Untuk yang kesekian kalinya diri ini mendapat pertanyaan dan komentar yang sama. "Kamu kok ngga bosan sih belajar? Setiap saat sama kitab. Istirahat baca kitab. Baru pulang langsung buka buku. Berhenti belajar ganti Qur'an. Setelah muqaraar ganti kitab lain"
"Mba itu belajar terus. Hampir setiap waktunya untuk belajar", kadang ada saja yang membicarakan di belakang walaupun akhirnya terdengar. Atau mereka mengira mataku yang sudah terpejam sudah tak bisa mendengar. Entah apa yang harus kujawab. Hanya terdiam atau sedikit tersenyum. Belum bisa menjelaskan mengapa aku melakukan semua itu.
Kawan, bukankah menuntut ilmu layaknya meminum air laut? Rasa asin pada airnya itu mustahil untuk menghilangkan rasa dahaga kita. Di kala kita merasa haus kemudian sudah terlanjur meneguk air laut, maka yang terjadi rasa haus itu akan semakin parah dan menjadi-jadi. Bukan hilang apalagi kenyang. Seperti itulah ilmu. Jika kita sudah terlanjur meneguknya kita pun tak akan mungkin merasa cukup untuk hanya meminum, rasanya ingin masuk, berenang, dan akhirnya tenggelam dalam samudra yang begitu dalam, luas, indah dan mempesona. Tapi pertanyaannya apakah tenggorokan mu sudah haus dengan yang namanya ilmu?
Apakah kau sudah mencoba dan merasakan bagaimana rasanya meneguk air laut yang asin itu?
Jika kau tak memilih air laut itu, dan memilih meneguk air yang lain, maka mustahil kau akan ketagihan untuk meneguk lagi, apalagi menceburkan diri yang mengakibatkan dirimu tenggelam di dalamnya.
Kawan, bukankah cinta itu butuh bukti dan pengorbanan? Begitu juga saat kita sudah terlanjur mencintai sesuatu yang membutuhkan perhatian besar. Jika kau katakan cinta itu butuh bukti, ilmu pun sesuatu yang tak bisa diduakan. Pengorbanan kita harus mati-matian. Perjuangan kita tak boleh asal-asalan. Asal kuliah. Asal lulus. Asal Najah. Asal dapat ijazah dan gelar. Asal tidak dikatakan pengangguran. Apalagi hanya sekedar biar eksis dan tenar. Jika kau mengatakan cinta itu butuh pengorbanan, maka apapun yang kau miliki pasti akan habis untuk menuruti kebutuhan untuk meraihnyanya. Saat seluruh waktu mu terkuras untuk membuka kitab muqaraar, membolak-balik kamus seempuk bantal, tidur nya hanya beberapa saat, tak ada lagi waktu bercanda apalagi maksiat, tak ada lagi keinginan shoping atau hanya sekedar jalan-jalan yang terkadang malah kebablasan. Stalking akun orang tanpa ada tujuan. Berselancar di dunia maya tanpa ada ilmu yang didapat apalagi dibagi. Upload foto diri di semua akun berharap like, follow, atau setidaknya dipuji. Padahal waktu berlalu tanpa permisi.
Kawan, katamu cinta itu buta. Begitu pula saat kau telah cinta pada ilmu. Kau tak ingin lagi melirik, bahkan tak pernah lagi terfikirkan untuk menghabiskan tumpukan uangmu untuk membeli segala hal yang tak ada kaitannya dengan ilmu. Sekalipun kamu mampu, sekalian kau terkadang butuh dan mendesak. Itulah ilmu. Saat hal-hal yang tak berbau ilmu membuat matamu tertutup rapat-rapat, kau pajamkan lirikan mu ke kanan dan kiri untuk sebuah jalan yang lebih panjang dan menjanjikan.
Kau buta dengan apapun bahaya dan halangan yang menghadang. Kau tuli dengan apapun komentar dan cacian. Kau pura-pura lupa dengan segala rasa letih dan lelah yang membuat badanmu semakin kurus. Kau tak peduli dengan perut yang sering meraung dengan rasa lapar yang membuat lambung semakin terluka. Kau tak peka dengan perihnya nya kaki yang lecet dan luka lantaran jalan yang begitu jauh dan berliku. Kau tak menghiraukan punggung yang sakit karena kitab-kitab yang semakin berat. Kau tak peduli dengan tamparan orang yang merayumu untuk menoleh kepada hiburan yang lebih menyenangkan. Kau tak mengerti lagi cara agar kau mau menghabiskan waktu di antara denyut nadi Kota yang penuh jejak yang sangat menawan ini karena sudah kau temukan keindahan dalam petualangan mu di dalam torehan tinta para Ulama dan Imam. Kau pun tak pernah lagi terbesit untuk ingin mencicipi asyiknya berduaan, sekalipun hanya dalam benda mungil yang bisa menghubungkan dua hati yang terpisah benua. Walaupun kata semua orang menyenangkan.
Kawan, bukankah menuntut ilmu itu jalan termudah untuk meraih surga-Nya? Dan aku ingin selalu berada di jalan itu. Aku tak ingin menodai jalan yang suci itu dengan kerikil-kerikil kecil berupa dosa yang membuatku mudah jatuh dan tergelincir. Aku tak ingin sejengkal pun keluar dari jalur yang istimewa itu. Aku tak ingin terlepas dari lintasan spesial yang elok itu. Aku tak ingin mengotori jalan mulia nan berharga itu dengan onak duri yang membuatku tak mampu lagi berjalan mulus dan lancar. Itulah yang membuatku selalu bertahan walau badai mengejar, walau air yang deras terus berjatuhan dari langit, walau angin tertiup begitu kencang, walau di sepanjang jalan banyak hal yang seharusnya bisa membuat ku berbelok arah atau sekedar berhenti tuk melepas lelah. Di bawah pohon yang rindang, atau di dalam bangunan perumahan atau toko yang lebih mengesankan. Atau sekedar mengisi perut sambil bercanda ria dengan kawan seperjalanan.
Kawan ingatlah sabda Rasulullah dan tancapkan sekuat akar, perkataan yang berdampak besar itu ke dalam jiwamu.
Kawan, bukankah penuntut ilmu itu akan mendapatkan istigfar dari seluruh makhluk bahkan ikan yang ada di laut pun juga memohonkan ampun? Itulah mengapa aku terus ingin mendapatkan penghargaan yang terindah itu. Kala diri ini selalu mengingat bahwa dosa yang telah diperbuat lebih besar dari gunung yang menjulang tinggi dan terhujam begitu dalam ke dalam tanah. Tidakkah kau ingin dan iri dengan hadiah terbesar ini? Belum lagi kepakan sayap malaikat yang senantiasa menaungi kita. Di setiap langkah kaki yang kita pijakkan di bumi Allah ini untuk menghadiri taman-taman surga yang jauh lebih menarik daripada sekedar meramaikan tempat-tempat pusat belanja.
Kawan, bukankah penuntut ilmu adalah salah satu yang Allah janjikan bahwa setiap perkataan yang terlisankan itu pasti mustajab? Dan aku sudah berkali-kali membuktikan. Meyakini dan menjemput janji-Nya. Tak ada lagi penghalang antara kita dengan Rabb alam semesta. Setiap kata yang aku bisikkan dalam sujud aku yakin mampu menggetarkan langit-Nya. Setiap tetesan air mata yang aku tumpahkan kala adzan magrib berkumandang untuk berbuka puasa aku yakin Allah pasti mendengar dan tak sedikit pun Dia menyiakannya. Setiap lantunan doa yang begitu panjang di antara adzan dan Iqamah juga di setiap usai sholat aku yakin pasti Allah catat tanpa ada yang terlewat. Tak hanya itu, saat keberadaan kita di negeri orang ini, di negeri para Nabi dan para pewarisnya ini, seharusnya kita semakin yakin karena kita menyandang dua janji. Musafir dan Thulabul ilmi. Namun, seberapa yakin kita untuk menjemput janji mulia ini?
Kawan, bukanlah saat ilmu kita bertambah kita layaknya tangkai padi yang semakin terisi dengan bijinya? Semakin berat dan matang maka akan semakin merunduk kian dalam. Dan begitu seharusnya kita. Bagaikan sebutir di anatara padang pasir yang begitu luas. Merasa diri ini begitu mungil dengan ilmu-Nya yang begitu luas tak terkira. Tak kan mampu tertuliskan dengan tinta sekalipan seluruh air samudra di atas muka bumi ini menjadi tinta. Namun, apakah kita sudah menjadi seperti padi itu? Yang semakin terisi semakin merunduk. Malu untuk berhenti belajar. Malu untuk merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Malu mengakui sudah berilmu padahal apa yang kita miliki tak ada apa-apanya. Malu kepada pemilik Ilmu saat berharap curahan ilmu dari-Nya tapi dengan perintah serta larangan masih enggan untuk mengatakan sami'na wa atha'na.
Kawan, apakah kau lupa bahwa ilmu itu cahaya? Dan cahaya itu tak akan Allah berikan kepada orang yang bermaksiat kepada-Nya. Aku takut jika waktu itu kosong, walau sekejap. Aku takut jika hari terlewat walau hanya sebentar. Aku takut jika usia ku berkurang walau hanya beberapa jam. Namun semua itu terlewat dengan kesia-siaan. Tak ada ilmu dan amalan yang bertambah disana. Tak ada iman dan ketaatan yang semakin kuat. Tak ada ketakutan kepada-Nya
yang semakin terpatri dalam diri saat mempelajari ilmu-ilmu Nya, lantaran terlalu banyak pernak-pernik yang menghalangi. Aku takut jika ada kelonggaran waktu yang melenakan sehingga malah menjerumuskan.
Kawan, bukankah setiap hari itu bagi penuntut ilmu layaknya hari 'Ied? Saat ada ayat Qur'an atau hadits baru yang kita hafalkan, itu adalah kebahagiaan bagi kita. Saat ada hukum syariah yang kita baru ketahui, maka itu adalah kebahagiaan bagi kita. Saat bertambah pemahaman kita terhadap Sirah Nabi maka itu adalah hari kebahagiaan bagi kita. Saat ada kitab yang tamat kita habiskan, itu adalah kebahagiaan bagi kita. Saat kosakata bahasa Arab kita bertambah, maka itulah hari kebahagiaan kita. Saat ada qaidah baru dalam ilmu bahasa dan sastra nya yang kita membuat kita terpana, maka itulah hari 'Ied bagi kita. Sungguh kebahagiaan itu tak harus dengan baju-baju baru, sepatu atau tas keluaran terbaru. Kenyang itu tak harus dengan merasakan lezatnya masakan Nusantara yang harus menghabiskan puluhan geneh mu hanya untuk sekali mengisi perut. Hiburan itu tak harus dengan rihlah yang harus menguras ratusan pound mu.
Kawan, tidaklah kau ingat perjuangan para Imam dan Ulama dahulu dalam menuntut ilmu? Mereka sedikit makan, bicara dan tidur demi menghabiskan hampir seluruh hembus nafasnya untuk ilmu. Sedangkan kita sedikit-sedikit makan, sedikit-sedikit tidur, sedikit-sedikit ngobrol dan bercanda. Mereka rela hidup miskin dan susah hanya karena hartanya habis untuk kitab dan semua keperluan untuk mendalami ilmu. Istirahat mereka cukup dengan pergantian dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Rehat nya cukup berpindah dari suatu amalan ke amalan lain. Menghilangkan bosan pada suatu kitab cukup dengan mengganti kitab lain. Sungguh mustahil ilmu dan khazanah Islam yang begitu banyak, luas nan indah ini kita dapatkan tanpa lelah dan bersusah payah. Tak mau cape membolak-balik kamus hanya mencari satu kata. Tak mau berjalan jauh hanya alasan suhu dan cuaca. Kalau belajar maunya yang instan. Sukanya cari mahdzufan dan malghian. Tidaklah kita ingat bahwa di hadapan kita telah menanti sejuta ummat? Yang akan bertanya segala hal tanpa ada lagi ilmu dan jawaban yang bisa kita sembunyikan, apalagi hapus atau buang.
Memang, menuntut ilmu itu tak hanya sekedar bersama kitab-kitab yang tersusun rapi dalam rak mu, tak hanya berkutat dengan hafalan Qur'an, hadits, matan-matan yang sulit itu. Tak hanya di bangku kuliah bersama muqarrar yang begitu banyak itu. Tak sekedar dengan membolak-balik kamus yang sangat berat itu. Tak hanya sekedar bersama kitab-kitab turats yang butuh proses panjang untuk mengkajinya. Tak hanya berada di dalam majelis-majelis bersama Ulama-ulama dan Masyayikh para pewaris Nabi itu. Tapi kawan aku mengingat sebuah nasehat Abah pesantren ku yang sampai saat ini menjadi salah satu pemecut terbesar ku di kala lalai mulai menghampiri : "Jika kalian ingin menguasai Tsaqofah Islam maka waktu mu harus banyak digunakan untuk bergaul dengan kitab. Karena apapun cabang ilmu Tsaqofah Islam pasti lahir dari nash Al Qur'an dan As-Sunnah. Maka porsi untuk berkutat dengannya harus jauh lebih banyak dari aktifitas yang lainnya"
Kawan, kutuliskan goresan kata yang sederhana ini dengan air mata Lillahi Ta'ala. Aku hanya ingin menjawab semua pertanyaan dan komentar yang sering kali kudengar namun aku hanya bisa terdiam. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang mendapat derajat tinggi di sisi-Nya karena iman dan ilmu.
Wallahu a'lamu bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar