darat. Dan itu memang kehendak bapak nahkoda.
Kami pun mendarat. Sungguh diri ini semakin terpecut. Betapa banyak ilmu yang belum didaptkan. Betapa banyak buku yang harus dilahap. Mesir menyimpan sejuta kisah para Nabi, perjuangan mereka, dan kekuasaan Allah yang banyak disebut dalam firman-Nya. "Mesir memiliki literatur sejarah manusia dan peradabannya yang sangat lengkap. Maka jangan sia-siakan kesempatan ini.."
Kami turun dari perahu satu persatu. Malangkah lelah menuju masjid yang sebelumnya kami singgahi, untuk sholat maghrib.
Aku tertunduk memandang aspal yang kuinjak banyak. Gaza dan Mesir. Hanya berdekatan. Seperti dari Surabaya ke Banyuwangi, begitu kata beliau. Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha.
"Semoga Allah segera memberi kami kesempatan untuk bersujud disana.. Lahaula wa laa quwwata illa Billlah.."
Cairo, 19-4-18