Pages

Selasa, 13 Februari 2018

Bukan Diriku Tapi Allah (3)

Waktu itu berjalan begitu cepat. Hingga Daurah Lughoh telah usai kulewati. Dan semua ditutup dengan Imtihan Akhir (Ujian terkahir) yang mencakup semua materi dari semua Mustawa. Yang paling aku takutkan adalah soal Qira'ah (membaca), karena pasti tidak sama dengan yang kami pelajari selama ini di kelas, yang menggunakan buku panduan pada setiap Mustawa. Juga Istima' (kemampuan mendengarkan), yang sangat cepat dan banyak pula mufrodat (kosakata) yang masih asing di telinga. Tapi, lagi-lagi tawakkal yang menjadi andalan. Karena itu adalah hari terakhir, maka semua lelah dan resah seolah-seolah akan terbayar dengan imtihan sebagai penutup itu. 

Satu kelas kami sekitar 40 anak. Sangat banyak. Melebihi kapasitas. Dan saat ujian seperti itu, kelas terasa sangat- sangat penuh, karena jarak antar yang satu dengan yang lain cukup jauh. 

Hari terkahir masuk Markaz Lughoh bertepatan sekali bahwa pekan itu adalah pekan terkahir muhadhoroh (kuliah) sebelum dua minggu lagi Ujian Termin Satu. Jadi kesempatan kuliah pun sudah tiada. Dan kami hanya menelan ludah. Tapi tak apa. Semua tetap harus disyukuri. Nikmat-Nya tetaplah tak terhingga. Hingga hari itu, masih banyak temanku yang belum masuk Markaz Lughoh. Adapula yang sakit sehingga harus pulang ke Indonesia. Dan mereka yang sudah masuk Markaz Lughoh pun setiap bulannya harus membayar uang belajar dengan jumlah yang tidak sedikit. Setidaknya bisa digunakan untuk dua bulan membayar syaqoh (apartemen) sekaligus makan. Dan itu tidak bagiku. Maka nikmat-Nya mana lagi yang harus didustakan?

Satu, dua kali muhadhoroh terakhir untuk Maddah tertentu, seperti Nidzamul Islam (Sistem Peraturan Islam) diadakan khusus untuk wafidat (Mahasiswi non Mesir), juga Nahwu Shorof. 

Bimbel yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin pun satu per satu mulai berhenti. Dengan berbagai macam alasan. Karena memang sudah selesai penjelasan kitab, seperti Nidzamul Islam, Mantiq, Ulumul Quran, dan Fiqh. Atau dengan alasan karena sudah mendekati Ujian, sehingga Ustadz yang mengajar kami menyarankan untuk belajar masing-masing. Itu Nahwu-Shorof.

Tiga minggu. Penuh kisah, peluh, dan air mata. Enam maddah. Artinya enam kitab. Harus aku fahami dalam waktu dua minggu itu. Segera aku buat target. Satu minggu harus selesai melahap dua kitab. Tidak hanya membaca, tapi faham, juga membuat rangkuman, kemudian dihafalkan. Dan kitab-kitab yang tebal ada tantangan tersendiri. Juga maddah yang menggunakan kitab turats. Memahaminya tidaklah mudah.

Ujian pun ternyata dimajukan. Yang awalnya 6 Januari, menjadi 30 Desember. Artinya benar-benar tidak ada waktu untuk bersantai. Tidak ada kata molor dari terget yang sudah dibuat. 

Waktu ku benar-benar habis untuk bersama kitab-kitab muqarrar itu. Lebih sering menyendiri. Dan makan pun terasa sangat mengganggu, karena mengurangi waktu. Mengobrol pun hanya sedikit sekali.

Yang berat itu bukan pada apa yang dibaca, tapi bagaimana bisa bertahan berjam-jam untuk terus bersama kitab. Membuang jauh rasa bosan dan jenuh. Memupuk semangat yang tiba-tiba sirna. Menghapus air mata saat terbesit keinginan menyerah. Bangun di tengah malam untuk kembali bergulat dengannya. Dan musim dingin itu ketika puncak-puncaknya. Jangankan menyentuh air, melepas selimut dari tubuh terasa mustahil. Belajar di siang hari pun menggigil. 

Belum selesai. Usaha saja tak akan membuahkan hasil jika kita tak mampu mendekat dengan Pemilik Keputusan dan Segala Rahasia. Saat benar benar malas dan berat untuk bangun di tengah malam. Melawan dingin, merelakan waktu membaca untuk bersimpuh dan bersujud hina di hadapan-Nya. Berharap belas kasih dan pertolongan-Nya. Bisikkan lirih dalam sunyi, dalam gelap. Disampaikan ke bumi-Nya, kemudian berharap rangkaian doa itu menembus langit-Nya.

Jangan sia-siakan usaha kita hanya dengan menganggap diri tidak membutuhkan-Nya. Cukup dengan kepandaian atau kemampuan kita. 

Tiga minggu tak terasa. Hingga pada hari Sabtu 30 Desember itulah hari pertama dimulai Ujian. Aku lakukan apa yang dinasehatkan oleh seorang ustadz saat kami mengikuti Tryout dua minggu sebelumya. Berdoa, saling mendoakan, juga meminta doa kepada orangtua dan guru-guru kita. 

Usaha itu tidaklah semata-mata 100% kunci keberhasilan kita dalam meraih suatu impian. Semua harus saling melengkapi dan tak bisa hanya mengandalkan pada salah satu saja. Jika dihitung-hitung, tawakal adalah nomor satu. Kemudian berusaha adalah jalan yang mengantarkan apa yang kita harapkan. Do'a adalah bentuk kepasrahan kita. Bahwa tanpa-Nya semua tak kan terwujud, tanpa-Nya segala macam usaha tak kan berarti. Tanpa-Nya segala kehebatan dan kecerdasan pun tak kan menjamin. Apalagi jika doa -doa itu dipanjatkan oleh banyak orang, dan orang-orang sholeh baik guru, orangtua, maupun sahabat kita. Ditambah lagi jika doa itu dibisikkan pada setiap sujud dan waktu-waktu mustajab. Ringan, remeh, tapi tak semua orang mampu. Tak nampak, dan seolah tak berpengaruh bagi siapapun yang tak yakin. Ada kekuatan besar yang itu hanya iman di hati yang membenarkan.

Hari pertama ujian, aku belum tahu pasti Roqm Julus (Nomor absen) ku yang benar. Karena di dalam pengumunan nama dan nomor absen ku tertera dua kali. Dan aku tak tahu mana yang harus aku ikuti. Aku pun belum tahu di Lajnah (kelompok) berapa aku masuk ruangan untuk imtihan. Pagi itu aku berangkat lebih awal. Kertas talkhis (rangkuman) ada di tangan ku sejak aku naik bis. Dan aku baca berkali-kali agar semakin memahaminya. Hingga bis itu berhenti di Nafuro. Setelah turun, aku segera berjalan menuju mabna' (gedung) Dirasat Islamiyah. Aku duduk di sebuah kursi panjang. Semua sibuk dengan kertas dan bukunya masing-masing. Menunggu syuun (kantor) Ushuludin buka, untuk memastikan Roqm julus. 

Akhirnya aku mendapat nomor 21802 yang terletak di lajnah 59. Ruangan kelasku ternyata. Dan itu ruangan teratas dan terujung. Sedangkan teman-teman dari Jndonesia kebanyakan di lajnah 20 an yang terletak hanya di lantai dua atau tiga. Bersama beberapa teman Malaysia dan satu dari Indoensia.

Tiga minggu. Akhirnya ujian itu selesai. Merasakan kelegaan yang tak terkira. Belajar dalam tekanan itu tidaklah mudah. Jika, niat kita tak ikhlas karena Allah pasti sulit untuk bertahan. Ridho dengan segala keputusannya. Berjuang dengan segala kemampuan yang kita bisa, serta doa yang tak pernah terhenti. Menuntut ilmu agama jika benar-benar ikhlas lillahi ta'ala, maka ia seperti mujahid di jalan Allah, dan dia sedang menempuh jalan menuju surga-Nya.

Dan itu yang mampu membuatku terus melangkah, walau harus terseok-terseok atau merangkak. Tetap berjalan walau tak bisa berlari. Tetap melangkah walau sejuta duri menghalangi. 

Satu hal yang tak pernah kutinggalkan adalah Al-Quran. Sesibuk apapun dengan target belajar, membaca kitab, merangkum, dan menghafal, tapi Al-Quran tetap terasa berat jika jauh dari hari-hari yang menegangkan. Justru al Quran lah yang satu-satunya dapat menenangkan fikiran. Mengingat janji Allah, bahwa siapapun yang menyibukkan diri dengan Al-Quran niscaya Allah mudahkan segala urusannya.

Dan itu terbukti. Selama tiga minggu ujian, aku tetap memaksakkan diriku untuk murajaah dan menyetorkan hafalan. Perjalanan satu jam. Walau terkadang hanya bisa satu minggu sekali, setidaknya untuk menyetorkan hafalan itu aku butuh berhari-hari untuk mempersiapkan. Tetap bersama Quran. Dan Allah memang tak pernah ingkar janji. 

Pada liburan itu aku benar-benar ingin menjelajahi kota istimewa ini. Menggali segala hal yang ada. Negeri para Nabi dan Ulama. Negeri yang dahulu termasuk Daulah Islamiyah. Yang memiliki jejak-jejak yang mampu menjadikan rindu kepada Islam. Al-Qahirah.

Next..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar