Pages

Selasa, 07 Oktober 2014

CACATAN PERJALANAN : LONGMARCH TO NGREWENG




   Di Semester pertama kami memulai duduk di bangku SMA ini, kami kembali melakukan longmarch yang kesekian kalinya. Longmarch ini dimaksudkan untuk melatih dasar kepemimpinan kepada para santri. Dan pada kesempatan longmarch kali ini, kami akan melakukan sebuah perjalanan menuju ke sebuah pantai yang berada di Gunung Kidul. Jarak antara asrama Blok O sebagai tempat start longmarch dengan pantai tersebut adalah kurang lebih 80 Km.
   Pada awalnya, kami akan menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki, dan diperkirakan menghabiskan waktu hingga 32 jam. Namun, karena diperkirakan kami belum mampu menempuh jarak sejauh itu, maka para Ustadz memberi keringanan kepada kami. Sehingga kami hanya berjalan sejauh 37 Km, yang dimulai dari masjid Al-Ikhlas yang berada di kecamatan Tepus.
Pada hari jum’at, 12 september 2014 kami melakukan longmarch menuju pantai Greweng. Tepat pada pukul 13.30 WIB, kami telah berkumpul di asrama Blok O. Disana para ustadz yang akan mendampingi kami pun juga sudah berkumpul pula. Di halaman asrama Blok O kami memulai perjalanan dengan breaving terlebih dahulu, dan dilanjutkan membaca doa sebelum berangkat. 
   Sekitar pukul 14.00 WIB kami berangkat menggunakan truk yang telah kami sewa. Semua tas kami tata dengan rapi didalam truk seperti biasanya. Dan kami pun masuk satu per satu kedalam truk dan duduk berdampingan. Beberapa adik kelas kami mengucapkan selamat jalan, sambil bersalaman. Dan ketika truk kami sudah berjalan, mereka pun melambaikan tangan tanda perpisahan.
   Selama perjalanan, kebanyakan dari kami memilih duduk dan memejamkan mata untuk tidur. Tetapi, ada pula yang menikmati perjalanan di truk kali itu dengan melihat pemandangan disepanjang jalan. Menikmati semilir angin sore yang berhembus.
Jum’at itu, pada pukul 16.30 WIB, truk berhenti di seberang jalan  Masjid Al-Ikhlas. Kami semua turun dari truk untuk sholat Ashar. Kala itu, sedang ada kegiatan masjid –TPA— untuk anak-anak. Satu hal yang membuat kami cukup kecewa adalah sore itu juga, para ustadz menyita semua uang dan makanan yang kami bawa. Rasanya benar-benar menyedihkan. Tidak boleh ada yang tersisa di kantong, dompet atau tas kami. Bahkan, ada beberapa teman yang menyempatkan diri untuk melahap makanannya ditempat itu juga. Walau harus melenyapkan dalam sekejap, mereka anggap itu lebih menguntungkan daripada semua yang dimiliki berpindah tangan.
Disitu pula, kami juga membagikan logistik secara rata. Semua dibagi kedalam 20 plastik kresek yang kemudian kami wajib membawanya setiap santri satu kresek. Setelah semua siap, kami berbaris kembali untuk segera memulai perjalanan  menuju Gua Ngingrong. Langkah perjalanan itu masih terasa ringan, dan beban di pundak belum begitu terasa berat.
Setengah jam kemudian, sekitar pukul 17.00 WIB kami sampai di gua tersebut. Warung-warung makanan berjajar rapi dipinggir jalan ditempat itu. Awalnya, kami hanya menyaksikan gua yang nampak seperti lorong sumur dari atas. Namun, begitu melihat cuaca dan waktu cukup mendukung, maka kami semua memutuskan untuk turun ke bawah  memasuki gua yang dinamakan Ngingrong itu. Perjalanan ke bawah cukup membahayakan karena untuk sampai di gua tersebut kami harus melewati  jalan yang sangat landai, setapak dan terjal karena bebatuan.
Sampai di depan mulut gua Ngingrong. Tidak nampak apapun di dalamnya karena begitu gelap. Tidak ada sedikitpun sinar matahari yang menyentuh bagian dalam gua tersebut.  


Beberapa teman masih sempat untuk memasuki gua Ngingrong. Namun akhirnya ustadz meminta kami semua kembali ke atas setelah melihat langit yang tidak lama lagi akan gelap jika kami tidak segera kembali. Usai mengabadikan tempat penting itu dengan beberapa jepretan kamera yang kami bawa, kami pun harus segera kembali ke atas dan melanjutkan longmarch yang masih panjang.
   Saat kami akan kembali ke atas, ustadz mengarahkan jalan yang salah. Karena jalan yang menanjak cukup banyak, di sana kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Kemudian dengan perkiraan yang tepat, akhirnya kami menemukan jalan yang tepat, sehingga kami bisa naik ke atas lagi, dan mengambil tas-tas kami yang sengaja ditinggalkan diatas. Ketika matahari sudah tak nampak lagi, kami sudah kembali berada dijalan beraspal itu.
   Perjalanan di lanjutkan meskipun azan berkumandang dan hari semakin gelap. Beberapa dari kami menyalakan senter. Pohon-pohon dan rerumputan di lahan yang luas selalu kami lewati. Sedikit rumah yang dilewati saat itu. Sesaat kita berulah, membuat suasana jalanan yang sunyi itu menjadi ramai. Tapi hanya sampai kami sudah lelah, dan di tengah-tengah perjalanan menuju masjid selanjutnya kami beristirahat sebentar.

   Sampai pada akhirnya, tidak terasa azan isya telah berkumandang. Lima kilometer telah kami lewati dengan berjalan kaki dan akhirnya sampai juga di masjid selanjutnya. Masjid Al-Huda. Kami menjama’ sholat maghrib dan isya. Jama’ah di masjid itu cukup banyak. Bahkan setelah sholat, para jama’ah masih berada di sana, duduk untuk mendengarkan kultum dari seorang ustadz. Sementara setelah itu, kami makan malam dan kumpul bersama abah. Abah memberikan soal problem solving yang akan diminta jawabannya sesampainya nanti pada pos terakhir.
   Pukul 20.00, perjalanan kembali dilanjutkan malam itu. Dua jam berjalan bersama di malam hari. Pada malam itu, cahaya-cahaya lampu dari perkampungan yang kami lewati menemani perjalanan kami. Jadi, seperti kurang terasa jika kami sedang berjalan di malam hari. Walaupun sebelumnya kita juga melewati jalan yang tidak banyak rumah di pinggirnya.
   22.00, sampailah kami di Al-Ahzar. Kurang lebih 6 kilometer perjalanan yang di tempuh dari sore hingga malam di hari pertama. Masjid Al-Ahzar adalah tempat kami beristirahat di hari pertama. Mempersiapkan energi agar kami dapat bersemangat kembali untuk menempuh perjalanan di pagi hari kemudian.
***
   Semua sudah terbangun pada pukul 4.15. Sabtu, 13 September 2014. Dimulai dari kami bersiap untuk sholat shubuh. Dan setelah sholat shubuh, kami kumpul sebentar dengan abah kembali. Lalu melakukan pemanasan sebelum kembali berjalan.
   Seperti sebelum-sebelumnya yang kami belum ceritakan, di perjalan kami memotret kegiatan masyarakat / warga di pagi hari. Ada yang berjualan, membawa tumpukan rerumputan, anak-anak sudah ada yang sampai di sekolah yang kami lewati, dan hal-hal lain yang kami temukan sebelum
   Kentang dan wortel di kupas dan dipotong besar untuk di rebus. Niat kami, dua macam sayur itu akan kami makan bersama tahu dan bumbu pecel yang kami bawa. Namun sayangnya bumbu pecel itu entah hilang kemana. Malahan, kentang dan wortel pagi itu lama sekali matangnya. Sebenarnya ini kesalahan kami yang tidak memotongnya menjadi bagian yang lebih kecil agar lebih cepat matangnya.
   Selagi menunggu, abah memanggil kami untuk berdiskusi dengan beliau tentang cita-cita atau keberhasilan yang ingin kami capai saat besar nanti. Dimulai dari Thira dan Ina, kemudian Ilmi dan Ami, dst. Sementara yang lain di masa mereka menunggu, terlihat sedang bercanda di dekat kompor spirtus yang sedang berusaha memanaskan air untuk mematangkan kentang-kentang dan wortel-wortel itu. Guru-guru yang lain terlihat seperti tidak sabar menunggu kami untuk segera makan-makanan itu. Dan disinilah terjadi insiden. Satu panci yang berisi kentang-kentang tumpah tersenggol oleh salah satu santri. Entah karena berlebihan saat bercanda sehingga akhirnya timbul kejadian yang tidak diharapkan itu atau... entahlah.
   Suasana sempat terasa sedikit runyam saat itu. Belum ada yang matang, namun sudah ada yang tumpah. Tapi kami hanya tertawa. Entah bagaimana perasaan ustadz saat itu. Menunggu kami selesai dengan sarapan pagi yang berjalan dengan berbagai rintangan. Lama-kelamaan beberapa dari kami sepertinya lumayan bosan menunggunya. Tidak tahu sudah berapa menit kami menunggu, seperti sudah lebih dari satu jam. Ustadz Agus memberitahukan kami bahwa jam 8 kami semua sudah harus siap untuk melanjutkan perjalanan.


   Semua panik saat tahu bahwa waktu yang ditentukan sebentar lagi. Akhirnya acara merebus kentang-wortel dihentikan. Apapun yang terjadi pada kentang wortel itu. Kami terpaksa memakannya dalam keadaan belum matang. Semua harus dipaksakan, karena mubazir. Benar-benar cobaan pagi itu.
Walaupun diperingati jam 8 sudah harus siap, tetap saja kami sedikit molor. Jam 8 lewat kami semua baru benar-benar telah siap untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi, ustadz berterimakasih pada salah satu dari kami yang makanannya disita. Makanan itu rupanya disantap oleh ustadz-ustadz yang mendampingi kami.
Pagi itu kami hanya berjalan kurang lebih selama tiga jam, tapi rasa lelah itu lebih cepat terasa di pagi hari dibandingkan malam hari. Istirahat kami dipagi itu terasa lebih banyak daripada perjalanan sore-malam kemarin. Mungkin juga karena rasa pegal yang kemarin dirasakan memang belum hilang sepenuhnya. Di saat-saat istirahat itu, kami menyempatkan memakan apel hijau yang kami bawa. Selama perjalanan, kami bernyanyi dan bercanda sebagai selingan agar suasana selama berjalan tidak terasa hampa. Kami masih memotret warga yang sedang melakukan pekerjaan masing-masing.
   Akhirnya sampai juga kami di mushola yang sama seperti nama masjid yang pertama kali kami datangi untuk ishoma. Al-Ikhlas. Lama sekali kami beristirahat di sana, kebetulan juga ada dua orang santri yang sakit. Nadiah dan Utin. Pada jam 11 kami sampai di mushola tersebut. Kebanyakan dari kami tidur sebentar di sana baru mulai memasak makan siang. Saat sudah waktunya sholat dzuhur, kami bergantian untuk menjaga masakan dan sholat dzuhur-ashar yang dijama’. Suasana cukup ramai pada waktu itu. Walau kebanyakan dari kami terlelap, namun obrolan para ustadz pun memecahkan keheningan. Awalnya memang hanya 3 ustadz saja yang membuntuti kami sejak awal. Namun entah karena apa, ustadz-ustadz yang lain berdatangan dan bergabung dengan kegirangan.

Menu siang ini adalah singkong dengan gula merah. Dan untuk yang siang ini, makanan telah dimasak sampai berhasil. Dari gula merah dan singkong. Semua dapat menikmatinya kali ini tanpa enggan. Istirahat sudah banyak, sholat dan makan juga sudah. Dan pukul 15.00 WIB kami sudah beres dan siap berjalan.

   Sekitar 10 kilometer lagi kami akan sampai jalan yang akan menuju antara pantai Wedi Ombo atau Ngreweng. Dari tempat istirahat ini kami mulai meminta air kepada penduduk atau rumah warga yang kami lewati. Karena persediaan air kami juga sudah sangat menipis.
   Sampai akhirnya hari sudah hampir senja. Tiga santri berhenti ketika ada ibu-ibu yang menawarkan mereka makanan dan lain-lain. Salah satu dari mereka berlari ke rumah tersebut dengan sangat senang. Kami diberi beberapa snack, pisang goreng dan tape goreng. Setelah itu, ibu tersebut menghampiri kami dan menawarkan makanan besar. Tiga atau empat dari kami kembali mendatangi rumah ibu tersebut dan mendapatkan bekal. Nasi beserta lauknya  Ikan, tempe, dan telor asin—.Kami semua memakannya saat sudah sampai di masjid Al-Mujahidin pada pukul 17.40 WIB, setelah semua sudah sholat magrib-isya. Nadiah dan Utin sudah datang lebih dulu, mereka membawa motor agar dapat kembali beristirahat. Untuk mencapai masjid itu, kami harus menaiki tangga yang panjang karena masjid itu berada di atas.
Kami sangat bersyukur bisa makan malam dengan nasi. Dan setelah itu kami istirahat sebentar sampai masjid kembali azan untuk sholat isya. Tapi kami sudah menjama’-nya. Setelah membereskan teras masjid, tempat kami beristirahat tadi. Semua turun ke bawah dan menunggu semua berkumpul. Kami akan berjalan lagi!
  
Tapi ustadz Agus memberi pilihan lain. Apakah lebih baik kami tetap di masjid ini dan beristirahat dan kami hanya pergi ke Wedi Ombo pada pagi harinya. Atau tetap berjalan malam ini untuk pergi ke Ngreweng baru pagi harinya bisa ke Wedi Ombo. Kebanyakan dari kami semua bahkan sepertinya semua setuju untuk tetap melanjutkan perjalanan malam ini, pergi ke pantai Ngreweng. Bagaimana lagi? Dan dengan senang hati kami melanjutkannya pada sabtu malam itu. Dan untungnya Nadiyah dan Utin sudah sembuh. Tapi malam ini giliran Ilmi yang sakit.
   Malam itu, kami sudah tidak melewati perkampungan lagi yang dimana jalanan itu menjadi gelap gulita. Meskipun bulan menemani dan bintang-bintang bertaburan sangat banyak. Kami sepertinya harus menyalakan seluruh senter yang kami punya. Bahkan awalnya guru hanya menemani kami di perjalanan sebentar, namun setelah itu di belakang sudah ada ustadz yang menjaga kami. Pohon-pohon yang rimbun, juga banyak rerumputan yang kami lewati di sisi kiri kami. Udara terasa sangat dingin. Kami dan pepohonan saling berebut oksigen di malam hari. Tidak apa-apa malam itu dari kami kecuali beberapa diantara kami yang bicara dengan teman yang berjalan di depan atau di belakangnya. Abah berhenti beberapa kali dengan motornya untuk menuntun arah jalan kami.
   Diperjalanan malam kedua yang begitu mencekat itu, beberapa dari kami takut saat abah memberitahu di depan nanti akan ada beberapa anjing. Ustadz Zulfadli diminta untuk menjaga rombongan kami dari anjing-anjing itu agar tidak mendekat. Untung saja tidak terjadi apa-apa.
   Yang kedua kalinya, kami sampai di sebuah pos yang menjaga portal. Beberapa bapak-bapak dari sana terlihat tengah duduk-duduk di kursi panjang di depan pos. Saat ingin melewati mereka, kami semua ditahan. Salah satu dari bapak-bapak itu meminta pada kami untuk membayar biaya masuk ke pantai Wedi Ombo. Mau tak mau kami harus berhenti untuk menunggu ustadz dengan berbagai rasa bingung dan takut. Tak ada yang dapat kami lakukan. Selain karena kami tak ada yang memegang uang sedikitpun, sinyal handpone tak mendukung pula. Sehingga inisiatif kami untuk menghubungi ustadz bukanlah sebuah solusi. Tetapi tiba-tiba, dua ustadz muncul dari belakang kami dan tiba-tiba pula bapak tersebut mengatakan bahwa jika ingin masuk tidak perlu bayar.
Ada yang merasa lega, tapi ada juga setelah itu mengatakan kecurigaan mereka pada bapak itu. Ternyata bapak tersebut diminta untuk menjaili kami oleh ustadz yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan kami ke Ngreweng dengan motor. Semua santri sepertinya sudah memahami watak ustadznya. Konflik kecil itu tidaklah enjadi permasalahan yang berlarut-larut. Akhirnya kami kembali berjalan dan sampailah kami di sebuah warung untuk beristirahat. Zahra merasa tidak enak badan dan memutuskan untuk beristirahat di warung itu bersama Ilmi. Sayang sekali rasanya. Karena suara ombak dari pantai Wedi Ombo sudah terdengar jelas di telinga kami. Walaupun sebenarnya malam ini kami memutuskan untuk bermalam di alam terbuka, Ngreweng. Jika ke Ngreweng, kata ustadz masih dua kilometer lagi untuk sampai di sana. Tapi, masa tinggal sedikit seperti itu kita sudah menyerah?
   Ke Ngreweng? Itu harus menjadi yang utama. Akhirnya ustadz Zulnaro yang memimpin perjalanan. Perjalanan itu terhenti di tengah jalan karena rombongan yang dituntun oleh ustadz Zulfadli belum muncul. Lumayan lama kami menunggu dengan seluruh senter yang dimatikan. Sekitar 15 menit, akhirnya rombongan tersebut muncul. Ternyata mereka kembali berbalik untuk mengambil kamera yang tertinggal di warung sebelumnya.
   Jalan yang lumayan sempit kami lewati demi sampai ke Ngreweng. Tapi sebelum akhirnya sampai, kami berhenti di depan rumah seseorang. Di sana sudah ada ustadz yang lainnya menunggu kami. Dan kini giliran ustadz Oni yang mengarahkan jalan ke Ngreweng. Ada jalan yang berbentuk turunan. Tapi sebelum melewati itu, kami semua berhenti di depan gua. Entah gua apa namanya.Tapi yang pasti, kami diminta untuk masuk ke dalam. Awalnya per orang diberi waktu lima menit untuk masuk ke dalam sendiri untuk mencari nama masing-masing. Semua santri sudah memiliki firasat kalau ustadz berbohong meskipun ustadz mengelak. Tiba pada giliran ketiga, karena sepertinya lama jika harus masuk sendiri-sendiri. Akhirnya santri di urutan ketiga dan seterusnya masuk secara berkelompok—per lima orang—. Dari santri yang pertama sampai giliran lima santri yang masuk, tidak ada satu pun yang berhasil menemukan nama mereka masing-masing.
 Akhirnya kami tahu, bahwa sebenarnya ustadz hanya meminta kami semua untuk melihat keindahan di dalam gua tersebut. Di salah satu sisi gua, terdapat bagian atas yang berlubang, sehingga disana kami dapat melihat secara langsung pohon yang tumbuh diatas gua tersebut. Akar pohon itu menghiasi lubang gua dengan akar-akar gantungnya yang melayang.
   Setelah semua santri bergilir untuk memasuki gua tersebut, santri pun melakukan perjalanan lagi untuk menuju ke pantai Ngreweng. Di sepanjang perjalan gemuruh suara ombak pun terdengar oleh telinga kami, sehingga kami pun mempercepat  langakah kami. Sebagian tidak sabar untuk merasa bangga karena telah memasuki pantai Ngreweng dan yang lainnya juga ingin segera merasakan istirahat di suasana alam pantai pada malam hari. Meskipun ada rawa dengan tanahnya yang basah, tapi kami tetap melangkahkan kaki dengan tidak mempedulikan hal itu. Karena kami sudah sangat tidak sabar.
   “Kalian!!!” Panggil rombongan yang lebih dulu sampai di pantai. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga kami di tempat yang dinanti. Air laut pasang, ombak menghantam karang dan menarik pasir pantai. Udara semakin dingin saja rasanya, membuat kami harus mengeratkan jaket pada tubuh kami. Ada yang berlari dan mencari kepiting. Ada juga yang segera berbaring kemudian memejamkan mata, atau melihat bintang-bintang yang bersinar malam itu. Sementara para ustadz begadang dan membuat api unggun.
   Pukul 23.00 WIB, tikar besar sudah di gelar. Kami mencari tempat masing-masing untuk tidur. Tidur di pinggir pantai memang sangatlah dingin. Beberapa santri yang sudah tidur, kembali terbangun. Karena mengantuk, mereka berusaha untuk kembali tertidur.
   5.00 AM
Minggu, 14 September 2014.
Semua santri telah bangun, kemudian bergantian ke WC untuk berwudhu dan lain- lain. WC di sana hanya ada dua dan itu pun harus membayar dua ribu per ember. Ustadz mengatakan bahwa nanti sekolah yang akan membayarnya. Selain karena terlalu berat bagi kami, kami harus ingat bahwa tak sepeserpun uang kami pegang di dalam tas ataupun dompet kami.
Matahari sudah menerangi pantai Ngreweng dan para santri sudah sholat shubuh. Mereka berkumpul mengelilingi api unggun untuk membakar ubi dan melelehkan coklat pada pagi ini sebagai sarapan. Sambil menunggu dan mengaduk coklat, kami semua bermain kata sambung. Kali ini, tidak ada yang tumpah untungnya.

Akhirnya kami bisa dengan santai menikmati sarapan. Menghabiskan ubi dengan mencolek coklat. Dan setelah itu, banyak hal yang dilakukan. Ada yang sudah bermain air tapi lebih banyak di air payau, ada yang setelah itu hanya duduk-duduk di atas alas tidur tadi malam, juga ada yang selfie atau mungkin memotret yang lain, dan lain-lain. Kemudian semua santri dipaksa masuk ke dalam air payau yang menyebabkan teman-teman menarik santri yang tidak mau basah di sana. Tapi akhirnya semua basah meskipun ada yang hanya setinggi air payau itu sendiri. Dan setelah itu ustadz memfoto kami semua yang sudah berada di dalam air.
Setelah berkali-kali foto, akhirnya semua membereskan barang-barang. Kami akan pergi ke pantai selanjutnya. Wedi Ombo. Tapi sebelum itu, kami dijelaskan tentang air payau dan tanaman yang berada di sana. Ustadz Agus mendapat kepiting besar di sana. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan malam menuju Ngreweng banyak sekali turunan. Sekarang pasti akan lebih melelahkan, karena saat berbalik ke arah Wedi Ombo pasti lebih banyak tanjakannya. Membuat kami kembali meminta air ke warga. Awalnya kami tidak dapat membayangkan seindah apa pantai tersebut. Saat hampir keluar dari jalan yang mengarah ke Ngreweng, kami dapat melihat laut dari pantai Wedi Ombo. Sangat indah, membuat kami tidak sabar untuk segera sampai di sana. Akhirnya kami segera keluar dari pertigaan dan pergi ke arah kiri, mengikuti turunan untuk mencapai Wedi Ombo.
Saat sampai di bawah. Tidak menyangka bahwa pantai itu ramai sekali. Banyak penjual di depannya untuk menjual makanan dan minuman. Mobil dan motor penuh di sana. Kami menunggu sampai semua sudah turun di samping sebuah bus untuk masuk ke dalam. Pantai ini sudah menjadi tempat wisata memang. Tapi kami tidak melihat banyak sampah yang berserakan.
Semua sudah berkumpul. Ustadz megembalikan semua uang kami yang disita di hari pertama. Beberapa dari kami ada yang sudah dijajankan sebelum masuk ke dalam. Setelah itu kami semua masuk. Semua sudah melepas tas juga sandal atau sepatu, kemudian bermain air pantai. Masih banyak batu-batu besar di sana. Ombak di pantai Wedi Ombo juga hebat. Kami melihat kepiting-kepiting bersembunyi di lubang batu-batu itu.
Hingga akhirnya tidak terasa ternyata kami sudah bermain sampai tengah hari. Ustadz kemudian mengumpulkan kami dan membuat barisan menjadi dua shaf. Ustadz Oni memberikan selamat kepada kami yang akhirnya dapat menuntaskan lebih cepat Longmarch to Ngreweng. 37 kilometer telah kami tempuh dan kami diberi kenang-kenangan dari LDK –Latihan Dasar Kepemimpinan— kali ini dengan sebuah scarf. Kegiatan kali ini diakhiri dengan foto bersama.

Karena seharusnya kami pulang jam sebelas dan sementara kami selesai jam dua belas. Akhirnya tidak ada yang mandi karena truk sudah menunggu. Dengan baju yang masih basah, kami naik ke dalam truk dan pulang ke asrama dengan keadaan yang benar-benar lengket. Hm, pada hari itu... Kami benar-benar harus mandi dengan sangat bersih.