Pages

Senin, 23 April 2018

Menuju Kiblat Ilmu

Aku sengaja pulang lebih akhir dari teman-teman ku. Banyak yang harus aku lakukan, terutama mengemas barang-barang yang cukup banyak. Mengumpulkannya menjadi satu. Mengosongkan lemari dari pakaian dan buku-buku. Sekitar 4,5 tahun aku berkecimpung di pondok itu. Menghabiskan usia anak-anak hingga aku baligh dan sangat mengenal juga mencintai Islam dan ajaran-Nya. Mencintai Islam dan memahami lika-liku memperjuangkannya. Dan memahami kehidupan ini dengan membuang segala keegoisan dan tujuan yang salah dalam menuntut ilmu. Tercetak menjadi sosok yang memiliki jiwa kepedulian dan kempemimpinan. Yang peka dengan kondisi sekitar. Tak mementingkan kepentingan pribadi. Bukankah kita semua adalah pemimpin, yang kelak Allah mintai pertanggungjawaban?

Jika perempuan maka kita kelak menjadi pemimpin bagi rumah laki-laki yang menjadi imam kita. Mengurus dan mengatur rumah, melayani suami, mendidik anak dan lain sebagaianya. Jika tidak atau belum, setidaknya kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Bagaimana kita mengatur hidup ini? Bagaimana kita memanfaatkan waktu? Bagaimana kita sungguh-sungguh dalam ibadah kepada-Nya?

Itulah yang benar-benar tertanamkan dalam jiwa kami. Banyak yang tak mampu tergambarkan atas apa yang telah aku dapatkan. Tapi satu hal ini yang senantiasa Abah pondok kami tekankan. Tak lelah mengingatkan. Tak jarang mengulang-ulang hadits yang bermakna serta berpengaruh besar ini.

"Kullukum ra'in wa kulllukum masulun 'an ra'iyatihi..."

Aku sempat mengobrol dengan Umi pondok terkait rencanaku itu. Sebenaranya tak ada sedikitpun rencana untuk pindah seterusnya. Aku hanya izin beberapa bulan saja untuk fokus menyelasaikan hafalan. Lagipula awal bulan April aku akan ke Jogja lagi, untuk mengikuti Ujian Paket C setara SMA. Berat meninggalkan semua itu. Tapi jika aku terus disitu pun akan terasa berat menurutku. 

Aku pun belum punya gambaran apapun terkait tempat yang telah aku pilih itu. Ustadz yang kami hubungi hanya memberi gambaran jika nanti kami tidak hanya tahfidz, tapi ada pembelajaran yang lain. Bahasa Arab dan Tsaqofah Islam. Dan itu kabar yang sangat baik. Pada awalnya ada tiga teman dan satu Ustadzah yang sebenaranya ingin ikut rencanaku ini. Semua berawal karena keinginan kami yang sama, dan pendapat kami yang sepadan terkait kondisi kami dan sekolah kami. Tapi karena berbagai alasan, akhirnya kami hanya berdua. Amalia. Seorang teman yang seumuran denganku. Anak yang periang, santai tapi kritis. Setidaknya ada teman.

Kisah ini panjang. Penuh lika-liku. Sulit dibayangkan. Tak mudah tuk digambarkan. Sekitar tanggal 25 bulan kedua itu aku pulang bersama satu tas besar berisi baju, tas ransel, dan kardus besar berisi buku-buku. Hampir semua barangku aku bawa pulang. Di rumah aku dan Amalia tak putus komunikasi. Dan aku berkali-kali membicrakan hal ini kepada keluarga. Termasuk uti (nenek) dan kakungku (kakek). Semuanya mendukung, bahkan aku diberi kemudahan dari mereka. Membelikan aku tas, dan beberapa kebutuhan yang lain.

Ustadz dari Griya Quran itu meminta agar kami ditemani oleh orangtua untuk datang pertama kali. Dan akhirnya ibuku yang menemaniku saat pergi itu. Aku tak tega sebenaranya. Tubuh sebesar ini, pengalaman menjelajah ke berbagai tempat apakah tak cukup untuk mengantarakan diri ini sendiri ke tempat itu?

Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar 12 jam. Dengan tiga kali naik bus. Aku sedih. Untuk kesekian kalinya aku tak henti-henti merepotkan dan menyusahkan kedua orangtuaku. Semua hanya untuk mengikuti perkataan dan keinginanku.

Pukul 06.30 pagi, tanggal 5 Maret. Aku, ayah, ibu, dan adikku sudah berada di terminal Lorok. Terminal kecil yang berada di Kecamatan itu. Bus nya bisa dihitung dengan jari. Sedikit sekali. Jika tak tahu jadwal keberangkatan bus disitu, maka harus siap menunggu berjam-jam untuk berangkat. Bus yang berada disitu pun hanya ke dua jurusan. Trenggalek yang berada di Timur Pacitan. Dan Pacitan Kota yang berada di Barat kecamatan kecil kami. Di balik bukit-bukit tinggi. Jurang dan hutan yang rimbun. Memakan waktu hampir dua jam.

Pagi yang masih dingin itu, aku dan ibuku duduk di kursi tepat di belakang sopir. Membawa tas ku yang berat itu. Ibuku yang sudah tak sekuat yang dulu. Walau senyumnya tak pernah berubah. Keihlasannya tak pernah hilang. Kesabannya tak pernah pudar. Perjalanan itu hanya melewati hutan, bukit, laut yang nampak dari atas. Dan sesekali rumah atau warung yang berada di pinggir jalan. Dibuat tak lain untuk para musafir. Bus kecil itu berjalan pelan. Selain mungkin tanjakan yang cukup curam, mungkin bus itu sudah cukup tua. Ia ingin menikmati indahnya pagi dengan sejuknya udara. Oksigen yang segar dari pepohonan itu. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Polusi udara pun tak perlu jadi masalah.

Sekitar tiga jam perjalanan, disertai berhenti yang cukup lama untuk menunggu penumpang. Kami pun sampai di Trenggalek. Kemudian mencari bus menuju Malang. Perjalanan sekitar tujuh jam. Ketika senja, kami sudah sampai di salah satu terminal besar Malang. Kami makan bakso yang sejak tadi sudah merasa lapar dan mual karena medan yang lumayan menegangkan. 

Makan bersama ibuku adalah hal yang sangat dirindukan. Apalagi sejak aku tinggalkan rumah untuk merantau ke pesantren. Dan mungkin baru kali itu saja aku makan berdua dengan sosok yang sangat kukagumi itu sejak aku berada di usia SMA. Wajahnya selalu memiliki arti perjuangan. Goresan keikhlasan yang sulit sekali tergambarkan. Penyabar dan pemalu, juga selalu ingin memberi yang terbaik kepada anak-anaknya. Tak pernah menampakkan kesulitan, walau gelombang yang begitu dahsyat sedang dialami.

Hari semakin petang, walau matahari masih bersinar sangat terang. Setelah makan dan istirahat sejenak, kami segera mencari bus lagi ke arah Dampit. Sebuah kecamatan diujumg Kabupaten Malang. Yang terpisahkan dengan pegunungan dan jalan yang berkelok-kelok. Bus kecil itu mengantarkan kami sekitar dua jam perjalanan.

Gerimis mengatarkan perjalanan kami. Hutan-hutan yang rimbun, jurang yang curam berada di kiri jalan. Jalanan yang berkelok-kelok dan masih sangat asing bagi kami. Ibuku bercerita banyak hal, dan terkadang tak kuat menahan lelah dan kantuk. Terpejam tiba-tiba saat bercerita. Jalanan sudah rata dengan air dari langit. Truk dan mobil-mobil semakin ramai. Mungkin jalan itu adalah penghubung berbagai kota. Sehingga berbagai plat nomor pun ada disana.

"Qonita, tau ngga kita bakal tinggal di rumah yang bersebelahan sama rumag ustadznya. Katanya sih buat sementara..."

"Rumahnya kayak gimana mi?"

"Serem..tapi bagus sih. Disini ada nenek-nenek yang udah tua. Kayaknya sakit apa gitu. Kamar kita ada di sebelahnya. Jadi suka teriak-teriak..."

"Wahh.. semoga kita betah ya. Selain kita ada santri lain ngga mel?"

"Belum tau. Belum ngobrol banyak sana ustadznya. Tadi kita langsung disuruh kesini buat istirahat dulu. Nunggu kamu biar sekalian ngobrolnya..."

"Oh gitu. Ini bentar lagi sampai insya Allah"

Mengikuti arahan ustadz yang tak berhenti komunikasi dengan kami, akhirnya kami sampai di sebuah tikungan. Disana terdapat beberapa pos halte sekaligus pangkalan ojek motor. Masih gerimis, walau ia malu untuk menyambut kedatangan kami di bumi yang dingin itu nan sejuk itu. 

Beberpa tukang ojek menawarkan jasanya kepada kami. Tapi kami menolak. Ustadz kami akan menjemput untuk mengarahkan jalan. Akhirnya kami jalan kaki sedangkan tas besarku dibawa beliau di bagian depan motor. Tas ransel ku yang sebenarnya bisa aku gendong diminta beliau agar dibawakan. Beliau menggunakan motor tua yang mungkin jauh lebih tua dari usiaku. Mungkin sekitar 20 tahun. Kecil dan sudah ringkih, tapi kekuatannya jangan ditanyakan. 

"Ibu jalan mboten nopo-nopo?"

"Inggih ustadz. Mboten nopo-nopo... ndak jauh kan?"

"Mboten bu.."

"Nanti lurus aja sampai pertigaan, terus ke kiri, sampai pertigaan lagi ambil kanan.."

"Oh iya Ustadz."

"Pangapunten nggih bu."

"Inggih ustadz.. mboten nopo-nopo"

Jumat, 20 April 2018

Syukur pada Manusia = Syukur pada-Nya

Ingin tangan ini memeluk sosok yang dirindu. Berada disisinya. Berbicara dengannya. Melepas rindu dengan segala tawa dan bahagia. Melayaninya. Mencium tangannya setiap usai sholat. 

Ayah ibu. Kalian lah karunia besar dari Allah yang telah Dia berikan untuk kami. Begitu banyak nikmat Allah yang sudah kurasakan dan kunikmati melalui perantara tangan-tangan kalian. Keikhlasan kalian. Kesabaran dan teladan kalian. Do'a-do'a kalian yang selalu mengiri langkah kami. Motivasi kalian yang membuang lesu kami. Teladan kalian yang mengukatkan tekad-tekad kami. Dan lisan kalian yang selalu menancap dalam di hati ini sehingga menjadi pengingat saat kami mulai lalai. 

Kalianlah yang telah mengenalkan kami dengan Rabb Tuhan Semesta Alam. Yang mengajarkan kami bagaimana arti cinta pada Rasul-Nya. Mencintai dan menyayangi kami. Memerhatikan kami. Kalianlah yang telah membimbing kami untuk selalu menjauhi segala yang Allah benci. Tak terbiasa dengan amalan yang sia-sia apalagi kemaksiatan yang Allah murka. Kalian pulalah yang senatiasa mengajarkan kami untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya.

Ayah ibu. Kami tak tahu harus berbuat apa untuk membalas segala yang kalian perjuangkan untuk kami. Jika memang Allah ridha, kami sangat ingin berbakti pada kalian di sisa usia kita. Bercengkerama untuk melayani dan memperhatikan bersama.

Mungkin Allah memisahkan kita dengan jarak yang begitu jauh ini hanya untuk satu hal. Surga. Iya. Surgalah tempat kita kembali dan berkumpul bersama. Yang disana tak ada rasa lelah dan gundah. Tak ada rasa cemas dan gelisah. Tak perlu takut dan sedih. Kami ingin berkumpul disana. Di tempat yang tak akan fana. Bersama orang-orang yang dicinta.

Dan Kami tak akan melepaskan Al Quran dari genggaman tangan kami. Tak akan menjauhkan lantunannya dari lisan-lisan kami. Dan kami selalu menjaga amanah kalian wahai ayah ibu. Untuk selalu taat pada Allah, dan istiqomah di jalan-Nya.

Sering sekali manusia tidak menyadari nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Hingga ujian yang kecil serasa membuat hidupnya begitu sempit dan berat. Dan nikmat yang besar itu terasa hilang tak terasa sedikitpun.

Sedangkan nikmat Allah itu jika kita syukuri akan terasa begitu indah. Karena jika seseorang itu bersyukur, sejatinya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dengannya nikmat akan terjaga, dan pasti Allah tambah.

Di dalam Al Quran Allah berfirman :

ولقد آتنا لقمان الحكمة أن اشكر لله ومن يشكر فإنما يشكر لنفسه ومن كفر فإن الله غني حميد

"Sungguh kami telah memberikan Luqman sebuah hikmah untuk mensyukuri nikmat Allah. Maka barangsiapa yang bersyukur, maka ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Maha Terpuji"

Karena besarnya perintah untuk bersyukur ini, maka orang yang Allah beri nikmat untuk mampu bersyukur, maka itu adalah nikmat yang begitu besar. Dan Allah memberikan hal itu kepada Luqman sebagai suatu hikmah. 

Maka dalam pengungkapan rasa syukur itu kita harus melakukan beberapa hal. Pertama, dalam lisan. Dengan memuji nama Allah, dengan mengucapkan "Hamdallah". Kedua dengan perbuatan, yaitu menggunakan nikmat tersebut untuk digunakan dalam ketaatan pada Allah. Dan menjauhi segala hal yang membuat Allah murka. Ketiga, selain menggunakannya untuk manfaat pada diri sendiri, nikmat itu juga harus bermanfaat bagi orang lain dalam kebaikan. Sehingga pahalanya bisa mengalir kepada kita. Dan yang keempat adalah berterimakasih kepada orang yang menjadi wasilah kita untuk mendapatkan kenikmatan itu. Baik orangtuaku, anak, guru, atau teman. Baik secara verbal (ucapan dan pengungkapan) atau non verbal (perbuatan). Dan ini yang sering kita lupakan dan tak kita ketahui. 

Dalam sebuah hadits dikatakan :

من لا يشكر للناس اشكر لله

"Barangsiapa tidak berterimakasih kepada manusia, maka ia tak mensyukuri Allah"

Dan kita yang masih menjadi seorang anak dari kedua orangtua, maka seharusnya merekalah nikmat pertama yang wajib kita syukuri. Bagaimana mungkin Allah ridho dengan kita melainkan dengan keridhoan keduanya. Dengan bersyukur, maka kita akan senatiasa tersibukkan dengan aktivitas baik yang menghasilkan pahala sebagai bentuk rasa syukur itu. 

Nabi Sulaiman pernah berdoa, yang Allah abadikan dalam Al Quran :

رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي و على والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأدخلني برحمتك في عبادك الصالحين

"Wahai Rabb-ku anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepada ku dan kedua orangtuaku, dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhoi, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang sholeh"

Ayat ini menunjukkan bahwa syukur dan amal shalih akan jalan beriringan.

Wallahualam bish Showab.

Kamis, 19 April 2018

Antara Pengemis Mesir dan Pengemis Nusantara

Hati ini terasa teriris. Mata ini tak sanggup menahan air mata.  Hati ini selalu tak kuat melihat penderitaan dan kesengsaraan yang tak kunjung berubah. Para ibu berpakaian sempurna. Menutup aurat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menggendong bayi yang cantik dan lucu. Menbawa beberapa bungkus tisu yang di genggam dalam plastik hitam yang sudah lusuh. Pakaiannya yang hitam-hitam itu nampak berdebu. Angin yang menerbangkan butiran-butiran debu itulah yang menjadikan jilbab ibu itu kotor. Waktunya lebih banyak di jalanan. Mencari receh demi receh geneh untuk perutnya dan perut bayinya.

Aku hampir tak pernah berburuk sangka kepada mereka. Dan aku ingin sekali memberikan siapapun itu yang meminta-minta.  Namun, tak mungkin jika semua yang meminta harus aku beri. Ketika aku tak mampu hanya doa lirih yang terbesit dalam dada. "Ya Allah mudahkanlah urusan ibu itu dan kekuarganya. Lapangkanlah rezekinya. Aku tak bisa memberi apa-apa, sedangkan Engkau Maha Kaya"

Mesir. Kau memperlihatkanku bahwa di negeri ini pun banyak sekali kemiskinan. Anak-anak yang masih kecil berumur mungkin 5 atau 6 tahun sudah harus menjelajahi bus demi bus untuk menjual tisu demi recehan yang bisa membantu kedua orangtua. Atau memberi sesuap untuk saudaranya. Anak berumur 10 tahun yang setiap pagi saat aku berangkat kuliah sudah berada di toko buah untuk menata buah-buahan itu. Hingga malam. Saat aku pulang, ia pun masih disana. Mereka tak mengenyam manisnya pendidikan. Hanya sesekali aku melihat mereka tertawa dan bermain dengan teman sebayanya yang sama-sama menjadi pekerja di tempat itu. Baju mereka lusuh, dan hampir tak terhitung berapa hari atau minggu mereka tak ganti.

Tak hanya anak kecil. Bapak-bapak tua yang sudah beruban pun banyak. Yang menggunakan tongkat atau kursi roda. Badan mereka membungkuk, tangannya menengadah. Tak sedikit yang tetap menawarkan tissue kepada siapapun yang melewatinya. Ada pula kakek yang berjualan jeruk nipis dalam plastik-plstik kecil. Duduk diatas alas plastik di pinggir jalan yang penuh debu. Aku bertemu dengannya setiap pagi. Dan hingga malam saat aku pulang, tak jarang masih berada di tempat yang sama. Kakek itu mungkin tak ingin meminta-minta, tapi ingin berusaha untuk mencukupi hidupnya dengan berjualan jeruk-jeruk kecil itu. Tangannya tak pernah menengadah untuk meminta. Pandangannya lurus ke jalan, tangannya nampak memegang tasbih. Kepalanya yang menggunakan sorban putih sudah lusuh itu terkadang menunduk. Tubuh kurusnya dibalut jubah putih yang sudah mulai berubah menjadi coklat. 

Hampir setiap kali aku naik bus merah 80/ selalu bertemu dengan anak kecil yang mungkin berumur 9 atau 10 tahun. Mungkin sebesar adikku. Memberikan secarik kertas yang bertuliskan arab. Memohon bantuan untuk biaya pembelian obat untuk uminya atau saudaranya. Atau biaya untuk membayar igar sewa rumah mereka yang belum terbayarkan karena orangtuanya sakit sehingga tak bisa bekerja. Setiap kali aku mendapat kertas itu, tak perlu dibaca aku sudah hafal apa yang ia katakan dalam tulisan itu. Nenek-nenek yang membagikan kertas tebal yang bertuliskan "Adzkar Rasululullah" atau kumpulan dzikir-dzikir Rasulullah itu juga hampir setiap hari ketemui. Jalannya yang terseok-seok, pakainnya yang tak pernah ganti, dan wajah keriputnya membuatku selalu iba. Tapi ada daya. 

Belum lagi di sepanjang jalan menuju gerbang Kampus banat (akhwat). Berjajar rapi beberapa penjual tisu, penjual permen, penjual pulsa, atau peminta-minta. Mulai dari kakek tua yang bungkuk dan tak mampu berjalan kecuali menggunakan tongkat, bapak tua yang menggunakan kursi roda karena kakinya lumpuh, ibu yang memangku bayi mungilnya, hingga anak kecil yang tampak sangat kotor. Mereka mungkin berumur 4 atau 5 tahun. Berjalan mondar-mandir menawarkan tisue kecil itu kepada mahasiswa dan mahasiswi. Berteriak sambil mendoakan "Tanjah Ya Rabb,

Tanjah Ya Rabb... ", (Semoga sukses Ya Rabb). Berharap belas kasihan dan kemurahan hati yang didoakannya.

Suatu saat pun aku pernah menemukan kakek tua yang tidur terlentang di atas tanah bersemen, menuju kampus. Padahal saat itu sudah masuk musim panas. Pukul 9 pagi seperti tengah siang di negeri kita. Tanpa alas apapun. Nampak begitu nyenyak karena kelelahannya. Di sekelilingnya terdapat makanan, dan botol minum. Dan aku yakin itu pemberian orang yang melewatinya.

Belum lagi pedagang asongan yang selalu ada jika kami naik bus besar. Jurusan manapun. Sedekat apapun. Mulai dari penjual sisir, penjual headset, sikat gigi, pulpen dan pensil, tas kain, coklat, cemiti, makanan ringan dan banyak lagi. Mereka tak pernah menjual dengan harga tinggi. Mereka hanya mengambil laba yang sangat sedikit. Berharap banyak yang tertarik.

Hanya doa. Allah yang Maha Kaya sebagai satu-satunya tempat mengadu. Memohon kepada-Nya agar melapangkan semua kesulitan orang-orang itu. Berharap dengan penuh ketundukkan agar segera mendatangkan janji-Nya. Mendatangkan pemimpin yang adil, yang mau berhukum dengan hukum-Nya. Yang tak pernah luput untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya.

Pemimpin adil. Aku rindu pemimpin layaknya Umar bin Khattab. Yang tak mampu tertidur sebelum memastikan bahwa rakyatnya tidak ada yang kelaparan. Umar bin Abdul Aziz yang hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan, sedangkan rakyatnya selalu merasa tercukupi dan sejahtera.

Iya. Dimanapun kita berada. Selama Islam belum menjadi landasan dan sistem hidup ini, sejatinya sama saja. Jika di negeri kita pengemis itu berpakaian compang camping, terbuka auratnya, bahkan tak sedikit orang gila yang telanjang. Bedanya disini, mereka menutup aurat, memakai jilbab dan kerudung, bahkan memakai niqob. Tapi tetaplah sama. Mereka juga miskin, kotor, kelaparan, dan banyak pula yang tak berpendidikan.

Selain doa tentu harus ada usaha lain yang lebih konkret. Da'wah. Tak ada kata lain. Walau hanya dengan goresan kata-kata sederhana, atau memberi nasehat dan memahamkan saudara juga teman kita sedikit demi sedikit. Da'wah lah yang akan mengembalikan kemuliaan Islam. Menjemput janji-Nya dengan memantaskan diri di hadapan-Nya. Menjalankan segala kewajiban dan amanah dengan kesungguhan. 

Sungguh mereka hanya membutuhkan pemimpin adil, yang hanya akan ada jika Syariah Islam diterapkan dalam setaip hembus nafas kita.

Wallahua'lam bish Showab

Rabu, 18 April 2018

Azhar Menguji Keihlasanmu

Berbeda. Kau tak akan menemukan kampus semacam ini dimanapun. Kampus tak pernah mewajibkan semua mahasiswanya untuk masuk mengikuti kuliah. Kau mau bolos sepanjang tahun tak masalah, asal kau datang saat ujian. Kau mau tidur setiap pagi hingga siang silahkan, tak ada absen kelas yang menunggumu, kau tak mau mengerjakan tugas bahs (karya tulis), bukan suatu masalah, tak ada dosen yang akan menguhukummu. Kau tak mau membaca kitab-kitab kuliah juga tak apa, asal kamu bisa menjawab saat ujian. Atau kau hanya membaca ringkasan karena tak mau berlelah lelah untuk membolak-balik kitab dan kamus untuk memahami. Atau kau hanya mencari kisi-kisi ujian, atau hanya latihan soal-soal ujian. Semua itu tak masalah. Apapun sikapmu terhadap bangku kuliah, asalkan kau bisa hadir dan bisa merangkai jawaban berlembar-lembar saat ujian kau akan aman. Asalkan kau lulus (najah), kau aman. 

Tapi, apakah itu tujuan kamu jauh-jauh ke negeri ini? Jika kau hanya ingin bersenang-senang, maka wajar. Jika kau hanya ingin mencari gelar, maka lakukan saja. Jika kau ingin yang penting lulus, bukan rasib (gagal) ya pantas. Jika kau memang tak ingin lelah berfikir dan lebih senang menghabiskan waktu yang sia-sia, ya itu yang akan kau lakukan. 

Memang, menghadiri bangku kuliah itu berat. Apalagi bagi diriku yang masih belum memiliki ilmu. Duduk mendengarkan dukturah (dosen) yang sering memakai bahasa amiyah memang membosankan. Dingatkan untuk memakai fushah pun tak lama kembali lagi ke bahasa 'Amiyah. Susah. Bosan. Tak faham. Belum lagi ributnya kelas membuat kita terganggu untuk membaca saat menunggu dukturah datang. Tugas karya tulis pun jika kau tak mau sulit-sulit mencari rujukan (marja') di berbagai kitab turats, maka tak akan bisa kita mengerjakan. Tapi jika kau memilih untuk tak peduli dengan itu juga tak masalah.

Azhar memang menguji keikhlasanmu. Jika kau kesini karena Allah, maka kau tak akan rela terlewat satu pun muhadhoroh (kuliah) demi mendengarkan tetesan ilmu dari mereka. Bahkan satu kata, kau tak ingin terlambat. Jika kau menuntut ilmu karena Allah, apapun kesulitan ketika memahami penjelasan di kelas akan kau jalani dengan ikhlas. Menyadari jika diri kita lemah dan terbatas. Menganggap semua itu adalah proses. Dan yakin bahwa Allah telah mencatat niat dan usaha kita, bukan apa yang kita dapatkan.

Jika kau melangkah kesini karena Allah, maka pasti kau akan rela mengurangi waktu tidurmu, bermainmu, mengobrolmu demi begadangan melahap kitab dari muqaddimah (pembukaan) hingga halaman terkahir, tidak sibuk mencari bagian dan halaman mana yang akan keluar saat ujian. Jika kau benar-benar kuliah karena Allah, maka kau akan menyesal jika tidak sungguh-sungguh mengerjakan tugas dari mereka. Walaupun kau masih kesulitan mencari kitab rujukan, walaupun jika tak kau lakukan juga tak akan ketahuan. Bahkan setelah kau kerjakan, terkadang juga diabaikan atau terlupakan. 

Azhar memang menguji niat ikhlasmu. Keseriusanmu, kesabaran, dan keyakinanmu pada janji Allah. Menguji sikapmu terhadap hal ini. Apakah kau remehkan atau kau anggap serius? Hidup disini semua tergantung kita. Tak ada lagi yang mengatur kita layaknya di pesantren atau kampus yang begitu ketat. Tak ada lagi guru atau orangtua yang memaksa untuk mengerjakan ini dan itu. 

Talaqi? Ketika kau ke Negeri ini dengan rasa haus yang sangat menyiksamu, maka kau akan malu jika tak menggunakan nikmat Azhar ini untuk merauk ilmu sebanyak-banyaknya. Mereguk lautan ilmu yang akan membuatmu akan merasa tetap dan semakin haus. Malu kepada pemilik dan pemberi nikmat yang agung ini. Bukan kepada manusia. Bukankah bentuk rasa syukur itu dengan menggunakan nikmat tersebut untuk ketaatan?

Iya, Azhar menguji keihkasanmu. Apakah Kamu hanya ingin fokus kuliah, mencukupkan kuliah demi mengejar nilai terbaik, gelar, tanpa mencari dan meraup samudra ilmu yang semakin membuatmu haus. Selama kau niatkan semua karena Allah, selama kau bulatkan tekad karena Allah, selama Kau berserah diri kepada Allah, maka tak perlu takut untuk terus melangkahkan kaki. Terseok-seok, berlari, mengucurkan keringat demi ilmu. Siap mati karena ilmu.

Perjalanan satu jam hanya untuk satu majelis jika kau niatkan karena Allah, maka tak akan terasa berat. Melangkahkan kaki ratusan kali dengan cepat jika yang kau tuju adalah ridha-Nya maka tak akan berat. Ingatlah bahwa setiap langkahmu akan membantumu menuju surga-Nya. Setiap langkahmu bagaikan mujahid di jalan-Nya. Dan kematian mu dalam jalan itu akan dikucurkan pahala yang tak terkira.

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا إلى الجنة

من خرج في طلب العلم فهو في سبيل الله حتى يرجع

ومن يخرج من بيته مهاجر إلى الله ورسوله ثم يدركه الموت فقد وقع أجره على الله

Kisah Gaza diatas Nil

#Rihlah_6

Sebuah perjalanan tafakur. Sebelum menghadapi ujian semester dua. Aku hanya meniatkan untuk menuntut ilmu dengan melihat apa yang Allah hamparkan di bumi para nabi ini. Aku hanya ingin memecut diriku dengan mentadabburi alam ini. Untuk belajar, lillahi ta'ala. Bukan untuk senang-senang atau cari-cari kesempatan. Jika memang ada keinginan bertemu atau mengobrol dengan laki-laki mudah saja kesempatan rihlah seperti ini. Tapi tidak, apa yang aku lakukan harus menambah ilmu serta iman. 

Bismillah. Berangkat dari Hay Asher setelah berkumpul di depan Kusyari Syaikh (rumah makan) kami menuju Ramsis dengan naik tremco. 

"Kam wahid ya ashtoh?", salah satu kakak pantia bertanya.

"Arba'ah"

"Arba'ah? Laisa tstatsah wa nush?"

"Laa.. arbaah kulla wahdah"

"Mesyi.." berhubung sudah siang, dan kami harus segera berkumpul di Ramsis untuk naik metro (kereta) menuju Madinah Futhath, kami mengalah yang penting segera sampai. Tidak ingin debat

Sekitar setengah jam perjalanan, kami sampai di Ramsis, berkumpul di sebuah tanah lapang yang banyak orang berkumpul, bercanda, berjualan, dan duduk bersantai-santai. Hari itu hari libur Nasional.  Jadi semua keluar untuk berkumpul serta bermain. Kami terpisah antara laki-laki dan perempuan walapun hanya beberapa meter saja. Tapi tak ada komunikasi sedikitpun. Aku dan dua temanku sengaja menyendiri, untuk menghindari ikhtilat. Dua teman yang sebenarnya juga belum lama kenal, tapi karena sudah faham jadi mudah saja untuk diajak berhati-hati. Teman-teman banyak yang foto selfie dengan berbagai gaya. Sedangkan banyak laki-laki yang bisa melihat tanpa penghalang sesikitpun. 

Setelah semua bekumpul, kami diberi makan, tiket metro, intruksi, dan modul sebagai ma'lumat tempat-tempat yang akan kita kunjungi. Pertama kawasan Margirgis yang disana terdapat Nilometer, Masjid Amru Bin Ash, Gereja Margirgis, Gereja Gantung, Synagog Ben Ezra. Terkahir di kawasan El Ma'adi kita akan ke sungai nil untuk naik kapal saat sunset. 

Kami menuju stasiun ash-Shuhada yang tak jauh dari tempat kami berkumpul. Kami menggunakan salah satu tiket dari tiga tiket yang sudah dibagi panitia. Setiap tiket itu akan berfungsi untuk masuk di stasiun keberangkatan dan untuk keluar stasiun tujuan. Dengam konsep seperti itu keamanan pasti terjaga ketat. Dan tiket kertas kecil itu harus kami jaga selama perjalanan.  Sampai di stasis Al-Marjijis (El Margirgis) yaitu stasiun yang ketujuh dari Ash-Shuhada' kami turun, kami turun dan berjalan menuju Nilometer. Belum lama kami berjalan hamparan sungai Nil sudah berada di hadapan kami. Sungai itu. Tempat nabi Allah yang berkali-kali disebut dalam Al Quran dihanyutkan saat masih bayi.

Aku ambil gambar dua kali disitu. Sungai Nil dan sebuah menara mirip kubah yang bergaya ukiran. Unik walau sepertinya tidak terlalu terawat. Nilometer pun sudah nampak. Bangunan kerucut yang dibawahnya kotak, dan dalam seperti sumur. Kami masuk bergantian. Disana kami mendapat penjelasan siapa yang membuat, apa fungsinya, dan bagaimana penggunaannya. Gaet yang menjelaskan berbahasa Fushah walau sedikit bercampur amiah. Banyak hal yang kudapatkan, apalagi sebelumnya sudah sedikit mendapat ma'lumat yang dalam modul rihlah itu.

Nilometer adalah sebuah bangunan yang berfungsi untuk mengukur deras air nil yang ada. Ia terletak di tengah-tengah sungai Nil yang tak jauh dari jalan besar. Bangunan yang mirip sumur besar dan luas ini memiliki sebuah tiang besar di tengahnya. Tiang tersebut memiliki 19 ruas, yang masing-masing ruasnya setara dengan satu hasta. Kedalamannya sekitar tiga lantai, yang pada lantai terbawah terdapat sebuah jendela yang bisa dibuka, untuk masuknya air Nil. Jika air yang masuk tersebut mencapai sekitar 14 hasta, maka itu pertanda bahwa air Nil sedang deras dan siaga kebanjiran. Sedangakan normal nya adalah angka 11 ruas. Jika hanya mencapai 8 ruas, maka itu menunjukkan bisa mendekati kekeringan. 

Nilometer ini dibangun oleh Ahmad bin Muhamad Al Hasib pada tahun 861 Masehi pada zaman ke khilafahan Abasiyah, oleh seorang arsitektur bernama Abu Al-Abbas Ahmad Al Fargani dari Turkistan. Seorang ahli astronomi atau disebut ahli nujum. Walau pun sebelumnya sudah ada sejak zaman Umayyah namun mengalami kerusakan dan kehancuran karena banjir besar.

Nilometer ini memang sudah tak difungsikan lagi, namun hal ini menunjukkan bahwa sejak Islam masuk di dalam Negeri ini, Nilometer ini menjadi bukti bahwa teknologi pengairan dan pengendali banjir sudah sangat maju. 

Kemudian kami menapaki tangga turun untuk bisa mengetahui kedalamannya. Berdebu dan tak ada pegangan sedikitpun. Jika tak berhati-hati bisa terpeleset kebawah. 

Dan yang menurutku menarik adalah atap kerucut itu. Walaupun dari luar nampak biasa saja, tapi di dalamnya sangat indah. Penuh ukiran unik yang dengan warna berkilau mirip emas.

Setelah itu kami keluar dan beristirahat sampai menunggu waktu sholat dzuhur. Untuk dokumentasi, semua berfoto bersama. Tapi aku menghindar, cari-cari alasan agar tidak ikut foto bersama. Bagaimana mungkin disana banyak ikhwan, artinya jika aku ikut bisa jatuh pada ikhtilat. Usai foto, aku dan tiga teman baruku mencari tempat yang nyaman, tak panas, dan jauh dari banin. Kami mengambil sebuah tempat di atas rerumputan. Tepat di bawah pohon yang cukup rindang. Disana kami bercerita dan saling berkenalan. Dan karena panitia menyarankan kita untuk makan, akhirnya kami makan walau belum lapar dan belum waktu makan siang. Karena setelah itu kami akan keliling ke semua tempat yang menjadi tujuan. Sehingga kemungkinan besar tidak lagi bertemu waktu untuk istirahat apalagi makan.

Usai sholat Jumat, kami berkumpul kembali untuk breafing. Kami dibagi menjadi empat kelompok. Yang setiap kelompok terdapat satu ketua dan satu kakak panitia. Dari empat tempat yang akan dituju, maka keempat kelompok tersebut diacak untuk bergiliran mendatangi tempat tersebut. Dan aku mendapat kelompok keempat, walaupun pada akhirnya aku mengikuti kelompok ketiga, karena ketiga teman ku disitu.

Masjid Amru bin Ash

Pertama kami ke Masjid Amru bin Ash. Masjid tertua di Mesir dan di Afrika. Desain masjid itu tak berbeda jauh dengan Masjid Azhar. Dari depan nampak seperti benteng. Bangunan itu berbentuk persegi, yang semua sisinya adalah ruangan sholat. Untuk sayyidat (perempuan) berada di sebelah kiri dengan ditutup hijab kayu tinggi.  Dan di tengahnya terdapat halaman luas, yang terbuka tanpa atap. Tepat di tengah halaman itu terdapat kubah yang dibawahnya menampung air untuk berwudhu juga bisa untuk menghilangkan dahaga. 

Masjid Amru bis Ash ini didirikan oleh Amr bin Ash saat pertama kali menaklukkan Mesir di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menjadikan Kota Fusthat yang pertama didirikan itu sebagai ibukota Mesir. Pada saat ini bangunan asli Masjid sudah tidak dipakai, karena mengalami berbagai perluasan dan renovasi. Masjid ini memiliki peran yang besar pada masa Islam. Sebelum Azhar berdiri pada masa Fathimiyah, masjid ini menjadi pusat ilmu yang disanalah para imam dan ulama mencurahkan ilmu mereka kepada para muridnya. Salah satunya adalah Imam Syafi'i. Setelah menyebarkan madzahbnya di Iraq, beliau pergi ke Fusthat untuk mengajar serta menyebarkan madzab nya di Kota ini. 

Terdapat kisah menarik yang ada dibalik pembangunan masjid ini. Pada awal pembangunannya, rumah Amr bin Ash sebagai tanah yang akan dijadikan masjid berdampingan dengan rumah seorang nenek tua beragama Yahudi. Kemudian beliau meminta nenek itu agar mau memberikan tanah rumahnya untuk dijadikan masjid, namun nenek tersebut menolak dan Amr bin Ash pun marah. Maka, tanpa ragu nenek itu pergi ke Madinah untuk melaporkan tindakan gubernur Mesir ini kepada sang Khalifah. Setelah melaporkannya maka Umar meminta sebuah tulang dan dia menggoreskan sebuah garis di atas tulang tersebut dengan pedangnya yang tajam. Kemudian ia memerintahkan kepada nenek tersebut agar memberikan tulang itu kepada Amr bin Ash. 

Saat menerima pesan itu seketika beliau terkejut, dan menangis. Maka beliau pun memerintahkan para sahabat untuk menghentikan pembangunan masjid itu. Dan ia meminta maaf kepada sang nenek tua. Ia pun bertanya apa yang terjadi padanya. Maka ketika tau bahwa maksud dari goresan pada tulang itu adalah sebuah peringatan keras untuk Amr bin Ash, bahwa nyawa nya akan habis di tangan Khalifah jika ia berbuat seperti itu, maka nenek tersebut sangat kagum dan heran dengan kebijakan sang Khalifah. Kebijakan yang sangat adil walau ia bukan seorang Muslim. Akhirnya ia rela menyerahkan tanah rumahnya untuk membangun masjid.

Hal ini hanyalah salah satu bukti keadilan Islam dalam mengurus rakyatnya. Selama ia tunduk pada Daulah, maka apapun agamanya, maka akan dijaga dan dihormati. Mendapatkan hak yang sama tanpa ada pemaksaan untuk masuk Islam.

Setelah dari Masjid ini, kami terpecah menjadi beberapa kelompok yang kemudian untuk mendatangi Gereja Margirgis, Gereja gantung dan Synagog Ben Ezra. Gereja Margirgis ini adalah tempat ibadah umat Kristen Katholik. Disana juga terdapat museum, dan sudah sejak lama dijadikan objek wisata tanpa dipungut biaya sedikitpun. Namun, karena masih digunakan untuk beribadah hingga saat ini, aku tidak terlalu masuk ke ruangan ibadah nya. Aku hanya masuk ke museum dan menunggu dr teman-teman di luar. Jangankan untuk berfoto, atau mengambil gambar ruangannya, untuk melangkah masuk saja aku sudah tak tenang. Walaupun hari itu tak banyak yang beribadah, tapi tetap saja jika memasukinya adalah perkara yang dilarang dalam Islam, maka tak perlu ada penyesalan atau rasa penasaran untuk memasukinya.

Gereja ini cukup besar dengan dengan anak tangga yang cukup banyak. Jika tak ada salib diatasnya lebih mirip dengan masjid yang berkubah dengan menara yang menjulang di sebelah kirinya. Berwarna putih dengan patung besar yang berada di depannya.

Setelah itu kami ke Gereja Gantung atau dalam bahasa arab El-Mu'alaqoh yang artinya tergantung atau melayang. Hal ini dikarenakan bangunannya tidak diatas pondasi layaknya bangunan pada umumnya, namun ia berada di atas benteng Babilonia. Gereja ini adalah gereja Kristen Koptik yang cukup terkenal di Mesir, karena Kristen Koptik adalah agama mayoritas penduduk Mesir ketika kaum Muslimin belum menaklukkan dan menyebarkan dakwah di negeri ini. Ia juga punya makna-makna lain, yaitu Gereja Sitt Mariam, atau St. Mary.  

Lagi-lagi, karena masih digunakan untuk beribadah, aku memutuskan untuk tidak masuk ke dalan ruang ini untuk ibadah. Aku berdiri di lorong dan halamannya saja. Melihat figura-figura yang dipajang. Koleksi-koleksi buku dan aksesoris umat Kristen yang dijual. Figura-figura foto itu rupanya para nabi menurut keyakinan mereka. Juga puluhan atau bahkan ratusan pendeta pun terpampang fotonya sejak berabad-abad yang lalu. Dalam satu figura bisa terdapat puluhan foto pendeta dan itu dalam satu abad saja. Ketika aku asik membaca tulisan-tulisan arab pada pajangan-pajangan itu, tiba-tiba aku mendengar orang berbicara dengan bahasa indonesia.

"Yang disana itu para pendeta pada tahun sekian... sekian.."

Aku kaget seketika. Aku yakin jika itu teman-teman yang sudah keluar. Tapi setelah aku lihat ke belakang, ternyata orang Mesir yang sedang menjelaskan ibu-ibu dan bapak-bapak berwajah asia setengah china. Mereka pun saling bersaut-sautan dengan bahasa indonesia khas Jakarta. Pada awalnya aku mengira mereka dari China atau Thailand, tapi percakapan mereka tak sedikitpun menampakkan bahasa Melayu. Aku benar-benar faham apa yang mereka katakan.

Mereka rombongan yang cukup banyak. Aku bisa menyimpulkan bahwa mereka adalah para penganut Kristen dari Negeri kami. Yang sedang berlibur ke Mesir mungkin, dan mengunjungi tempat bersejarah. Beberapa dari mereka melihatku keheranan. Hanya aku sendiri yang menggunakan pakaian lengkap penutup aurat, karena di sekitarku tak ada yang Muslim. Aku berlagak tak peduli dan pura-pura sibuk membolak-balik ensiklopedi yang  ada di galeri tersebut. Berharap teman-teman segera keluar dan pergi dari tempat itu. Sekitar lima belas menit akhirnya mereka keluar bergerombol. Kami segera keluar dari keramaian itu. Belum puas ternyata. Masih banyak yang ingin berfoto di tempat itu.

Terkahir kami mengunjungi Synagog Ben Ezra. Sebuah tempat peribadahan orang Yahudi yang sudah tak lagi dipakai. Jauh lebih kecil dari kedua gereja sebelumnya, dan letaknya sangat di dalam. Harus melewati gank-gank kecil, toko-toko. Tempat ini lebih ketat, terdapat beberapa polisi yang menjaga dan kami dilarang mengambil gambar sedikitpun.

Karena penganut Yahudi sudah tak ada lagi di dalam negeri ini, maka sudah lama pula tempat itu hanya dijadikan objek wisata. Mereka diusir dari negeri ini, sehingga yang masih tetap menganut agama tersebut harus sembunyi-sembunyi. 

Ada satu hal yang menarik dari tempat itu. Tepat di belakang bangunan Synagog ini, terdapat sebuah sumur yang disanalah bayi Musa disembunyikan oleh ibunya saat tentara Fir'aun sedang melacak penduduk Mesir yang memilki bayi laki-laki agar diserahkan dan dibunuh. Setelah tentara itu pergi, maka dengan ilham dari Allah ibu Musa meletakkan bayi itu ke dalan sebuah kotak dan menghanyutkannya di sungai Nil.

Setelah adzan Ashar berkumandang, kami melanjutkan perjalanan ke El-Ma'adi, tempat pusat Nil yang dijadikan objek kunjungan. Kami kembali ke stasiun El-Margigis mengambil arah yang berseberangan dari tempat kami turun. Ada tiga stasiun yang kami lewati, hingga sampai di El-Ma'adi. Maka total sepuluh stasiun yang sudah kami lalui sepanjang hari itu. Beruntung sekali metro itu benar-benar dipisah antara penumpang laki-laki dan perempuan. Jadi, sepenuh apapun metro itu, walau berdesak-desakkan kemungkinan pelecehan layaknya di kendaraan lain sangat kecil. Tapi anehnya penjual masih boleh masuk ke dalam kendaraan yang cukup mewah dibandingkan bus merah favorit mahasiwa Indonesia. Mulai dari penjual pensil, alat pengupas kulit buah, penjual permen, kaos kaki, hingga tas plastik pun ada. Dan banyak dari mereka laki-laki.

Sekitar 16.30 kami sampai di stasiun El-Ma'adi. Karena kami ketinggalan rombongan pertama, maka tidak ada satupun panitia yang ada dibayar rombongan kami. Syukurnya kami tak semua perempuan, ada beberapa laki-laki walaupun semua adalah maba. Dengan mengira-mengira, beberapa kali salah jalan, dan bertanya, akhirnya ditemukan jalannya. Kami ke masjid terlebih dahulu untuk sholat Ashar.

 

Dari masjid itu kami berjalan lagi sekitar sepuluh menit menuju sungai Nil.

"Subahanallah..ini ternyata sungai dimana nabi Musa dihanyutkan", fikirku. Keindahannya semakin terlihat saat senja seperti itu. Beberapa macam perahu berada disana, walau masih bisa dihitung jari. Mulai yang berlantai dua untuk para pariwisata, atau perahu kayu yang menggunakan mesin, juga ada yang masih menggunakan kain sebagai layar. Kami menyewa empat perahu, yang masing-masing bermuat untuk sekitar 20 orang. 

"Alhamdulillah..banin disini semua maba", bisikku dalam hati. Tak banyak bicara, mengajak ngobrol, apalagi bercanda yang berakhir banyak buat gombalan. Aku pun tak banyak bicara. Aku hanya melihat matahari yang semakin hilang sinarnya dan bolanya. Di barat sana. Angin tak terlalu kencang. Dan kebanyakan dari teman-teman sibuk dengan handphone mereka. Buat siaran langsung di instragam, foto selfie atau sekedar ambil gambar pemandangan. Aku sengaja menyimpan handphone di dalam tas. Ingin menikmati dan memikirkan apa yang kulihat. 

Aku hanya berharap. Perjalanan itu tak hanya mengusir rasa penat di Kairo, aku ingin mendapatkan ilmu juga menambah keimanan dengan melihat ciptaan-Nya. Niat itu Allah kabulkan. Beruntung empat perahu yang kami sewa berjalan bersamaan. Sedangkan perahu yang tepat berada di samping perahu yang kami naiki ada seorang kakak senior yang sangat berpengalaman dan bercerita banyak hal tentang Islam dan Mesir. Beliau menjelaskan tentang Piramyda dan Firaun, para Nabi yang pernah menginjakkan kaki di Mesir, Sinai, Luxor, Dymiat, Fusthat, Matruh Siwa, Alexandria, Gaza, dan kondisi kaum Muslimin disana. Satu hal yang sangat kuingat dan berbekas itu ketika beliau menjelaskan Gaza dan Masjidil Aqsha.

"Ketika saya pergi ke Gaza tahun 2013 untuk memberi bantuan, saya bertanya kepada salah satu warga Gaza. Mengapa hingga saat ini hanya Gaza yang tak pernah berhasil ditaklukkan oleh Yahudi can para zionis. Mereka hanya menjawab "Ujibu da'wata da'i idza da'aan....."

"Gaza itu bagian dari kita. Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha adalah milik kita, kaum Muslimin. Maka ketika Masjidil Aqsha diusik, maka seharusnya kita merasa terganggu juga.."

Kata-kata itu menusuk. Sungguh tak kuat menahan airmata. Tak terasa langit sudah gelap. Hampir pukul tujuh malam. Artinya kami harus segera menepi, karena aqad kami hanya sampai pukul tujuh malam. Beliau menutup kisah itu dengan sebuah kalimat "Semoga pertemuan kita tak berhenti disini. Semoga Allah mengumpulkan kita lagi di surga"

Ya Rabb..

Dua perahu kami hingga mendarat tak berpisah, sehingga penjelasan beliau tak terpotong. Kami yang berada di dua perahu itu layakanya menyimak dongeng dari seorang ahli pendongeng. Banyak yang bertanya dan semakin penasaran. Sedangkan dua perahu yang lain memsihkan diri untuk menuju ke tepi darat. Dan itu memang kehendak bapak nahkoda. 

Kami pun mendarat. Sungguh diri ini semakin terpecut. Betapa banyak ilmu yang belum didaptkan. Betapa banyak buku yang harus dilahap. Mesir menyimpan sejuta kisah para Nabi, perjuangan mereka, dan kekuasaan Allah yang banyak disebut dalam firman-Nya. "Mesir memiliki literatur sejarah manusia dan peradabannya yang sangat lengkap. Maka jangan sia-siakan kesempatan ini.."

Kami turun dari perahu satu persatu. Malangkah lelah menuju masjid yang sebelumnya kami singgahi, untuk sholat maghrib.

Aku tertunduk memandang aspal yang kuinjak banyak. Gaza dan Mesir. Hanya berdekatan. Seperti dari Surabaya ke Banyuwangi, begitu kata beliau. Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha.

"Semoga Allah segera memberi kami kesempatan untuk bersujud disana.. Lahaula wa laa quwwata illa Billlah.."

Cairo, 19-4-18