Untuk yang kesekian kalinya mata ini menetes. Tak tahu apa lagi yang harus kulakukan untuk mengungkapan rasa syukur itu. Kugenggam sebuah mushaf berwarna coklat.
Mushaf itu. Mushaf itu yang membuatku sering tak mampu menahan aliran hangat dari kedua mata. Mushaf itu yang membuatku tenang namun takut. Berharap bercampur cemas. Antara raghbah dan rahbah. Mushaf itu.
Beberapa bulan yang lalu. Pada akhir bulan Agustus. Dia memelukku erat. Tak mau terlepas. Menangis tanpa henti.
"Mba, makasih buat semuanya. Aku minta maaf banyak kesalahan. Jangan lupain aku ya mbak..."
"Ya Allah.. aku mba yang banyak salah sama kalian. Aku belum bisa menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Aku sering egois, ngga peduli sama asrama, sering sibuk sendiri. Aku minta maaf ya mba...", kesedihannya benar-benar merasukiku. Aku pun juga tak mau kalah. Menumpahkan segala rasa. Perpisahan.
"Aku bersyukur mbak, bisa ketemu kalian. Tanpa kalian aku ngga akan semangat murajaah hafalan. Kalian yang membantu istiqomah bersama Al Quran. Yang membuatku mencintai Al Quran, dan dekat dengan Allah. Aku salut sama kalian.."
"Engga mb..kita yang makasih", sepertinya dia sudah tak mampu lagi berkata-kata. Semua tercekat oleh air mata.
Dia masih memelukku. Erat. Tak mau terlepas. Dua temannya hanya melihat dengan wajah tak kalah sedih. Walau sepertinya tak sampai menangis.
Aku tahu, waktu itu sudah hampir pukul sepuluh siang. Dan itu sudah melebihi rencana kepergianku ke Jogjakarta. Menaiki sepeda motor. Walaupun memang katerlambatanku dalam bersiap-siap juga menjadi faktor utama. Dia pun sejak semalam membantuku berkemas. Menata pakaianku ke dalam tas yang hampir tak muat menampung. Tanpa aku minta sedikitpun. Bahkan aku melarangnya. Biarlah aku saja yang menyiapkan segala keperluanku.
Hari-hari sebelumya kami sering tidur bersama di kamar besar yang dinamakan Gaza itu. Kamar ujung. Kamar para santri. Yang bermuatan sembilan orang. Tapi, semua telah tiada. Mereka sudah selesai studi di tempat itu. Dan sekarang sedang menjalankan tugas pengabdian di tempat-tempat yang berbeda. Hanya empat orang saja dari sepuluh yang mendapat tugas pengabdian disitu. Dan aku hanya menumpang untuk sementara, setelah tugasku menjadi Musyrifah tahfidz mereka, dan pengajar salah satu kelas TPA usai. Sekitar satu bulan aku menumpang ditempat itu setelah semua amanahku selesai. Hanya untuk menyelesaikan kuliah di Mustawa Tsalits di sebuah Ma'had Bahasa Arab dan Studi Islam. Untuk mengikuti Ujian Akhir Semester.
"Iya mba. Saling mendoakan ya. Hanya do'a yang mendektakan kita. Sejauh apapun kita.", kataku sedikit menenangkan. Walau diriku pun belum bisa.
"Iya mba. Hati- hati ya..",
"Iya, tahun depan nyusul ya mba"
"Insya Allah, doakan aja", akhirnya dia melepaskan pelukan yang dalam itu. Berat. Walau sebenarnya aku yang memulai.
Salah satu temannya malah mendokumentasi kesedihan dalam kehangatan tangis itu. Dan yang satu lagi tampak sedih juga.
"Mba, ini buat mba. Semoga bermanfaat", dia memberikan sebuah hadiah. Berbungkus merah muda. Kotak.
"Ya Allah.. kenapa repot repot mba?, kemarin kan udah ngasih. Sekarang ngasih lagi.."
"Beda lah mba. Kemarin kan bareng-bareng dari santri"
"Oh, iya. Ya Allah.. Jazakillah Khairan ya mba. Dan aku ngga bisa balas apapun. Ngga kasih apa-apa ke kalian"
"Udah mba. Selama ini mba udah bantuin kita banyak"
"Iya iya..", kataku mengalah.
"Jazakillah ya mba", kado itu aku masukkan ke dalam tas yang sudah sangat gemuk, "Aduh..Muat ngga ya?"
"Eh, muat ngga mb? Taruh depan aja sini..", usul nya sambil membukakan resleting yang depan. Mungkin dia sedikit hafal bagian mana yang cukup longgar. Karena dia ikut turun tangan semalam.
"Oh iya, bener", kataku.
"Udah ya mba, aku pamit, udah siang. Takut macet nanti"
"Iya mba. Ke Jogja dulu kan?"
"Iya"
"Eh, ngga pamitan Ustadz di kantor mba..?", usul seorang temannya yang sejak tadi mengambil gambar dan merekam kami.
"Oh, ada ustadz ya?"
"Iya Mba." kata.
"Oh yaudah, temenin yuk, aku malu kalau sendiri"
Pintu kantor bagian belakang kami ketuk. Sengaja tidak bertemu muka. Hanya suara. Dan itu memang kebiasaan kami. Jika memang tak ada alasan syar'i untuk bertemu, maka kami hanya menyampaikan keperluan kami dari balik pintu, yang dibuka sedikit. Aku berpamitan kepada beliau. Meminta maaf atas segala khilaf dan segala kekurangan dalam menjalankan amanah. Ustadz pun demikian. Selain meminta maaf beliau juga mendoakan untuk kelancaran segala urusanku.
"Berangkat nya kapan mba?"
"Belum tau ustadz. Tapi insya Allah jadwalnya pertengahan atau akhir bulan September",
"Oh iya. Semoga Allah beri kemudahan"
"Iya ustadz. Amiin. Syukron Ustadz. Saya pamit dulu"
Perpisahan itu masih sangat kuingat. Dia menggunakan rok SMA nya. Khimar hitam yang panjang menjulang hingga hampir lutut. Mengayunkan tangannya hingga aku tak nampak lagi. Aku hanya melihat dari kaca spion motor. Dan sedikit membalas lambaian tangan itu dengan tangan kiri ku. Aku masih menangis. Walau berkali-kali aku tahan. Sulit.
Setelah mampir ke atm dan Pos untuk mengirim paket, aku pun langsung menuju jalan besar Solo-Jogjakarta. Aku tidak mampir lagi ke kost kakak ku. Pagi hari nya sesudah sholat shubuh aku sudah kesana untuk menitipkan beberapa barang. Kakakku akan pulang juga beberapa hari yang akan datang. Usai ujian.
Selama di perjalanan yang panas itu aku masih mengingat pertama kali datang ke kota batik itu. Pertemuan yang bukan kebetulan. Semua rencana Allah. Dan itu pasti yang terindah. Terbaik.
Indah dan baik itu bukan berarti tanpa tantangan dan tangisan. Tanpa pengorbanan dan ujian. Semuanya pasti ada. Dan itu terkadang hampir membuatku tak kuat lagi. Hampir menyerah. Namun mereka selalu membuatku kuat. Walau secara tidak langsung. Mereka yang mengajariku apa itu syukur. Dan bagaimana dekat dan cinta dengan Rabb.
Iya. Mereka. Para santri yang sebenarnya aku didudukkan sebagai musyrifah mereka. Walau aku tak merasakan hal itu. Selain karena usia kami yang sama, atau bahkan mereka diatasku, juga karena ilmu dan hafalan. Aku merasa tak ada apa-apanya jika dibanding mereka. Tapi entahlah Allah yang memiliki karunia dan segala kehendak. Semua itu telah diatur.
Dari mereka aku belajar tawadhu'. Mereka tak pernah membangga-banggakan jumlah hafalan, apalagi ilmu-ilmu syariat Islam yang setiap hari menjadi santapan. Mereka tetap menghormati, walau jika difikir aku lebih cocok jadi adik kelas mereka.
"Astagfirullah.., jangan nangis", aku baru sadar jika diriku sedang menyetir sepeda motor. Dan air mata itu yang menemani.
Di Jogja aku hanya sebentar. Dua malam. Selain khawatir merepotkan, aku sudah sangat rindu dengan rumah. Toh sepeda motornya juga dibutuhkan oleh ibuku. Belum cukup sebenaranya melepas rindu di kota itu. Kota pertama kali kuinjakkan kaki dalam perantauan. Perjuangan meraih ilmu di jalan Illahi. Penuh kisah dan pengalaman yang tak mampu tergantikan dimanapun.
Bertemu beberapa Ustadz dan Ustadzah, serta teman-teman yang sudah berpencar dimana-mana. Dan aku memutuskan untuk ke tempat yang lebih utama. Umi dan Abah pondok. Ke rumah beliau. Selain berpamitan, dan minta doa, aku mendapat banyak nasehat yang itu tak kan pernah terlupakan.
"Sama ilmu itu yang rakus. Jangan pernah puas. Apapun jika ilmu jangan ragu. Pokoknya demi ilmu jangan ragu mengeluarkan uang. Tau kan dulu para ulama sangat benci makan demi ilmu. Karena makan itu mengurangi waktu mereka. Bahkan makanan mereka itu dibuat bubur biar ngga perlu mengunyah, dan langsung ditelan. Jadi kan bisa menghemat waktu..."
"Masya Allah, iya Umi.. ", respon ku sedikit memotong. Sepertinya belum berujung nasehat itu. Aku semakin tertegun.
"Kalau ada temen yang minta oleh-oleh, bukan makanan, bukan barang, tapi ilmu. Kalau minta oleh-oleh bilang aja aku hanya bawa ilmu, bukan yang lain"
"Iya mi. Iya temen-temen ada yang minta abon unta. Padahal saya juga belum tahu mi.. Hehe..."
"Iya. Kalau anak-anak sekarang itu terlalu banyak pencitraan. Apa-apa difoto. Dan yang difoto adalah dirinya. Disana-sini selfie. Datang ke tempat tertentu foto, disana foto, kemana foto. Upload di medsos. Itu anak-anak zaman sekarang. Mereka lupa dengan tujuan mereka menuntut ilmu"
"Iya mi, bener. Terus yang difoto dan diupload apa nya mi? ilmunya?"
"Bukan. Tapi apa yang sedang kita teliti. Misal kamu ke museum atau ke suatu tempat. Kamu foto hal-hal akan diteliti sejarah nya misalkan.. jadi bukan kamu foto di situs itu, untuk menunjukkan kalau aku udah kesini.. biar keren.."
"Hmm.. iya mi, insya Allah"
Nasehat itu yang hingga saat ini aku ingat. Dan setiap kali aku ragu untuk rela mengeluarkan uang demi kitab, demi datang ke halaqoh ilmu, atau majelis majelis lainnya semua itu tertepis. Demi ilmu, jangan ragu untuk jor-joran. Dan ketika membeli makanan, mencoba kulihat disana sini menjadi hobi mahasiswa dan pemuda, aku sudah tak terlalu tertarik lagi. Rugi rasanya hanya untuk buat perut terisi harus mengeluarkan uang yang jauh lebih banyak daripada naik bus ke tempat talaqi. Sedangkan untuk bisa bernafas dan beraktivitas perut dan tubuh kita tak meminta yang mewah. Lagipula jika di rumah sudah ada makanan kenapa harus dua kali mengeluarakan uang. Tapi terkadang jika makan di luar rumah adalah sebagai reward yang ku berikan pada diriku sendiri karena sebuah target yang sudah mampu aku capai, maka itu baik insya Allah. Aku niatkan saja karena Allah.
Terkait foto sana sini, aku memang tidak terlalu memperhatikan hal itu. Bukan karena tidak ingin dan tak tertarik sama sekali. Setiap orang pasti ingin mengabadikan momen indah yang mungkin tidak akan terulang kembali. Apalagi disana sini kamera bertebaran. Seolah-seolah mendorong kita untuk tidak mau kalah dalam mengambil foto dengan pose terbaik dan terindah. Tapi, apakah artinya jika apa yang kita dapatkan dari kelelahan perjalanan atau kenikmatan pemandangan jika tidak ada yang bertambah baik dari diri kita? Baik itu ilmu maupun ketaqwaan. Jika ciptaan Allah, keindahan alam, atau tempat-tempat unik buatan manusia tidak menjadikan kita menjadi lebih tau banyak hal. Kemudian dengan pengetahuan itu kita semakin takjub dengan kuasa Rabb Semesta alam dan semakin takut dengan-Nya. Hanya foto-foto demi eksis dan ketenaran semata. Mencari pandangan atau pujian dari lisan-lisan dan komentar manusia. Mencari ketenaran di dunia fana atau dunia maya.
Astagfirullah. Tak mudah memang.
Berakhir sudah kakiku menginjakkan Jogjakarta. Dan aku pun pulang. Ke sebuah kota kecil di ujung selatan dan barat Provinsi Jawa Timur. Kota seribu satu goa. Kota yang dilewati puluhan pantai. Dan itu kali pertama dan mungkin terakhir ku mengendarai sepeda motor di jalur yang sebenarnya sudah berkali-kali aku lewati dengan mobil travel. Atau setidaknya dibonceng dengan motor.
Di rumah, bungkus itu aku buka. Sebuah Mushaf Al Quran. Berwarna coklat. Sama persis dengan milik yang memberiku mushaf itu. Terdapat dua lembar kertas di dalamnya. Penuh dengan tulisan tangan yang sangat kukenal. Surat itu. Lagi-lagi dia membuatku tak mampu membendung kesedihan.
"Ya Allah ini mushaf yang sejak dahulu aku inginkan". Memang waktu itu sepertinya aku pernah tanpa sengaja bercerita padanya. "Aku ingin beli mushaf kayak punya antum mba. Kayaknya lebih enak buat hafalan, sama tilawah.. harakatnya dibedakan berdasarkan tajwidnya".. Tapi aku sayang dengan quran yang saat itu aku miliki. Banyak kenangan dan cerita perjuangan menghatamkan nya. Banyak perjalanan bersamanya. Dan aku sampai saat itu jika ia tak memberi hadiah padaku mungkin aku tak akan beli. Lagipula uangnya bisa untuk yang lain.
Ternyata dia tidak melupakan curhatan kecilku itu. Yang sebenarnya tidak perlu dianggap sesuatu yang serius. Ia hanya selingan obrolan yang waktu kita sedang berdua di masjid seperti biasa. Mushaf itu.
Sekitar satu minggu aku di rumah, akhirnya pengumuman keberangkatan sudah diinfokan. Dan aku mendapat rombongan keberangkatan yang kedua. Tepatnya tanggal 20 September 2017. Dan itu tidak lama lagi. Hanya sekitar dua minggu aku menghabiskan waktu bersama kedua orangtua dan adikku. Dan hari-hari benar-benar kuiisi untuk belajar persiapan tes Tahdid Mustawa (Penentuan Level) yang akan diadakan nanti di Mesir.
Info tanggal keberangkatn itu benar-benar membuatku tenang dan lega. Bagaimana tidak, sekian lama sekitar hampir tiga bulan kami menunggu proses pengurusan tiket dan visa. Dan setiap ditanya teman, guru, atau saudara aku belum bisa menjawab dengan pasti. Masih menggantung.
Tapi tidak. Kebahagiaan itu dibarengi dengan info yang benar-benar menegurku. Menyadarkanku bahwa setinggi apapun impian itu, sebaik apapun rencana itu, jika Allah tak berkehendak, maka mudah saja bagi-Nya untuk menghalangi kita. Dan jika Allah berkehendak mudah saja Dia mengambil nyawa kita. Dalam kondisi apapun. Dalam kebahagian yang bagaimanapun itu.
Tiba-tiba saat aku tak sengaja membuka grup 'Akhwat Al Mahir', ada teman yang mengirim pesan. Dia mengabarkan kalau sahabatku kecelakaan.
"Coba kalian hubungi. Umi sama abinya aku telfon juga ngga bisa"
"Iya. Aku baca di status facebook temennya kalau dia sudah Allah jemput"
"Eh.. itu bener ngga infonya?"
Celotehan mereka di grup tidak terlalu aku anggap. Dan aku tidak komentar atau bertanya sedikitpun. "Ah paling juga belum valid" kataku dalam hati. Kemarin harinya aku baru saja berkomunikasi dengannya. Menayakan apakah dia sedang pulang ke rumahnya di Jawa Barat. Dan dia menjawab iya.
Aku pun menutup handphone. Itu malam hari. Dan aku melanjutkan aktivitas seperti biasa. Untuk memastikan dia baik-baik saja aku kirim pesan singkat ke nomornya. Dan hanya cekhlis satu. Mungkin sudah tidur fikirku. Hingga pagi harinya aku tanpa sengaja membuka facebook dan kutemukan sebuah status tak begitu panjang tapi seketika aku menangis membacanya. Dikabarkan jika dia telah Allah jemput. Karena sebuah kecelakaan mobil. Dan baru kali itu aku menangis karena seseroang yang meninggal. Benar-benar tidak percaya. Segera aku memanggil ibuku yang kemudian tekejut melihat pipiku telah basah. Aku perlihatkan apa yang di beranda facebook ku. Dan untuk memastikan aku hubungi teman yang membagi info itu.
Semua benar. Info itu sudah jelas. Seketika aku mengingat segala kebaikannya selama ini. Dan aku masih terus membasahi pipi ini mengingat segala keburukan yang mungkin pernah aku sangkakan padanya. Ibuku berkali-kali menguatkan serta menasehatiku. Adikku pun bertanya-bertanya.
Aku belum sempat mengobrol lagi sejak aku pulang. Dia sibuk begitu juga aku. Keterbatasan sinyal di rumah juga membuatku hanya berkomunikasi dalam urusan-urusan yang penting. Bahkan aku harus keluar rumah untuk mencari sinyal internet. Dan sering juga ke rumah nenek ku.
Siang itu aku kesana. Aku bercerita apa yang terjadi. Dan akupun sekali lagi tak kuat menahan airmata. Berita kecelakaan itu pun ternyata besar. Di beberapa stasiun televisi pun tersiar. Walaupun dengan bermacam-macam versi yang berbeda.
Dia Allah jemput bersama kedua adiknya. Sementara, ibu dan adik perempuannya yang terbesar luka parah. Hanya ayahnya yang tak teralalu parah. Allah benar-benar menguji kedua orangtuanya dengan diambilnya anak yang sangat membanggakan. Anak terkecilnya, juga anak laki-laki satunya.
Bahkan Mudir Ma'had kami itu menuliskan status bahwasannya "Harapan ummat sangatlah besar padanya, tetapi Allah lebih mencintainya"
Dibalik itu semua ada hikmah. Mungkin mereka Allah dahulukan untuk membukakan pintu-pintu surga untuk kedua orangtuanya. Dan semoga kami termasuk dalam daftar orang dicintai dan dapat bertemu kembali. Mengingat firman Allah : "Pada saat itu sahabat karib menjadi bermusuhan, kecuali orang yang bertaqwa"
Hari-hari itu waktuku banyak habis untuk mempersiapakan keberangkatan. Sebuah azzam yang tak akan kugoyahkan. Memegang erat apa yang dieberikannya itu. Sebuah mushaf yang seolah-seolah itu adalah wasiat terkahirnya agar aku tak pernah jauh jauh dari Al Quran dan selalu mengingat serta mendoakannya. Mushaf itu adalah salam perpisahan kami. Bukan karena aku pergi jauh ke Negeri para Nabi. Tapi karena ia lebih dahulu meninggalkan kami di tempat yang fana ini. Berharap pada Allah untuk mempersatukan kembali di tempat peristirahatan yang penuh kenikmatan serta abadi.
Air mata di atas Mushaf ini kan selalu ada.