Pages

Kamis, 15 Februari 2018

Air Mata Di atas Mushaf

Untuk yang kesekian kalinya mata ini menetes. Tak tahu apa lagi yang harus kulakukan untuk mengungkapan rasa syukur itu. Kugenggam sebuah mushaf berwarna coklat.

Mushaf itu. Mushaf itu yang membuatku sering tak mampu menahan aliran hangat dari kedua mata. Mushaf itu yang membuatku tenang namun takut. Berharap bercampur cemas. Antara raghbah dan rahbah. Mushaf itu. 

Beberapa bulan yang lalu. Pada akhir bulan Agustus. Dia memelukku erat. Tak mau terlepas. Menangis tanpa henti. 

"Mba, makasih buat semuanya. Aku minta maaf banyak kesalahan. Jangan lupain aku ya mbak..."

"Ya Allah.. aku mba yang banyak salah sama kalian. Aku belum bisa menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Aku sering egois, ngga peduli sama asrama, sering sibuk sendiri. Aku minta maaf ya mba...", kesedihannya benar-benar merasukiku. Aku pun juga tak mau kalah. Menumpahkan segala rasa. Perpisahan. 

"Aku bersyukur mbak, bisa ketemu kalian. Tanpa kalian aku ngga akan semangat murajaah hafalan. Kalian yang membantu istiqomah bersama Al Quran. Yang membuatku mencintai Al Quran, dan dekat dengan Allah. Aku salut sama kalian.."

"Engga mb..kita yang makasih", sepertinya dia sudah tak mampu lagi berkata-kata. Semua tercekat oleh air mata.

 

Dia masih memelukku. Erat. Tak mau terlepas. Dua temannya hanya melihat dengan wajah tak kalah sedih. Walau sepertinya tak sampai menangis. 

Aku tahu, waktu itu sudah hampir pukul sepuluh siang. Dan itu sudah melebihi rencana kepergianku ke Jogjakarta. Menaiki sepeda motor. Walaupun memang katerlambatanku dalam bersiap-siap juga menjadi faktor utama. Dia pun sejak semalam membantuku berkemas. Menata pakaianku ke dalam tas yang hampir tak muat menampung. Tanpa aku minta sedikitpun. Bahkan aku melarangnya. Biarlah aku saja yang menyiapkan segala keperluanku. 

Hari-hari sebelumya kami sering tidur bersama di kamar besar yang dinamakan Gaza itu. Kamar ujung. Kamar para santri. Yang bermuatan sembilan orang. Tapi, semua telah tiada. Mereka sudah selesai studi di tempat itu. Dan sekarang sedang menjalankan tugas pengabdian di tempat-tempat yang berbeda. Hanya empat orang saja dari sepuluh yang mendapat tugas pengabdian disitu. Dan aku hanya menumpang untuk sementara, setelah tugasku menjadi Musyrifah tahfidz mereka, dan pengajar salah satu kelas TPA usai. Sekitar satu bulan aku menumpang ditempat itu setelah semua amanahku selesai. Hanya untuk menyelesaikan kuliah di Mustawa Tsalits di sebuah Ma'had Bahasa Arab dan Studi Islam. Untuk mengikuti Ujian Akhir Semester.

"Iya mba. Saling mendoakan ya. Hanya do'a yang mendektakan kita. Sejauh apapun kita.", kataku sedikit menenangkan. Walau diriku pun belum bisa.

"Iya mba. Hati- hati ya..", 

"Iya, tahun depan nyusul ya mba"

"Insya Allah, doakan aja", akhirnya dia melepaskan pelukan yang dalam itu. Berat. Walau sebenarnya aku yang memulai.

Salah satu temannya malah mendokumentasi kesedihan dalam kehangatan tangis itu. Dan yang satu lagi tampak sedih juga.

"Mba, ini buat mba. Semoga bermanfaat", dia memberikan sebuah hadiah. Berbungkus merah muda. Kotak.

"Ya Allah.. kenapa repot repot mba?, kemarin kan udah ngasih. Sekarang ngasih lagi.."

"Beda lah mba. Kemarin kan bareng-bareng dari santri"

"Oh, iya. Ya Allah.. Jazakillah Khairan ya mba. Dan aku ngga bisa balas apapun. Ngga kasih apa-apa ke kalian"

"Udah mba. Selama ini mba udah bantuin kita banyak"

"Iya iya..", kataku mengalah.

"Jazakillah ya mba", kado itu aku masukkan ke dalam tas yang sudah sangat gemuk, "Aduh..Muat ngga ya?"

"Eh, muat ngga mb? Taruh depan aja sini..", usul nya sambil membukakan resleting yang depan. Mungkin dia sedikit hafal bagian mana yang cukup longgar. Karena dia ikut turun tangan semalam.

"Oh iya, bener", kataku.

"Udah ya mba, aku pamit, udah siang. Takut macet nanti"

"Iya mba. Ke Jogja dulu kan?"

"Iya"

"Eh, ngga pamitan Ustadz di kantor mba..?", usul seorang temannya yang sejak tadi mengambil gambar dan merekam kami.

"Oh, ada ustadz ya?"

"Iya Mba." kata.

"Oh yaudah, temenin yuk, aku malu kalau sendiri"

Pintu kantor bagian belakang kami ketuk. Sengaja tidak bertemu muka. Hanya suara. Dan itu memang kebiasaan kami. Jika memang tak ada alasan syar'i untuk bertemu, maka kami hanya menyampaikan keperluan kami dari balik pintu, yang dibuka sedikit. Aku berpamitan kepada beliau. Meminta maaf atas segala khilaf dan segala kekurangan dalam menjalankan amanah. Ustadz pun demikian. Selain meminta maaf beliau juga mendoakan untuk kelancaran segala urusanku.

"Berangkat nya kapan mba?"

"Belum tau ustadz. Tapi insya Allah jadwalnya pertengahan atau akhir bulan September", 

"Oh iya. Semoga Allah beri kemudahan"

"Iya ustadz. Amiin. Syukron Ustadz. Saya pamit dulu"

Perpisahan itu masih sangat kuingat. Dia menggunakan rok SMA nya. Khimar hitam yang panjang menjulang hingga hampir lutut. Mengayunkan tangannya hingga aku tak nampak lagi. Aku hanya melihat dari kaca spion motor. Dan sedikit membalas lambaian tangan itu dengan tangan kiri ku. Aku masih menangis. Walau berkali-kali aku tahan. Sulit.

Setelah mampir ke atm dan Pos untuk mengirim paket, aku pun langsung menuju jalan besar Solo-Jogjakarta. Aku tidak mampir lagi ke kost kakak ku. Pagi hari nya sesudah sholat shubuh aku sudah kesana untuk menitipkan beberapa barang. Kakakku akan pulang juga beberapa hari yang akan datang. Usai ujian.

Selama di perjalanan yang panas itu aku masih mengingat pertama kali datang ke kota batik itu. Pertemuan yang bukan kebetulan. Semua rencana Allah. Dan itu pasti yang terindah. Terbaik. 

Indah dan baik itu bukan berarti tanpa tantangan dan tangisan. Tanpa pengorbanan dan ujian. Semuanya pasti ada. Dan itu terkadang hampir membuatku tak kuat lagi. Hampir menyerah. Namun mereka selalu membuatku kuat. Walau secara tidak langsung. Mereka yang mengajariku apa itu syukur. Dan bagaimana dekat dan cinta dengan Rabb.

Iya. Mereka. Para santri yang sebenarnya aku didudukkan sebagai musyrifah mereka. Walau aku tak merasakan hal itu. Selain karena usia kami yang sama, atau bahkan mereka diatasku, juga karena ilmu dan hafalan. Aku merasa tak ada apa-apanya jika dibanding mereka. Tapi entahlah Allah yang memiliki karunia dan segala kehendak. Semua itu telah diatur.

Dari mereka aku belajar tawadhu'. Mereka tak pernah membangga-banggakan jumlah hafalan, apalagi ilmu-ilmu syariat Islam yang setiap hari menjadi santapan. Mereka tetap menghormati, walau jika difikir aku lebih cocok jadi adik kelas mereka. 

"Astagfirullah.., jangan nangis", aku baru sadar jika diriku sedang menyetir sepeda motor. Dan air mata itu yang menemani.

Di Jogja aku hanya sebentar. Dua malam. Selain khawatir merepotkan, aku sudah sangat rindu dengan rumah. Toh sepeda motornya juga dibutuhkan oleh ibuku. Belum cukup sebenaranya melepas rindu di kota itu. Kota pertama kali kuinjakkan kaki dalam perantauan. Perjuangan meraih ilmu di jalan Illahi. Penuh kisah dan pengalaman yang tak mampu tergantikan dimanapun.

Bertemu beberapa Ustadz dan Ustadzah, serta teman-teman yang sudah berpencar dimana-mana. Dan aku memutuskan untuk ke tempat yang lebih utama. Umi dan Abah pondok. Ke rumah beliau. Selain berpamitan, dan minta doa, aku mendapat banyak nasehat yang itu tak kan pernah terlupakan.

"Sama ilmu itu yang rakus. Jangan pernah puas. Apapun jika ilmu jangan ragu. Pokoknya demi ilmu jangan ragu mengeluarkan uang. Tau kan dulu para ulama sangat benci makan demi ilmu. Karena makan itu mengurangi waktu mereka. Bahkan makanan mereka itu dibuat bubur biar ngga perlu mengunyah, dan langsung ditelan. Jadi kan bisa menghemat waktu..."

"Masya Allah, iya Umi.. ", respon ku sedikit memotong. Sepertinya belum berujung nasehat itu. Aku semakin tertegun.

"Kalau ada temen yang minta oleh-oleh, bukan makanan, bukan barang, tapi ilmu. Kalau minta oleh-oleh bilang aja aku hanya bawa ilmu, bukan yang lain"

"Iya mi.  Iya temen-temen ada yang minta abon unta. Padahal saya juga belum tahu mi.. Hehe..."

"Iya. Kalau anak-anak sekarang itu terlalu banyak pencitraan. Apa-apa difoto. Dan yang difoto adalah dirinya. Disana-sini selfie. Datang ke tempat tertentu foto, disana foto, kemana foto. Upload di medsos. Itu anak-anak zaman sekarang. Mereka lupa dengan tujuan mereka menuntut ilmu"

"Iya mi, bener. Terus yang difoto dan diupload apa nya mi? ilmunya?"

"Bukan. Tapi apa yang sedang kita teliti. Misal kamu ke museum atau ke suatu tempat. Kamu foto hal-hal akan diteliti sejarah nya misalkan.. jadi bukan kamu foto di situs itu, untuk menunjukkan kalau aku udah kesini.. biar keren.."

"Hmm.. iya mi, insya Allah"

Nasehat itu yang hingga saat ini aku ingat. Dan setiap kali aku ragu untuk rela mengeluarkan uang demi kitab, demi datang ke halaqoh ilmu, atau majelis majelis lainnya semua itu tertepis. Demi ilmu, jangan ragu untuk jor-joran. Dan ketika membeli makanan, mencoba kulihat disana sini menjadi hobi mahasiswa dan pemuda, aku sudah tak terlalu tertarik lagi. Rugi rasanya hanya untuk buat perut terisi harus mengeluarkan uang yang jauh lebih banyak daripada naik bus ke tempat talaqi. Sedangkan untuk bisa bernafas dan beraktivitas perut dan tubuh kita tak meminta yang mewah. Lagipula jika di rumah sudah ada makanan kenapa harus dua kali mengeluarakan uang. Tapi terkadang jika makan di luar rumah adalah sebagai reward yang ku berikan pada diriku sendiri karena sebuah target yang sudah mampu aku capai, maka itu baik insya Allah. Aku niatkan saja karena Allah.

Terkait foto sana sini, aku memang tidak terlalu memperhatikan hal itu. Bukan karena tidak ingin dan tak tertarik sama sekali. Setiap orang pasti ingin mengabadikan momen indah yang mungkin tidak akan terulang kembali. Apalagi disana sini kamera bertebaran. Seolah-seolah mendorong kita untuk tidak mau kalah dalam mengambil foto dengan pose terbaik dan terindah. Tapi, apakah artinya jika apa yang kita dapatkan dari kelelahan perjalanan atau kenikmatan pemandangan jika tidak ada yang bertambah baik dari diri kita? Baik itu ilmu maupun ketaqwaan. Jika ciptaan Allah, keindahan  alam, atau tempat-tempat unik buatan manusia tidak menjadikan kita menjadi lebih tau banyak hal. Kemudian dengan pengetahuan itu kita semakin takjub dengan kuasa Rabb Semesta alam dan semakin takut dengan-Nya. Hanya foto-foto demi eksis dan ketenaran semata. Mencari pandangan atau pujian dari lisan-lisan dan komentar manusia. Mencari ketenaran di dunia fana atau dunia maya.

Astagfirullah. Tak mudah memang. 

Berakhir sudah kakiku menginjakkan Jogjakarta. Dan aku pun pulang. Ke sebuah kota kecil di ujung selatan dan barat Provinsi Jawa Timur. Kota seribu satu goa. Kota yang dilewati puluhan pantai. Dan itu kali pertama dan mungkin terakhir ku mengendarai sepeda motor di jalur yang sebenarnya sudah berkali-kali aku lewati dengan mobil travel. Atau setidaknya dibonceng dengan motor.

Di rumah, bungkus itu aku buka. Sebuah Mushaf Al Quran. Berwarna coklat. Sama persis dengan milik yang memberiku mushaf itu. Terdapat dua lembar kertas di dalamnya. Penuh dengan tulisan tangan yang sangat kukenal. Surat itu. Lagi-lagi dia membuatku tak mampu membendung kesedihan. 

"Ya Allah ini mushaf yang sejak dahulu aku inginkan". Memang waktu itu sepertinya aku pernah tanpa sengaja bercerita padanya. "Aku ingin beli mushaf kayak punya antum mba. Kayaknya lebih enak buat hafalan, sama tilawah.. harakatnya dibedakan berdasarkan tajwidnya".. Tapi aku sayang dengan quran yang saat itu aku miliki. Banyak kenangan dan cerita perjuangan menghatamkan nya. Banyak perjalanan bersamanya. Dan aku sampai saat itu jika ia tak memberi hadiah padaku mungkin aku tak akan beli. Lagipula uangnya bisa untuk yang lain.

Ternyata dia tidak melupakan curhatan kecilku itu. Yang sebenarnya tidak perlu dianggap sesuatu yang serius. Ia hanya selingan obrolan yang waktu kita sedang berdua di masjid seperti biasa. Mushaf itu.

Sekitar satu minggu aku di rumah, akhirnya pengumuman keberangkatan sudah diinfokan. Dan aku mendapat rombongan keberangkatan yang kedua. Tepatnya tanggal 20 September 2017. Dan itu tidak lama lagi. Hanya sekitar dua minggu aku menghabiskan waktu bersama kedua orangtua dan adikku. Dan hari-hari benar-benar kuiisi untuk belajar persiapan tes Tahdid Mustawa (Penentuan Level) yang akan diadakan nanti di Mesir.

Info tanggal keberangkatn itu benar-benar membuatku tenang dan lega. Bagaimana tidak, sekian lama sekitar hampir tiga bulan kami menunggu proses pengurusan tiket dan visa. Dan setiap ditanya teman, guru, atau saudara aku belum bisa menjawab dengan pasti. Masih menggantung.

Tapi tidak. Kebahagiaan itu dibarengi dengan info yang benar-benar menegurku. Menyadarkanku bahwa setinggi apapun impian itu, sebaik apapun rencana itu, jika Allah tak berkehendak, maka mudah saja bagi-Nya untuk menghalangi kita. Dan jika Allah berkehendak mudah saja Dia mengambil nyawa kita. Dalam kondisi apapun. Dalam kebahagian yang bagaimanapun itu.

Tiba-tiba saat aku tak sengaja membuka grup 'Akhwat Al Mahir', ada teman yang mengirim pesan. Dia mengabarkan kalau sahabatku kecelakaan.

"Coba kalian hubungi. Umi sama abinya aku telfon juga ngga bisa"

"Iya. Aku baca di status facebook temennya kalau dia sudah Allah jemput"

"Eh.. itu bener ngga infonya?"

Celotehan mereka di grup tidak terlalu aku anggap. Dan aku tidak komentar atau bertanya sedikitpun. "Ah paling juga belum valid" kataku dalam hati. Kemarin harinya aku baru saja berkomunikasi dengannya. Menayakan apakah dia sedang pulang ke rumahnya di Jawa Barat. Dan dia menjawab iya.

Aku pun menutup handphone. Itu malam hari. Dan aku melanjutkan aktivitas seperti biasa. Untuk memastikan dia baik-baik saja aku kirim pesan singkat ke nomornya. Dan hanya cekhlis satu. Mungkin sudah tidur fikirku. Hingga pagi harinya aku tanpa sengaja membuka facebook dan kutemukan sebuah status tak begitu panjang tapi seketika aku menangis membacanya. Dikabarkan jika dia telah Allah jemput. Karena sebuah kecelakaan mobil. Dan baru kali itu aku menangis karena seseroang yang meninggal. Benar-benar tidak percaya. Segera aku memanggil ibuku yang kemudian tekejut melihat pipiku telah basah. Aku perlihatkan apa yang di beranda facebook ku. Dan untuk memastikan aku hubungi teman yang membagi info itu.

Semua benar. Info itu sudah jelas. Seketika aku mengingat segala kebaikannya selama ini. Dan aku masih terus membasahi pipi ini mengingat segala keburukan yang mungkin pernah aku sangkakan padanya. Ibuku berkali-kali menguatkan serta menasehatiku. Adikku pun bertanya-bertanya.

Aku belum sempat mengobrol lagi sejak aku pulang. Dia sibuk begitu juga aku. Keterbatasan sinyal di rumah juga membuatku hanya berkomunikasi dalam urusan-urusan yang penting. Bahkan aku harus keluar rumah untuk mencari sinyal internet. Dan sering juga ke rumah nenek ku. 

Siang itu aku kesana. Aku bercerita apa yang terjadi. Dan akupun sekali lagi tak kuat menahan airmata. Berita kecelakaan itu pun ternyata besar. Di beberapa stasiun televisi pun tersiar. Walaupun dengan bermacam-macam versi yang berbeda. 

Dia Allah jemput bersama kedua adiknya. Sementara, ibu dan adik perempuannya yang terbesar luka parah. Hanya ayahnya yang tak teralalu parah. Allah benar-benar menguji kedua orangtuanya dengan diambilnya anak yang sangat membanggakan. Anak terkecilnya, juga anak laki-laki satunya.

Bahkan Mudir Ma'had kami itu menuliskan status bahwasannya "Harapan ummat sangatlah besar padanya, tetapi Allah lebih mencintainya"

Dibalik itu semua ada hikmah. Mungkin mereka Allah dahulukan untuk membukakan pintu-pintu surga untuk kedua orangtuanya. Dan semoga kami termasuk dalam daftar orang dicintai dan dapat bertemu kembali. Mengingat firman Allah : "Pada saat itu sahabat karib menjadi bermusuhan, kecuali orang yang bertaqwa" 

Hari-hari itu waktuku banyak habis untuk mempersiapakan keberangkatan. Sebuah azzam yang tak akan kugoyahkan. Memegang erat apa yang dieberikannya itu. Sebuah mushaf yang seolah-seolah itu adalah wasiat terkahirnya agar aku tak pernah jauh jauh dari Al Quran dan selalu mengingat serta mendoakannya. Mushaf itu adalah salam perpisahan kami. Bukan karena aku pergi jauh ke Negeri para Nabi. Tapi karena ia lebih dahulu meninggalkan kami di tempat yang fana ini. Berharap pada Allah untuk mempersatukan kembali di tempat peristirahatan yang penuh kenikmatan serta abadi.

Air mata di atas Mushaf ini kan selalu ada.

Selasa, 13 Februari 2018

Derita Dalam Cinta

Cinta itu membuat segala hal menjadi tertuju padanya. Setiap waktu selalu memikirkannya. Membayangkannya. Dan selalu ingin menyebut namanya di kala sedih atau senang. 

Cinta itu anugrah yang Allah berikan. Kepada setiap hambanya yang diberikan akal dan hati. Yang dengannya kehidupan ini terus berjalan. Generasi demi generasi. Membawa banyak perubahan. Ia yang senantiasa mengupayakan sebuah harapan. Keinginan memberikan yang terbaik untuk yang dicintainya. Rela memberikan segala hal yang ia minta. Tak berat melakukan apapun yang dia mau. 

Cinta itu indah. Karenanya banyak hal yang dapat dihasilkan. Banyak perkara yang nampak mustahil tapi tetap dilakukan. 

Lalu bagaimana cinta seseorang yang memiliki iman dalam hatinya?

Kemana asa itu dilabuhkan?

Dengan apa semua itu diungkapkan?

Derita dalam cinta. Iya. Karena cinta seorang mukmin itu hanyalah pada yang Allah perintahkan. Bukan kepada yang Allah haramkan. Maka, derita dalam cinta itu saat kita condong pada cinta yang tidak seharusnya. Cinta kepada selain-Nya. Atau mencintai apa yang tidak dia perintahkan untuk dicintai.

Nafas itu serasa tak tenang. Saat ada selain-Nya dalam hati. Saat ada seseorang yang tak halal dalam fikiran. Ketika ada sesuatu yang lebih berat dalam angan. Dalam sujud pun bukan Dia satu-satu Nya yang dalam pengaduan. 

Derita dalam cinta itu ketika ada Tuhan-tuhan lain dalam hati seorang mukmin. Saat kendaraan yang kau impikan selalu terbayang. Pakaian indah yang kau nantikan selalu terngiang. Harta atau jabatan yang sangat diharapkan membuat semakin tak tenang. Seseorang yang kau kagum dengannya. Ingin menjadi miliknya. Ingin tau apa yang dia lakukan. Semua peluh seakan demi mengejarnya. Semua lelah hanya ditujukan padanya. Pengorbanan tak ringan demi mengejarnya. 

Derita dalam cinta yang fana ini tak semua mampu merasakan. Ia yang memiliki iman di hatinya, yang pernah menikmati cinta kepada-Nya, maka akan peka. Sadar bahwa dalam hatinya ada arbab-arbab (tuhan-tuhan) yang lain. Yang membuat tersiksa, dan langkah kaki serasa sia-sia. Tak pernah lagi ada air mata kerinduan pada kampung halaman. Tempat peristirahatan. Tak ada lagi sujud panjang penuh khidmat. Tak ada lagi tangisan syahdu bentuk syukur. 

Manisnya iman memang hanya dirasakan pada mukmin yang tak pernah meletakkan dunia di dalam hati. Cukup di tangan. Yang mudah datang dan hilang. Ketika datang ia bersyukur dan tak melupakan siapa yang memberi. Ketika hilang ia tak kan menyesali. Dibalik itu pasti Allah memberikan yang lebih baik. Dengan mengahpus dosanya, menambah pahala, atau menangguhkan sesuatu yang lebih indah. 

Yang mukmin pasti tak kan nyaman untuk bertemu dengan apa yang membuat cinta pada-Nya teralihkan. Jangankan bertemu, memikirkan saja sangatlah berat dan mengganggu. Ia begitu takut bahwa apa yang difikirkan adalah sesuatu yang belum halal atau bahkan tak akan halal. Ia begitu malu kepada-Nya karena sekecil dan sehalus apapun tak kan luput dari pengawasan-Nya. Dia sangat pencemburu bagi siapa saja yang berpaling. Dan Dia sangat penyayang kepada siapa saja yang mau mendekat. Walau sejengkal. 

Derita dalam cinta yang salah tak akan terasa baginya yang sudah biasa dalan kemaksiatan. Nyaman dalam cinta yang diharamkan. Menikmati cinta fana. Angan-angan pada sesuatu yang sekejap. Maka, jika seorang mukmin ingin merasakan kesensitifan pada segala yang haram serta sia-sia, maka tak ada pilihan lain kecuali meninggalkan selain-Nya untuk ditempatkan di hati, dan hanya Allah yang membuncah dalam setiap hembusan nafas, kebahagian, juga kesedihan. Hanya Dia yang selalu menemani dalam ramai atau sunyi.

Wallahua'lam bish Showab

Bukan Diriku Tapi Allah (3)

Waktu itu berjalan begitu cepat. Hingga Daurah Lughoh telah usai kulewati. Dan semua ditutup dengan Imtihan Akhir (Ujian terkahir) yang mencakup semua materi dari semua Mustawa. Yang paling aku takutkan adalah soal Qira'ah (membaca), karena pasti tidak sama dengan yang kami pelajari selama ini di kelas, yang menggunakan buku panduan pada setiap Mustawa. Juga Istima' (kemampuan mendengarkan), yang sangat cepat dan banyak pula mufrodat (kosakata) yang masih asing di telinga. Tapi, lagi-lagi tawakkal yang menjadi andalan. Karena itu adalah hari terakhir, maka semua lelah dan resah seolah-seolah akan terbayar dengan imtihan sebagai penutup itu. 

Satu kelas kami sekitar 40 anak. Sangat banyak. Melebihi kapasitas. Dan saat ujian seperti itu, kelas terasa sangat- sangat penuh, karena jarak antar yang satu dengan yang lain cukup jauh. 

Hari terkahir masuk Markaz Lughoh bertepatan sekali bahwa pekan itu adalah pekan terkahir muhadhoroh (kuliah) sebelum dua minggu lagi Ujian Termin Satu. Jadi kesempatan kuliah pun sudah tiada. Dan kami hanya menelan ludah. Tapi tak apa. Semua tetap harus disyukuri. Nikmat-Nya tetaplah tak terhingga. Hingga hari itu, masih banyak temanku yang belum masuk Markaz Lughoh. Adapula yang sakit sehingga harus pulang ke Indonesia. Dan mereka yang sudah masuk Markaz Lughoh pun setiap bulannya harus membayar uang belajar dengan jumlah yang tidak sedikit. Setidaknya bisa digunakan untuk dua bulan membayar syaqoh (apartemen) sekaligus makan. Dan itu tidak bagiku. Maka nikmat-Nya mana lagi yang harus didustakan?

Satu, dua kali muhadhoroh terakhir untuk Maddah tertentu, seperti Nidzamul Islam (Sistem Peraturan Islam) diadakan khusus untuk wafidat (Mahasiswi non Mesir), juga Nahwu Shorof. 

Bimbel yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin pun satu per satu mulai berhenti. Dengan berbagai macam alasan. Karena memang sudah selesai penjelasan kitab, seperti Nidzamul Islam, Mantiq, Ulumul Quran, dan Fiqh. Atau dengan alasan karena sudah mendekati Ujian, sehingga Ustadz yang mengajar kami menyarankan untuk belajar masing-masing. Itu Nahwu-Shorof.

Tiga minggu. Penuh kisah, peluh, dan air mata. Enam maddah. Artinya enam kitab. Harus aku fahami dalam waktu dua minggu itu. Segera aku buat target. Satu minggu harus selesai melahap dua kitab. Tidak hanya membaca, tapi faham, juga membuat rangkuman, kemudian dihafalkan. Dan kitab-kitab yang tebal ada tantangan tersendiri. Juga maddah yang menggunakan kitab turats. Memahaminya tidaklah mudah.

Ujian pun ternyata dimajukan. Yang awalnya 6 Januari, menjadi 30 Desember. Artinya benar-benar tidak ada waktu untuk bersantai. Tidak ada kata molor dari terget yang sudah dibuat. 

Waktu ku benar-benar habis untuk bersama kitab-kitab muqarrar itu. Lebih sering menyendiri. Dan makan pun terasa sangat mengganggu, karena mengurangi waktu. Mengobrol pun hanya sedikit sekali.

Yang berat itu bukan pada apa yang dibaca, tapi bagaimana bisa bertahan berjam-jam untuk terus bersama kitab. Membuang jauh rasa bosan dan jenuh. Memupuk semangat yang tiba-tiba sirna. Menghapus air mata saat terbesit keinginan menyerah. Bangun di tengah malam untuk kembali bergulat dengannya. Dan musim dingin itu ketika puncak-puncaknya. Jangankan menyentuh air, melepas selimut dari tubuh terasa mustahil. Belajar di siang hari pun menggigil. 

Belum selesai. Usaha saja tak akan membuahkan hasil jika kita tak mampu mendekat dengan Pemilik Keputusan dan Segala Rahasia. Saat benar benar malas dan berat untuk bangun di tengah malam. Melawan dingin, merelakan waktu membaca untuk bersimpuh dan bersujud hina di hadapan-Nya. Berharap belas kasih dan pertolongan-Nya. Bisikkan lirih dalam sunyi, dalam gelap. Disampaikan ke bumi-Nya, kemudian berharap rangkaian doa itu menembus langit-Nya.

Jangan sia-siakan usaha kita hanya dengan menganggap diri tidak membutuhkan-Nya. Cukup dengan kepandaian atau kemampuan kita. 

Tiga minggu tak terasa. Hingga pada hari Sabtu 30 Desember itulah hari pertama dimulai Ujian. Aku lakukan apa yang dinasehatkan oleh seorang ustadz saat kami mengikuti Tryout dua minggu sebelumya. Berdoa, saling mendoakan, juga meminta doa kepada orangtua dan guru-guru kita. 

Usaha itu tidaklah semata-mata 100% kunci keberhasilan kita dalam meraih suatu impian. Semua harus saling melengkapi dan tak bisa hanya mengandalkan pada salah satu saja. Jika dihitung-hitung, tawakal adalah nomor satu. Kemudian berusaha adalah jalan yang mengantarkan apa yang kita harapkan. Do'a adalah bentuk kepasrahan kita. Bahwa tanpa-Nya semua tak kan terwujud, tanpa-Nya segala macam usaha tak kan berarti. Tanpa-Nya segala kehebatan dan kecerdasan pun tak kan menjamin. Apalagi jika doa -doa itu dipanjatkan oleh banyak orang, dan orang-orang sholeh baik guru, orangtua, maupun sahabat kita. Ditambah lagi jika doa itu dibisikkan pada setiap sujud dan waktu-waktu mustajab. Ringan, remeh, tapi tak semua orang mampu. Tak nampak, dan seolah tak berpengaruh bagi siapapun yang tak yakin. Ada kekuatan besar yang itu hanya iman di hati yang membenarkan.

Hari pertama ujian, aku belum tahu pasti Roqm Julus (Nomor absen) ku yang benar. Karena di dalam pengumunan nama dan nomor absen ku tertera dua kali. Dan aku tak tahu mana yang harus aku ikuti. Aku pun belum tahu di Lajnah (kelompok) berapa aku masuk ruangan untuk imtihan. Pagi itu aku berangkat lebih awal. Kertas talkhis (rangkuman) ada di tangan ku sejak aku naik bis. Dan aku baca berkali-kali agar semakin memahaminya. Hingga bis itu berhenti di Nafuro. Setelah turun, aku segera berjalan menuju mabna' (gedung) Dirasat Islamiyah. Aku duduk di sebuah kursi panjang. Semua sibuk dengan kertas dan bukunya masing-masing. Menunggu syuun (kantor) Ushuludin buka, untuk memastikan Roqm julus. 

Akhirnya aku mendapat nomor 21802 yang terletak di lajnah 59. Ruangan kelasku ternyata. Dan itu ruangan teratas dan terujung. Sedangkan teman-teman dari Jndonesia kebanyakan di lajnah 20 an yang terletak hanya di lantai dua atau tiga. Bersama beberapa teman Malaysia dan satu dari Indoensia.

Tiga minggu. Akhirnya ujian itu selesai. Merasakan kelegaan yang tak terkira. Belajar dalam tekanan itu tidaklah mudah. Jika, niat kita tak ikhlas karena Allah pasti sulit untuk bertahan. Ridho dengan segala keputusannya. Berjuang dengan segala kemampuan yang kita bisa, serta doa yang tak pernah terhenti. Menuntut ilmu agama jika benar-benar ikhlas lillahi ta'ala, maka ia seperti mujahid di jalan Allah, dan dia sedang menempuh jalan menuju surga-Nya.

Dan itu yang mampu membuatku terus melangkah, walau harus terseok-terseok atau merangkak. Tetap berjalan walau tak bisa berlari. Tetap melangkah walau sejuta duri menghalangi. 

Satu hal yang tak pernah kutinggalkan adalah Al-Quran. Sesibuk apapun dengan target belajar, membaca kitab, merangkum, dan menghafal, tapi Al-Quran tetap terasa berat jika jauh dari hari-hari yang menegangkan. Justru al Quran lah yang satu-satunya dapat menenangkan fikiran. Mengingat janji Allah, bahwa siapapun yang menyibukkan diri dengan Al-Quran niscaya Allah mudahkan segala urusannya.

Dan itu terbukti. Selama tiga minggu ujian, aku tetap memaksakkan diriku untuk murajaah dan menyetorkan hafalan. Perjalanan satu jam. Walau terkadang hanya bisa satu minggu sekali, setidaknya untuk menyetorkan hafalan itu aku butuh berhari-hari untuk mempersiapkan. Tetap bersama Quran. Dan Allah memang tak pernah ingkar janji. 

Pada liburan itu aku benar-benar ingin menjelajahi kota istimewa ini. Menggali segala hal yang ada. Negeri para Nabi dan Ulama. Negeri yang dahulu termasuk Daulah Islamiyah. Yang memiliki jejak-jejak yang mampu menjadikan rindu kepada Islam. Al-Qahirah.

Next..

Selasa, 06 Februari 2018

Ilmu Tidak Didapatkan dengan Tubuh yang Santai

Semua manusia sepakat bahwa ilmu sangat penting bagi manusia. Baik ilmu dunia maupun ilmu agama, karena ilmu bisa meningkatkan derajat manusia.

Allah berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [Al-Mujadilah : 11]

Karena ilmu ini yang bisa mengarahkan orang untuk beramal dengan amal yang benar. Jika tidak berilmu, bagaimana ia bisa beramal? Ath-habari rahimahullahu berkata,

ويرفع الله الذين أوتوا العلم من أهل الإيمان على المؤمنين، الذين لم يؤتوا العلم بفضل علمهم درجات، إذا عملوا بما أمروا به

“Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka, jika mereka mengamalkan ilmu tersebut.”[1]

Salah satu keutamaan ilmu juga sebagimana dalam ayat berikut.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allâh amat cepat hisab-Nya.” [Al-Maidah/5:4].

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa anjing yang “berilmu/terlatih” (kalbun mu’allam/anjing terlatih) dihalalkan buruannya padahal anjing berburu dengan gigitan mulut dan ada air liurnya. Beliau berkata,

ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺟﻌﻞ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﺠﺎﻫﻞ ﻣﻴﺘﺔ ﻳﺤﺮُﻡ ﺃﻛﻠﻬﺎ ، ﻭﺃﺑﺎﺡ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﻤﻌﻠّﻢ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻌﻠﻢ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan buruan anjing yang “bodoh/tidak dilatih” sebagai bangkai yang haram di makan dan Allah membolehkan buruan anjing terlatih. Hal ini menunjukkan kemuliaan ilmu.”[2]

Banyak orang yang sangat ingin berilmu dan menjadi orang yang memiliki ilmu, akan tetapi mereka tidak tahan dengan lelah dan letihnya menuntut ilmu. Ilmu tidak mungkin didapatkan, seseorang harus melawan nafsu bersantai-santainya.

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata,

ولا يستطاع العلم براحة الجسد

“Ilmu tidak akan diperoleh dengantubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)”[3]

Semakin tinggi cita-cira kita, maka semakin sedikit juga waktu luang dan waktu untuk badan kita bersantai-ria.

Imam Syafi’i rahimahullah juga mengisyaratkan perjalanan dan perjuangan berat menuntut ilmu dengan hasil yang baik. Beliau berkata,

لا يطلب هذا العلم من يطلبه بالتملل وغنى النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذلة النفس، وضيق العيش، وخدمة العلم، أفلح

“Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan, merasa puas jiwanya kemudian ia menjadi beruntung, akan tetapi ia harus menuntut ilmu dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup dan berkhidmat untuk ilmu, maka ia akan beruntung.”[4]

Abu ‘Amr bin Ash-Shalah menceritakan biografi Imam Muslim rahimahullah, beliau berkata,

وَكَانَ لمَوْته سَبَب غَرِيب نَشأ عَن غمرة فكرية علمية

“Tentang sebab wafatnya (imam muslim) adalah suatu yang aneh (bagiku), timbul karena kepedihan/kesusahan hidup dalam (menuntut) ilmu.”[5]

Menuntur ilmu selain meletihkan pikiran, juga terkadang meletihkan badan. Yahya Abu zakaria berkata,

وذكر لي عمي عبيد الله قال: قفلت من خراسان ومعي عشرون وقرا من الكتب، فنزلت عند هذا البئر -يعني: بئر مجنة- فنزلت عنده اقتداء بالوالد

“Pamanku Ubaidillah bercerita kepadaku, “aku kembali dari Khurasan dan bersamaku ada 20 beban berat yang berisikan buku-buku. Aku singgah di sebuah sumur –yaitu sumur Majannah- aku lakukan karena mencontoh ayahku.”[6]

Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang menanggung letihnya menuntut ilmu adalah orang yang beruntung dengan ilmunya kelak. Beliau berkata,

ما أفلح فى العلم إلا من طلبه فى القلة، ولقد كنت أطلب القرطاس فيعسر علىَّ. وقال: لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح

“Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali orang yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan aku dahulu mencari sehelai kertaspun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”[7]

Semoga ini menjadi motivasi kita terutama di zaman ini yang ilmu sangat mudah diperoleh melalui internet, youtube dan sosial media. Jangan sampai kita terlena dengan kemudahan ini dan tidak berniat menuntut ilmu dengan baik. Silahkan bandingkan bagaimana cara kita menuntut ilmu dengan ulama zaman dulu

Bukan Diriku Tapi Allah (2)

Usai tes kami berfoto sebentar. Itu pun mencari-cari celah agar tidak dilihat banin. Sulit sekali. Dan hanya beberapa gambar saja yang didapat.

Tawakkal. Diawal. Di tengah. Dan di akhir. Pengumuman hasil tes itu tanggal 6 atau 7 Oktober. Jadi hanya dua hari saja kami menunggu. Esok hari membuat kami semakin khawatir dan penasaran. Hingga tengah malam tanggal 6 itu nama kami belum nampak. Baru ada untuk banin. Itupun belum semua. Kami harus berkali-kali lihat pengumuman itu di halaman Facebook KPP MABA. Keesokan harinya tanggal 7, sudah banyak yang muncul lagi nama-nama kami belum ada. Dan kebanyakan teman yang ku kenal, nama mereka telah keluar. Aku belum. Ada dari mereka yang masuk mustawa Mutawasith Tsani (level 4), Mubtadi tsani (level 2), Mutaqaddim awal (level 5), dan Mutawasith Awal (level 3). Dan hingga tengah malam namaku pun belum keluar. Aku berhusnudzon saja. Mungkin Allah masih memberi kesempatan untuk berdoa. Aku pun tidur dengan hati yang semakin penasaran. Berusaha untuk tenang dan berserah diri pada-Nya. Apapun itu yang terjadi. 

Hingga kami terbangun. Tanggal 8 Oktober. Hari itu sebenarnya daurah lughoh sudah akan dimulai. Pagi itu beberapa nama temanku muncul lagi. Dan aku mencari-cari namaku diantara ratusan nama yang semua bertuliskan Arab. Belum ada. Aku ulang lagi.

"Mba, udah ada?", tanyaku kepada Mba Rizkia.

"Udah., Alhamdulliah..."

"Alhamdulliah.. tapi aku belum, mba", keluhku. Pagi itu semua teman yang aku kenal aku tanya satu per satu. Dan nama mereka serta dimana level mereka sudah mereka ketahui. Dan aku entah harus bagaimana.

Selain nama dan level juga qoah (ruang kelas), terdapat pula pengumunan kapan level-level itu bisa mulai masuk. Dan pada hari itu hanya untuk level Mubtadi Awal (level 1), Mubtadi Tsani (level2), Mutaqaddim Tsani (level 6) dan Mutamyiz (level 7). Itupun dibagi dua waktu. Banat pagi hingga siang, dan banin siang hingga malam. Sedangkan sisanya belum dipastikan kapan bisa mulai masuk.

"Assalamualaikum. Ustadz, afwan ana masuk mustawa berapa ya? Karena di pengumuman tidak ada nama ana", akhirnya aku putuskan untuk bertanya melalui massanger ke akun Facebook KPP Maba. Itu atas saran temanku.

"Waalaikumsalam. Atas nama siapa?"

"Qonita Fairuz Salsabila", aku tulis dengan huruf Arab. 

"Roqm julus berapa?"

"21072, ustadz"

"Mutaqaddim Tsani"..."Qoah 21"

"Beneran ustadz?", tanyaku spontan. Dengan bahasa yang kurang sopan. Tidak percaya sedikitpun.

"Iya"

"Alhamdulliah"

"Masuk pagi ini jam 8", dan saat itu sudah pukul 9 pagi. Dan aku masih belum percaya. Saat temanku menyuruhku segera berangkat, aku menolak. Bukan karena malas. Tapi karena masih belum yakin dengan itu.

"Syukron Ustadz"

"Afwan"

Segera kusujudkan tubuh ini. Tak tahu dengan cara apalagi aku harus bersyukur. Akhirnya Mba Rizkia mau menemaniku ke Markaz Lughoh untuk memastikan. Dan Salma pun juga akan memastikan namanya. Kami menberanikan naik bus. Walau itu pertama kali tanpa kakak kelas.

Setelah memastikan ke idarah (kantor) Markaz, ternyata benar. Ustadz itu menyuruhku segera masuk ke Qoah 21.

"Itu kan bener, mbak.. yaudah masuk aja mbak", kata Salma meyakinkanku.

"Tapi ngga ada temannya gitu?"

"Nggapapa, mba"

"Barakallah Qonita..", tambah Mbak Rizkia.

Dan aku pun masuk gedung biru yang unik itu. Petugas-petugas di pintu masuk itu heran melihatiku. "Mungkin karena datangku terlalu siang", fikirku.

Tapi aku beranikan saja untuk terus masuk. Menelusuri lorong panjang yang kanan dan kirinya penuh dengan kelas.

Aku lihat satu per satu. Angka yang berurutan. Satu, dua, tiga. Dan hingga ujung hanya ada sekitar tujuh.

"Terus dua puluh satu ada dimana? Ya Allah aku harus gimana", ruangan itu sepi. Aku tahu sedang ada pembelajaran di kelas yang pintunya tertutup semua. Maka pantas jika tidak ada orang di luar.

"Ustadzah, qoah wahid wa 'isyrun fen?", tanyaku spontan saat melihat seorang wanita berkerudung yang nampak seorang pengajar.

"Fauq.. na'am ta'ali (di atas.. ok sini sini)" katanya dengan memberi isyarat tangan bahwa ia akan menunjukkan ruangan yang aku cari.

Setelah naik tangga, ustadzah itu mengambil arah ke kiri dan beliau menyuruhku ke kanan sambil memberi petunjuk bahwa Qoah 21 ada di kanan dan paling ujung dari lorong itu. Aku pun menyusurinya. Ada qoah 16, 17, 18. Dan lorong itu semakin ke ujung semakin gelap. Membuatku sedikit ragu. 19, 20. Dan 21 benar-benar paling ujung, tepatnya saat di simpangan yang jika ke kiri sudah ada lorong lagi. 

Pintu Qoah itu terbuka lebar. Seorang Ustadz nampak sedang menjelaskan pelajaran. Dan seketika melihat ke arah ku, karena aku berdiri disitu bererapa waktu. Tanpa berfikir panjang aku langsung masuk. Wajah-wajah di kelas itu nampak asing, walaupun masih wajah ASEAN. Ustadz itu sangat ramah.

"Assalamuailkum. Ustadz ana fi hadzihil Qoah?"

"Na'am. Masmuk?"

"Qonita Fairuz Salsabila", sengaja aku sebutkan semua namaku. Aku fikir nama itu akan dicek ke absen. Agar jelas dan tak tertukar fikirku. 

"Anti min aina?"

"Min andunisiya ustadz"

"Anti jadidah?"

"Na'am. Qala Ustadz fil idarah ana fi hadzihil qoah", aku meyakinkan beliau kembali. Walaupun tak nampak dari wajah nya sesikitpun kecurigaan. Tapi aku heran kenapa seolah-seolah nama ku belum ada disitu. Dan aku menganggap teman-teman di kelas itu pun baru sspertiku.

"Anti jadidah?"

"Na'am ustadz"

"Isytarakti imtihan qabul fil usbu' madhi soh?"

"Na'am ustadz"

"Tsuma anti mubasyarah tadkhul mutaqaddim tsani?"

"Na'am ustadz"

"Masya Allah.. tafadholi"

"Masmuk"

"Qonita Fairuz Salsabila"

"La.. thawil jiddan"

"Qonita..."

"Ahh.. laa astathi' an udzakir. Tsuma anti min aina?", ternyata beliau tidak ingin aku menyebut semua namaku. Dan cukup satu kata saja.

"Andunisiya ustadz", dua kali sudah beliau bertanya dari mana aku. Aku tak begitu faham jawaban apa yang beliau inginkan. Ternyata saat bererapa hari aku mulai belajar, aku faham bahwa maksud beliau kenapa aku terlambat? Dari mana saja? Karena waktu itu memang sudah jam kedua. Itupun aku sudah terlambat sekali dari waktu istirahat. 

Kawan-kawan itu nampak ramah. Walaupun satu pun tak ku kenal. Dan satu pun tak ada yang dari Indonesia, tetapi mereka benar-benar menganggapku tak hanya sekedar kawan. Tapi lebih dari itu. Seperti saudara sendiri. Satu per satu mereka mendekat. Mengajak berkenalan dan menanyakan banyak hal. Mulai dari film Indonesia, sistem sekolah dan pesantren, makanan, dan imtihan qabul (Tes Tahdid Mustawa). Aku senang saja. Karena baru pertama kali itu aku mendapat teman dari luar negara sendiri.

Yang aku suka dari mereka salah satunya adalah masalah berpakaian. Sangat syar'i dan tidak terlalu banyak aksesoris yang bisa menjadi celah tabaruj. Mereka juga sangat suka menolong orang lain. Tak peduli dari mana. Itulah persaudaraan yang didasari aqidah. Bukan negara, ras, atau keluarga. Karena ikatan yang abadi dan tulus hanya yang dilandasi oleh iman. Bukan karena perasaan atau hanya sekedar kebutuhan. 

Cinta pada Allah dan Rasul-Nya lah yang menyatukan. Begitu indahnya Islam akan benar-benar dirasakan ketika mau tak mau harus bergaul dan berteman dengan mereka yang lahir dari rahim serta belahan bumi yang berbeda.

Waktu itu terasa begitu cepat. Belum genap satu bulan. Mungkin sekitar tiga pekan, kami harus menghadapi Imtihan Muntashof (Ujian Pertenghan). Dan itu sangat membuatku cukup takut dan khawatir. Karena hanya aku yang murid baru di kelas itu. Sedangkan semua teman yang lain sudah berkali-kali mengikuti imtihan di markaz sejak mereka Mustawa Mutawasith Awwal (level 3). Tapi berbekal keyakinan pada Allah, dan usaha yang kulalukan dengan selalu menghadiri kelas secara rutin, semua berjalan dengan lancar. 

Dan sampai hari itu masih ada ganjalan pertanyaan dalam diriku. Aku masih mencari-cari teman dari Indonesia yang masuk level yang sama denganku. Dan aku tak tau harus bagaimana. 

"Assalamuailkum. Ustadz afwan ana mau tanya. Selain ana banat yang masuk Mutaqaddim Tsani siapa ya? Karena ana sekelas hanya dengan pelajar dari Malaysia dan Singapura. Syukron", kuberanikan pesan singkat itu aku kirim ke akun Facebook KPP Maba.

"Waalaikumsalam. Lihat saja di pengumunan kemarin", balasan itu cepat dan begitu singkat.

"Sebanyak itu? Dan aku harus mencari satu per satu?", kataku sedikit menggerutu. Sudahlah aku pasrah saja. Jika memang Allah kehendaki pasti Allah pertemukan. Lagi-lagi doa yang menjadi jalan.

Benar saja. Tak lama dari kegelisahan itu Allah pun memberi jawaban. Salma memberitahuku bahwa dia memiliki kenalan seorang teman dari kekeluargaan yang juga masuk Mustawa Mutaqaddim tsani. Benar saja bahwa ikatan yang hanya dilandasi karena negara, atau disebut nasionalisme hanya muncul saat ada ancaman atau keperluan. Tetapi yang dilandasi aqidah tak akan mengenal keluarga, negara, apalagi hanya sekedar bahasa dan warna kulit. 

Tak lama setelah itu, aku segera meminta nomor handphonenya ke Salma. Aku benar-benar punya banyak perntanyaan seputar nasib kami jika kuliah tahun ini juga. Apa yang harus kami lakukan dan apa saja yang harus kami urus segera. 

Kak Farah. Dia di Qoah 16 yang sebenarnya tidak jauh dari Qoah ku. Hanya berselisih dua ruangan yang berada di sebelah kiri, dan satu di seberangnya. Akhirnya kami bertemu dan berbincang disaat istirahat. Itupun hanya beberapa menit. Tapi aku benar-benar lega telah menemukan teman yang bernasib sama.

Hari-hariku habis di markaz mulai pukul delapan pagi hingga usai dzuhur. Setelah sholat aku segera beranjak ke Kuliyyatul banat (Kampus akhwat). Setidaknya bisa mengikuti muhadhoroh (kuliah) jam terakhir. 

"Hari ini kuliah tak?"

"Anti?"

"Insya Allah"

"Oke. Ana kalau ngga ada temannya belum berani.", aku benar-benar sangat mengandalkan teman-teman kelas yang satu jurusan, yaitu Ushuludin. Mereka jauh lebih tau banyak hal dibanding diriku yang mungkin belum genap satu bulan di negeri ini. Dan mereka sudah lebih dari lima bulan. Aku tak berani datang ke kuliah tanpa mereka, walau itu bukan hari pertama atau kedua bagiku. Tapi sudah yang kesekian kalinya.  

Lelah memang. Lapar. Dan hari berpuasa jauh lebih aku sukai. Karena tidak akan tersiksa oleh perihnya lapar. Dan kalaupun lapar serta haus insya Allah berpahala. Belum ditambah kantuk yang terkadang sulit ditahan. Materi yang terlalu berat, atau lebih tepatnya karena bahasa yang digunakan Dukturah (dosen) bercampur dengan bahasa amiyah. Benar-benar tak ada yang mampu kupahami.

Keseharian ini terus berjalan dari hari Ahad sampai Rabu. Hingga akhirnya Allah pertemukan diriku dengan Mahasiswi Indonesia yang jelas mereka seharusnya adalah kakak tingkat. Dari kakak itu aku mulai berkenalan dengan banyak kawan yang lain. Respon mereka pun macam-macam. Ada yang antusias dan seketika akrab. Menanyaiku banyak hal. Ada juga yang memberi semangat. Beberapa ada juga yang cuek, bahkan ada yang menampakkan sikap kurang suka. Karena menurutnya, jika langsung kuliah tanpa mengikuti step-step dari markaz lughoh akan sulit saat kuliah. Dan respon yang terakhir ini yang membuatku menjadi khawatir dan berfikir negatif.

Mampukah diri ini?

Dari perkenalan itu, akhirnya aku dimasukkan ke beberapa grup. Grup Ushuluddin untuk wafidat yang berisi Mahasiwi-Mahasiwi se ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan lain-lain. Kemudian grup yang khusus pelajar Ushuludiin dari Indonesia saja. Dan terakhir grup Bimbel senat Ushuluddin khusus Hay Asher (Distrik 10). 

Allah benar-benar membukakan jalan. Asalkan kita selalu berikhtiar, bersabar, dan bertawakkal dalam kondisi apapun. Dari sana, aku pun bisa tahu kitab apa saja yang harus aku beli. Dimana dan bagaimana caranya.

Pada suatu hari Ahad, aku sengaja tidak hadir di Markaz Lughoh. Aku tau jika setiap pelajar punya jatah lima kali untuk ghaib (tidak hadir), dan aku baru menggunakan sekali saja saat sakit. Maka hari Ahad itu kedua kalinya aku tak hadir. Walaupun cukup berat bagiku, karena harus meninggalkan majelis bersama Ustadz dan Ustadzah. Setegas dan sekeras apapun guru itu, tetap saja dirindukan dan dinantikan ilmunya. Mereka yang menguasai ilmu bahasa Arab tanpa diragukan lagi.

Mulai pekan itu aku sudah sibuk dengan aktivitas-aktivitas baru lagi. Pagi ke markaz lughoh hingga pukul satu siang. Setelah itu aku mengikuti muhadhoroh (kuliah) di jam terkahir. Dalam kondisi lelah dan lapar, tetap kami kejar muhadhoroh itu. Bahkan walaupun Duktur atau Dukturah (dosen) menjelaskan dengan bahasa 'Amiyah (Arab keseharian) bukan bahasa Fushah (Arab resmi) kami tetap berusaha memcerna. Setidaknya kami mendapat kepakan sayap para malaikat yang dibentangkan diatas para thalabah ilmu (penuntut ilmu). Di lantai lima, lantai teratas itu kami bertahan dalam peluh dan kantuk yang sering tak tertahan. Berharap barakah dan tetesan ilmu. Terkadang tak kuasa menahan air mata lantaran syukur dan takut. Kekhawatiran yang tak henti-hentinya muncul karena banyak hal yang belum aku pahami dari bangku kuliah itu. Banyak hal yang harus aku kejar dan korbankan. Berusaha diatas usaha yang ainnya.

Setelah muhadhoroh terakhir, aku segera mengikuti bimbel yang diadakan oleh SMFU (Senat Mahasiwa Fakultas Ushuluddin) yang berada di Bawabat, Asher. Dan itupun hampir setiap hari. Selain diadakan juga oleh sebuah lembaga bimbingan belajar. Di bimbel ini aku terjunkan diriku dengan serius. Karena hanya itu waktu yang efektif, dan hampir semua maddah (makul) bisa aku pelajari. Dari enam yang diujikan di Termin satu, lima darinya semua ada pada bimbel. Semua bimbel ini pun tak berbayar sedikitpun.

Dan itulah aktivitas yang kulakukan selama kurang lebih dua bulan. Sejak Mutaqadim Tsani, hingga Mutamayyiz saat keletihan itu kian bertambah. Karena untuk mengejar Ujian Termin satu, maka Mustawa (level) Mutamayyiz yang seharusnya ditempuh selama satu bulan, menjadi dipersingkat selama dua pekan. Bisa dibayangkan apa yang dipelajari pasti semakin banyak dan menuntut kecepatan dalam memahami. Tugas-tugasnya pun tak mampu terhitung. Hingga akhirnya aku benar-benar mengerjakan yang aku anggap paling mudah dan kemungkinan besar akan dikoreksi. Terjaga dalam malam-malam yang panjang. Antara membaca kitab muqarrar (Buku Kuliah) juga tugas-tugas Markaz Lughoh yang jikapun aku seharian duduk mengerjakannya sepertinya tak akan pernah selesai. Belum lagi jam pelajaran pun ditambah. Yang awalnya pukul delapan hingga 12.30 siang menjadi dari pukul tujuh pagi hingga pukul 13.00 siang. Dan itu saat-saat mendekati puncak musim dingin. Ketika malam lebih panjang dari siangnya. Saat adzan shubuh pukul lima lebih. Selesai sholat shubuh pukul enam pagi. Dan matahari terbit sekitar hampir pukul tujuh. Artinya setiap hari aku berangkat saat matahari belum nampak. Kabut masih menyelimuti. Udara dingin pagi masih membalut kota. Dan mungkin kebanyakan orang pun masih bersembunyi dibalik selimut mereka. Tapi semua itu terasa indah. Dalam nafas yang tersengal-sengal dan kesendirian, aku merasa semakin dekat dengan Rabb pemilik kehidupan ini. Penggenggam nyawa manusia. Tempat mengadukan segala rasa. Tempat menggantungkan segala kesulitan.

Bersama beberapa penumpang yang tak lain para bapak yang sedang berangkat mencari nafkah. Maka tak jarang hanya diriku seorang yang menajadi penumpang sayyidat (perempuan). Pakaian musim dingin itu masih lengkap membalut tubuh mereka. Seolah belum lama terbangun dari tidur. Syal, penutup telinga, juga kaos kaki tebal, dan tentunya jaket yang membungkus badan. 

Lelah memang. Ingin menyerah? Sering. Ingin berhenti dan menangis? Tak jarang. Dan itu hanya aku keluhkan kepada Dzat Yang Maha Teliti dan Mendengar. Aku hanya berbekal nasehat dari lisan seseorang. Yang tulus mendidikku dan selalu berdiri di tuk mendukungku. Nasehat itu benar-benar kan kuingat. Di akhir perpisahan kami, di akhir pelukan kami. Di penghujung pertemuan saat di bandara Jakarta. 

"Nak, selalu sabar, ikhlas dan istiqomah di jalan Allah..."

Ikhlas. Itulah salah satu kekuatan yang sangat dahsyat. Saat kau tak pernah mengeluh dalam kondisi apapun itu. Bahkan hingga kau tak mengingat sebuah kata itu. Itulah ikhlas.