A.
Sekilas Potret
: Pra Islam – Masa Islam
Dahulu, sebelum Islam masuk perempuan adalah kaum yang sangatlah
tertindas oleh berbagai aturan dalam suku, agama, dan bangsa. Baik di bangsa
Arab, bangsa Roma, ajaran Yahudi, dan India pun semua meletakkan kedudukan perempuan
layaknya seorang budak. Seorang yang tidak boleh menuntut hak dan kewajibannya.
Perempuan seakan merupakan manusia yang tidak diperbolehkan bergerak tanpa ada
perintah dari pemiliknya, yaitu ayahnya (ketika ia belum menikah), dan suami
(setelah ia menikah). Ketika itu pula perempuan tidak sedikitpun mendapat harta
waris ketika salah satu ahlinya wafat. Bahkan, ia pun dijadikan harta waris itu
sendiri ketika suaminya telah meninggal. Dan berbagai bentuk penindasan pun
terjadi ketika Islam benar-benar belum menyentuh kehidupan manusia di muka bumi
ini. [1]
Dan hingga akhirnya Islam datang dengan dibawa oleh utusan Allah
SWT. Islam memang agama yang lahir dengan membawa rahmat bagi seluruh Kaum
Musilimin. Maka benar saja, jika kehidupan umat manusia menjadi jauh lebih baik
ketika Islam masuk dalam seluk beluk kehidupan mereka. Dan salah satunya adalah
berbagi hak dan kewajiban perempuan akhirnya terjawab. Berbagi ayat dalam
Kalam-Nya dan hadits-hadits utusan-Nya memberikan penjelasan terkait berbagai
macam hal. Ketika Islam menjadi keyakinan kaum pengikut Rasulullah SAW, perempuan
pun dijunjung tinggi dalam kehidupan,
dan diberi kesempatan untuk menjalankan segala kewajibannya.
Layaknya kaum laki-laki, dalam Islam perempuan pun memiliki
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilakukan setiap harinya. Kewajiban
beribadah kepada Allah, seperti sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, zakat, juga
memenuhi seruan-Nya dalam rangkaian ibadah haji. Tak hanya ibadah mahdhoh saja,
sebagai Kaum Muslimin perempuan juga memiliki kewajiban-kewajiban yang lain.
Yaitu, mulai dari patuh dan taat kepada orang tua, menutup aurat, mengikuti tatacara
syari’at Islam ketika bermuamalah, tidak boleh ikhtilat dan berkholwat ketika
berinteraksi dengan laki-laki, dan lain sebagainya. Selain itu, ketika seorang perempuan
sudah menjadi seorang ibu, maka ia memiliki kewajiban untuk mengatur segala
urusan rumah tangganya, juga mendidik anak-anaknya. Disisi
lain, perempuan juga diperintahkan Allah untuk mengemban da’wah kepada seluruh
Umat manusia. Menyampaikan kebenaran sebagaimana yang telah Rasulullah SAW
ajarkan.
B.
Perempuan dan
Menuntut Ilmu
Perempuan juga memiliki kewajiban untuk
menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Baik ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain ataupun
fardhu kifayah. Oleh karenanya, perempuan sedikit pun tak ada larangan untuk
berlomba-lomba mencari ilmu dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya. Karena
Allah selalu meninggikan derajat Ummat-Nya yang senantiasa memiliki ilmu yang
banyak, dan meletakkan kedudukan ilmu pengetahuan pada tingkat yang tinggi.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surah Al-Jumu’ah ayat 2,
yiatu :
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan Sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(QS.Al-Jumu’ah :2)
Menurut sebagian ahli tafsir dalam Kitab Fikih Perempuan Kontemporer,
arti ”mengajarkan al-kitab” adalah mengajarkan menulis, karena menulis adalah
suatu pembelajaran yang dapat menghasilkan kitab-kitab. Rasulullah pun juga mengajarkan
kepada sahabat-sahabatnya untuk belajar menulis. Dan hal ini sebagaimana
diperintahkan oleh Allah dalam kaitannya dengan masalah utang-piutang.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. (QS.Al-Baqoroh : 282)
Dan begitu pula dalil yang mewajibkan seluruh Kaum Muslimin untuk
menuntut ilmu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi SAW : “ Menuntut
ilmu wajib bagi setiap Muslim “. Menuntut
ilmu juga tidak memiliki batas waktu yang ditentukan. Rasulullah pun bersabda
dalam sebuah hadits: “Tuntutlah ilmu dari segumpal darah/ kandungan hingga
liang lahat”
Bahkan
Rasulullah SAW memberikan rangsangan bahwa orang yang mau mengajarkan ilmu
kepada kaum perempuan, ia akan mendapatkan pahala yang berlipat
ganda diakhirat kelak. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa memiliki
seorang budak perempuan, kemudian ia mengajar dan mendidiknya dengan baik,
kemudian memerdekakannya, maka ia memperoleh pahala dua kali lipat”. (HR.
Bukhari dan Muslim). [2]
Dari semua
dalil yang mewajibkan, mendorong, serta menjelaskan keutamaan terkait dengan
kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu tersebut, ada satu hal
penting yang perlu diketahui yang menjadi pertanyaan besar. Ketika seorang perempuan yang sudah memiliki kedudukan menjadi seorang istri,
lebih-lebih seorang ibu, apakah diperbolehkan untuk menuntut ilmu diluar rumah
? Sedangkan kewajiban seorang ibu adalah mengurusi segala yang dibutuhkan oleh
keluarganaya, dan mendidik anak-anaknya yang jelas identik berada didalam
rumah. Mana yang lebih diutamakan antara menuntut ilmu yang diwajibkan bagi
setiap individu Muslim atau mengurus segala keperluan keluarga dan rumah
tangganya di dalam rumah ?
C.
Fakta :
Perempuan yang Menuntut Ilmu Diluar Rumah
Seiring
berjalannya waktu, banyak kejadian yang dahulu belum pernah terjadi namun saat
ini sudah marak terjadi. Dalam tema kali ini, akan dibahas bahwa betapa banyak
perempuan yang sudah menjadi seorang ibu masih berkeinginan melanjutkan
pendidikannya di berabgai Lembaga Pendidikan, seperti Universitas atau
sekolah-sekolah tinggi. Hal ini bukanlah merupakan larangan jelas yang sudah
Allah tetapkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Namun, dari sekian fakta yang
nampak di sekitar kehidupan ini, banyak hal-hal yang terjadi, yang hal tersebut
merupakan dampak dari kesibukan seorang ibu di dunia luar, terutama menuntut
ilmu diluar rumah.
Dari
sekian anak-anak yang bermasalah di sekeliling kita, jika dilihat penyebabnya,
maka akan banyak ditemukan penyebab utamanya adalah kurangnya perhatian
orangtua terutama perhatian seorang ibu. Kurangnya perhatian ini biasaanya
dimunculkan karena permasalahan ekonomi yang membuat seorang ibu pun harus
bekerja membanting tulang diluar rumah. Namun tak jarang pula, kurangnya
perhatian ini disebabkan karena banyak pula ibu yang masih ingin berkancah
dalam pendidikan formal disuatu lembaga, yang akan menyita banyak waktunya.
Selain itu banyak juga yang cukup sibuk dengan da’wah keberbagai tempat.
Oleh
karena itu, ketiga penyebab permasalahan inilah, (namun yang akan lebih
dispesifikkan adalah tentang kewajiban menuntut ilmu), yang perlu dibahas
kebolehan dan batasan-batasan yang Islam berikan kepada kaum perempuan,
sehingga kewajiban utama seorang ibu sebagai “Ummu wa Rabbatul Bait” tidaklah
terbangkalai.
D. Peran Perempuan
dalam Keluarga
Islam telah menjelaskan dalam berbagai penjelasan, baik di dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah, bahwasannya perempun adalah seseorang yang
dijunjung tinggi dalam sebuah keluarga. Ia memiliki peran yang sangat penting dalam
urusan keluarga, baik suami ataupun anak-anaknya.
Allah berfirman dalamAl-Qur’an surah Ar-Rum ayat 21 : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”.(Q.S Ar-Rum : 21)
Dari ayat- ayat yang tertera diatas, maka dapat diketahui bahwa
seorang perempuan memang memiliki andil yang besar dalam keluarga. Ia adalah
makhluk yang diciptakan Allah untuk memberi kedamaian dan ketenangan kepada
suami dan anak-anaknya. Dan sebagaimana yang diketahui, seorang ibu adalah
orang yang sangat berpengaruh pada anak-anaknya. Apapun yang dikatakan dan
dilakukan seorang ibu akan sangat mudah untuk diikuti anak-anaknya. Hal ini
karena seorang ibu memang memiliki tugas lebih banyak didalam rumah. Masa kecil
seorang anak yang cukup lama adalah suatu kesempatan bagi seorang ibu untuk
memberikan berbagai bentuk pendidikan.
Hal ini sangatlah berbeda ketika seorang anak dititipkan kepada
seorang pembantu atau pengasuh yang sama sekali tidak memiliki jalinan kerabat.
Sedangkan sang ibu justru sibuk beraktivitas diluar rumah, dan terkadang
melalaikan tugas mulianya tersebut. Teladan yang diberikan seorang ibu pasti
jelas berbeda dengan teladan perempuan lain yang hanya diupah dengan uang.
Pengasuh juga tidak akan memberikan pengajaran atau rasa kasih sayang yang
sebanding ketika memberikannya kepada anaknya sendiri. [3]
E. Perempuan antara Mengurus Rumah Tangga dan Menuntut Ilmu
Oleh karenanya, ketika seorang ibu melakukan aktivitas diluar
rumah, kemudian hingga ia tersibukkan dengan aktivitas itu, maka ia telah
mealalaikan kewajiban utamanya. Dan jika melihat disaat seperti ini, banyak perempuan
-ibu- yang menghabiskan waktunya diluar rumah selain untuk berkarier, banyak
pula yang berniat menuntut ilmu diluar rumah. Hal ini menyebabkan
tugas utamanya, yaitu mengurus rumah tangga dan mendidik serta memperhatikan
anak-anaknya terkadang menjadi terabaikan. Memang, Islam tak pernah melarang
seorang perempuan -ibu- menuntut ilmu dalam waktu dan tempat tertentu. Allah
bersabda di dalam Al- Qur’an surah An-Nisa ayat 162, Al-Mujadalah ayat 11, dan Al-Fatir ayat 28, yaitu :
Artinya : Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka
dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan
kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang
yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala
yang besar. (An-Nisa ayat 162)
Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.( Al-Mujadalah ayat
11)
Artinya : Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.( Al-Fatir
ayat 28)
Dari ayat tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa menuntut ilmu
adalah perkara yang sangat dijunjung tinggi oleh Allah. Keutamaan bagi orang
mukmin yang menuntut ilmu ia akan ditinggikan derajatnya dan dimuliakan
kedudukannya. Dan tuntutan ini ditujukan kepada setiap individu muslim, baik
laki-laki maupun perempuan. Serta tidak ada batasan waktu untuk berhenti
menuntut ilmu. Karena Allah akan semakin meninggikan derajat Ummat-Nya ketika
ilmunya juga semakin banyak.
Sedangkan bagi perempuan yang sudah memiliki kedudukan sebagai
seorang istri, dan ibu bagi anak-anaknya, ia tetap mendapat tuntutan untuk
menuntut ilmu. Tidak ada dalil larangan pula baginya untuk terus berada dalam
kancah pendidikan, baik belajar secara otodidak ataupun dalam sebuah lembaga
pendidikan formal. Namun, disini ada penjelasan tertentu apabila seorang ibu
berkeinginan atau terpaksa harus belajar diluar rumah karena satu dan lain hal.
Perempuan –ibu- Muslimah tetaplah memiliki tugas utama sebagai
seorang istri dan ibu. Ia memiliki peran besar dalam rumah tangganya.
Menyiapkan segala yang dibutuhkan keluarganya, dan mendidik anak-anaknya. Maka,
terkait permasalahan ini, maka digunakan hukum awlawiyat atau prioritas dalam
Islam. Sehingga, untuk masalah menuntut ilmu ini seorang ibu hendaknya tetap
meluangkan waktunya. Hanya saja kewajiban utamanya tidak boleh diletakkan pada
urutan nomor dua. Setelah seorang ibu sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, memenuhi
keperluan suami dan anak-anaknya, maka ia boleh untuk belajar, baik didalam
atau diluar rumah, dengan niat untuk menuntut ilmu. Dan apabila ia terpaksa untuk menuntut ilmu diluar rumah,
maka ia harus mendapat persetujuan dari suaminya.
Yang terpenting, hendaknya jangan sampai kekonsentrasian dan
mayoritas waktu sang ibu dihabiskan untuk menuntut ilmu. Begitu pula ketika
seorang anak membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan permasalahan dan
membutuhkan perhatian yang lebih, maka seorang ibu harus memenuhinya. [4]Seorang
ibu tidak boleh mengabaikannya dan lebih mendahulukan aktivitas kuliahnya.
Sehingga, hal ini tidak membuat salah satu kewajiban seorang wanita
Muslimah terbengkalai. Dengan membagi waktu yang tersedia secara bijaksana,
dan memperhatikan hukum awlawiyat, yaitu kewajiban utamanya sebagai “Ummu wa
Rabbatul Bait”, maka kedua kewajiban tersebut akan terlaksana dengan baik dan
sesuai dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah.
F.
Tuntutan dan
Larangan Ketika Menuntut Ilmu Diluar Rumah
Seperti
halnya dengan aktivitas-aktivitas yang lain, ketika seorang perempuan menuntut
ilmu diluar rumahnya, dan ditempat yang sangat memungkinkan untuk bertemu dan
berinteraksi dengan laki-laki lain, maka Islam pun memberi beberapa peraturan,
yang tak lain bertujuan untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri. Berikut
ini beberapa aturan terhadap perempuan ketika ia ingin menuntut ilmu diluar
rumah :
1.
Apabila
perempuan tersebut masih dalam posisi sebagai anak atau belum menikah, maka ia
harus mendapat izin dari orang tuanya, terutama dari sang ayah.
2.
Apabila ia
sudah menjadi seorang ibu yang berkewajiban mengurusi rumah tangga dan mendidik
anak-anaknya, maka ia harus pula mendapatkan izin dari suaminya.[5]
3.
Menutup aurat
secara syar’i, yaitu menutup seluruh bagian tubuh kecuali muka dan telapak
tangan. Termasuk tidak tabaruj, yaitu memamerkan perhiasan secara berlebihan,
dan tidak menggunakan wewangian yang mencolok.
4.
Tidak ikhtilat
(campur baur dengan laki-laki)
5.
Tidak
berkholwat (berdua-duan dengan laki-laki yang bukan mahrom)
6.
Menjaga sikap
dan lisan ketika harus berinteraksi dengan laki-laki yang bukan mahrom, yaitu
dari menjaga pandangan, suara, dan perilaku, dan hal semacamnya.[6]
G.
Kesimpulan
Maka, dalam
masalah ini “Islam Memandang Perempuan : Antara mengurus rumah tangga dengan
menuntut ilmu”, Islam tidak memilki dalil, baik berupa nash Al-Qur’an atau
Hadits yang secara jelas melarangnya. Maka hukumnya adalah Mubah. Hal
ini dikarenakan Islam tidak pernah memberi batasan kepada siapapun untuk
berhenti menuntut ilmu, baik ketika masih dalam usia belia, hingga kapanpun
selama dia masih memiliki kesempatan untuk terus mnuntut ilmu. Bahkan Islam
mendorong Kaum Muslimin, baik laki-laki atau perempuan untuk terus menuntut
ilmu sebanyak ia mampu sepanjang hidupnya.
Maka
dari itu, perempuan pun juga tak ada larangan untuk menuntut ilmu, baik didalam
atau diluar rumah, juga tidak ada pula larangan untuk menuntut ilmu diluar Negeri.
Namun, disini ada pengkhususan bagi perempuan yang sudah memiliki
kewajiban terhadap keluarga, yaitu
sebagai “Ummu wa Rabbatul Bait”. Walaupun tidak ada larangan pula bagi seorang
ibu untuk menuntut ilmu diluar rumah, akan tetapi kewajiban utamanya tetap
tidak boleh terbengkalai, dan menjadi urusan yang diakhirkan daripada
kewajibannya yang lain.
Allahu a’lamu
bish showab...
Daftar Pustaka :
1. Buku Fikih Perempuan Kontemporer
2. Buku Fikih Perempuan (karya: Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi)
3.Kitab Adab
dan Akhlaq : Fatwa-fatwa tentang Wanita jilid 3 (karya : Syaikh Muhammad
bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh)
4. www.konsultasisyariah.com ; Ustadz Musyaffa’ Addariny ; Bolehkah Wanita Bekerja ; 07 Januari 2015
5. www.rumaysho.com ; Muhammad Abduh Tuasikal ; Bagaimana Jika Wanita Kuliah Di Luar Negeri Atau Negeri Kafir ; 07 Januari 2015
[1]
Fikih Perempuan ; Bab 12 Perempuan pada Masa Jahiliyah ; halaman 106-108
[4] Kitab Adab
dan Akhlak ; Fatwa-fatwa tentang Wanita jilid 3 ; halaman 275-276
[5]
Fikih
Perempuan Kontemporer ;Bab XV Perlindungan Hukum Islam terhadap Hak Perempuan ;
halaman 117