Di
Semester pertama kami memulai duduk di bangku SMA ini, kami kembali melakukan
longmarch yang kesekian kalinya. Longmarch ini dimaksudkan untuk melatih dasar
kepemimpinan kepada para santri. Dan pada kesempatan longmarch kali ini, kami
akan melakukan sebuah perjalanan menuju ke sebuah pantai yang berada di Gunung
Kidul. Jarak antara asrama Blok O sebagai tempat start longmarch dengan pantai
tersebut adalah kurang lebih 80 Km.
Pada
awalnya, kami akan menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki, dan
diperkirakan menghabiskan waktu hingga 32 jam. Namun, karena diperkirakan kami
belum mampu menempuh jarak sejauh itu, maka para Ustadz memberi keringanan
kepada kami. Sehingga kami hanya berjalan sejauh 37 Km, yang dimulai dari masjid
Al-Ikhlas yang berada di kecamatan Tepus.
Pada hari jum’at, 12 september 2014 kami
melakukan longmarch menuju pantai Greweng. Tepat pada pukul 13.30 WIB, kami
telah berkumpul di asrama Blok O. Disana para ustadz yang akan mendampingi kami
pun juga sudah berkumpul pula. Di halaman asrama Blok O kami memulai perjalanan
dengan breaving terlebih dahulu, dan dilanjutkan membaca doa sebelum
berangkat.
Sekitar
pukul 14.00 WIB kami berangkat menggunakan truk yang telah kami sewa. Semua tas
kami tata dengan rapi didalam truk seperti biasanya. Dan kami pun masuk satu
per satu kedalam truk dan duduk berdampingan. Beberapa adik kelas kami
mengucapkan selamat jalan, sambil bersalaman. Dan ketika truk kami sudah
berjalan, mereka pun melambaikan tangan tanda perpisahan.
Selama
perjalanan, kebanyakan dari kami memilih duduk dan memejamkan mata untuk tidur.
Tetapi, ada pula yang menikmati perjalanan di truk kali itu dengan melihat
pemandangan disepanjang jalan. Menikmati semilir angin sore yang berhembus.
Jum’at itu, pada pukul 16.30 WIB, truk
berhenti di seberang jalan Masjid
Al-Ikhlas. Kami semua turun dari truk untuk sholat Ashar. Kala itu, sedang ada
kegiatan masjid –TPA— untuk anak-anak. Satu hal yang membuat kami cukup kecewa
adalah sore itu juga, para ustadz menyita semua uang dan makanan yang kami
bawa. Rasanya benar-benar menyedihkan. Tidak boleh ada yang tersisa di kantong,
dompet atau tas kami. Bahkan, ada beberapa teman yang menyempatkan diri untuk
melahap makanannya ditempat itu juga. Walau harus melenyapkan dalam sekejap,
mereka anggap itu lebih menguntungkan daripada semua yang dimiliki berpindah
tangan.
Disitu pula, kami juga membagikan logistik
secara rata. Semua dibagi kedalam 20 plastik kresek yang kemudian kami wajib
membawanya setiap santri satu kresek. Setelah semua siap, kami berbaris kembali
untuk segera memulai perjalanan menuju
Gua Ngingrong. Langkah perjalanan itu masih terasa ringan, dan beban di pundak
belum begitu terasa berat.
Setengah
jam kemudian, sekitar pukul 17.00 WIB kami sampai di gua tersebut. Warung-warung
makanan berjajar rapi dipinggir jalan ditempat itu. Awalnya, kami hanya
menyaksikan gua yang nampak seperti lorong sumur dari atas. Namun, begitu
melihat cuaca dan waktu cukup mendukung, maka kami semua memutuskan untuk turun
ke bawah memasuki gua yang dinamakan
Ngingrong itu. Perjalanan ke bawah cukup membahayakan karena untuk sampai di
gua tersebut kami harus melewati jalan
yang sangat landai, setapak dan terjal karena bebatuan.
Sampai di depan mulut gua Ngingrong. Tidak
nampak apapun di dalamnya karena begitu gelap. Tidak ada sedikitpun sinar
matahari yang menyentuh bagian dalam gua tersebut.
Beberapa teman masih sempat untuk memasuki gua
Ngingrong. Namun akhirnya ustadz meminta kami semua kembali ke atas setelah
melihat langit yang tidak lama lagi akan gelap jika kami tidak segera kembali.
Usai mengabadikan tempat penting itu dengan beberapa jepretan kamera yang kami
bawa, kami pun harus segera kembali ke atas dan melanjutkan longmarch yang
masih panjang.
Saat
kami akan kembali ke atas, ustadz mengarahkan jalan yang salah. Karena jalan
yang menanjak cukup banyak, di sana kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Kemudian
dengan perkiraan yang tepat, akhirnya kami menemukan jalan yang tepat, sehingga
kami bisa naik ke atas lagi, dan mengambil tas-tas kami yang sengaja
ditinggalkan diatas. Ketika matahari sudah tak nampak lagi, kami sudah kembali
berada dijalan beraspal itu.
Perjalanan
di lanjutkan meskipun azan berkumandang dan hari semakin gelap. Beberapa dari
kami menyalakan senter. Pohon-pohon dan rerumputan di lahan yang luas selalu
kami lewati. Sedikit rumah yang dilewati saat itu. Sesaat kita berulah, membuat
suasana jalanan yang sunyi itu menjadi ramai. Tapi hanya sampai kami sudah
lelah, dan di tengah-tengah perjalanan menuju masjid selanjutnya kami
beristirahat sebentar.
Sampai
pada akhirnya, tidak terasa azan isya telah berkumandang. Lima kilometer telah
kami lewati dengan berjalan kaki dan akhirnya sampai juga di masjid
selanjutnya. Masjid Al-Huda. Kami menjama’ sholat maghrib dan isya. Jama’ah di
masjid itu cukup banyak. Bahkan setelah sholat, para jama’ah masih berada di
sana, duduk untuk mendengarkan kultum dari seorang ustadz. Sementara setelah
itu, kami makan malam dan kumpul bersama abah. Abah memberikan soal problem solving yang akan diminta
jawabannya sesampainya nanti pada pos terakhir.
Pukul
20.00, perjalanan kembali dilanjutkan malam itu. Dua jam berjalan bersama di malam
hari. Pada malam itu, cahaya-cahaya lampu dari perkampungan yang kami lewati
menemani perjalanan kami. Jadi, seperti kurang terasa jika kami sedang berjalan
di malam hari. Walaupun sebelumnya kita juga melewati jalan yang tidak banyak
rumah di pinggirnya.
22.00,
sampailah kami di Al-Ahzar. Kurang lebih 6 kilometer perjalanan yang di tempuh
dari sore hingga malam di hari pertama. Masjid Al-Ahzar adalah tempat kami
beristirahat di hari pertama. Mempersiapkan energi agar kami dapat bersemangat
kembali untuk menempuh perjalanan di pagi hari kemudian.
***
Semua
sudah terbangun pada pukul 4.15. Sabtu, 13 September 2014. Dimulai dari kami
bersiap untuk sholat shubuh. Dan setelah sholat shubuh, kami kumpul sebentar
dengan abah kembali. Lalu melakukan pemanasan sebelum kembali berjalan.
Seperti
sebelum-sebelumnya yang kami belum ceritakan, di perjalan kami memotret
kegiatan masyarakat / warga di pagi hari. Ada yang berjualan, membawa tumpukan
rerumputan, anak-anak sudah ada yang sampai di sekolah yang kami lewati, dan
hal-hal lain yang kami temukan sebelum
Kentang
dan wortel di kupas dan dipotong besar untuk di rebus. Niat kami, dua macam
sayur itu akan kami makan bersama tahu dan bumbu pecel yang kami bawa. Namun
sayangnya bumbu pecel itu entah hilang kemana. Malahan, kentang dan wortel pagi
itu lama sekali matangnya. Sebenarnya ini kesalahan kami yang tidak memotongnya
menjadi bagian yang lebih kecil agar lebih cepat matangnya.
Selagi
menunggu, abah memanggil kami untuk berdiskusi dengan beliau tentang cita-cita
atau keberhasilan yang ingin kami capai saat besar nanti. Dimulai dari Thira
dan Ina, kemudian Ilmi dan Ami, dst. Sementara yang lain di masa mereka
menunggu, terlihat sedang bercanda di dekat kompor spirtus yang sedang berusaha
memanaskan air untuk mematangkan kentang-kentang dan wortel-wortel itu. Guru-guru
yang lain terlihat seperti tidak sabar menunggu kami untuk segera makan-makanan
itu. Dan disinilah terjadi insiden. Satu panci yang berisi kentang-kentang
tumpah tersenggol oleh salah satu santri. Entah karena berlebihan saat bercanda
sehingga akhirnya timbul kejadian yang tidak diharapkan itu atau... entahlah.
Suasana
sempat terasa sedikit runyam saat itu. Belum ada yang matang, namun sudah ada
yang tumpah. Tapi kami hanya tertawa. Entah bagaimana perasaan ustadz saat itu.
Menunggu kami selesai dengan sarapan pagi yang berjalan dengan berbagai
rintangan. Lama-kelamaan beberapa dari kami sepertinya lumayan bosan
menunggunya. Tidak tahu sudah berapa menit kami menunggu, seperti sudah lebih
dari satu jam. Ustadz Agus memberitahukan kami bahwa jam 8 kami semua sudah
harus siap untuk melanjutkan perjalanan.
Semua
panik saat tahu bahwa waktu yang ditentukan sebentar lagi. Akhirnya acara
merebus kentang-wortel dihentikan. Apapun yang terjadi pada kentang wortel itu.
Kami terpaksa memakannya dalam keadaan belum matang. Semua harus dipaksakan,
karena mubazir. Benar-benar cobaan pagi itu.
Walaupun diperingati jam 8 sudah harus siap,
tetap saja kami sedikit molor. Jam 8
lewat kami semua baru benar-benar telah siap untuk melanjutkan perjalanan.
Sebelum pergi, ustadz berterimakasih pada salah satu dari kami yang makanannya
disita. Makanan itu rupanya disantap oleh ustadz-ustadz yang mendampingi kami.
Pagi itu kami hanya berjalan kurang lebih
selama tiga jam, tapi rasa lelah itu lebih cepat terasa di pagi hari
dibandingkan malam hari. Istirahat kami dipagi itu terasa lebih banyak daripada
perjalanan sore-malam kemarin. Mungkin juga karena rasa pegal yang kemarin dirasakan
memang belum hilang sepenuhnya. Di saat-saat istirahat itu, kami menyempatkan memakan
apel hijau yang kami bawa. Selama perjalanan, kami bernyanyi dan bercanda
sebagai selingan agar suasana selama berjalan tidak terasa hampa. Kami masih
memotret warga yang sedang melakukan pekerjaan masing-masing.
Menu siang ini adalah singkong dengan gula
merah. Dan untuk yang siang ini, makanan telah dimasak sampai berhasil. Dari
gula merah dan singkong. Semua dapat menikmatinya kali ini tanpa enggan.
Istirahat sudah banyak, sholat dan makan juga sudah. Dan pukul 15.00 WIB kami
sudah beres dan siap berjalan.
Sekitar
10 kilometer lagi kami akan sampai jalan yang akan menuju antara pantai Wedi
Ombo atau Ngreweng. Dari tempat istirahat ini kami mulai meminta air kepada
penduduk atau rumah warga yang kami lewati. Karena persediaan air kami juga
sudah sangat menipis.
Sampai
akhirnya hari sudah hampir senja. Tiga santri berhenti ketika ada ibu-ibu yang
menawarkan mereka makanan dan lain-lain. Salah satu dari mereka berlari ke
rumah tersebut dengan sangat senang. Kami diberi beberapa snack, pisang goreng dan tape goreng. Setelah itu, ibu tersebut
menghampiri kami dan menawarkan makanan besar. Tiga atau empat dari kami
kembali mendatangi rumah ibu tersebut dan mendapatkan bekal. Nasi beserta
lauknya Ikan, tempe, dan telor
asin—.Kami semua memakannya saat sudah sampai di masjid Al-Mujahidin pada pukul
17.40 WIB, setelah semua sudah sholat magrib-isya. Nadiah dan Utin sudah datang
lebih dulu, mereka membawa motor agar dapat kembali beristirahat. Untuk
mencapai masjid itu, kami harus menaiki tangga yang panjang karena masjid itu
berada di atas.
Kami sangat bersyukur bisa makan malam dengan
nasi. Dan setelah itu kami istirahat sebentar sampai masjid kembali azan untuk
sholat isya. Tapi kami sudah menjama’-nya. Setelah membereskan teras masjid,
tempat kami beristirahat tadi. Semua turun ke bawah dan menunggu semua
berkumpul. Kami akan berjalan lagi!
Tapi ustadz Agus memberi pilihan lain. Apakah
lebih baik kami tetap di masjid ini dan beristirahat dan kami hanya pergi ke
Wedi Ombo pada pagi harinya. Atau tetap berjalan malam ini untuk pergi ke Ngreweng
baru pagi harinya bisa ke Wedi Ombo. Kebanyakan dari kami semua bahkan
sepertinya semua setuju untuk tetap melanjutkan perjalanan malam ini, pergi ke
pantai Ngreweng. Bagaimana lagi? Dan dengan senang hati kami melanjutkannya
pada sabtu malam itu. Dan untungnya Nadiyah dan Utin sudah sembuh. Tapi malam
ini giliran Ilmi yang sakit.
Malam
itu, kami sudah tidak melewati perkampungan lagi yang dimana jalanan itu
menjadi gelap gulita. Meskipun bulan menemani dan bintang-bintang bertaburan
sangat banyak. Kami sepertinya harus menyalakan seluruh senter yang kami punya.
Bahkan awalnya guru hanya menemani kami di perjalanan sebentar, namun setelah
itu di belakang sudah ada ustadz yang menjaga kami. Pohon-pohon yang rimbun,
juga banyak rerumputan yang kami lewati di sisi kiri kami. Udara terasa sangat
dingin. Kami dan pepohonan saling berebut oksigen di malam hari. Tidak apa-apa
malam itu dari kami kecuali beberapa diantara kami yang bicara dengan teman
yang berjalan di depan atau di belakangnya. Abah berhenti beberapa kali dengan
motornya untuk menuntun arah jalan kami.
Diperjalanan
malam kedua yang begitu mencekat itu, beberapa dari kami takut saat abah
memberitahu di depan nanti akan ada beberapa anjing. Ustadz Zulfadli diminta
untuk menjaga rombongan kami dari anjing-anjing itu agar tidak mendekat. Untung
saja tidak terjadi apa-apa.
Yang kedua kalinya, kami sampai di sebuah pos
yang menjaga portal. Beberapa bapak-bapak dari sana terlihat tengah duduk-duduk
di kursi panjang di depan pos. Saat ingin melewati mereka, kami semua ditahan.
Salah satu dari bapak-bapak itu meminta pada kami untuk membayar biaya masuk ke
pantai Wedi Ombo. Mau tak mau kami harus berhenti untuk menunggu ustadz dengan
berbagai rasa bingung dan takut. Tak ada yang dapat kami lakukan. Selain karena
kami tak ada yang memegang uang sedikitpun, sinyal handpone tak mendukung pula.
Sehingga inisiatif kami untuk menghubungi ustadz bukanlah sebuah solusi. Tetapi
tiba-tiba, dua ustadz muncul dari belakang kami dan tiba-tiba pula bapak
tersebut mengatakan bahwa jika ingin masuk tidak perlu bayar.
Ada yang merasa lega, tapi ada juga setelah
itu mengatakan kecurigaan mereka pada bapak itu. Ternyata bapak tersebut diminta
untuk menjaili kami oleh ustadz yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan kami ke
Ngreweng dengan motor. Semua santri sepertinya sudah memahami watak ustadznya. Konflik
kecil itu tidaklah enjadi permasalahan yang berlarut-larut. Akhirnya kami
kembali berjalan dan sampailah kami di sebuah warung untuk beristirahat. Zahra
merasa tidak enak badan dan memutuskan untuk beristirahat di warung itu bersama
Ilmi. Sayang sekali rasanya. Karena suara ombak dari pantai Wedi Ombo sudah
terdengar jelas di telinga kami. Walaupun sebenarnya malam ini kami memutuskan
untuk bermalam di alam terbuka, Ngreweng. Jika ke Ngreweng, kata ustadz masih
dua kilometer lagi untuk sampai di sana. Tapi, masa tinggal sedikit seperti itu
kita sudah menyerah?
Ke
Ngreweng? Itu harus menjadi yang utama. Akhirnya ustadz Zulnaro yang memimpin
perjalanan. Perjalanan itu terhenti di tengah jalan karena rombongan yang
dituntun oleh ustadz Zulfadli belum muncul. Lumayan lama kami menunggu dengan
seluruh senter yang dimatikan. Sekitar 15 menit, akhirnya rombongan tersebut
muncul. Ternyata mereka kembali berbalik untuk mengambil kamera yang tertinggal
di warung sebelumnya.
Jalan
yang lumayan sempit kami lewati demi sampai ke Ngreweng. Tapi sebelum akhirnya
sampai, kami berhenti di depan rumah seseorang. Di sana sudah ada ustadz yang
lainnya menunggu kami. Dan kini giliran ustadz Oni yang mengarahkan jalan ke
Ngreweng. Ada jalan yang berbentuk turunan. Tapi sebelum melewati itu, kami
semua berhenti di depan gua. Entah gua apa namanya.Tapi yang pasti, kami
diminta untuk masuk ke dalam. Awalnya per orang diberi waktu lima menit untuk
masuk ke dalam sendiri untuk mencari nama masing-masing. Semua santri sudah
memiliki firasat kalau ustadz berbohong meskipun ustadz mengelak. Tiba pada
giliran ketiga, karena sepertinya lama jika harus masuk sendiri-sendiri. Akhirnya
santri di urutan ketiga dan seterusnya masuk secara berkelompok—per lima
orang—. Dari santri yang pertama sampai giliran lima santri yang masuk, tidak
ada satu pun yang berhasil menemukan nama mereka masing-masing.
Akhirnya kami tahu, bahwa sebenarnya ustadz
hanya meminta kami semua untuk melihat keindahan di dalam gua tersebut. Di
salah satu sisi gua, terdapat bagian atas yang berlubang, sehingga disana kami
dapat melihat secara langsung pohon yang tumbuh diatas gua tersebut. Akar pohon
itu menghiasi lubang gua dengan akar-akar gantungnya yang melayang.
Setelah
semua santri bergilir untuk memasuki gua tersebut, santri pun melakukan
perjalanan lagi untuk menuju ke pantai Ngreweng. Di sepanjang perjalan gemuruh
suara ombak pun terdengar oleh telinga kami, sehingga kami pun mempercepat langakah kami. Sebagian tidak sabar untuk
merasa bangga karena telah memasuki pantai Ngreweng dan yang lainnya juga ingin
segera merasakan istirahat di suasana alam pantai pada malam hari. Meskipun ada
rawa dengan tanahnya yang basah, tapi kami tetap melangkahkan kaki dengan tidak
mempedulikan hal itu. Karena kami sudah sangat tidak sabar.
“Kalian!!!”
Panggil rombongan yang lebih dulu sampai di pantai. Alhamdulillah, akhirnya
sampai juga kami di tempat yang dinanti. Air laut pasang, ombak menghantam
karang dan menarik pasir pantai. Udara semakin dingin saja rasanya, membuat kami
harus mengeratkan jaket pada tubuh kami. Ada yang berlari dan mencari kepiting.
Ada juga yang segera berbaring kemudian memejamkan mata, atau melihat bintang-bintang
yang bersinar malam itu. Sementara para ustadz begadang dan membuat api unggun.
Pukul
23.00 WIB, tikar besar sudah di gelar. Kami mencari tempat masing-masing untuk
tidur. Tidur di pinggir pantai memang sangatlah dingin. Beberapa santri yang
sudah tidur, kembali terbangun. Karena mengantuk, mereka berusaha untuk kembali
tertidur.
5.00 AM
Minggu, 14 September 2014.
Semua santri telah bangun, kemudian bergantian
ke WC untuk berwudhu dan lain- lain. WC di sana hanya ada dua dan itu pun harus
membayar dua ribu per ember. Ustadz mengatakan bahwa nanti sekolah yang akan
membayarnya. Selain karena terlalu berat bagi kami, kami harus ingat bahwa tak
sepeserpun uang kami pegang di dalam tas ataupun dompet kami.
Matahari sudah menerangi pantai Ngreweng dan
para santri sudah sholat shubuh. Mereka berkumpul mengelilingi api unggun untuk
membakar ubi dan melelehkan coklat pada pagi ini sebagai sarapan. Sambil
menunggu dan mengaduk coklat, kami semua bermain kata sambung. Kali ini, tidak
ada yang tumpah untungnya.
Akhirnya kami bisa dengan santai menikmati
sarapan. Menghabiskan ubi dengan mencolek coklat. Dan setelah itu, banyak hal
yang dilakukan. Ada yang sudah bermain air tapi lebih banyak di air payau, ada
yang setelah itu hanya duduk-duduk di atas alas tidur tadi malam, juga ada yang
selfie atau mungkin memotret yang
lain, dan lain-lain. Kemudian semua santri dipaksa masuk ke dalam air payau
yang menyebabkan teman-teman menarik santri yang tidak mau basah di sana. Tapi
akhirnya semua basah meskipun ada yang hanya setinggi air payau itu sendiri.
Dan setelah itu ustadz memfoto kami semua yang sudah berada di dalam air.
Setelah berkali-kali foto, akhirnya semua
membereskan barang-barang. Kami akan pergi ke pantai selanjutnya. Wedi Ombo. Tapi
sebelum itu, kami dijelaskan tentang air payau dan tanaman yang berada di sana.
Ustadz Agus mendapat kepiting besar di sana. Setelah itu kami melanjutkan
perjalanan.
Perjalanan malam menuju Ngreweng banyak sekali
turunan. Sekarang pasti akan lebih melelahkan, karena saat berbalik ke arah
Wedi Ombo pasti lebih banyak tanjakannya. Membuat kami kembali meminta air ke
warga. Awalnya kami tidak dapat membayangkan seindah apa pantai tersebut. Saat
hampir keluar dari jalan yang mengarah ke Ngreweng, kami dapat melihat laut
dari pantai Wedi Ombo. Sangat indah, membuat kami tidak sabar untuk segera
sampai di sana. Akhirnya kami segera keluar dari pertigaan dan pergi ke arah
kiri, mengikuti turunan untuk mencapai Wedi Ombo.
Saat sampai di bawah. Tidak menyangka bahwa
pantai itu ramai sekali. Banyak penjual di depannya untuk menjual makanan dan
minuman. Mobil dan motor penuh di sana. Kami menunggu sampai semua sudah turun
di samping sebuah bus untuk masuk ke dalam. Pantai ini sudah menjadi tempat
wisata memang. Tapi kami tidak melihat banyak sampah yang berserakan.
Semua sudah berkumpul. Ustadz megembalikan
semua uang kami yang disita di hari pertama. Beberapa dari kami ada yang sudah
dijajankan sebelum masuk ke dalam. Setelah itu kami semua masuk. Semua sudah
melepas tas juga sandal atau sepatu, kemudian bermain air pantai. Masih banyak
batu-batu besar di sana. Ombak di pantai Wedi Ombo juga hebat. Kami melihat
kepiting-kepiting bersembunyi di lubang batu-batu itu.
Hingga akhirnya tidak terasa ternyata kami
sudah bermain sampai tengah hari. Ustadz kemudian mengumpulkan kami dan membuat
barisan menjadi dua shaf. Ustadz Oni memberikan selamat kepada kami yang
akhirnya dapat menuntaskan lebih cepat Longmarch
to Ngreweng. 37 kilometer telah kami tempuh dan kami diberi kenang-kenangan
dari LDK –Latihan Dasar Kepemimpinan— kali ini dengan sebuah scarf. Kegiatan
kali ini diakhiri dengan foto bersama.
Karena seharusnya kami pulang jam sebelas dan
sementara kami selesai jam dua belas. Akhirnya tidak ada yang mandi karena truk
sudah menunggu. Dengan baju yang masih basah, kami naik ke dalam truk dan
pulang ke asrama dengan keadaan yang benar-benar lengket. Hm, pada hari itu...
Kami benar-benar harus mandi dengan sangat bersih.