Pages

Selasa, 12 Januari 2016

Siapakah Manusia Terkuat?




            Kekuatan identik dengan fisik. Orang yang memiliki kekuatan adalah yang tubuhnya besar, kekar, tinggi, lincah, dan berani. Dan tidak sedikit karena kekuatan seseorang pun akan bisa menang dalam banyak hal. Mulai dari perkelahian, tawuran, bela diri, hingga peperangan. Maka tak heran jika gelar orang ‘terkuat’ adalah mereka yang menang. Mereka yang memperoleh kekuasaan, yang mendapat piala, dan yang mendapat segudang penghargaan.
            Namun, tak jarang pula jika ada yang menganggap kekuatan identik dengan ilmu dan kecerdasan. Dengan ilmu yang berlimpah dan kemampuan mengelolanya, seseorang pun tak jarang dikenal dan mampu memenangkan berbagai ajang perlombaaan. Seperti ketika olimpiade Sains yang diadakan antar sekolah di Kecamatan, maka siswa yang menang dianggap ia memiliki kekuatan. Kekuatan berupa ilmu, kepandaian dan kemampuan untuk menaklukkan soal-soal yang sulit. Dan ia pun akan membawa nama baik sekolahnya.
            Lalu, apa dan mana pengertian ‘kekuatan’ itu sendiri? Apakah orang yang menang dalam perkelahian adalah yang disebut ‘manusia terkuat’? atau orang yang mampu memenangkan ajang perlombaan dalam berbagai bidang?
            Pada dasarnya, kekuatan adalah pendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Semakin besar kekuatannya, maka semakin besar pula dorongan untuk melakukan suatu perbuatan itu. Dan semakin kecil kekuatan, maka semakin lemah, khawatir, takut, dan ragu untuk melakukannya.
            Semisal, ada dua anak yang memiliki orang tua dan kebiasaan di keluarga yang berbeda. Pada suatu waktu kedua anak itu dipertemukan dalam sebuah sekolah Tahfidz. Sekolah itu menargetkan siswanya agar dapat menyelesaikan hafalan seluruh al-Qur’an dalam waktu 6 tahun. Dengan semangat setiap hari bahkan setiap ada waktu kosong  si A membaca al-Qur’an-nya. Tanpa lelah, tanpa tangisan. Hingga al-Qur’an-nya pun lama-kelamaan menjadi usang. Beberapa halaman yang telah ia hafal pun juga mulai lepas dari Mushaf suci itu. Pada tahun ke-5 di sekolahnya, ia sudah hampir menamatkan hafalan qur’an-nya.
            Beda dengan si B. Setiap hari ia mengeluh, dan tak jarang kabur saat jadwal setoran hafalan tiba. Jangankan menggunakan waktu-waktu luangnya untuk menghafal, berbagai alasan pun selalu ia lontarkan ketika jadwal setoran tersebut. Mulai dari pura-pura sakit, izin ke kamar mandi, bahkan ia tak jarang pergi ke kantin sekolah secara terang-terangan. Berlari begitu saja. Dan karena sudah terlalu sering, gurunya pun enggan menghabiskan waktu hanya untuk mengejar seorang siswa itu.  
            Jika diteliti, sebenarnya si A dan si B memang sudah memiliki perbedaan yang cukup jauh. Si A lahir dari keluarga Islami, yang sejak kecil ia telah dibiasakan oleh orang tuanya untuk sering membaca dan mendengarkan bacaan al-Qur’an. Ia pun juga sangat diperhatikan dan senantiasa diberi motivasi dari ibunya. Jika ia bisa menjadi penghafal al-Qur’an, maka ia akan dijamin Allah untuk masuk Surga dan bisa mengajak kedua orang tuanya. Setiap hari kata-kata itu dilisankan oleh ibunya ketika ia akan tidur. Tak hanya itu, si A juga memang memiliki kemampuan menghafal yang cukup cepat.
            Berbeda dengan si B yang orang tuanya sangat sibuk. Ayah ibunya adalah orang kantor. Jangankan membaca atau menghafal al-Qur’an, bertemu anaknya di rumah saja dapat dihitung jari dalam waktu satu bulan. Hari-harinya banyak ia habiskan bersama nenek dan gadget pemberian ayahnya. Maka, wajar jika tia stres dan tak punya semangat sedikitpun untuk menghafal al-Qur’an. Dan selama 6 tahun di sekolah tahfidz itu, ia hanya mampu menghafal sepertiga dari 30 juz di dalam al-Qur’an.
            Itulah yang dinamakan kekuatan. Ia sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dia lakukan. Semakin besar kekuatan, dorongan, dan motivasi seseorang untuk menghafal al-Qur’an, maka semakin mudah, cepat, dan ringan ia menghafalkannya. Begitu pula sebaliknya, seperti yang dialami si B.
            Namun, disini terdapat penjelasan yang lebih terperinci terkait hakikat ‘kekuatan’ itu sendiri. Pada faktanya, ada tiga kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan.
            Pertama, kekuatan fisik. Dalam Islam disebut Quwatul Madiyah. Kekuatan ini mengandalkan fisik atau materi seseorang. Kekuatan fisik ini sangat sering terjadi di kehidupan zaman ini. Misal, pembulyan kakak kelas terhadap adik kelas di sekolah-sekolah. Sang kakak kelas menganggap dirinya memiliki fisik yang lebih kuat dan badan yang lebih besar. Dan adik kelas yang menjadi korban pun tidak berani melawan sedikitpun. Takut dan khawatir jika justru ia dibalas lagi. Ia menganggap dirinya tidak punya kekuatan untuk melawan, dan badannya masih terlalu kecil.
            Sama halnya ketika orang kaya yang menindas dan berbuat semaunya kepada orang miskin. Ia sangat membanggakan harta kekayaannya, dan dengan itu ia bisa melakukan apapun. Dan si miskin pun takut. Jangankan melawan, mencoba menghindar pun tak ada lagi keberanian. Ia menganggap dirinya sendiri lemah karena tak punya harta yang melimpah.
            Contoh lain ketika rakyat di suatu wilayah memiliki pemimpin yang melanggar aturan atau mendzalimi rakyatnya, atau bahkan tak henti-hentinya mengkorupsi uang rakyat. Tak sedikit rakyatnya yang mengeluhkan hal itu dan ingin memberi masukan. Namun, semua itu hanya sebatas niat. Dan pada akhirnya selalu diurungkan kembali. Dengan alasan pemimpin itu orang kaya dan memiliki kedudukan atau ilmu yang lebih tinggi, maka niat baik itu akhirnya tak pernah terucapkan.
             Dan contoh terakhir adalah sesuatu yang tidak asing lagi di kehidupan para pelajar. Teknologi. Ia juga salah satu perkara yang membuat manusia saat ini ketakutan ketika dihadapkan kepada manusia lain yang memiliki teknologi lebih canggih. Tak hanya dalam skala individu, negara pun juga turut menganggap dirinya lemah dan takut dengan Negara-negara yang sudah maju teknologinya. Seperti penduduk di Negeri ini. Banyak yang sudah memiliki pemahaman bahwa warga dan penguasa di Jepang atau Amerika patut ditakuti, dan tak mungkin dikalahkan dalam banyak hal, terutama teknologi yang dihasilkan. Mereka pun juga tak ragu-ragu menjajah Negeri-negeri yang dianggapnya masih lemah dan belum maju, termasuk Indonesia.
            Jadi, apakah mereka yang pantas disebut ‘manusia terkuat’?         
            Kedua, kekuatan emosional. Dalam Islam disebut Quwatul Maknawiyah. Kekuatan ini lebih identik dengan perasaan. Muncul tidaknya kekuatan ini tergantung dengan perasaan yang muncul. Semisal, pada masa kemerdekaan Indonesia. Ketika rakyat Indonesia melawan kaum penjajah di medan perang hanya menggunakan bambu runcing. Sedangkan para penjajah menggunakn senjata yang sudah modern, seperti senapan dan meriam. Namun, tak jarang rakyat Indonesia justru memenangkan pertempuran.
Adanya kekuatan inilah yang mendorong para pasukan dalam membela Negaranya. Kekuatan ini pula yang memunculkan adanya ikatan Nasionalis terhadap Negeri dimana seseorang tinggal. Dan biasanya kekuatan ini tertanam pada jiwa-jiwa prajurit atau mliliter Negara. Dalam skala kecil, kekuatan ini pun juga muncul ketika ada perlawanan antar suku, atau bahkan tawuran antar sekolah. Dengan kekuatan ini, maka seseorang akan membela mati-matian kelompok, sekolah, atau sukunya. Dan sangat membenci kelompok musuh.
Lalu, apakah dengan perjuangan dan pengorbanan atas dasar kekuatan Nasionalis, kesukuan, atau kelompok tertentu seseorang patut disebut ‘manusia terkuat’?
Ketiga, kekuatan spiritual atau keimanan. Dalam Islam sering disebut Quwatu Ruhiyah. Kekuatan ini terlahir dalam jiwa manusia karena keimanannya kepada Allah Swt. Kekuatan ini yang membangun kesadaran pada seseorang akan hubungan-Nya kepada Allah Swt. Sehingga, dalam melakukan atau meninggalkan segala macam perbuatan, orang itu akan mengingat Allah Swt dan bergantung pada pandangan Allah Swt terhadap perbuatan itu. Jika Allah Swt tidak melarangnya, maka ia baru mau melaksanakan. Namun, ketika Dia benar-benar melarang suatu perbuatan, maka orang itu benar-benar meninggalkannya. Tanpa ragu dan berat hati.
Misalnya dalam perkara yang sudah disebutkan diatas. Ketika ada seorang Muslim yang kaya raya, ia tidak akan menyombongkan hartanya atau bahkan menindas orang miskin. Mengapa? Karena ia tahu, bahwa kekayaan bukanlah kekuatan yang abadi. Kekayaan hanya milik Allah Swt, dan kekuatan yang abadi pun hanya dari-Nya. Allah Swt pun melarang makhluq-Nya untuk menyombongkan diri dan menyakiti hati sesama Muslim. Dengan begitu kekayaannya pun tidak akan ia gunakan untuk perbuatan yang Allah melarangnya.
Atau ketika seorang Muslim menyaksikkan kedzaliman para penguasa. Memang, para penguasa adalah orang-orang hebat di mata rakyatnya. Mereka orang kaya yang juga memiliki kedudukan yang tinggi. Namun, karena Allah Swt memerintahkan adanya Amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran : 110), yaitu menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka seorang Muslim tersebut juga tak ragu untuk mengkritik penguasa. Karena ada kekuatan yang jauh lebih besar dan kuat di hatinya. Yaitu kekuatan dalam ketaatan menjalani perintah Sang Khaliq.
Dan contoh yang lebih ekstrem lagi adalah mengorbankan nyawa. Ketika Kaum Muslimin benar-benar taat dan hanya takut kepada-Nya, maka perintah untuk berjihad dan perang di jalan Allah pun bukanlah suatu keraguan. Demi membela Islam dan mempertahankan tegaknya Syari’at-Nya, maka jika nyawa mereka harus menjadi taruhan, maka semua itu akan ia jalani. Mengapa? Karena Allah Swt telah menjamin hamba-Nya dengan Surga yang abadi apabila kematiaannya datang saat berjihad di jalan Allah Swt.
            Maka, manusia dengan kekuatan seperti itu kah yang disebut ‘manusia terkuat’?
            Jika dicermarti, kekuatan yang pertama yaitu kekuatan fisik adalah kekuatan yang paling lemah dibanding dua kekuatan yang lain. Mengapa? Karena kekuatan ini hanya dilandaskan pada materi, fisik, atau kedudukan seseorang. Dan akan dengan mudahnya hilang ketika ketiga hal tersebut tidak ada lagi. Jadi, semisal si A takut pada si B yang memiliki badan besar dan fiisk yang jauh lebih kuat. Si B itu tak jarang memukulinya apabila ia tidak patuh terhadapnya. Namun, tiba-tiba si B mendapat musibah. Karena kecelakaan besar, ia sudah lagi tidak memiliki daya ingat yang baik, kaki kirinya patah, dan ia sudah tidak dapat mendengar. Maka, si A sudah tidak lagi takut dengan si B.
Kekuatan fisik yang hanya dimiliki sementara oleh si B itu tidak membuat orang lain merasa benar-benar takut. Kekuatan itu dapat dengan mudah untuk ‘hilang’ ketika kekuatan fisik juga telah tiada.
            Kedua, kekuatan emosional. Kekuatan yang dilandaskan pada perasaan ini juga dengan sangat mudah akan hilang, ketika perasaan seseorang sudah terluka. Misal, ketika terjadi tawuran antar gank sekolah. Siswa sekolah A pada awalnya mati-matian dan sangat bersemangat ketika harus berkelahi dengan siswa sekolah C. Pada perkelahian yang pertama, siswa dari sekolah A menang, dan siswa sekolah C ketakutan dan akhirnya menyerah. Karena ada sebuah pemicu, beberapa hari setelahnya terjadi kembali tawuran antara kedua sekolah tersebut. Namun, untuk kali ini siswa sekolah A yang kalah, bahkan ada salah satu anggota mereka yang tewas karena perutnya tertusuk pisau tajam. Kebanyakan dari mereka juga mengalami luka-luka yang tak ringan. Sejak saat itulah, ketika ketua gank siswa sekolah A mengajak tawuran untuk ketiga kalinya, para anggotanya sudah enggan. Mereka tak ingin lagi terluka, atau bahkan menjadi korban yang bisa tewas seketika. Mereka sudah trauma dengan kekalahan yang dialami pada tawuran yang kedua.
            Itulah bentuk lemahnya kekuatan emosional. Ketika perasaan seseorang itu sudah terluka, maka kekuatan ini dengan mudahnya melayang. Tak tersisa lagi. Orang itu sudah enggan lagi untuk berjuang, apalagi akan menjadi korban.
            Ketiga, kekuatan spiritual. Dan jika memang dua kekuatan diatas sudah terbukti benar-benar tidak kuat juga tidak abadi, maka hanya kekuatan spiritual inilah yang bisa abadi. Mengapa? Karena, kekuatan ini tidak hanya berpandangan pada dunia seperti kasus ketakutan si A dengan si B dan tawuran diatas. Kekuatan spiritual atau keimanan ini didorong atas perkara dunia, juga akhirat.
            Ketika seseorang melandasi dengan kekuatan ini, maka ia yakin bahwa tidak ada daya dan upaya yang mampu menandingi kekuatan-Nya. Kekuatan ini akan mendorong manusia hanya bergantung pada-Nya semata, karena Dia Sang Pemilik Kekuatan. Seseorang juga akan sangat takut melanggar Syari’at-Nya karena merasa diawasi. Ia juga tidak pernah bimbang dalam melangkah dan berani menanggung resiko perjuangan. Dengan kekuatan ini, maka seseorang akan mengatakan ‘hidup mulia atau mati syahid’.  
Wallahu a’lamu bish showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar