Kekuatan identik dengan fisik. Orang
yang memiliki kekuatan adalah yang tubuhnya besar, kekar, tinggi, lincah, dan
berani. Dan tidak sedikit karena kekuatan seseorang pun akan bisa menang dalam
banyak hal. Mulai dari perkelahian, tawuran, bela diri, hingga peperangan. Maka
tak heran jika gelar orang ‘terkuat’ adalah mereka yang menang. Mereka yang
memperoleh kekuasaan, yang mendapat piala, dan yang mendapat segudang
penghargaan.
Namun,
tak jarang pula jika ada yang menganggap kekuatan identik dengan ilmu dan kecerdasan.
Dengan ilmu yang berlimpah dan kemampuan mengelolanya, seseorang pun tak jarang
dikenal dan mampu memenangkan berbagai ajang perlombaaan. Seperti ketika
olimpiade Sains yang diadakan antar sekolah di Kecamatan, maka siswa yang
menang dianggap ia memiliki kekuatan. Kekuatan berupa ilmu, kepandaian dan
kemampuan untuk menaklukkan soal-soal yang sulit. Dan ia pun akan membawa nama
baik sekolahnya.
Lalu,
apa dan mana pengertian ‘kekuatan’ itu sendiri? Apakah orang yang menang dalam
perkelahian adalah yang disebut ‘manusia terkuat’? atau orang yang mampu
memenangkan ajang perlombaan dalam berbagai bidang?
Pada
dasarnya, kekuatan adalah pendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan.
Semakin besar kekuatannya, maka semakin besar pula dorongan untuk melakukan
suatu perbuatan itu. Dan semakin kecil kekuatan, maka semakin lemah, khawatir,
takut, dan ragu untuk melakukannya.
Semisal,
ada dua anak yang memiliki orang tua dan kebiasaan di keluarga yang berbeda. Pada
suatu waktu kedua anak itu dipertemukan dalam sebuah sekolah Tahfidz. Sekolah
itu menargetkan siswanya agar dapat menyelesaikan hafalan seluruh al-Qur’an
dalam waktu 6 tahun. Dengan semangat setiap hari bahkan setiap ada waktu
kosong si A membaca al-Qur’an-nya. Tanpa
lelah, tanpa tangisan. Hingga al-Qur’an-nya pun lama-kelamaan menjadi usang.
Beberapa halaman yang telah ia hafal pun juga mulai lepas dari Mushaf suci itu.
Pada tahun ke-5 di sekolahnya, ia sudah hampir menamatkan hafalan qur’an-nya.
Beda
dengan si B. Setiap hari ia mengeluh, dan tak jarang kabur saat jadwal setoran
hafalan tiba. Jangankan menggunakan waktu-waktu luangnya untuk menghafal,
berbagai alasan pun selalu ia lontarkan ketika jadwal setoran tersebut. Mulai
dari pura-pura sakit, izin ke kamar mandi, bahkan ia tak jarang pergi ke kantin
sekolah secara terang-terangan. Berlari begitu saja. Dan karena sudah terlalu
sering, gurunya pun enggan menghabiskan waktu hanya untuk mengejar seorang
siswa itu.
Jika
diteliti, sebenarnya si A dan si B memang sudah memiliki perbedaan yang cukup
jauh. Si A lahir dari keluarga Islami, yang sejak kecil ia telah dibiasakan
oleh orang tuanya untuk sering membaca dan mendengarkan bacaan al-Qur’an. Ia
pun juga sangat diperhatikan dan senantiasa diberi motivasi dari ibunya. Jika
ia bisa menjadi penghafal al-Qur’an, maka ia akan dijamin Allah untuk masuk
Surga dan bisa mengajak kedua orang tuanya. Setiap hari kata-kata itu
dilisankan oleh ibunya ketika ia akan tidur. Tak hanya itu, si A juga memang
memiliki kemampuan menghafal yang cukup cepat.
Berbeda
dengan si B yang orang tuanya sangat sibuk. Ayah ibunya adalah orang kantor. Jangankan
membaca atau menghafal al-Qur’an, bertemu anaknya di rumah saja dapat dihitung
jari dalam waktu satu bulan. Hari-harinya banyak ia habiskan bersama nenek dan
gadget pemberian ayahnya. Maka, wajar jika tia stres dan tak punya semangat
sedikitpun untuk menghafal al-Qur’an. Dan selama 6 tahun di sekolah tahfidz
itu, ia hanya mampu menghafal sepertiga dari 30 juz di dalam al-Qur’an.
Itulah
yang dinamakan kekuatan. Ia sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dia
lakukan. Semakin besar kekuatan, dorongan, dan motivasi seseorang untuk
menghafal al-Qur’an, maka semakin mudah, cepat, dan ringan ia menghafalkannya.
Begitu pula sebaliknya, seperti yang dialami si B.
Namun,
disini terdapat penjelasan yang lebih terperinci terkait hakikat ‘kekuatan’ itu
sendiri. Pada faktanya, ada tiga kekuatan yang mendorong manusia untuk
melakukan perbuatan.
Pertama, kekuatan fisik. Dalam Islam disebut
Quwatul Madiyah. Kekuatan ini mengandalkan fisik atau materi seseorang.
Kekuatan fisik ini sangat sering terjadi di kehidupan zaman ini. Misal, pembulyan
kakak kelas terhadap adik kelas di sekolah-sekolah. Sang kakak kelas menganggap
dirinya memiliki fisik yang lebih kuat dan badan yang lebih besar. Dan adik
kelas yang menjadi korban pun tidak berani melawan sedikitpun. Takut dan
khawatir jika justru ia dibalas lagi. Ia menganggap dirinya tidak punya
kekuatan untuk melawan, dan badannya masih terlalu kecil.
Sama
halnya ketika orang kaya yang menindas dan berbuat semaunya kepada orang
miskin. Ia sangat membanggakan harta kekayaannya, dan dengan itu ia bisa
melakukan apapun. Dan si miskin pun takut. Jangankan melawan, mencoba
menghindar pun tak ada lagi keberanian. Ia menganggap dirinya sendiri lemah
karena tak punya harta yang melimpah.
Contoh
lain ketika rakyat di suatu wilayah memiliki pemimpin yang melanggar aturan
atau mendzalimi rakyatnya, atau bahkan tak henti-hentinya mengkorupsi uang rakyat.
Tak sedikit rakyatnya yang mengeluhkan hal itu dan ingin memberi masukan.
Namun, semua itu hanya sebatas niat. Dan pada akhirnya selalu diurungkan
kembali. Dengan alasan pemimpin itu orang kaya dan memiliki kedudukan atau ilmu
yang lebih tinggi, maka niat baik itu akhirnya tak pernah terucapkan.
Dan contoh terakhir adalah sesuatu yang tidak
asing lagi di kehidupan para pelajar. Teknologi. Ia juga salah satu perkara
yang membuat manusia saat ini ketakutan ketika dihadapkan kepada manusia lain
yang memiliki teknologi lebih canggih. Tak hanya dalam skala individu, negara
pun juga turut menganggap dirinya lemah dan takut dengan Negara-negara yang
sudah maju teknologinya. Seperti penduduk di Negeri ini. Banyak yang sudah
memiliki pemahaman bahwa warga dan penguasa di Jepang atau Amerika patut
ditakuti, dan tak mungkin dikalahkan dalam banyak hal, terutama teknologi yang
dihasilkan. Mereka pun juga tak ragu-ragu menjajah Negeri-negeri yang
dianggapnya masih lemah dan belum maju, termasuk Indonesia.
Jadi, apakah
mereka yang pantas disebut ‘manusia terkuat’?
Kedua, kekuatan emosional. Dalam Islam
disebut Quwatul Maknawiyah. Kekuatan ini lebih identik dengan perasaan. Muncul
tidaknya kekuatan ini tergantung dengan perasaan yang muncul. Semisal, pada
masa kemerdekaan Indonesia. Ketika rakyat Indonesia melawan kaum penjajah di
medan perang hanya menggunakan bambu runcing. Sedangkan para penjajah
menggunakn senjata yang sudah modern, seperti senapan dan meriam. Namun, tak
jarang rakyat Indonesia justru memenangkan pertempuran.
Adanya kekuatan inilah yang mendorong
para pasukan dalam membela Negaranya. Kekuatan ini pula yang memunculkan adanya
ikatan Nasionalis terhadap Negeri dimana seseorang tinggal. Dan biasanya
kekuatan ini tertanam pada jiwa-jiwa prajurit atau mliliter Negara. Dalam skala
kecil, kekuatan ini pun juga muncul ketika ada perlawanan antar suku, atau
bahkan tawuran antar sekolah. Dengan kekuatan ini, maka seseorang akan membela
mati-matian kelompok, sekolah, atau sukunya. Dan sangat membenci kelompok
musuh.
Lalu, apakah dengan perjuangan dan
pengorbanan atas dasar kekuatan Nasionalis, kesukuan, atau kelompok tertentu
seseorang patut disebut ‘manusia terkuat’?
Ketiga,
kekuatan
spiritual atau keimanan. Dalam Islam sering disebut Quwatu Ruhiyah. Kekuatan
ini terlahir dalam jiwa manusia karena keimanannya kepada Allah Swt. Kekuatan
ini yang membangun kesadaran pada seseorang akan hubungan-Nya kepada Allah Swt.
Sehingga, dalam melakukan atau meninggalkan segala macam perbuatan, orang itu
akan mengingat Allah Swt dan bergantung pada pandangan Allah Swt terhadap
perbuatan itu. Jika Allah Swt tidak melarangnya, maka ia baru mau melaksanakan.
Namun, ketika Dia benar-benar melarang suatu perbuatan, maka orang itu
benar-benar meninggalkannya. Tanpa ragu dan berat hati.
Misalnya dalam perkara yang sudah
disebutkan diatas. Ketika ada seorang Muslim yang kaya raya, ia tidak akan
menyombongkan hartanya atau bahkan menindas orang miskin. Mengapa? Karena ia
tahu, bahwa kekayaan bukanlah kekuatan yang abadi. Kekayaan hanya milik Allah
Swt, dan kekuatan yang abadi pun hanya dari-Nya. Allah Swt pun melarang
makhluq-Nya untuk menyombongkan diri dan menyakiti hati sesama Muslim. Dengan
begitu kekayaannya pun tidak akan ia gunakan untuk perbuatan yang Allah
melarangnya.
Atau ketika seorang Muslim
menyaksikkan kedzaliman para penguasa. Memang, para penguasa adalah orang-orang
hebat di mata rakyatnya. Mereka orang kaya yang juga memiliki kedudukan yang
tinggi. Namun, karena Allah Swt memerintahkan adanya Amar ma’ruf nahi munkar
(Qs. Ali Imran : 110), yaitu menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran,
maka seorang Muslim tersebut juga tak ragu untuk mengkritik penguasa. Karena
ada kekuatan yang jauh lebih besar dan kuat di hatinya. Yaitu kekuatan dalam
ketaatan menjalani perintah Sang Khaliq.
Dan contoh yang lebih ekstrem lagi
adalah mengorbankan nyawa. Ketika Kaum Muslimin benar-benar taat dan hanya
takut kepada-Nya, maka perintah untuk berjihad dan perang di jalan Allah pun
bukanlah suatu keraguan. Demi membela Islam dan mempertahankan tegaknya
Syari’at-Nya, maka jika nyawa mereka harus menjadi taruhan, maka semua itu akan
ia jalani. Mengapa? Karena Allah Swt telah menjamin hamba-Nya dengan Surga yang
abadi apabila kematiaannya datang saat berjihad di jalan Allah Swt.
Maka,
manusia dengan kekuatan seperti itu kah yang disebut ‘manusia terkuat’?
Jika
dicermarti, kekuatan yang pertama
yaitu kekuatan fisik adalah kekuatan yang paling lemah dibanding dua kekuatan
yang lain. Mengapa? Karena kekuatan ini hanya dilandaskan pada materi, fisik,
atau kedudukan seseorang. Dan akan dengan mudahnya hilang ketika ketiga hal
tersebut tidak ada lagi. Jadi, semisal si A takut pada si B yang memiliki badan
besar dan fiisk yang jauh lebih kuat. Si B itu tak jarang memukulinya apabila
ia tidak patuh terhadapnya. Namun, tiba-tiba si B mendapat musibah. Karena
kecelakaan besar, ia sudah lagi tidak memiliki daya ingat yang baik, kaki
kirinya patah, dan ia sudah tidak dapat mendengar. Maka, si A sudah tidak lagi
takut dengan si B.
Kekuatan fisik yang hanya dimiliki sementara
oleh si B itu tidak membuat orang lain merasa benar-benar takut. Kekuatan itu
dapat dengan mudah untuk ‘hilang’ ketika kekuatan fisik juga telah tiada.
Kedua, kekuatan emosional. Kekuatan yang
dilandaskan pada perasaan ini juga dengan sangat mudah akan hilang, ketika
perasaan seseorang sudah terluka. Misal, ketika terjadi tawuran antar gank
sekolah. Siswa sekolah A pada awalnya mati-matian dan sangat bersemangat ketika
harus berkelahi dengan siswa sekolah C. Pada perkelahian yang pertama, siswa
dari sekolah A menang, dan siswa sekolah C ketakutan dan akhirnya menyerah.
Karena ada sebuah pemicu, beberapa hari setelahnya terjadi kembali tawuran
antara kedua sekolah tersebut. Namun, untuk kali ini siswa sekolah A yang
kalah, bahkan ada salah satu anggota mereka yang tewas karena perutnya tertusuk
pisau tajam. Kebanyakan dari mereka juga mengalami luka-luka yang tak ringan.
Sejak saat itulah, ketika ketua gank siswa sekolah A mengajak tawuran untuk
ketiga kalinya, para anggotanya sudah enggan. Mereka tak ingin lagi terluka,
atau bahkan menjadi korban yang bisa tewas seketika. Mereka sudah trauma dengan
kekalahan yang dialami pada tawuran yang kedua.
Itulah
bentuk lemahnya kekuatan emosional. Ketika perasaan seseorang itu sudah
terluka, maka kekuatan ini dengan mudahnya melayang. Tak tersisa lagi. Orang
itu sudah enggan lagi untuk berjuang, apalagi akan menjadi korban.
Ketiga, kekuatan spiritual. Dan jika
memang dua kekuatan diatas sudah terbukti benar-benar tidak kuat juga tidak
abadi, maka hanya kekuatan spiritual inilah yang bisa abadi. Mengapa? Karena,
kekuatan ini tidak hanya berpandangan pada dunia seperti kasus ketakutan si A
dengan si B dan tawuran diatas. Kekuatan spiritual atau keimanan ini didorong
atas perkara dunia, juga akhirat.
Ketika
seseorang melandasi dengan kekuatan ini, maka ia yakin bahwa tidak ada daya dan
upaya yang mampu menandingi kekuatan-Nya. Kekuatan ini akan mendorong manusia
hanya bergantung pada-Nya semata, karena Dia Sang Pemilik Kekuatan. Seseorang
juga akan sangat takut melanggar Syari’at-Nya karena merasa diawasi. Ia juga
tidak pernah bimbang dalam melangkah dan berani menanggung resiko perjuangan.
Dengan kekuatan ini, maka seseorang akan mengatakan ‘hidup mulia atau mati
syahid’.
Wallahu a’lamu
bish showab