"Ilmu itu layaknya air laut. Kalau kita haus dan meminumnya, yang ada bukan lega tapi malah semakin dahaga"
Hanya berawal dari keinginan besar untuk membeli kitab dan ingin melunasi uang yang aku anggap sebagai hutang, walau sebenarnya yang memberikan telah ikhlas tak minta sedikitpun tuk dikembalikan. Sejak aku memutuskan untuk terjun dalam kajian kitab-kitab turats di berbagai tempat, semakin banyak kitab yang ingin kumiliki, kubaca, kupelajari. Sejuta pertanyaan pun semakin menggelayuti pikiran. Satu Syarah kitab Fiqh Syafi'i karya Imam Nawawi kitab Minhajut Thalibin saja harga nya sudah hampir seribu pound. Belum lagi Matan Kutubu Sittah dan Syarah nya, Kitab matan dan Syarah Abi Syuja' Fiqh Syafi'i untuk mubtadi'. Kitab rujukan Ulumul Qur'an yang sering disebut sebut oleh Syaikh Yasir Mursi dalam majelis Kharithoh Ulum Syar'iyah. Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Baidhowi, dan lain sebagainya. Kitab-kitab penguat sebagai rujukan untuk mendalami Ulumul Hadits yang setiap muhadhoroh dengan Syaikh Aiman setiap hari Senin sore selalu disebutkan. Selalu ada kitab baru dan berbeda yang disebutkan, tentu mengikuti maudhu' (tema) yang dibahas saat itu. Mulai dari kitab-kitab terkait para perawi hadits, hadits-hadits muallalah, kitab hadits hadits maudhuah, hadits-hadits Dhaif yang terkait fadhail 'amal, kitab-kitab mukharajah, Rijal tsiqat, kitab yang membahas hukum menggunakan hadits dhaif, juga kitab-kitab mustholah Hadits lain yang bisa mempermudah kami untuk belajar.
Belajar pasti membutuhkan tahapan, proses, dan kesabaran. Tidak boleh ada ketergesaan, tapi rasa puas dan qanaah dengan ilmu yang kita miliki itu tak boleh ditumbuhkan. Bukankah kita layaknya orang haus yang hanya bisa meneguk air laut? Padahal kita tau ia tak kan menghilangkan dahaga, justru akan menambah lara dan haus yang tak terkira. Tapi, bukanlah kita tau bagaimana luasanya samudra?
Semua itu membuatku tak tahan untuk ingin segera memeluknya. Dan itulah yang menjadi salah satu pendorongku untuk serius dalam kuliah. Dalam doa-doa yang kupanjatkan, aku berharap agar Allah memberikanku kesempatan mendapatkan taqdir (nilai) terbaik yang memudahkan ku untuk mendapatkan minhah. Tapi tetap tak boleh berubah bahwa niat kuliah semata-mata hanya karena Allah.
Itu pertama. Selain itu ada visi lain yang lebih mendesak. Sejak hilangnya benda kecil itu di Masjid Azhar sekitar akhir bulan Syawal, aku sudah membeli handphone baru. Bukan uang-ku. Sama sekali aku tak meminta orang tua, atau menggunakan uang tabunganku. Setelah peristiwa itu, seribu Puond seketika ada di tangan ku. Kawan Malaysia yang menjadi penyebab hilangnya handphone ku itu sangat segan dan tanggung jawab.
Ada sedikit kesalahan memang yang aku lakukan. Tapi semua yang terjadi memang diluar kuasa diri ini. Berawal karena tidak ada kuota internet, aku pun tidak leluasa melihat info terkait taslim Iqamah (penyerahan visa). Sebenarnya tanggal 28 Agustus visa ku sudah turun, dan itu diumumkan di Facebook Viktif. Sebuah lembaga pengurusan visa untuk semua warga Indonesia yang ada di Mesir. Tapi aku melihat itu pada tanggal 30 Agustus. Tepat sehari setelah Facebook resmi pengurus Maktab Baituz Zakat mengumumkan penutupan pengajuan berkas khusus untuk Mahasiswa Indonesia.
"Jika memang yang diutamakan nilai, harusnya bukan cepat-cepatan kan kak? Tapi dalam kurun waktu tertentu berapapun yang taqdim (mengajukan berkas) nanti dipertimbangkan berdasarkan nilai"
"Ah.. kamu kayak ga tau birokrasi Mesir aja. Aturan tahun kemarin jangan pernah dipukul rata sama tahun ini. Mau nilainya mumtaz, kalau telat yaudah. Mau nilainya paling bagus, kalau ga keterima yaudah. Bukan rezeki"
Tidak menyerah. Tidak ada salahnya melangkah. Sebelum terlalu jauh keterlambatan itu. Setelah mencetak foto, dengan seorang teman ku sekaligus kakak kelas bagiku yang berasal dari Kota Medan itu kami yakin dan optimis. Siap untuk ditolak. Setidaknya sudah membuktikan.
Baru kali itu aku menghirup udara di daerah Sayyidah Aisyah. Sebuah tempat yang sekitar dua puluh menit perjalanan dari Darosah. Tempat yang dikenal banyak tempat bersejarah dan makam-makam para ahli Bait serta ulama itu nampak tak jauh berbeda dengan kondisi tempat lain yang sudah kuketahui. Bedanya selama kami menaiki tremco, udara lebih segar. Jalan aspal dan jembatan layang yang kami lewati diantara tandusnya padang pasir dikiri jalan tak mengurangi indahnya perjalanan singkat itu. Banyak bangunan kuno yang seperti nya memang dijadikan tempat wisata. Banyak pengunjung dan touris yang nampak dari jauh sibuk mengambil gambar penuh gaya.
"Betapa banyak kenikmatan Allah yang belum kusyukuri", pikirku dalam hati.
"Terkadang jalan-jalan untuk sekedar melihat ciptaan dan keagungan Allah itu sangat penting. Qul siruu fil ardhi fan undzuru kayfa bad'a Al khalqa.."
Setelah sampai di Sayyidah Aisyah, kami turun dan bertanya kepada salah seorang sopir tremco terkait transportasi yang harus kami naik untuk ke Maktab (Kantor) Baituz Zakah Kuwait yang berada di dekat Carrefour ... Setelah menunggu cukup lama, kami pun naik sebuah bus Oren yang cukup bagus. Dengan membayar 4 pound, selama sekita 30 menit kami berdiri sampai Carrefour tersebut.
Turun kemudian menyebrangi jalan yang cukup besar dan ramai itu.
"Ta'ala hena.. husy goa, maktab dah", (Jalan kesini, masuk sana itu kantor nya) seorang bapak muda yang ternyata satu bus dengan kami tanpa sedikitpun kami tanya menunjukkan jalan menuju Maktab Baituz Zakah Kuwait itu. Dia berjalan cepat di tengah kami sambil melambaikan tangan beberapa kali.
"Mesyi Syukron ya ustadz.."
Wajah kami yang nampak kebingungan itu seolah terbaca. Dan memang tak ada lagi tujuan wafidin atau wafidat sebagai mahasiswa Azhar kecuali ke tempat itu. Mustahil jika hanya ingin shoping ke Carrefour.
Kami pun turun melewati jalan yang berpasir dan tak ada tangga resmi yang menjadi satu-satunya jalan terdekat dari jalan besar menuju kawasan komplek bangunan yang letaknya berada di bawah jalan raya. Maktab Baituz Zakah itu berada di paling depan di antara bangunan-bangunan yang lain yang ada di sepanjang jalan itu. Setelah sampai di depan pintu itu, nampak sudah sangat sepi. Tak ada wajah-wajah orang Asia, apalagi orang Indonesia yang kami temukan.
"Itu banyak orang Malaysia kak", pakaian mereka dengan jilbab dan khimar yang khas membuatku tak ragu bahwa mereka bukan anak Indonesia. Apalagi kebetulan ada seorang yang aku kenal diantara mereka.
"Itu orang Nigeria kayaknya", mataku menuju ke dua orang laki-laki berkulit hitam legam dengan kopyah khas mereka.
"Ya Rabb ga ada orang Indonesia ya.."
"Itu ada dua laki-laki yang di duduk disana kak. Tapi entah lah dari mana mereka. Belum ketebak kalau ngga dengar obrolan nya", kataku sambil sedikit menunjuk kan jari ke arah dua laki-laki Asia Tenggara itu. Salah satu mereka menggunakan pakaian batik, membuat ku sedikit yakin bahwa kemungkinan besar mereka orang Indonesia.
"Bismillah aja kita coba kak"
Akhwat Malaysia itu berjumlah sekitar sepuluh orang. Ada juga yang dari Thailand, dan dua wajah lagi belum bisa kutebak. Dengan kerudung bulat mereka, biasanya seperti itu adalah orang Brunei Darussalam. Tapi, apakah benar mereka lelah lelah mengejar minhah? Masih kurang tebal kah kantong berisi dollar dari Negeri mereka yang kaya raya itu?
Setelah duduk beberapa menit menunggu Ustadz Wael, yang menjadi petugas resmi untuk mengurus taqdim auraq (pengajuan berkas), kami pun masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan tumpukan ratusan berkas dari wafidin dan wafidat yang bergeletakan di beberapa meja. Kami pun mengantri dengan mahasiswa lain, entah Sudan atau Nigeria, atau Kamerun atau negeri Afrika yang lain. Warna kulit mereka yang sama, cara bicara, postur tubuh juga pakaian mereka yang relatif tak jauh berbeda membuat ku belum mampu membedakan hingga saat ini.
Dengan mudah satu per satu meminta atau memberikan formulir yang telah diisi dengan biodata lengkap mereka. Saat tiba giliran kami.
"Anti jadidah?"
"Na'am", jawabku singkat dengan rasa takut yang tak karuan. Sejak status yang dibuat oleh Ustadz itu yang tersebar luas di beranda Facebook semua wafidin dan wafidat bahwa 'Tidak lagi menerima taqdim auraq dari mahasiswa Indonesia dikarenakan jumlah yang sudah sangat banyak'
Hanya istighfar dan dzikir yang menenangkankan. Apapun hasilnya yang penting aku sudah mencoba dan membuktikan.
Sebelumnya tak ada sedikitpun tanda-tanda jika Ustadz Wael akan menanyai jinsiyah ( kewarganegaraan) kami. Tapi tiba-tiba saat beliau melihat tasdiq minhah kami yang disana tertera asal Negara kami, beliau pun langsung menutup berkas-berkas itu dan memberikan nya kepada kami tanpa ada basa-basi.
"Indunisiya laa..asyan 'addad kabir", (Indonesia tidak boleh karena jumlahnya udah banyak)
"Mumkin fii daf'ah tsaniyah ala laa?"
"Insya Allah.."
Tak ingin banyak bicara. Sebenarnya apa yang akan terjadi seperti ini sudah kami tebak. Dan kami siap menerima. Tapi setidaknya sudah benar-benar mencoba. Kami hanya menghembuskan nafas ringan. Menyaksikan kawan kawan kami dari berbagai negara yang datang silih berganti. Dengan mudah meminta kertas formulir, kemudian mengisi dan mengumpulkannya lagi dengan berkas-berkas yang sudah lengkap. Tanpa ada sedikitpun teguran dan gertakan.
Kejadian itu terulang kembali saat akhir September. Seorang kawan yang sama-sama mendapatkan taqdir Jayyid Jiddan mengajak ku kesana. Sebenarnya aku sudah enggan, dan lebih memilih untuk datang lagi kesana ketika dibuka gelombang kedua. Entah itu kapan, yang jelas bulan ke sepuluh. Tapi, karena dia mendengar info bahwa mahasiswa Indonesia ada yang berhasil merujuk hati Ustadz Wael itu, dia pun ingin mencoba keberuntungan. Disisi lain karena memang dia belum tau Kantor Baituz Zakat Kuwait itu.
"Ihna itsnain bas ya Ustadz. Hasalnaa 'ala taqdir Jayyid Jiddan"
"Syufi henak. Auraq bita' indunisyiin kulluha. Aktsar min miah"
"Na'am ya Ustadz. Wa lakin Al afdhal fii taqdim shoh? Laisa fii isra' Li taqdim. Ya'ni henak fii taqdir Jayyid aktsar shoh?
"Syufii henak. Kullaha 'ala taqdir Jayyid. Amma taqdir Imtiyaz wa Jayyid Jiddan wadhatu hunak.", (Lihat di meja itu. Semua itu yang nilainya Jayyid. Sedangkan yang Mumtaz dan Jayyid Jiddan sudah aku simpan di lemari itu)
"Ana saadzhab ilaa Kuwait fii hadza usbu'. Hunak ana asal 'an Indunisyiin, kayfa yaqulun? Hal lazim lii taqdir Imtiyaz wa Jayyid Jiddan wa laa man yahsul 'ala taqdir Jayyid ",
"Ya'ni fii daf'ah tsaniyah hal mumkin lii Indunisyiin?"
"Na'am insya Allah lau yujad daf'ah tsaniyah sa ukhbir di sohfhah fii Facebook"
"Tarikh kam?"
"Rubbama Fii muntashah syahr 'Asyrah"
"Ya'ni ma fisy musykilah li andunisiyyin fii daf'ah tsaniyah?"
"Laa Insya Allah.."
"Asyan daf'ah ula dih mughlaq lii ayyi jinsiyah. Tamam? Intadidziri daf'ah tsaniyah bas..."
Kami tak berkata apa-apa lagi. Jawaban itu sedikit membuat kita yakin, walaupun masih kecewa. Berbagai argumen yang bisa kami lontarkan sudah kami katakan semua nya. Tapi tetap saja belum mampu melunakkan hati Ustadz yang sangat tegas tapi ramah itu.
Kami pun pulang. Tapi ada satu tempat lagi yang masih ingin kami targetkan. Wami. Sebuah asrama Mesir yang dikhususkan untuk wafidin yang sedang menempuh pendidikan di Al Azhar. Lokasinya di Hay Asher yang sekitar dua jam dari Quthamiyah. Walaupun sebenarnya ada tranportasi yang bisa mengantarkan kita langsung ke Asher dari tempat itu, tapi menunggu sangat sangat lama. Akhirnya kami memutuskan mengambil jalur seperti kami berangkat. Menaiki tremco hingga Sayyidah Aisyah, kemudian ganti tremco lagi ke Darosah. Dari Mahatoh Darrosah kami menaiki bus merah seperti biasa.
Lokasi persisnya yang belum kami ketahui, menjadikan siang itu sebagai waktu berpetualang. Hanya bersumber info dari teman, kami pun melangkah. Sampai disana, setelah ditanya oleh satpam dan diberikan izin untuk masuk ke Idarah, kami pun mengutarakan maksud kedatangan kami. Dan serta merta Ustadz yang duduk di hadapan kami itu menjelaskan dengan diawali dengan permintaan maaf.
"Sudah sejak dua tahun, kami tidak menyediakan beasiswa apapun kecuali asrama ini, yang hanya untuk Banin saja"
"Jadi tidak ada beasiswa untuk wafidin dan wafidat selain yang tinggal disini?"
"Iya. Jika ada nanti akan kami sebarkan informasi itu"
Keyakinan kami yang sudah bulat dan kuat, seketika langsung sirna Tak ada harapan lagi di tempat itu. Jika memang ada kesempatan untuk bisa taqdim auraq (pengajuan berkas) di Baituz Zakat maka itu lebih baik, tapi entahlah untuk mahasiswa Indonesia benar-benar masih diberi kesempatan atau sekedar wacana.
"Cape banget qon.. naik Uber aja ya", kata kawan ku.
"Kenapa kak? Ngga apa-apa kok jalan ke depan. Naik bus lagi.."
"Sulit banget ya ngurus beasiswa"
"Iya kak. Tawakkal aja. Kalau emang rezeki pasti Allah kasih jalan"
"Iya"
"Kata umi ana juga ngga usah terlalu memaksakan. Kalau memang tidak bisa ya ngga apa-apa"
Akhirnya kami naik Uber. Rasa kecewa dan kesal masih nampak di raut muka kawanku itu. Kami hanya diam selama hampir satu jam di mobil itu. Hanya sedikit mengobrol untuk saling mengenal lebih dekat. Dan jika bukan karena kejadian itu, kami tak akan mengenal lebih jauh. Alifah. Mahasiswi alumni gontor. Yang tinggal di sebuah asrama Tahfidz milik Mahasiswa Indonesia, yang dikenal selalu melahirkan para hafidz dan hafidzah. Keseriusan nya dalam meluangkan waktu untuk menghafal Qur'an selalu membuat ku kagum.
Dia pun tak mau untuk aku ganti uangnya. Setidaknya dibagi dua secara rata. Sekitar hampir 70 pound karena tak ada diskon dan jalur yang diambil lumayan jauh.
Masih ada kesempatan untuk taqdim di tempat lain. Buuts, Majelis A'la, dan Baptin yang aku sendiri belum tau caranya. Tak boleh menyerah. Aku kembali lagi ke syuun kuliah (administrasi kampus) untuk meminta tashdiq minhah (surat keterangan pengajuan beasiswa) dengan membayar lagi 75 pound. Entah apa yang membuat kertas hitam putih yang tulisan nya pun tak begitu rumit itu begitu mahal. Mungkin karena stempel Jamiah Azhar yang sangat legendaris, sehingga harus menunggu nya pun juga bisa sampai satu pekan lebih.
Setelah aku persiapkan berkas untuk taqdim di Buuts (asrama Azhar), setelah pulang kuliah aku beranikan untuk turun di Majma' Buuts Islamiyah yang terletak tak jauh dari Asrama Buuts untuk para mahasiswa dari berbagai negara yang mendapatkan beasiswa.
Aku beranikan untuk jalan sendiri walaupun tak tau sama sekali lokasi nya dan kantor nya.
"Bismillah, pasti ketemu wafidat. Lisan Allah ciptakan untuk bertanya bukan?", bisikku meyakinkan diri.
Karena dari tempat berhenti nya bus dan gedung Majma' Buuts itu lumayan jauh, aku pun menjadi sedikit bingung. Tak ada wafidat yang aku temukan di sepanjang jalan. Hanya ada beberapa wafidin yang aku harus seribu kali untuk berani tanya kepada mereka. Saat di bundaran, yang terdapat empat arah jalan, aku pun bingung. Mana jalan yang benar. Akhirnya aku beranikan bertanya dengan salah satu wafidin yang sedang brdiri di pinggir jalan, seperti sedang akan menyebrang. Pakaian jubah dengan kopyah khas mahasiswa dan kulit hitam legam nya yang meyakinkanku bahwa ia bukan orang Mesir.
"Lau Samah, Majma' Buuts fein?"
"Henak", jawaban singkat sambil menunjukkan jarinya.
Aku pun berjalan kesana, yang masih ada sekitar 100 meter. Setelah sampai, aku pun masuk, dan bertanya kepada satpam penjaga yang duduk di dekat gerbang itu.
"Assalamualaikum. Lau samah ya ustadz, li taqdim minhah fein?"
"Waalaikumsalam. Husy goa keda, bakda imarah dih, fii sullam, ithla' keda, fii daur tsalits"
"Ba'da imarah dih tamam ya'ni?
"Ayiwah.. husy men hena"
Aku pun masuk lewat gank kecil yang memang satu-satunya jalan untuk masuk. Baru beberapa langkah aku bertemu wafidat Malaysia, yang aku yakin mereka pun ke tempat itu untuk taqdim minhah. Untuk lebih memperjelas, aku pun bertanya kembali kepada mereka. Setelah naik tangga yang ditunjukkan itu, aku pun langsung ke lantai 3. Dan disana aku bertemu dengan banyak wafidin dan seorang akhwat yang sedang duduk di kursi ruang ruangan.
"Pasti ini pikirku. Karena apa lagi urusan wafidin selain untuk minhah"
Entah dari mana, aku tak mengira jika perempuan itu pun mahasiswi luar Mesir. Tanpa aku tanya, dia pun menunjukkan ku ruangan untuk taqdim. Bahkan dia memberi ku informasi jika belum fotocopy berkas, bisa di ruangan sebelah yang tak jauh dari tempat kami duduk. Sambil menunggu antrian kami pun mengobrol.
"Enti fii ayyi kuliah?"
"Ushuluddin"
"Ayyi Syu'bah?"
"Ana fii Sanah tsaniyah, wa takhasus fii sanah tsalitsah. Ana la a'rif saa Akhtar ayyi syubha. Wa anti?"
"Ana fii kulish thib. Anti min ayyi balad?", pertanyaannya yang nampak sekali dengan fushah yang sangat fasih itu menepis pikiran ku bahwa dia mishriyah
"Andunisiyya. Wa anti?"
"Ana min Filasthin"
"Masya Allah.. kayfa hal baladik?, Anti hena litaqdim minhah?"
"Laa.. ana ushahib akhi"
Setelah antrian itu habis, dan semua Ikhwan yang ada di ruangan yang tidak terlalu besar dengan meja yang sangat banyak itu, aku pun masuk. Dan langsung bertemu dengan seorang bapak yang duduk di kursi paling dekat dengan lemari tua yang aku yakin isinya semua berkas-berkas milik mahasiswa mahasiswi dari puluhan negara. Berguru pula meja yang memenuhi ruangan itu. Tertumpuk diatasnya ratusan map bening berisi auraq (berkas).
Hanya dengan tashdiq minhah, fotocopy paspor saja yang perlu kami siapkan. Setelah menulis formulir, kami aku langsung pulang usai mengucapkan terimakasih. Saat aku bertanya kira-kira kapan turun nama yang mendapat kan beasiswa, maka beliau mengatakan paling cepat tahun depan.
"Tugas kita hanya berusaha dengan seluruh kemampuan yang kita miliki. Allah sudah mengatur dan akan mengabulkan dari jalan yang tak pernah kita sangka", satu lagi nasehat darinya.
Hanya berusaha. Pulang dari Majma' Buuts itu aku memutuskan untuk jalan. Tidak dekat memang. Tapi, jika naik bus pun aku harus menunggu waktu. Itu pun harus membayar 3 pound lagi untuk jarak yang tak seberapa. Sore yang masih terik itu, membuatku berkeringat lumayan banyak hingga sampai daerah Gamalia. Syaqoh dimana aku dan kawan-kawan tinggal. Setelah istirahat sejenak, bakda Ashar, aku pun seperti biasa ke Masjid Ja'fari untuk menyetorkan hafalan Qur'an.
Untuk yang ketiga kalinya. Berkas-berkas yang sudah aku siapkan untuk taqdim di Baituz Zakat Kuwait masih tersimpan lengkap di dalam map hijau ku. Mulai dari tashdiq minhah, foto copy Iqamah, kasyfu natijah, foto kegiatan, dan foto syaksiyah. Yang jelas tak akan aku pakai lagi untuk taqdim di tempat itu.
"Dek, ana mau taqdim di Majlis A'la. Tapi kita harus tahlil dam dan tahlil bushoq dulu"
"Kita segera ke Mustasyfa Husain aja. Tahlil dam bayar 120 geneh, tahlil bushoq cuma 5 pound", seorang kawan sekelas yang sejak awal mengurus berkas ke Baituz Zakat Kuwait mengajakku lagi. Mengingat kan ku untuk tak menyerah. Berusaha mengetuk pintu tuk mengantongi rezeki yang tak tau dari mana Allah mendapatkan beasiswa.
Next..
Bulan Desember sudah menyapa. Artinya hanya satu bulan lagi persiapan menuju imtihan Termin satu. Masih ada 3 kitab muqaraar yang belum aku selesaikan. Fiqh, Falsafah, dan Mantiq. Tiga maddah tersulit bagiku. Walaupun setengah dari muqaraar Falsafah dan Fiqh sudah kubaca, tapi masih banyak yang belum difahami. Mengandalkan penjelasan di kelas untuk maddah Falsafah suatu hal yang sangat berat, karena semua tentang pemikiran. Apalagi muqaraar nya yang sangat tebal.
Aku tahu bahwa pembahasan di dalamnya tidak jauh beda dari apa yang pernah aku kaji di Kitab Nidzamul Islam. Mengkaji Islam dengan kitab Syaikh Taqiyyudin memang membuat kita mampu menguasai tsaqofah Islam dengan sangat luas. Berfikir mendalam, bahkan cemerlang. Bisa berfikir menyeluruh dan benar-benar meyakini agama Islam dengan proses berfikir rasional. Bisa memahami Islam tanpa harus pusing dengan istilah-istilah aneh yang terkadang sulit dicerna dan justru menjadi pertanyaan yang tak berujung. Tidak juga keblinger dengan ajaran-ajaran Yunani yang berpengaruh pada pemikiran Islam sekalipun dalam mengajarkan dan dimaksudkan untuk mengokohkan Aqidah.
Untuk maddah yang spesial ini, pada intinya tak lain mengajak kita berfikir luas dan mendalam dengan mengamati semua makhluk-Nya untuk meyakini adanya Khaliq. Tapi untuk memahami lebih mendalam tentang berbagai madzhab, ikhtilaf, dan pandangan yang berbeda-beda yang ada dalam kitab itu, maka akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti bimbel yang diadakan Marka Ushuluddin di Darrosah.
Tak ingin mengorbankan banyak dars di sore hari, hanya maddah ini yang aku pilih untuk mencari tambahan diluar kampus. Bukan untuk menyepelekan atau meremehkan, tapi semua ini terkait prioritas. Lagipula kuliah hampir tak pernah aku tinggalkan. Mungkin hanya sekali dari tiga pekan. Sejak pagi hingga sore. Dan dari penjelasan para duktur dan dukturah lebih banyak yang dapat ditangkap dan fahami. Iya, kecuali satu maddah yang sagat unik ini. Falsafah.
Melewati jalan di belakang Mustasyfa Husain kemudian, menyusuri jalan di sebelah Nadi Qaumi, melewati Masjid Khodrowi dan menelurusi lorong yang sudah tepat disebut sebagai kampung Indonesia di Mesir. Iya, karena hampir setiap menit bahkan detik berjalan di gank itu pasti menemukan Maisisir atau setidaknya mahasiswa Asia Tenggara, yang wajahnya
dan cara berpakaian nya nyaris sama. Dan itu yang membuat ku kadang enggan melewati jalan itu. Bukan karena jaraknya, tapi karena terlalu ramai dan penuh dengan manusia yang lalu lalang dari rumpun yang sama. Membuat risih jika sedang berjalan sendiri, apalagi di malam hari. Belum lagi anjing yang berserakan di setiap jengkal jalan kecil itu. Sampah yang tersebar begitu jelas bersama dengan lalat dan bau yang semerbak. Tuk-tuk yang tak tau diri dengan klakson dan lagu yang kadang membuat telinga terkejut. Belum lagi mobil-mobil pick up atau tremco yang tak tau diri dengan tubuh besar nya yang pasti membuat penuh gank mungil itu. Dan belum lagi-lagi, akhir-akhir itu jalan sedang diperbaiki sehingga banyak galian disana sini. Sempitnya pun semakin sTarna. Becek saat malamnya hujan pun menjadi semakin tak karuan.
Duhai Rabb, inikah jalan yang harus ku tempuh untuk mempelajari Falsafah? Terlepas dari benar dan salahnya ilmu itu, aki berharap kelak akan bermanfaat untuk ummat. Walau sekedar menjelaskan kesalahan dan kecacatan nya.
Hari berjalan begitu cepat tanpa permisi. Berkas ku yang rencana untuk taqdim ke Majlis A'la sudah lengkap. Mulai dari foto diri, natijah tahlil dam, natijah tahlil bushoq, tasdiq minhah, risalah 'adam minhah (tidak ada beasiswa) dari KBRI, terjemah akta kelahiran, surat keterangan taqdim Iqamah dari viktif Indonesia, juga aku siapkan kasyfu natijah. Hari Ahad itu kami sudah yakin, karena berkas kami sudah lengkap pasti akan langsung diterima. Karena teman-teman kami sebelumnya masih kurang satu berkas yaitu surat keterangan taqdim Iqamah saja bisa diterima. Dari mereka juga banyak yang masih tingkat dua. Bahkan memiliki maddah manqul (bawa makul tahun berikutnya di tingkat dua). Optimis. Bismillah. Lillahi ta'ala.
Aku pun keluar rumah sekitar pukul delapan pagi. Iya hari itu adalah jadwalku untuk belajar Mantiq. Sekitar dua minggu sebelum tanggal imtihan datang, yaitu tanggal 5 Januari aki sudah punya target bahwa enam maddah harus selesai semua dibaca, dipahami, dan ditalkhis untuk maddah-maddah yang memang perlu aku talkhis. Dan hari itu aku harus menyelesaikan membaca semua talkhis Mantiq, baik dari kawanku atau aku sendiri.
Setelah sampai di Asher untuk bertemu dengan 2 kawan dan satu kakak kelas yang satu tahun di atas kami, kami pun benaiki bus kecil berwarna hijau nomor 14 yang sudah cukup penuh. Bus yang hanya lewat beberapa jam sekali ini, membuat kita terpaksa harus berlari mengejar nya dari pom bensin Hay Asher hingga melewati mahatoh yang berada sekitar 50 meter. Kami lakukan itu karena tak ingin menunggu lebih lama lagi, yang bisa jadi sampai menjelang Dzuhur kami baru beranjak. Berdiri pun tak masalah. Walaupun kami tau rute yang akan kami tempuh lebih jauh dari jarak Asher ke Darosah. Dengan membayar empat pound kami bisa melewati jalan yang benar-benar masih asing bagiku. Aku tahu sebatas wilayah Rab'ah, dan setelah itu aku tak tau lagi di daerah mana. Lagipula pandangan ku sudah terfokus pada kertas yang aku pegang sejak berangkat dari Darrosah.
"Iya kami sampai Sabi' bang, nanti lewat Masjid Nurul Khattab", kak Wilda yang berdiri di belakang ku untuk kesekian kali ditelpon seseorang yang sepertinya sedang menunggu bus yang kami naik ini menjemput nya.
Benar saja. Saat tepat di perempatan Masjid Nurul Khattab, bus itu berhenti. Dua laki-laki yang jelas berwajah Asia itu, yang satu berjubah abu-abu dan yang satu bercelana itu yang sejak tadi menelponnya tak hanya sekali.
"Kenapa harus menunggu akhwat ya? Memang mereka sendiri tidak bisa bergerak tanpa kakak itu?", pikirku dalam hati walau mencoba untuk husnudzon. Selama di bus pun beberapa kali percakapan di antara mereka sungguh membuatku semakin risih. Walau yang lain sama sekali tak komentar atau bergabung, tapi tetap saja semua itu seharusnya tidak dilakukan antar rijal dan nisa' jika hanya sekedar mengobrol dan basa-basi tanpa ada keperluan syar'i. Aku tahu mereka pasti kakak senior yang mungkin dua atau tiga tahun usianya di atasku atau bahkan lebih, dan terkadang mereka pun menggunakan bahasa daerah neraka yang aku tak dapat menangkap.
Perjalanan yang lebih dari satu jam itu, membuatku beberapa tertidur dan kertas yang ada di genggaman ku pun terjatuh beberapa kali. Mantiq itu memang singkat tapi berat. Butuh fokus yang tajam. Setelah sampai kami turun dan menelurusi jalan yang ternyata tidak singkat pula. Jalan besar, masuk gank melewati pasar, keluar jalan besar lagi, melewati beberapa perempatan, Masjid dan gedung-gedung mewah yang seperti milik pemerintah. Dan satu bangunan dimana terdapat puluhan wajah dan kulit yang sangat asing bagi ku. Semua mata mereka tertuju pada kami. Seperti nya pun mereka merasa aneh juga melihat kami. Seperti wajah orang Rusia yang matanya sangat tajam dan berbolah mata biru, ada wajah orang campuran ras Eropa dan Asia Tengah, yang putihnya berbeda. Ada juga wajah putih etnis keturunan China bercampur Eropa yang sangat anggun. Ada juga wajah-wajah pribumi yang sudah tak aneh lagi. Mereka duduk memgemper di trotoar dan berdiri berhamburan di sekitar gerbang bangunan yang belum dibuka itu. Layaknya mengantri uluran tangan yang tak kunjung datang. Ada yang duduk dengan kawan laki-laki mereka, ada yang bersama keluarganya. Istri dan bayinya yang berada di keranjang dorong. Semuanya seolah sedang menunggu sesuatu yang sama. Tak ingin melepas pandangan jauh-jauh dari gerbang tinggi gedung itu. Aku semakin bertanya-tanya dan tak ada satupun kawan ku yang tau.
Apakah itu semacam gedung sifara (kedutaan)? Entah lah.
Masih sekitar beberapa ratus meter dari tempat itu di sebuah gank yang cukup kecil tapi bersih dan rindang, kami pun menemukan gedung Majlis A'la itu. Suasananya yang begitu sejuk pun sepertinya menjadikan orang-orang yang berada di sekitar situ pun juga lebih ramah dibandingkan di Madinah Nasr. Apalagi Darrosah. Beberapa kali kami disapa sebelum sampai tempat itu.
"Min andunisiyya? Ana uhibbuha"
(Dari Indonesia? Aku sangat mencintai Negara itu)
Terkadang mereka mengungkapkan dengan bahasa Inggris yang semakin aneh terdengar nya.
Sekitar empat akhwat keluar dari gedung itu. Dari pakaiannya aku tak perlu meragukan jika mereka adalah anak-anak Malaysia. "Ternyata masih ada juga anak Malaysia yang berjuang ingin mendapatkan beasiswa dari Majlis A'la ini. Walau kata orang tak sebanyak beasiswa dari tempat lain"
Kami ber enam pun naik ke atas. Lantai dua. Dan sungguh sambutan nan hangat dan ramah kami dapatkan dari semua pegawai yang berada di ruangan itu. Semuanya adalah ibu-ibu yang berjumlah lima orang. Dengan jaket dan pakaian dinas mereka, yang tentu kebanyakan menggunkan rok.
"Saya mau memberi kan surat keterangan taqdim Iqamah ya ablah..", kata kakak kelas kami itu kepada salah satu dari mereka. Tak lama setelah berkas yang dulu sudah diberikan itu ditemukan, urusan dia selesai. Sedangkan teman kami yang satu yaitu Kak Elia hingga hampir satu jam dicari. Persengketaan kecil diantara mereka pun terjadi, belum juga ditemukan. Semua berkas sudah dibongkar dan semua tumpukan kertas kertas itu sudah dibuka satu per satu. Baik yang di dalam meja juga di dalam lemari. Tenang dan pasrah kak Elia sangat tampak pada wajahnya. Yang sejak tadi memboalk balik muqaraar Mustholah Hadits, karena esok harinya akan imtihan karena takhaluf (mengulang), dia pun menutupnya dan berganti kepada Al Qur'an. Duduk di salah satu kursi yang kosong, dan membaca kalam-Nya itu.
"Ana aizah taqdim ya Ablah.."
"Tsawani ya bint"
Beberapa kali saat aku dan Kak Rahma kawan sekelas ku mengatakan maksud kami, selalu diberikan jawaban yang sama. Harus menunggu lagi beberapa saat.
"Sanah kem?"
"Tsaniyah"
"Tsaniyah laa"
"Limadza ya ablah? Asyan fii sadiqati yaguz li taqdim wa hiyya sanah tsaniyah bardu"
"Laa..musy ma'aya fulus lii tsanah tsaniyah. Minhah Li tsanah tsalitsah wa Rabiah"
Malas berdebat, tapi aku ingin mengungkapkan adanya ketidakadilan. Jika memang tahun kedua tidak boleh, aku tak akan jauh-jauh kesini apalagi mau-mau nya menyiapkan berkas yang sangat-sangat ribet dan banyak itu. Setidaknya ada dua teman ku yang sama-sama tingkat dua yang berhasil taqdim. Walaupun salah satunya tidak jadi dia ambil, karena namanya turun di Baituz Zakat Kuwait, dan yang satu lagi bahkan dia tidak mendapat taqdir Jayyid apalagi Jayyid Jiddan atau Imtiyaz. Bahkan manqul. Dia pun sudah melakukan 'adam minhah (mencari surat keterangan tidak punya minhah) dari berbagai lembaga, yang artinya sudah diterima berkas dan semua persyaratan terpenuhi. Dan karena itu informasi mereka lah aku mau berusaha untuk mendapatkan itu semua.
"Ya Rabb.. apa lagi ini?"
Sudah berapa ratus pound yang dihabiskan untuk mempersiapkan berkas-berkas ini. Sekitar 200 pound lebih hanya untuk mencari kertas-kertas bertuliskan hitam putih itu. Dari kelima ablah yang ada, hanya dua orang yang melayani kami. Tiga yang lainnya sibuk mengobrol dan bercanda. Tak lama berkas kawan kami ditemukan. Maka sudah lengkap dan sempurna semua persyaratan dia. Tinggal aku dan Kak Rahma, dan seorang Ikhwan yang sejak tadi menunggu di luar ruangan kami. Salah satu diantara mereka sudah beres, karena hari itu taqdim berkas yang masih tertinggal, yaitu akta kelahiran. Sedangkan yang satu baru akan mengajukan berkas layaknya kami berdua. Walaupun ikhwan itu sudah tingkat tiga dia pun bermasalah karena petugas pengurus berkas untuk Banin sedang tidak ada saat itu. Perjalanan jauh yang tak menghasilkan apa-apa. Hanya karena tidak ada petugas untuk Banin. Kalau kami berdua masih dipermasalahkan karena kami tingkat kedua.
"Ya ablah, ya'ni Al musykilah fil Iqamah wala fii sanah, wa laa anna taqdim mughlaq?" (Bu, masalah nya itu di Visa kami, atau karena kami tahun kedua, atau karena memang taqdim nya udah ditutup?), Saat teman ku sudah hampir menyerah aku tidak mau mau kalah. Harus clear. Di mana masalah kami sehingga tidak bisa taqdim. Karena sungguh beda dengan petugas yang menerima berkas teman-teman ku beberapa Minggu yang lalu. Di antara ablah yang berada di hadapan kami pun mereka seperti memiliki banyak pendapat. Kami sudah duduk lemas di kursi luar ruangan itu. Entah apa yang masih ditunggu. Kak Wilda dan seorang Ikhwan itu membicarakan apa jalan yang harus mereka ambil. Kapan kami harus kesitu lagi. Dan aku memutuskan untuk kembali masuk ke ruangan itu untuk memperjelas kembali.
"Na'am ba'da taslim iqamah gii tsani. Musy maaki Iqamah bil wakti shoh?"
"Na'am. Walakin ma'aya ishol"
"Asyan keda. Mafisy musykilah anti gii syahr awwaal wa laa tsani"
"Mesyi. Ya'ni mafisy musykilah bii sanah tsaniyah?"
"Insya Allah"
Adzan dzhuhur sudah berkumandang. Sudah setengah hari kami habiskan di tempat itu. Tidak ada hasil kecuali kami tetap harus menunggu Iqamah turun. Tapi jika masalah nya di Iqamah, lalu dua teman kami tidak dipermasalahkan menggunakan ishol sebagai pengganti iqamah yang tak kunjung turun. Kami pun pergi ke mahatoh metro (kereta bawah tanah).
"Dek, kamu ke darosah kan?", Tanya kak Wilda memastikan.
"Iya kak. Kalian bertiga langsung ke Asher semua ya?"
"Iya kami turun di Ramsis. Naik naik tremco baru ke Asher"
"Yaudah kamu sama Abang itu ya. Mau ke Darosah juga. Kamu belum tau kan? Nanti turun aja di Attabah terus naik tremco kan lebih cepat"
Dug. Aku seketika kaget. Manamungkin aku perempuan sendiri dan ditemani Ikhwan itu. Setelah membeli tiket yang harganya hanya 3 pound itu, kami pun langsung berdiri menunggu metro yang menuju Ramsis dan belasan stasiun yang dilewati sebelumnya dan sesudah nya. Itu kali kedua ku pergi menggunakan metro. Dan aku belum sama sekali paham apalagi hafal rute kereta bawah tanah itu yang begitu panjang dan cepat. Parahnya saat itu kami harus berdesak-desakan dengan laki-laki yang jumlahnya jauh lebih banyak. Jika dulu pertama kali aku naik metro, di bagian yang dipisah antara laki-laki dan perempuan bahkan lumayan longgar. Jika kali ini sepertinya mengalahkan penuhnya bus merah, dan berdesakkan dengan laki-laki yang tinggi-tinggi itu.
Pintu metro yang hanya terbuka tak lebih dari lima menit itu membuat kami tak bisa berlama-lama untuk berfikir mencari pintu dimana gerbong itu khusus untuk sayyidat (perempuan). Jika tidak mau tertinggal kereta jadwal yang terdekat itu, maka harus rela untuk mendapatkan resiko. Hanya satu yang kuharapkan. Tidak ada tindak kriminal. Baik pelecahan atau pencurian. Tanganku ditarik oleh kawan ku. Dan kami berempat saling tarik menarik untuk menyelamatkan, dan bisa masuk dengan cepat dan selamat.
Di dalam metro kami berdiri beberapa saat tanpa sedikitpun ada pegangan yang bisa kami jadikan tumpuan agar tak terjatuh. Tapi sekitar beberapa menit berjalan, di beberapa stasiun awal yang kami lewati banyak penumpang yang turun. Setidaknya tidak lagi perlu saling menempel dengan tubuh tubuh besar yang membuat kami terjepit. Lima mahatoh sudah kami lewati. Akhirnya kami berenam turun di mahatoh yang sama.
"Qonita.. ayo", Abang yang tak sama sekali aku kenal itu melambaikan tangannya.
Tak ku hiraukan. Aku tetap berjalan paling belakang di antara mereka. Sama sekali tak ingin mendahului dua ikhwan itu, sekalipun jalan mereka pelan. Kami keluar dari stasiun bawah tanah itu. Menaiki tangga yang lebar dan tampak lebih bersih. Setelah keluar, kami sempat diskusi sebentar sebelum akhirnya kami berpisah.
"Kita kesana ya dek. Kamu sama Abang itu naik tremco ke Darosah dari sana.. hati-hati"
"Iya kak, hati hati", aku benar-benar tidak tau harus naik dari mana. Baru pertama kali. Untung saja ikhwan itu berdua, dan aku tetap berjalan di belakang mereka. Walaupun sebenarnya bisa saja jika berjalan bersebelahan. Tidak ada percakapan satu kata pun di antara kami, walaupun beberapa kali dia menengok ke belakang untuk memastikan aku tidak salah jalan. Kami menyebrang jalan kembali, dan dari seberang sudah ada asthoh (penarik tremco) yang tau jika tujuan kami pasti darosah. Seketika asthoh itu memeluk pundak Ikhwan itu, sambil mengarahkan untuk masuk ke dalam tremconya.
Mobil kecil merah yang mirip dengan mobil carry itu hanya bermuatan enam orang. Dua depan, dua tengah, dan dua belakang. Tapi jika penumpang nya ada yang wafidin wafidat seperti kami, pasti dipaksakan untuk bisa masuk tiga orang untuk dua kursinya. Aku duduk di tengah dan mereka di belakang.
"Alhamdulillah.. fikirku. Semakin tidak celah untuk mencari kesempatan mengobrol", fikirku dengan tenang. Karena aku tau jika salah satu mereka bukan tipe yang bisa menjaga obrolan dengan akhwat. Tapi jika kita memberikan jurus diam dan tegas aku yakin mereka tak akan berani membuka obrolan.
"Qonita, bayar ini untuk bertiga", dua puluh pound dia berikan kepadaku.
"Ngga usah", setelah aku bayar, aku kembalikan uang mereka dua belas pound karena setiap orang membayar empat pound.
Perjalanan dari Ramsis ke Darosah ternyata tidak memakan waktu yang sangat lama. Tidak sampai setangah jam. Kertas berisi rangkuman Mantiq itu tetap aku genggam. Saat mendekati Masjid Azhar, mereka turun dan aku masih naik hingga depan Mahatoh. Dan aku memutuskan untuk ke Masjid Shalih Ja'fari, dan menghabiskan waktu hingga sore di tempat itu untuk belajar.
"Kita serius cari beasiswa hanya untuk beli kitab kan qon. Bukan untuk yang lain. Baju, jaket, tas, sepatu udah ngga usah dilirik- lirik. Kita menuntut ilmu, beli kitab kan juga nanti bekal dakwah dan mendidik ummat"
Aku pun berfikir untuk mencari itu dari sendiri. Tanpa berbasa-basi panjang, saat aku mengutarakan maksudku kepada salah satu Ustadz yang dulu membantuku selama proses mengkhatamkan Al-Quran, beliau langsung bersedia untuk membantu. Tentunya aku ajukan dengan semua prestasi yang aku dapatkan saat ini. Berkas-berkas yang lengkap sudah aku siapkan. Mulai dari nilai-nilai di Ma'had di Surakarta, nilai selama satu tahun disini, dan prestasi akademik yang lainnya.
"Buat biodata yang lengkap dan video tentang prestasi antum selama di Al Azhar"
Sekitar satu bulan aku mempersiapkan semua itu. Menulis biodata, scan semua berkas dan nilai, juga membuat video menceritakan presentasi yang sudah aku raih selama disini. Hanya sekitar empat menit. Tapi dengan latar yang aku buat sebaik mungkin. Dengan dibantu kakak ku tercinta, video itu jauh jadi sangat bagus walau singkat. Dan hanya sekitar satu bulan setelah itu, awal Januari bulan 2019 Ustadz itu dengan berbagai link yang beliau miliki mengirimkan uang sebanyak kiriman orangtuaku setiap bulannya.
Tugas kita memang hanya berusaha. Allah sudah mengatur dan membukakan pintu-pintu yang kita tidak menyangkanya.
"Fokus belajar saja qonita. Tidak usah memikirkan yang lain. Harus bisa sampai S3", pecutan yang membuat ku benar-benar tak boleh lagi bermain-main. Tidak tolah-toleh ke kanan dan kiri. Tak perlu banyak pernak-pernik hiburan dan kesenangan yang melalaikan.